Anda di halaman 1dari 4

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Konsep Dasar Penyakit

2.1.1 Pengertian
Diare didefinisikan sebagai buang air besar dengan volume, frekuensi, atau
cairan yang berlebihan (Stephen, 2010:404).
Diare merupakan suatu keadaan dengan peningkatan frekuensi, konsistensi
feses yang lebih cair, feses dengan kandungan air yang banyak, dan feses bisa disertai
dengan darah atau lendir (Muttaqin, 2011:459).
Secara epidemiologik biasanya diare didefinisikan dengan keluarnya feses
lunak atau cair tiga kali atau lebih dalam satu hari (Sodikin, 2011:225).
Dari definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa diare adalah buang air besar
dengan frekuensi lebih dari tiga kali sehari dengan konsistensi cair atau lunak yang
dapat disertai dengan atau tanpa darah dan lendir.
2.1.2 Etiologi
Menurut Sodikin (2011:226), penyebab dari diare ada dua, yaitu sebagai
berikut.
1) Diare sekresi
Diare sekresi dapat disebabkan oleh faktor-faktor seperti: (a) infeksi virus,
kuman-kuman patogen, atau penyebab lainnya (seperti keadaan gizi/gizi buruk,
higiene dan sanitasi yang buruk, kepadatan penduduk, social budaya, dan sosial
ekonomi); (b) hiperperistaltik usus halus yang dapat disebabkan oleh bahan-bahan
kimia, makanan (seperti keracunan makanan, makanan yang pedas atau terlalu
asam), gangguan psikis (ketakutan, gugup) gangguan saraf, hawa dingin, alergi,
dan sebagainya; (c) defisiensi imun terutama SigA (Secretory Immunoglobulin A)
yang mengakibatkan berlipatgandanya bakteri atau flora usus dan jamur (terutama
Candida).

2) Diare Osmotik
Diare osmotik disebabkan oleh malabsorpsi makanan, kekurangan energi protein
(KKP).
Menurut Jones (2003) Dikutip oleh Muttaqin (2011:461) diare juga dapat
terjadi akibat masuknya mikroorganisme hidup kedalam usus setelah berhasil
melewati rintangan asam lambung. Mikroorganisme tersebut berkembang biak,
kemudian mengeluarkan toksin dan akibat toksin tersebut terjadi hipersekresi
yang selanjutnya akan menimbulkan diare. Mikroorganisme memproduksi toksin.
Enterotoksin yang diproduksi agen bakteri (seperti E. coli dan Vibrio cholera)
akan memberikan efek langsung dalam peningkatan pengeluaran sekresi air ke
dalam lumen saluran gastrointestinal. Beberapa agen bakteri bisa memproduksi
sitotoksin (seperti Shigella dysenteriae, Vibrio parahaemolyticus, Clostridium
difficile, E. coli) yang menghasilkan kerusakan sel-sel mukosa, serta
menyebabkan feses bercampur darah dan lendir bekas sisa sel-sel terinflamasi.
Invasi eritrosit dilakukan beberapa mikroba seperti Shigella, organisme
campylobacter, dan enterovasif E. coli yang menyebabkan terjadinya destruksi
serta inflamasi.
2.1.3 Patofisiologi
Menurut Diskin (2008), Dikutip oleh Muttaqin (2011:460) mekanisme dasar
yang menyebabkan diare adalah sebagai berikut.
1) Gangguan osmotik, kondisi ini berhubungan dengan asupan makanan atau zat
yang sukar di serap oleh mukosa dan akan menyebabkan tekanan osmotik dalam
rongga usus meningkat sehingga terjadi pergeseran air dan elektrolit berlebihan
ini akan merangsang usus untuk mengeluarkannya sehingga menimbulkan diare.
2) Respons inflamasi mukosa, terutama pada seluruh permukaan intestinal akibat
produksi enterotoksin dari agen infeksi memberikan respon peningkatan aktivitas
sekresi air dan elektrolit oleh dinding usus ke dalam rongga usus dan selanjutnya
diare timbul karena terdapat peningkatan isi rongga usus.
3) Gangguan motilitas usus, terjadinya hiperperistaltik akan mengakibatkan
berkurangnya kesempatan usus untuk menyerap makanan sehingga timbul diare,

sebaliknya bila peristaltik usus menurun akan mengakibatkan bakteri timbul


berlebihan yang selanjutnya dapat menimbulkan diare pula.
Selain itu diare juga dapat terjadi, akibat masuknya mikroorganisme hidup ke
dalam usus setelah berhasil melewati rintangan asam lambung, mikroorganisme
tersebut berkembang biak, kemudian mengeluarkan toksin dan akibat toksin
tersebut terjadi hipersekresi yang selanjutnya akan menimbulkan diare.
2.1.4 Manifestasi Klinis
Menurut Sodikin (2011:227), gambaran awal dari diare adalah suhu badan
meningkat, nafsu makan berkurang atau tidak ada kemudian timbul diare. Feses
makin cair, mungkin mengandung darah dan atau lendir, warna feses berubah menjadi
kehijau-hijauan karena bercampur empedu.
Gejala muntah dapat terjadi sesudah atau sebelum diare. Apabila penderita telah
banyak mengalami banyak mengalami kehilangan air dan elektrolit, maka terjadilah
gejala dehidrasi. Berat badan menurun, tonus otot dan turgor kulit berkurang, selaput
lendir pada mulut dan bibir terlihat kering. Gejala klinis menyesuaikan dengan derajat
atau banyaknya kehilangan cairan (dehidrasi).
Menurut Muttaqin (2011:461) manifestasi klinis dari diare sesuai dengan
tingkat dehidrasi adalah sebagai berikut.
2.1.4.1Dehidrasi Primer
Gejala-gejala khas pada dehidrasi primer adalah haus, mulut kering, oliguria
sampai anuri, sangat lemah, serta timbul gangguan mental seperti halusinasi
dan delirium. Dehidrasi primer pada diare, fungsi usus besar dalam
melakukan absorpsi cairan terganggu sehingga masuknya air sangat terbatas.
2.1.4.2 Dehidrasi Sekunder
Dehidrasi sekunder merupakan dehidrasi yang terjadi karena tubuh kehilangan
cairan tubuh yang mengandung elektrolit. Gejala dehidrasi sekunder adalah
nausea, muntah-muntah, sakit kepala serta perasaan lesu dan lelah.
2.1.4.3Dehidrasi Berat
Dehidrasi berat dapat menyebabkan renjatan (syok) hipovolemik. Syok adalah
suatu keadaan yang disebabkan oleh defisiensi sirkulasi akibat disparitas

(ketidakseimbangan) antara volume darah dan ruang vaskular. Gejalagejalanya adalah lesu dan lemas, kulit yang basah, kolaps vena terutama venavena superficial, pernapasan dangkal, nadi cepat dan lemah, tekanan yang
rendah, oliguria dan terkadang disertai muntah.

Anda mungkin juga menyukai