Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Anemia defisiensi besi merupakan salah satu masalah kesehatan pada anak Indonesia
yang perlu mendapat perhatian khusus karena tidak saja berdampak untuk saat ini tetapi juga
masa mendatang. Kekurangan besi pada masa anak terutama pada 5 tahun pertama kehidupan
dapat berdampak negatif terhadap kualitas hidup anak.1,2
Setiap kelompok usia anak rentan terhadap defisiensi besi (DB). Kelompok usia yang
paling tinggi mengalami DB adalah usia balita (0-5 tahun) sehingga kelompok usia ini menjadi
prioritas pencegahan DB. Kekurangan besi dengan atau tanpa anemia, terutama yang
berlangsung lama dan terjadi pada usia 0-2 tahun dapat mengganggu tumbuh kembang anak,
antara lain menimbulkan defek pada mekanisme pertahanan tubuh dan gangguan pada
perkembangan otak yang berdampak negatif terhadap kualitas sumber daya manusia pada masa
mendatang. 1,2
Prevalensi anemia defisiensi besi (ADB) pada anak balita di Indonesia sekitar 40-45%.
Data SKRT tahun 2007 menunjukkan prevalensi ADB pada anak balita di Indonesia sekitar 4045%. Penelitian kohort terhadap 211 bayi berusia 0 bulan selama 6 bulan dan 12 bulan
didapatkan insidens ADB sebesar 40,8% dan 47,4%. Pada usia balita, prevalens tertinggi DB
umumnya terjadi pada tahun kedua kehidupan akibat rendahnya asupan besi melalui diet dan
pertumbuhan yang cepat pada tahun pertama. Angka kejadian DB lebih tinggi pada usia bayi,
terutama pada bayi prematur (sekitar 25-85%) dan bayi yang mengonsumsi ASI secara eksklusif
tanpa suplementasi. Rekomendasi terbaru menyatakan suplementasi besi sebaiknya diberikan
mulai usia 4-8 minggu dan dilanjutkan sampai usia 12-15 bulan, dengan dosis tunggal 2-4
mg/kg/hari tanpa melihat usia gestasi dan berat lahir. Remaja perempuan perlu mendapat
perhatian khusus karena mengalami menstruasi dan merupakan calon ibu. Ibu hamil dengan
anemia mempunyai risiko 3 kali lipat melahirkan bayi anemia, 2 kali lipat melahirkan bayi
prematur, dan 3 kali lipat melahirkan bayi berat lahir rendah sehingga suplementasi besi harus
diberikan pada remaja perempuan sejak sebelum hamil. Melihat permasalahan yang sudah
dipaparkan disebelumnya maka melalui makalah ini akan dijelaskan tentang anemia defisiensi
1

besi pada anak mulai dari definisi sampai penatalaksanaan dan bagaimana cara membedakannya
dengan anemia jenis lain. 1,2
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Mengetahui tentang anemia defisiensi besi pada anak
1.2.2 Tujuan Khusus
a)
b)
c)
d)
e)
f)

Mengetahui pengertian dari anemia defisiensi besi


Mengetahui etiologi dari anemia defisiensi besi
Mengetahui gejala-gejala klinis dari anemia defisiensi besi
Mengetahui patofisisiolgi anemia defisiensi besi
Mengetahui tatalakasana dan pencegahan dari anemia defisiensi besi
Mengetahui cara membedakan anemia defisiensi besi dengan anemia jenis lainnya

