Anda di halaman 1dari 22

BAB II

LANDASAN TEORI

II.1. Audit Operasional


II.1.1. Pengertian Audit Operasional
Audit operasional (Operational Audit) berkaitan dengan kegiatan memperoleh
dan mengevaluasi bukti-bukti tentang efisiensi dan efektivitas kegiatan operasi entitas
dalam hubungannya dengan pencapaian tujuan tertentu. Kadang-kadang jenis audit ini
disebut juga sebagai audit kinerja atau audit manajemen.
Menurut Brink, Moeller dan Witt (1999) definisi audit operasional adalah
sebagai berikut :
Operational auditing is an independent review including all aspects of an
organization; its business function; financial controls, and the supporting systems. It
involves a systematic review of an organizations activities, or a stipulated segment of
them, in relation to specified objectivies. The operational auditor has an overall
objective to assess the quality of internal controls of an area, including its effectiveness
and efficiency of operations, reliability of the financial reporting and compliance with
applicable laws and regulations(p.21).
Menurut Boynton, Johnson dan Kell, yang diterjemahkan oleh Rajoe, P.A,
Gania, G, dan Budi, I.S.(2003) audit operasional adalah Merupakan suatu proses
sistematis yang mengevaluasi efektivitas, efisiensi, dan kehematan operasi organisasi
yang berada dalam pengendalian manajemen serta melaporkan kepada orang-orang yang
tepat hasil-hasil evaluasi tersebut beserta rekomendasi perbaikan.

Bagian-bagian penting dari definisi ini adalah sebagai berikut :


-

Proses yang sistematis. Audit operasional menyangkut serangkaian langkah atau


prosedur yang logis, terstruktur, dan terorganisasi.

Mengevaluasi operasi organisasi. Evaluasi atas operasi ini harus didasarkan pada
beberapa kriteria yang ditetapkan dan disepakati. Dalam audit operasional,
kriteria seringkali dinyatakan dalam bentuk standar kinerja yang ditetapkan oleh
manajemen.

Efektivitas, efisiensi, dan kehematan operasi. Tujuan utama dari audit


operasional adalah membantu manajemen organisasi yang diaudit untuk
meningkatkan efektivitas, efisiensi, dan kehematan operasi.

Melaporkan kepada orang-orang yang tepat. Penerima laporan audit operasional


yang tepat adalah manajemen atau individu atau badan yang meminta audit.

Rekomendasi perbaikan. Audit operasional tidak berakhir dengan menyajikan


laporan mengenai temuan, tetapi juga mencakup pembuatan rekomendasi
perbaikan(h.499).
Jadi dapat disimpulkan bahwa definisi audit operasional secara umum adalah

suatu proses penelaahan secara sistematis terhadap seluruh aspek dalam perusahaan
dengan tujuan untuk menilai efisiensi, efektivitas, dan keekonomisan operasi suatu
perusahaan. Selanjutnya, berdasarkan hasil identifikasi masalah pada perusahaan,
diberikan saran atau rekomendasi perbaikan kepada pihak manajemen.

II.1.2. Tujuan dan Manfaat Audit Operasional


Berdasarkan pendapat Agoes (2004), Tujuan umum dari audit operasional
adalah sebagai berikut :
9

1. Untuk menilai kinerja (performance) dari manajemen dan berbagai fungsi dalam
perusahaan;
2. Untuk menilai apakah berbagai sumber daya (manusia, mesin, dana, dan harta
lainnya) yang dimiliki perusahaan telah digunakan secara efisien dan ekonomis;
3. Untuk menilai efektivitas perusahaan dalam mencapai tujuan (objective) yang
telah ditetapkan oleh top management;
4. Untuk dapat memberikan rekomendasi kepada top management untuk
memperbaiki

kelemahan-kelemahan

yang

terdapat

dalam

penerapan

pengendalian intern, sistem pengendalian manajemen, dan prosedur operasional


perusahaan dalam rangka meningkatkan efisiensi, keekonomisan dan efektivitas
dari kegiatan operasi perusahaan(h.175).
Adapun manfaat audit operasional yang dikemukakan oleh Muljono (1999)
adalah sebagai berikut :
1. Sebagai alat untuk mengukur kinerja manajemen pada semua tingkat.
2. Sebagai alat untuk menentukan titik-titik yang ada yang menyebabkan rendahnya
kinerja.
3. Sebagai alat untuk melakukan perbaikan-perbaikan yang menyangkut standar
operasional, sistem prosedur kerja dan lain-lain.
4. Untuk mendapatkan kejelasan dan pengertian yang lebih baik mengenai tujuan
pokok dan tanggung jawab atas bidang-bidang kegiatan yang ditelaah dalam
manajemen audit.
5. Memberikan motivasi kepada setiap tingkatan manajemen yang diaudit untuk
dapat meningkatkan performance-nya.