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi
Defisiensi besi didefinisikan sebagai penurunan total zat besi dalam tubuh. Anemia
defisiensi zat besi terjadi ketika terdapat defisiensi besi secara masif sehingga menekan
pembentukkan sel darah merah. WHO mendefinisikan anemia sebagai konsentrasi hemoglobin
dibawah 2 standar deviasi dibawah konsentrasi Hb rata-rata pada populasi normal dengan umur
dan jenis kelamin yang sama. Anemia defisiensi besi adalah anemia kronis yang paling sering
terjadi. Defisiensi besi dapat terjadi karena kehilangan berlebihan besi maupun penurunan
penyerapan besi. Secara umum, besi yang perlu diserap setiap hari jumlahnya harus sama dengan
jumlah yang dibutuhkan untuk mengkompensasi kehilangan besi. Keseimbangan yang baik ini
mudah rusak, karena kemampuan untuk menyerap zat besi secara oral terbatas. Ketika input
kurang dari yang diperlukan atau ketika output meningkat dan tidak dapat dikompensasikan,
defisiensi besi atau anemia defisiensi besi dapat terjadi.
Anemia akibat kekurangan zat besi sebagai bahan sintesis hemoglobin adalah penyakit
hematologi yang paling umum dari masa bayi dan masa kanak-kanak. Diperkirakan bahwa 30%
dari populasi global menderita anemia defisiensi besi. sebagian besar anemia defisiensi besi
terjadi di negara berkembang.
Remaja juga rentan terhadap kekurangan zat besi karena persyaratan tinggi karena
lonjakan pertumbuhan, kekurangan makanan, dan kehilangan darah haid. Di Amerika Serikat,
sekitar 9% dari anak-anak berusia 1 sampai 2 tahun kekurangan zat besi; 3% mengalami anemia.
Dari remaja perempuan, 9% kekurangan zat besi dan 2% mengalami anemia.
Frekuensi anemia defisiensi zat besi berhubungan dengan aspek-aspek dasar tertentu
metabolisme besi dan nutrisi. Untuk menjaga keseimbangan besi yang positif di masa kecil,
sekitar 1 mg besi harus diserap setiap hari. Tubuh bayi yang baru lahir mengandung sekitar 0,5 g
besi, sedangkan orang dewasa rata-rata 5 g. Tubuh bayi harus menyerap rata-rata 0,8 mg besi
setiap hari selama 15 tahun pertama kehidupan agar dapat mencapai total besi dalam tubuh orang

dewasa. Selain itu, sejumlah kecil besi juga diperlukan untuk menyeimbangkan kehilangan besi
yang terjadi.

2.2 Etiologi dan Faktor risiko


Diet besi 8-10 mg setiap harinya diperlukan untuk gizi yang optimal. Penyerapan besi
dalam proksimal usus kecil dibantu oleh berbagai protein dari duodenum. Besi pada ASI diserap
2 sampai 3 kali lebih efisien dibandingkan dengan susu sapi. Pada tahun-tahun pertama
kehidupan, sering sulit untuk mencapai konsumsi zat besi yang memadai karena jumlah makanan
kaya zat besi yang relatif sedikit. Karena itu, fortifikasi besi dalam makanan bayi dibutuhkan
untuk mencapai kebutuhan besi. Pemberian susu formula 7-12 mg Fe / L untuk bayi cukup bulan
dan 15 mg Fe / L untuk bayi <1.800 g saat lahir efektif dalam mengurangi anemia defisiensi besi.
Bayi yang diberi ASI eksklusif dianjurkan untuk menerima suplementasi zat besi dari usia 4
bulan.
Berat lahir rendah dan perdarahan patologis perinatal merupakan faktor risiko penurunan
massa hemoglobin dan cadangan besi tubuh neonatal. Konsentrasi hemoglobin yang tinggi pada
bayi baru lahir akan berkurang selama pertama 2-3 bulan kehidupan, sehingga cukup banyak besi
yang dipertahankan dan disimpan. Cadangan besi tubuh ini biasanya cukup untuk pembentukan
darah dalam pertama 6-9 bukan kehidupan pada bayi cukup bulan. Pada bayi dengan berat badan
rendah atau mereka yang kehilangan darah perinatal, besi yang disimpan dapat habis lebih awal,
sehingga sumber makanan yang mengandung besi tinggi menjadi sangat penting. Pada bayi
cukup bulan, anemia defisiensi besi biasanya terjadi pada 9-24 bulan. Pola diet susu sapi dalam
jumlah besar yang lama (> 24 oz / hari) atau makanan yang rendah zat besi merupakan faktor
risiko terjadinya anemia defisiensi besi. Kehilangan darah juga adalah salah satu penyebab kasus
anemia defisiensi besi, terutama pada anak yang lebih tua. Anemia defisiensi besi kronis dari
perdarahan okultisme dapat disebabkan oleh lesi pada saluran pencernaan, seperti kolitis susu
imflamasi oleh protein, ulkus peptikum, divertikulum Meckel, polip, atau hemangioma, atau
dengan penyakit inflamasi usus. Di beberapa daerah geografis, infestasi cacing tambang
merupakan penyebab penting kekurangan zat besi; di lain hal ini terkait dengan infeksi
Helicobacter pylori. Hemosiderosis paru mempunyai dengan perdarahan di paru-paru dan
4