10

6. Mengurangi terjadinya pemborosan (inefficiency) yang tidak perlu dengan


menggunakan standar operasional yang realistis.
7. Mengefektifkan metode-metode operasional manajemen yang baik dalam rangka
meningkatkan performance.
8. Mengefektifkan organisasi baik melalui kejelasan dan perbaikan mengenai
pengaturan tugas, wewenang, dan tanggung jawab masing-masing individu.
9. Sebagai dinamisator dari mekanisme pengawasan yang dilakukan oleh
manajemen (h.45).

II.1.3. Pengertian Efektifitas, Efisiensi dan Ekonomis


Menurut pendapat Bayangkara, IBK (2008), Definisi efektifitas, efisiensi, dan
ekonomis dapat didefinisikan sebagai berikut :
1. Efektifitas diartikan bahwa produk akhir suatu kegiatan operasi telah mencapai
tujuannya baik dari segi kualitas hasil kerja, kuantitas hasil kerja maupun dari
batas waktu yang ditargetkan.
2. Efisiensi adalah bertindak dengan cara yang dapat meminimalisasi kerugian atau
pemborosan sumber daya dalam melaksanakan suatu kegiatan operasi
perusahaan atau menghasilkan suatu produk atau jasa.
3. Ekonomis berarti cara penggunaan suatu barang atau jasa secara berhati-hati dan
bijak agar diperoleh hasil yang terbaik atau memanfaatkan segala kekayaan
perusahaan secara baik, sehingga tidak terjadi suatu pemborosan(h.12).

11

II.1.4. Jenis-jenis Audit Operasional


Menurut Arens, Elder dan Beasley yang diterjemahkan oleh Gaol, F.L.(2007)
Audit operasional dapat dibagi menjadi tiga kategori, yaitu fungsional, organisasional
dan penugasan khusus. Berikut ini uraian dari ketiga kategori tersebut :
1. Audit fungsional
Audit operasional ini dilakukan berdasarkan fungsi-fungsi operasional
perusahaan, misalnya fungsi akuntansi, fungsi pengeluaran kas, penerimaan kas, dan
pengeluaran gaji. Jadi audit fungsional membahas satu atau lebih fungsi dalam
organisasi. Keunggulan audit fungsional adalah memungkinkan adanya spesialisasi oleh
auditor di bidang tertentu, sehingga auditor dapat menggunakan waktunya dengan lebih
efisien untuk memeriksa bidang tersebut. Kekurangan yang mungkin timbul adalah tidak
dievaluasinya fungsi yang saling berkaitan.
2. Audit organisasional
Merupakan audit operasional pada organisasi yang membahas seluruh unit
organisasi seperti bagian, cabang, atau perusahaan anak. Audit organisasional
menekankan seberapa efisiensi dan efektifnya fungsi-fungsi itu berinteraksi. Rencana
organisasi dan metode-metode untuk mengkoordinasikan aktivitas-aktivitas yang ada
sangat penting dalam audit jenis ini.
3. Penugasan khusus
Dalam audit operasional, penugasan khusus timbul atas permintaan manajemen.
Ada banyak variasi audit seperti ini. Contoh-contohnya mencakup penentuan penyebab
tidak efektifnya sistem teknologi informasi, penyelidikan kemungkinan kecurangan
dalam divisi tertentu dan pembuatan rekomendasi untuk mengurangi biaya produksi
suatu barang(h.498-499).
12