defisiensi besi berulang walaupun dengan pengobatan dengan besi. Diare kronis pada anak usia
dini dapat berhubungan dengan kehilangan darah occult. Beberapa bayi di Amerika Serikat
mengalami defisiensi zat besi parah disebabkan oleh kehilangan darah usus kronis yang
disebabkan paparan protein dalam susu sapi. Kehilangan darah dalam tinja setiap hari dapat
dicegah baik dengan mengurangi kuantitas susu sapi untuk <=1 pint / 24 jam, dengan
menggunakan susu dipanaskan atau menguap, atau dengan memberi makan pengganti susu.
Reaksi gastrointestinal ini tidak berhubungan dengan kelainan enzimatik di mukosa, seperti
defisiensi laktase, atau alergi susu khas.

2.3 Manifestasi Klinis


Tanda yang paling penting dari kekurangan zat besi adalah muka pucat. Dalam
kekurangan zat besi ringan sampai sedang (yaitu, tingkat hemoglobin dari 6-10 g / dL),
mekanisme kompensasi, termasuk peningkatan kadar 2,3-diphosphoglycerate (2,3-DPG) dan
pergeseran kurva disosiasi oksigen. Pagophagia, yaitu keinginan untuk menelan zat yang tidak
biasa seperti es atau kotoran dapat terjadi pada anemia defisiensi besi. Pada beberapa anak,
mengkonsumsi zat timbal yang mengandung dapat menyebabkan plumbisme. Ketika tingkat
hemoglobin turun sampai <5 g / dL, gejala yang muncul adalah perasaan mudah marah dan
anoreksia. Takikardia dan pelebaran jantung terjadi, dan murmur sistolik sering ditemukan.
Anak-anak dengan anemia defisiensi besi dapat menjadi gemuk atau mungkin kurus, dengan
bukti lain dari gizi buruk. Iritabilitas dan anoreksia karakteristik kasus lanjut mungkin
mencerminkan kekurangan zat besi jaringan, karena terapi besi sering menghasilkan peningkatan
mencolok dalam perilaku sebelum perbaikan hematologi signifikan dicatat. Kekurangan zat besi
dapat memiliki efek pada neurologis dan fungsi intelektual. Anemia defisiensi besi, dan
defisiensi zat besi tanpa anemia bahkan signifikan, mempengaruhi rentang perhatian,
kewaspadaan, dan belajar di kedua bayi dan remaja. Gadis remaja dengan kadar feritin serum
kurang dari 12 ng / L tetapi tanpa anemia telah menunjukkan peningkatan pembelajaran verbal
dan memori setelah mengambil besi selama 8 minggu.
Pada kekurangan zat besi progresif, terjadi peristiwa biokimia dan hematologi. Pertama,
jaringan cadangan besi dalam sumsum tulang hemosiderin menghilang. Tingkat feritin serum,
5