II.1.5. Tahap-tahap Audit Operasional


Menurut Agoes, S.(2004), Tahap-tahap dalam suatu audit operasional adalah
sebagai berikut :
1. Tahap survei pendahuluan (preliminary survey)
Survei pendahuluan dilakukan dalam waktu singkat untuk memperoleh informasi
umum dan latar belakang mengenai semua aspek dari kegiatan, program dan sistem yang
dipertimbangkan untuk diperiksa. Tujuannya adalah untuk memperoleh pengetahuan
atau gambaran umum yang memadai mengenai objek pemeriksaan. Dalam tahapan ini,
dilakukan melalui tanya jawab dengan manajemen dan staff perusahaan serta
penggunaan questionnaires.
2. Tahap penelaahan dan pengujian atas sistem pengendalian manajemen
(review&testing of manajemen control system)
Untuk mengevaluasi dan menguji efektivitas dari pengendalian manajemen yang
terdapat di perusahaan biasanya digunakan Internal Control Questionnaires (ICQ),
flowchart dan penjelasan narrative serta dilakukan pengetesan atas beberapa transaksi
(walk through the documents).
3. Tahap pengujian terinci (detail examination)
Pada tahap ini, auditor mengumpulkan seluruh bahan bukti yang cukup
kompeten, material dan relevan untuk dapat menentukan tindakan apa saja yang
dilakukan oleh manajemen dan pegawai perusahaan, yang merupakan penyimpangan.
Dalam hal ini, auditor harus melakukan observasi terhadap kegiatan dari fungsi-fungsi
yang terdapat di perusahaan.
4. Tahap pengembangan laporan (report development)

13

Dalam menyusun laporan pemeriksaan, auditor tidak memberikan opini


mengenai kewajaran laporan keuangan perusahaan. Laporan yang dibuat mirip dengan
management letter, karena berisi audit findings (temuan audit) mengenai penyimpangan
yang terjadi terhadap kriteria (standard) yang berlaku yang menimbulkan inefisiensi,
inefektivitas dan ketidakhematan (pemborosan) dan kelemahan dalam sistem
pengendalian manajemen (management control system) yang terdapat di perusahaan
(h.12).

II.1.6. Keterbatasan Audit Operasional


Salah satu keterbatasan yang dihadapi dalam audit operasional adalah kesulitan
dalam menentukan kriteria untuk mengevaluasi apakah efektifitas dan efisiensi operasi
telah tercapai. Dalam audit laporan keuangan historis, prinsip akuntansi yang berlaku
umum merupakan kriteria luas atas evaluasi penyajian yang wajar. Tujuan audit
digunakan untuk menetapkan kriteria yang lebih spesifik dalam memutuskan apakah
prinsip akuntansi yang berlaku umum telah diikuti. Audit keuangan atau Financial audit
memiliki kriteria Standar Akuntansi Keuangan (SAK) yang dapat dijadikan pedoman
dalam mengevaluasi kewajaran penyajian laporan keuangan, sedangkan audit
operasional tidak memiliki kriteria atau standar yang dapat digunakan sebagai pedoman.
Definisi kriteria atau standar secara umum adalah ukuran mutu minimum yang
harus dipenuhi oleh auditor dalam memberikan jasa profesinya. Adapun salah satu
pendekatan untuk menyusun kriteria atas audit operasional adalah menentukan apakah
beberapa aspek audit entitas itu dapat dibuat lebih efektif atau efisien, dan
merekomendasikan perbaikan-perbaikan. Arens, Elder dan Beasley yang diterjemahkan

14

oleh Gaol, F.L.(2007) mendefinisikan bahwa Terdapat dua macam pendekatan untuk
menyusun kriteria, yang terdiri dari :
1. Kriteria spesifik
Merupakan kriteria yang lebih khusus dan biasanya diperlukan sebelum audit
operasional dimulai.
2. Kriteria sumber
Merupakan sumber yang digunakan dalam rangka menyusun kriteria evaluasi
khusus. Sumber-sumber tersebut mencakup :

Kinerja historis
Merupakan seperangkat kriteria sederhana yang dapat didasarkan pada hasil

audit periode sebelumnya. Gagasan di balik penggunaan kriteria ini adalah


membandingkan apakah yang telah dilakukan menjadi lebih baik atau lebih buruk.

Kinerja yang dapat diperbandingkan


Data kinerja entitas yang dapat diperbandingkan dengan entitas lain merupakan

sumber yang sangat baik untuk menyusun kriteria. Agar entitas intern dapat
diperbandingkan, datanya biasanya sudah tersedia.

Standar rekayasa
Kriteria ini seringkali memakan waktu dan biaya yang besar dalam

penyusunannya karena memerlukan banyak keahlian. Akan tetapi hal ini mungkin
sangat efektif dalam memecahkan masalah operasional yang utama dan biaya yang
dikeluarkan akan lebih kecil daripada manfaat yang didapat.

Diskusi dan kesepakatan

15

Ada kalanya kriteria dapat disusun melalui diskusi dan kesepakatan yang
sederhana. Pihak-pihak yang terlibat dalam proses ini harus meliputi manajemen entitas
yang diperiksa, auditor operasional, dan entitas atau orang-orang yang akan mendapat
laporan tentang temuan-temuan yang didapat(h.502-503).

I.1.7. Temuan Hasil Audit


Kata temuan (finding) diartikan sebagai himpunan informasi-informasi mengenai
kegiatan, organisasi, kondisi atau hal-hal yang lain yang telah dianalisa atau dinilai serta
diperkirakan akan menarik atau berguna untuk pihak yang berwenang. Menurut
Bayangkara, IBK (2008),Penyusunan temuan yang baik harus mencakup :
1. Kondisi (condition)
Merupakan keadaan yang menggambarkan kenyataan yang terjadi di perusahaan.
Audit operasional memerlukan temuan fakta awal dalam tahap pekerjaan lapangan (field
work). Ketika temuan fakta digunakan untuk menyatakan suatu kondisi, auditor perlu
memeriksa dan menguji operasi dan data terkait untuk membuat fakta lebih jelas.
Pernyataan kondisi ini memberikan titik referensi kepada temuan yang berkaitan dengan
kriteria yang ada.
2. Kriteria (criteria)
Adalah ukuran atau standar yang harus diikuti atau kondisi yang seharusnya ada
dan merupakan standar yang harus dipatuhi oleh setiap bagian dalam perusahaan, yang
dapat berupa kebijakan yang telah ditetapkan manajemen, kebijakan perusahaan sejenis
atau kebijakan industri, dan peraturan pemerintah.
3. Sebab (cause)

16

Merupakan tindakan-tindakan yang menyimpang dari standar yang berlaku dan


apa penyebab terjadinya kondisi tersebut di perusahaan serta bagaimana terjadinya.
Temuan audit tidaklah lengkap sampai auditor secara penuh mengidentifikasi penyebab
atau alasan terjadinya penyimpangan dari kriteria. Faktor paling utama dari temuan audit
yaitu menentukan penyebab kelemahan. Penyebab ini adalah alasan mengapa kegiatan
operasi menjadi tidak efisien, efektif dan ekonomis.
4. Akibat (effect)
Merupakan dampak dari tindakan-tindakan yang menyimpang dari standar yang
berlaku. Salah satu tujuan utama dalam melaksanakan audit operasional adalah
mendorong manajemen operasional melakukan tindakan positif untuk mengoreksi
temuan atas kekurangan operasional yang diidentifikasi oleh tim audit.
5. Rekomendasi (recommendation)
Menjelaskan apa yang harus dilakukan untuk mengatasi kelemahan masalah
yang dikemukakan dalam temuan. Rekomendasi haruslah masuk akal diikuti dengan
sebuah penjelasan mengapa kondisi ini terjadi, penyebabnya, dan apa yang harus
dilakukan untuk mencegah berulang hal itu(h.175).

II.2. Pengendalian Intern


II.2.1. Pengertian dan Tujuan Pengendalian Intern
Boynton, Johnson dan Kell yang diterjemahkan oleh Rajoe, P.A, Gania, G, dan
Budi, I.S.(2003) mendefinisikan pengertian pengendalian intern (internal control) adalah
sebagai berikut :

17

Suatu proses, yang dilaksanakan oleh dewan direksi, manajemen, dan personel
lainnya dalam suatu entitas, yang dirancang untuk menyediakan keyakinan yang
memadai berkenaan dengan pencapaian tujuan dalam kategori berikut :
-

Keandalan pelaporan keuangan

Kepatuhan terhadap hukum dan peraturan yang berlaku

Efektivitas dan efisiensi operasi.


Selain itu juga ditekankan bahwa konsep fundamental (fundamental concepts)

pengendalian intern dinyatakan dalam definisi berikut :


-

Pengendalian intern merupakan suatu proses. Ini berarti alat untuk mencapai
suatu akhir, bukan akhir itu sendiri.

Pengendalian intern dilaksanakan oleh orang. Pengendalian intern bukan hanya


suatu manual kebijakan dan formulir-formulir, tetapi orang pada berbagai
tingkatan organisasi, termasuk dewan direksi, manajemen dan personel lainnya.

Pengendalian intern dapat diharapkan untuk menyediakan hanya keyakinan yang


memadai, bukan keyakinan yang mutlak, kepada manajemen dan dewan direksi
suatu entitas karena kerbatasan yang melekat dalam semua sistem pengendalian
intern dan perlunya untuk mempertimbangkan biaya dan manfaat relatif dari
pengadaan pengendalian.