protein besi-storage, memberikan perkiraan yang relatif akurat dari toko besi tubuh tanpa adanya
penyakit radang. Rentang normal tergantung usia, dan penurunan kadar menemani kekurangan
zat besi. Selanjutnya, tingkat zat besi serum menurun (juga usia-dependent), kapasitas pengikat
besi serum (serum transferrin) meningkat, dan saturasi persen (kejenuhan transferrin) turun di
bawah normal. Ketika ketersediaan besi menjadi tingkat-membatasi untuk sintesis hemoglobin,
eritrosit protoporphyrins gratis (FEP) menumpuk. Sebagai kekurangan berlangsung, sel-sel darah
merah (sel darah merah) menjadi lebih kecil dari biasanya, dan kadar hemoglobin mereka
menurun. Karakteristik morfologi sel darah merah yang terbaik diukur oleh penentuan rata-rata
hemoglobin corpuscular (MCH) dan rata-rata volume cor-puscular (MCV). Perubahan
perkembangan di MCV memerlukan penggunaan standar yang berkaitan dengan usia untuk
diagnosis microcytosis (lihat Tabel 447-1). Dengan kekurangan meningkat, sel darah merah
menjadi cacat dan cacat dan sekarang microcytosis karakteristik, hipokromia, poikilocytosis, dan
peningkatan lebar distribusi RBC (RDW). Persentase retikulosit mungkin normal atau cukup
tinggi, namun jumlah retikulosit absolut menunjukkan respon cukup untuk anemia. Berinti sel
darah merah sesekali terlihat dalam darah perifer jika anemia parah. Jumlah sel darah putih
normal. Kadang-kadang ada trombositosis mencolok (600,000-1 juta / mm3). Trombositosis
diyakini disebabkan oleh peningkatan eritropoietin, yang dikenal memiliki beberapa homologi
struktural dengan thrombopoietin. Anemia defisiensi besi sangat parah kadang-kadang dapat
berhubungan dengan trombositopenia, dan ini dapat membingungkan diagnosis dengan
gangguan kegagalan sumsum tulang. Sumsum tulang hiperseluler, dengan hiperplasia eritroid.
Para normoblasts mungkin memiliki sedikit, terfragmentasi sitoplasma dengan hemoglobination
miskin. Leukosit dan megakaryocytes normal. Tidak ada besi stainable dalam sel sumsum
retikulum. Pada sekitar kasus, darah samar dapat dideteksi dalam tinja.
2.3 patofisiologi
2.3.1. Pembentukan Hemoglobin
Sel darah merah manusia dibuat dalam sumsum tulang. Dalam keadaan biasa (tidak ada
anemi, tak ada infeksi, tak ada penyakit sumsum tulang), sumsum tulang memproduksi 500 x
109 sel dalam 24 jam. Hb merupakan unsur terpenting dalam plasma eritrosit.(37,38) Molekul
Hb terdiri dari globin, protoporfirin dan besi (Fe). Globin dibentuk sekitar ribosom sedangkan
protoporfirin dibentuk sekitar mitokondria. Besi didapat dari transferin. Dalam keadaan normal
6