Pengendalian intern diarahkan pada pencapaian tujuan dalam kategori yang


saling tumpang tindih dari pelaporan keuangan, kepatuhan, dan operasioperasi(h.373).
Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa pengendalian intern

erat kaitannya dengan cara/metode, standar, kebijakan dan prosedur yang ditetapkan
perusahaan. Apabila semua hal di atas dibuat dengan teliti dan benar untuk mendukung
18

adanya pengendalian intern yang baik, serta dijalankan sesuai dengan yang telah
ditetapkan, maka tujuan pengendalian intern dapat tercapai, yaitu agar perusahaan dapat
melindungi harta kekayaannya, memperoleh data akuntansi yang handal, meningkatkan
efektivitas dan efisiensi perusahaan, dan agar kebijakan-kebijakan yang ada dalam
perusahaan dipatuhi sebagaimana mestinya.

II.2.2. Unsur-unsur Pengendalian Intern


Boynton, Johnson dan Kell yang diterjemahkan oleh Rajoe, P.A, Gania, G, dan
Budi, I.S.(2003) mengidentifikasi lima komponen pengendalian intern (components of
internal control) yang saling berhubungan, yaitu :
1. Lingkungan pengendalian (control environment) merupakan penetapan suasana
suatu organisasi, yang mempengaruhi kesadaran akan pengendalian dari orangorangnya. Lingkungan pengendalian merupakan fondasi dari semua komponen
pengendalian intern lainnya, yang menyediakan disiplin dan struktur.
2. Penilaian risiko (risk assesment) merupakan pengidentifikasian dan analisis
entitas mengenai risiko yang relevan terhadap pencapaian tujuan entitas, yang
membentuk suatu dasar mengenai bagaimana risiko harus dikelola.
3. Aktivitas pengendalian (control activities) merupakan kebijakan dan prosedur
yang membantu meyakinkan bahwa perintah manajemen telah dilaksanakan.
4. Informasi dan komunikasi (information and communication) merupakan
pengidentifikasian, penangkapan, dan pertukaran informasi dalam suatu bentuk
dan kerangka waktu yang membuat orang mampu melaksanakan tanggung
jawabnya.

19

5.

Pemantauan (monitoring) merupakan suatu proses yang menilai kualitas kinerja


pengendalian intern pada suatu waktu (h.374).

II.2.3. Keterbatasan Pengendalian Intern


Berdasarkan konsep yang dibahas sebelumnya, bahwa pengendalian intern hanya
dapat menyediakan keyakinan yang memadai kepada manajemen dan dewan direksi
berkenaan dengan pencapaian tujuan entitas. Maka Boynton, Johnson dan kell yang
diterjemahkan oleh Rajoe, P.A, Gania, G, dan Budi, I.S.(2003) menjelaskan keterbatasan
yang melekat pada pengendalian intern antara lain sebagai berikut :
1. Kesalahan dalam pertimbangan
Kadang-kadang manajemen dan personel lainnya dapat melakukan pertimbangan
yang buruk dalam membuat keputusan bisnis, karena informasi yang tidak mencukupi,
adanya keterbatasan waktu atau prosedur lainnya.
2. Kemacetan
Kemacetan dalam melaksanakan pengendalian dapat terjadi ketika personel salah
memahami instruksi atau membuat kekeliruan akibat kecerobohan, kebingungan atau
kelelahan.
3. Kolusi
Karyawan yang melaksanakan suatu pengendalian penting bertindak bersama
dengan karyawan lain, konsumen atau pemasok, dapat melakukan sekaligus menutupi
kecurangan sehingga tidak dapat dideteksi oleh pengendalian intern.
4. Penolakan manajemen

20

Manajemen dapat mengesampingkan kebijakan atau prosedur tertulis untuk


tujuan tidak sah, seperti keuntungan pribadi atau presentasi mengenai kondisi keuangan
suatu entitas yang dinaikkan.
5. Biaya versus manfaat
Biaya pengendalian intern suatu entitas seharusnya tidak melebihi manfaat yang
diharapkan untuk diperoleh (h.376).