20% dari sel sumsum tulang yang berinti adalah sel berinti pembentuk eritrosit. Sel berinti
pembentuk eritrosit ini biasanya tampak berkelompok-kelompok dan biasanya tidak masuk ke
dalam sinusoid. Pada permulaan sel eritrosit berinti terdapat reseptor transferin. Gangguan dalam
pengikatan besi untuk membentuk Hb akan mengakibatkan terbentuknya eritrosit dengan
sitoplasma yang kecil (mikrositer) dan kurang mengandung Hb di dalamnya (hipokrom). Tidak
berhasilnya sitoplasma sel eritrosit berinti mengikat Fe untuk pembentukan Hb dapat disebabkan
oleh rendahnya kadar Fe dalam darah. Hal ini dapat disebabkan oleh kurang gizi, gangguan
absorbsi Fe (terutama dalam lambung), kebutuhan besi yang meningkat akan besi (kehamilan,
perdarahan dan dalam masa pertumbuhan anak). Sehingga menyebabkan rendahnya kadar
transferin dalam darah. Hal ini dapat dimengerti karena sel eritrosit berinti maupun retikulosit
hanya memiliki reseptor transferin bukan reseptor Fe.
2.3.2. Metabolisme Besi
Pengangkutan besi dari rongga usus hingga menjadi transferrin merupakan suatu ikatan
besi dan protein di dalam darah yang terjadi dalam beberapa tingkatan. Besi dalam makanan
terikat pada molekul lain yang lebih besar di dalam lambung besi akan dibebaskan menjadi ion
feri oleh pengaruh asam lambung (HCl). Di dalam usus halus, ion feri diubah menjadi ion fero
oleh pengaruh alkali. Ion fero inilah yang kemudian diabsorpsi oleh sel mukosa usus. Sebagian
akan disimpan sebagai persenyawaan feritin dan sebagian lagi masuk ke peredaran darah yang
berikatan dengan protein, disebut transferin. Selanjutnya transferin ini dipergunakan untuk
sintesis hemoglobin.
2.3.3 Tingkatan Defisiensi Besi
Anemia defisiensi besi merupakan kondisi dimana terdapat anemia dan bukti yang jelas
dari kurangnya besi. Progresi dari anemia defisiensi besi dibagi dalam 3 tingkatan. Tingkat
pertama adalah keseimbangan negatif besi, dimana kebutuhan untuk besi melebihi kebutuhan
tubuh untuk mengabsorbsi besi dari diet. Tingkatan ini dihasilkan dari beberapa keadaan
fisiologis, termasuk perdarahan, kehamilan, diet besi yang tidak adekuat.
Ketika cadangan besi habis, besi serum mulai menurun. Sedikit demi sedikit, TIBC
meningkat, begitu juga level sel merah protoporphyrin. Dengan definisi cadangan besi sumsum
tulang tidak ditemukan ketika level serum ferritin < 15g/L. Selama iron serum dalam batas
7

normal, sintesa hemoglobin tidak dipengaruhi kecuali kurangnya cadangan besi. Bila saturasi
transferin jatuh menjadi 15-20 %, sintesa hemoglobin menjadi terganggu. Periode ini dinamakan
eritopoiesis defisiensi besi. Perlahan-lahan, hemoglobin dan hematokrit menurun, mencerminkan
anemia defisiensi besi. Saturasi transferin pada titik ini adalah 10-15%. Ketika dijumpai anemia
sedang (hemoglobin 10-13g/dl), sumsum tulang tetap hipoproliferatif. Dengan anemia yang lebih
berat (hemoglobin 7-8 g/dl), hipokrom dan mikrositosis menjadi menonjol
2.4 Manifestasi Klinis
Tanda yang paling penting dari kekurangan zat besi adalah muka pucat. Dalam
kekurangan zat besi ringan sampai sedang (yaitu, tingkat hemoglobin dari 6-10 g / dL),
mekanisme kompensasi, termasuk peningkatan kadar 2,3-diphosphoglycerate (2,3-DPG) dan
pergeseran kurva disosiasi oksigen. Pagophagia, yaitu keinginan untuk menelan zat yang tidak
biasa seperti es atau kotoran dapat terjadi pada anemia defisiensi besi. Pada beberapa anak,
mengkonsumsi zat timbal yang mengandung dapat menyebabkan plumbisme. Ketika tingkat
hemoglobin turun sampai <5 g / dL, gejala yang muncul adalah perasaan mudah marah dan
anoreksia. Takikardia dan pelebaran jantung terjadi, dan murmur sistolik sering ditemukan.
Anak-anak dengan anemia defisiensi besi dapat menjadi gemuk atau mungkin kurus, dengan
bukti lain dari gizi buruk. Iritabilitas dan anoreksia karakteristik kasus lanjut mungkin
mencerminkan kekurangan zat besi jaringan, karena terapi besi sering menghasilkan peningkatan
mencolok dalam perilaku sebelum perbaikan hematologi signifikan dicatat. Kekurangan zat besi
dapat memiliki efek pada neurologis dan fungsi intelektual. Anemia defisiensi besi, dan
defisiensi zat besi tanpa anemia bahkan signifikan, mempengaruhi rentang perhatian,
kewaspadaan, dan belajar di kedua bayi dan remaja. Gadis remaja dengan kadar feritin serum
kurang dari 12 ng / L tetapi tanpa anemia telah menunjukkan peningkatan pembelajaran verbal
dan memori setelah mengambil besi selama 8 minggu.
Pada kekurangan zat besi progresif, terjadi peristiwa biokimia dan hematologi. Pertama, jaringan
cadangan besi dalam sumsum tulang hemosiderin menghilang. Tingkat feritin serum, protein
besi-storage, memberikan perkiraan yang relatif akurat dari toko besi tubuh tanpa adanya
penyakit radang. Rentang normal tergantung usia, dan penurunan kadar menemani kekurangan
zat besi. Selanjutnya, tingkat zat besi serum menurun (juga usia-dependent), kapasitas pengikat
besi serum (serum transferrin) meningkat, dan saturasi persen (kejenuhan transferrin) turun di
8

bawah normal. Ketika ketersediaan besi menjadi tingkat-membatasi untuk sintesis hemoglobin,
eritrosit protoporphyrins gratis (FEP) menumpuk. Sebagai kekurangan berlangsung, sel-sel darah
merah (sel darah merah) menjadi lebih kecil dari biasanya, dan kadar hemoglobin mereka
menurun. Karakteristik morfologi sel darah merah yang terbaik diukur oleh penentuan rata-rata
hemoglobin corpuscular (MCH) dan rata-rata volume cor-puscular (MCV). Perubahan
perkembangan di MCV memerlukan penggunaan standar yang berkaitan dengan usia untuk
diagnosis microcytosis (lihat Tabel 447-1). Dengan kekurangan meningkat, sel darah merah
menjadi cacat dan cacat dan sekarang microcytosis karakteristik, hipokromia, poikilocytosis, dan
peningkatan lebar distribusi RBC (RDW). Persentase retikulosit mungkin normal atau cukup
tinggi, namun jumlah retikulosit absolut menunjukkan respon cukup untuk anemia. Berinti sel
darah merah sesekali terlihat dalam darah perifer jika anemia parah. Jumlah sel darah putih
normal. Kadang-kadang ada trombositosis mencolok (600,000-1 juta / mm3). Trombositosis
diyakini disebabkan oleh peningkatan eritropoietin, yang dikenal memiliki beberapa homologi
struktural dengan thrombopoietin. Anemia defisiensi besi sangat parah kadang-kadang dapat
berhubungan dengan trombositopenia, dan ini dapat membingungkan diagnosis dengan
gangguan kegagalan sumsum tulang. Sumsum tulang hiperseluler, dengan hiperplasia eritroid.
Para normoblasts mungkin memiliki sedikit, terfragmentasi sitoplasma dengan hemoglobination
miskin. Leukosit dan megakaryocytes normal. Tidak ada besi stainable dalam sel sumsum
retikulum. Pada sekitar kasus, darah samar dapat dideteksi dalam tinja.
2.5 Diagnosis
Diagnosis anemia defisiensi besi ditegakkan berdasarkan hasil temuan dari anamnesis,
pemeriksaan fisik dan laboratorium yang dapat mendukung sehubungan dengan gejala klinis
yang sering tidak khas. Pada pemeriksaan fisik hanya ditemukan pucat tanpa tanda-tanda
perdarahan

(petekie,

ekimosis,

atau

hematoma)

maupun

hepatomegali.