II.2.4. Keterkaitan antara Sistem Pengendalian Intern dengan Audit Operasional


Manajemen perusahaan menerapkan sistem pengendalian intern agar mencapai
kinerja yang efektif dan efisien. Evaluasi secara periodik dan kontinu atas pengendalian
intern adalah alat manajemen untuk meyakinkan bahwa pengendalian intern yang
diterapkan efektif dan diperoleh perbaikan-perbaikan atas kekurangan yang ada. Salah
satu alat evaluasi itu adalah audit operasional.
Audit

operasional

mengevaluasi

setiap

pengendalian

(control)

yang

mempengaruhi efektivitas dan efisiensi perusahaan. Oleh karena itu, pengendalian intern
termasuk dalam ruang lingkup audit operasional. Hasil audit operasional itu sendiri
berupa rekomendasi perbaikan- perbaikan atas kekurangan atau kelemahan dari sistem
pengendalian intern yang ada. Audit operasional akan mengevaluasi serta memberikan
rekomendasi perbaikan terhadap sistem pengendalian intern perusahaan.
Bagian penjualan sebagai ujung tombak perolehan pendapatan perusahaan harus
mendapat perhatian khusus dengan audit operasional yang periodik dan kontinu. Audit
operasional yang dilakukan adalah audit terhadap sistem dan prosedur penjualan,
piutang usaha, dan penagihan piutang usaha. Penting juga dilakukan audit terhadap
perlakuan akuntansi atas transaksi terkait.
21

Audit operasional atas fungsi penjualan diawali dengan pemeriksaan terhadap


sistem dan prosedur penjualan. Tujuannya untuk menilai apakah sistem dan prosedur
tersebut telah berjalan dengan baik. Setelah itu diarahkan kepada ketaatan akan
kebijakan manajemen, misalnya untuk persetujuan atas penjualan kredit, apakah telah
mendapat otorisasi dari pihak yang berwenang dan telah dilaksanakan sesuai dengan
kebijakan perusahaan. Selanjutnya yang diaudit adalah prosedur atas pembuatan surat
jalan dan faktur penjualan, serta prosedur atas pengiriman barang.
Audit operasional atas pengelolaan piutang usaha dilihat apakah piutang yang
jatuh tempo telah dapat ditagih. Pemeriksaan yang dilakukan terhadap piutang usaha
adalah dilakukannya pencatatan terhadap piutang yang timbul dari transaksi penjualan
kredit, serta bagaimana proses penagihan piutang usaha itu dilakukan. Oleh karena itu
harus dilaksanakan pemeriksaan atas pengendalian intern terhadap fungsi penerimaan
penagihan piutang.

II.3. Fungsi Penjualan dan Pengelolaan Piutang Usaha


II.3.1. Pengertian penjualan
Mulyadi (2001) mendefinisikan,Penjualan adalah rangkaian transaksi penjualan
barang atau jasa baik secara kredit maupun secara tunai. Penjualan merupakan proses
berpindah suatu hak atas barang atau jasa untuk mendapatkan sumber daya lainnya
seperti

kas

atau

janji

untuk

membayar

atau

piutang(h.202).

IAI

(2004)

menulis,Pendapatan adalah arus masuk bruto dari manfaat ekonomi yang timbul dari
aktivitas normal perusahaan selama suatu periode bila arus masuk itu mengakibatkan
kenaikan ekuitas, yang tidak berasal dari kontribusi penanam modal.

22

Mulyadi (2001) juga menyatakan, Penjualan kredit dilaksanakan oleh


perusahaan dengan cara mengirimkan barang sesuai order yang diterima dari pembeli
dan untuk jangka waktu tertentu perusahaan mempunyai tagihan kepada pembeli
tersebut untuk menghindari tidak tertagihnya piutang. Setiap penjualan kredit yang
pertama kepada pembeli selalu dengan evaluasi terhadap atau tidaknya pembeli tersebut
diberi kredit(h.202). Sedangkan penjualan tunai dilaksanakan oleh perusahaan dengan
cara mewajibkan pembeli melakukan pembayaran harga barang terlebih dahulu sebelum
barang tersebut diserahkan oleh perusahaan, barang kemudian dicatat oleh perusahaan.
Fungsi yang terkait dalam sistem penjualan, terutama penjualan kredit adalah :
a. Fungsi kredit
Dalam transaksi penjualan secara kredit, fungsi ini bertanggung jawab atas
pemberian kredit kepada pelanggan yang meminta persetujuan kredit.
b. Fungsi penjualan
Dalam sistem penjualan, fungsi ini bertangggung jawab melayani kebutuhan
pelanggan. Fungsi ini mengisi faktur penjualan untuk memungkinkan fungsi gudang dan
fungsi pengiriman melaksanakan penyerahan barang kepada pelanggan.
c. Fungsi gudang
Fungsi ini menyediakan barang yang diperlukan oleh pelanggan sesuai dengan
yang tercantum dalam tembusan faktur penjualan.
d. Fungsi pengiriman
Fungsi ini bertanggung jawab menyerahkan barang yang kuantitas, mutu, dan
spesifikasinya sesuai dengan yang tercantum dalam tembusan faktur penjualan yang
diterima dari fungsi penjualan.
e. Fungsi akuntansi
23