Pemeriksaan

laboratorium menunjukkan kadar hemoglobin yang rendah. Jumlah leukosit, hitung jenis, dan
trombosit normal, kecuali apabila disertai infeksi. Diagnosis pasti ditegakkan melalui
pemeriksaan kadar besi atau feritin serum yang rendah dan pewarnaan besi jaringan sumsum
tulang. Kriteria diagnosis anemia defisiensi besi menurut WHO adalah (1) Kadar hemoglobin
kurang dari normal sesuai usia, (2) Konsentrasi hemoglobin eritrosit rata-rata <31% (nilai
normal:32%-35%), (3) Kadar Fe serum <50 g/dL (nilai normal:80-180g/dL), dan (4) Saturasi
9

transferin <15% (nilai normal:20%-25% ). Cara lain untuk menentukan anemia defisiensi besi
dapat juga dilakukan uji percobaan pemberian preparat besi. Bila dengan pemberian preparat
besi dosis 3-6 mg/kgBB/hari selama 3-4 minggu terjadi peningkatan kadar hemoglobin 1-2 g/dL
maka dapat dipastikan bahwa yang bersangkutan menderita anemia defisiensi besi.
2.6 Tata Laksana
2.6.1 Suplementasi untuk bayi prematur/bayi berat lahir rendah (BBLR)
Bayi berat lahir rendah (BBLR) merupakan kelompok risiko tinggi mengalami DB. Menurut
World Health Organization (WHO), suplementasi besi dapat diberikan secara massal, mulai usia
2-23 bulan dengan dosis tunggal 2 mg/kgBB/hari. Bayi dengan berat lahir rendah memiliki risiko
10 kali lipat lebih tinggi mengalami DB. Pada dua tahun pertama kehidupannya, saat terjadi pacu
tumbuh, kebutuhan besi akan meningkat. Bayi prematur perlu mendapat suplementasi besi
sekurang-kurangnya 2 mg/kg/hari sampai usia 12 bulan. Suplementasi sebaiknya dimulai sejak
usia 1 bulan dan diteruskan sampai bayi mendapat susu formula yang difortifikasi atau mendapat
makanan padat yang mengandung cukup besi. Centers for Disease Control and Prevention
(CDC) di Amerika merekomendasikan bayi-bayi yang lahir prematur atau BBLR diberikan
suplementasi besi 2-4 mg/kg/hari (maksimum 15 mg/hari) sejak usia 1 bulan, diteruskan sampai
usia 12 bulan.10 Pada bayi berat lahir sangat rendah (BBSLR), direkomendasikan suplementasi
besi diberikan lebih awal.
2.6.2 Suplementasi untuk bayi cukup bulan
Pada bayi cukup bulan dan anak usia di bawah 2 tahun, suplementasi besi diberikan jika
prevalens ADB tinggi (di atas 40%) atau tidak mendapat makanan dengan fortifikasi.
Suplementasi ini diberikan mulai usia 6-23 bulan dengan dosis 2 mg/ kgBB/hari. Hal tersebut
atas pertimbangan bahwa prevalens DB pada bayi yang mendapat ASI usia 0-6 bulan hanya 6%,
namun meningkat pada usia 9-12 bulan yaitu sekitar 65%. Bayi yang mendapat ASI eksklusif
selama 6 bulan dan kemudian tidak mendapat besi secara adekuat dari makanan, dianjurkan
pemberian suplementasi besi dengan dosis 1 mg/kg/hari. Untuk mencegah terjadinya defisiensi
besi pada tahun pertama kehidupan, pada bayi yang mendapatkan ASI perlu diberikan
suplementasi besi sejak usia 4 atau 6 bulan. The American Academy of Pediatrics (AAP)
merekomendasikan pemberian suplementasi besi pada bayi yang mendapat ASI eksklusif mulai
10