Fungsi ini bertanggung jawab untuk mencatat transaksi bertambahnya piutang


kepada pelanggan ke dalam kartu piutang berdasarkan faktur penjualan yang diterima
dari fungsi pengiriman.
f. Fungsi penagihan
Fungsi ini bertanggung jawab untuk membuat surat tagihan secara periodik
kepada pelanggan (h.204).

II.3.2. Dokumen Transaksi Penjualan Kredit


Menurut Boynton, Johnson dan Kell yang diterjemahkan oleh Rajoe, P.A, Gania,
G, dan Budi, I.S.(2003), menyatakan bahwa Sejumlah dokumen dan catatan yang
digunakan oleh perusahaan dalam pemrosesan transaksi penjualan kredit seringkali
mencakup hal-hal berikut :
a. Pesanan pelanggan
Pesanan ini dapat berupa formulir yang disiapkan oleh penjual atau formulir
pesanan pembelian yang dibuat oleh pembeli.
b. Pesanan penjualan
Pesanan ini berfungsi sebagai dasar dimulainya transaksi dan pemrosesan
internal atas pesanan pelanggan oleh penjual.
c. Dokumen pengiriman
Formulir yang digunakan untuk menunjukkan rincian dan tanggal setiap
pengiriman. Dokumen ini dapat berupa bill of lading, yang berfungsi sebagai
pemberitahun formal atas penerimaan barang yang dikirimkan oleh kurir.
d. Faktur penjualan

24

Formulir yang menyatakan persyaratan tertentu, termasuk jumlah yang terutang,


syarat, dan tanggal penjualan. Formulir ini digunakan untuk menagih pelanggan dan
memberikan dasar untuk mencatat penjualan.
e. Daftar harga yang diotorisasi
Daftar atau file induk komputer yang berisi harga barang-barang yang diotorisasi
yang ditawarkan untuk dijual.
f. File transaksi penjualan
File ini digunakan untuk mencetak faktur penjualan serta jurnal penjualan, dan
memperbarui file induk piutang usaha, persediaan, serta buku besar.
g. Jurnal penjualan
Daftar jurnal dari transaksi penjualan yang telah diselesaikan.
h. File induk pelanggan
File yang berisi informasi tentang pengiriman dan penagihan pelanggan serta
batas kredit pelanggan.
i. File induk piutang usaha
File yang berisi informasi tentang transaksi dan saldo dari setiap pelanggan. File
ini berfungsi sebagai dasar untuk menyusun buku pembantu piutang usaha.
j. Laporan bulanan pelanggan
Laporan yang dikirimkan ke setiap pelanggan yang menunjukkan saldo awal,
transaksi selama bulan berjalan, dan saldo akhir(h.21).

II.3.3. Tujuan Audit Operasional atas Fungsi Penjualan


Menurut Arens dan Loebbecke yang diterjemahkan oleh Jusuf, A.A.(2003)
menyatakan, Tujuan pemeriksaan atas penjualan yaitu :
25

1. Penjualan yang tercatat adalah untuk pengiriman aktual yang dilakukan kepada
pelanggan.
2. Penjualan yang ada telah dicatat
3. Penjualan yang tercatat adalah untuk jumlah barang yang dikirim dan ditagih
serta dicatat dengan benar.
4. Transaksi penjualan diklasifikasikan dengan pantas.
5. Penjualan dicatat dengan waktu yang tepat.
6. Transaksi penjualan dimasukkan dengan pantas dalam berkas induk dan
diikhtisarkan dengan benar(h.379).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh penulis, dapat disimpulkan bahwa
tujuan dari audit operasional atas fungsi penjualan adalah :
1. Untuk mengetahui kememadaian pelaksanaan pengendalian intern atas aktivitas
penjualan.
2. Untuk mengetahui pelaksanaan pengendalian internal atas fungsi penjualan
apakah telah dilaksanakan secara efektif.
3. Untuk mengetahui manfaat audit operasional yang telah dilaksanakan terhadap
aktivitas penjualan dalam menunjang efektivitas pengendalian internal pada PT.
Bens Trans Cool, Jakarta Barat.

II.3.4. Pengertian Piutang Usaha


Definisi piutang secara umum adalah klaim kepada pihak lain atas uang, barang
atau jasa, yang dapat diterima dalam jangka waktu satu tahun, atau dalam satu siklus
kegiatan perusahaan. Menurut Mulyadi (2002), piutang umumnya disajikan di neraca
dalam dua kelompok yang terdiri dari :
26

1. Piutang usaha.
Merupakan piutang yang timbul dari transaksi penjualan barang atau jasa dalam
kegiatan normal perusahaan. Piutang usaha ini umumnya merupakan jumlah yang
material di neraca bila dibandingkan dengan piutang non usaha.
2. Piutang non usaha.
Merupakan piutang yang timbul dari transaksi selain penjualan barang dan jasa
kepada pihak luar, seperti misalnya piutang kepada karyawan, piutang penjualan saham,
piutang klaim asuransi, piutang pengembalian pajak, piutang deviden dan bunga (h.87).
Menurut Agoes, S. (2004), Contoh dari perkiran-perkiraan yang biasanya
digolongkan sebagai piutang antara lain :
-

Piutang dagang

Wesel tagih

Piutang pegawai

Piutang bunga

Uang muka

Refundable deposit (uang jaminan)

Piutang lain-lain

Allowance for bad debts(h.183).


Mulyadi (2002) menyatakan Prinsip akuntansi berterima umum dalam

penyajian piutang usaha di neraca adalah sebagai berikut :


1. Piutang usaha harus disajikan di neraca sebesar jumlah yang diperkirakan dapat
ditagih dari debitur pada tanggal neraca. Piutang usaha disajikan di neraca dalam
jumlah bruto dikurangi dengan taksiran kerugian tidak tertagihnya piutang.

27

2. Jika perusahaan tidak membentuk cadangan kerugian piutang usaha, harus


dicantumkan pengungkapannya di neraca bahwa saldo piutang usaha tersebut
adalah jumlah bersih (neto).
3. Jika piutang usaha bersaldo material pada tanggal neraca, harus disajikan
rinciannya di neraca.
4. Piutang usaha yang bersaldo kredit (terdapat di dalam kartu piutang) pada
tanggal neraca harus disajikan dalam kelompok utang lancar.
5. Jika jumlahnya material, piutang non usaha harus disajikan terpisah dari piutang
usaha(h.88).

II.3.5. Tujuan Audit Operasional atas Pengelolaan Piutang Usaha


Mulyadi (2002) mengungkapkan bahwa Tujuan audit operasional terhadap
pengelolaan piutang usaha antara lain :
1. Untuk memperoleh keyakinan tentang keandalan catatan akuntansi yang
bersangkutan dengan piutang usaha.
2.

Untuk membuktikan keberadaan piutang usaha dan keterjadian transaksi yang


berkaitan dengan piutang usaha yang dicantumkan di neraca.

3. Untuk membuktikan kelengkapan transaksi yang dicatat dalam catatan akuntansi


dan kelengkapan saldo piutang usaha yang disajikan dalam neraca.
4. Untuk membuktikan hak kepemilikan klien atas piutang usaha yang dicantumkan
di neraca.
5. Untuk membuktikan kewajaran penilaian piutang usaha yang dicantumkan di
neraca.

28

6. Untuk membuktikan kewajaran penyajian dan pengungkapan piutang usaha di


neraca(h.89).
Agoes, S. (2004) juga menyatakan, Tujuan pemeriksaan atas piutang antara lain
adalah :
1. Untuk mengetahui apakah terdapat pengendalian intern yang baik atas piutang
dan transaksi penjualan.
2. Untuk memeriksa validity (keabsahan) dan authenticity daripada piutang.
3. Untuk memeriksa collectibility (kemungkinan tertagihnya) piutang dan cukup
tidaknya perkiraan allowance for bad debts (penyisihan piutang tak teragih).
4. Untuk mengetahui apakah ada kewajiban bersyarat (contigent liability) yang
timbul karena pendiskontoan wesel tagih (notes receivable).
5. Untuk memeriksa apakah penyajian piutang di neraca sesuai dengan prinsip
akuntansi berterima umum (standar akuntansi keuangan)(h.183).

29

Anda mungkin juga menyukai