usia 4 bulan dengan dosis 1 mg/kg/hari dilanjutkan sampai bayi mendapat makanan tambahan
yang mengandung cukup besi. Bayi yang mendapat ASI parsial (>50% asupannya adalah ASI)
atau tidak mendapat ASI serta tidak mendapatkan makanan tambahan yang mengandung besi,
suplementasi besi juga diberikan mulai usia 4 bulan dengan dosis 1 mg/kg/hari
2.6.3 Suplementasi untuk balita dan anak usia sekolah
Pada anak usia balita dan usia sekolah, suplementasi besi tanpa skrining diberikan jika
prevalens ADB lebih dari 40%. Suplementasi besi dapat diberikan dengan dosis 2 mg/kgBB/hari
(dapat sampai 30 mg/hari) selama 3 bulan.
2.6.4 Suplementasi untuk remaja
Suplementasi besi pada remaja lelaki dan perempuan diberikan dengan dosis 60 mg/hari
selama 3 bulan. Pemberian suplementasi besi dengan dosis 60 mg/hari, secara intermiten (2
kali/minggu), selama 17 minggu, pada remaja perempuan ternyata terbukti dapat meningkatkan
feritin serum dan free erythrocyte protoporphyrin (FEP). Centers for Disease Control and
Prevention (CDC) dan AAP merekomendasikan suplementasi besi pada remaja lelaki hanya bila
terdapat riwayat ADB sebelumnya, tetapi mengingat prevalens DB yang masih tinggi di
Indonesia sebaiknya suplementasi besi pada remaja lelaki tetap diberikan. Penambahan asam
folat pada remaja perempuan dengan pertimbangan pencegahan terjadinya neural tube defect
pada bayi yang akan dilahirkan dikemudian hari

11

2.7 Diagnosis Banding


Jenis- jenis anemia

Gambar 1.1 klasifikasi anemia mikrositik

12

Gambar 1.2 Perbedaan anemia defisiensi besi dan anemia penyakit kronis

Anemia normositik normokromik


Anemia normositik (MCV= 75-100 fl) berhubungan dengan penyakit sistemik yang mengganggu
sintesis sel darah merah yang adekuat di sumsum tulang. Anemia normositik biasanya
memerlukan evaluasi sumsum tulang. Anemia ini dapat disertai oleh peningkatan kadar
retikulosit (anemia hemolitik) atau tidak disertai dengan peningkatan kadar retikulosit.

Anemia normositik tanpa disertai dengan peningkatan retikulosit


Anemia ini dapat disebabkan oleh:

Aplasia sel darah merah murni kongenital (Diamond-Blackfan Syndrome)

Merupakan suatu kelainan seumur hidup, biasanya timbul beberapa bulan pertama kehidupan
atau saat lahir dengan anemia berat dan makrositosis ringan/ anemia normositik. Kelainan ini
disebabkan oleh defisiensi precursor sel darah merah di sumsum tulang. Kelainan ini disebabkan

13

oleh pembawa sifat autosomal resesif. Pada pemeriksaan fisik seringkali dtemukan perawakan
yang pendek, webbed neck, bibir sumbing, ibu jari trifalang dan leukemia awitan lambat.

Eritroblasitopenia transien pada anak

Merupakan suatu anemia normositik yang disebabkan oleh surpresi sintesis sel darah merah,
biasanya timbul setelah usia 6 bulan pada bayi yang tidak memiliki masalah kesehatan lain.
Dapat dipicu oleh infeksi virus namun mekanisme yang menyebabkan terjadinya aplasia sel
darah merah belum diketahui.

Kegagalan sumsum tulang

Gambaran yang menunjukkan adanya kegagalan sumsum tulang dapat berupa rendahnya hitung
retikulosit, abnormalitas bentuk dari sel darah merah, adanya bentuk leukosit yang abnormal, dan
abnormalitas bentuk dari trombosit. Biasanya disebabkan oleh kegagalan produksi (gangguan
pada sumsum tulang intrinsik), sekuesterasi (hipersplenisme) dan peningkatan penghancuran di
perifer.

Anemia aplastik

Anemia ini menyebabkan terjadinya pansitopenia akibat hilangnya hematopoietik dari sumsum
tulang dan digantikan oleh lemak. Kelainan ini bersifat idiopatik dan dapat dipicu oleh obatobatan seperti kloramfenikol dan felbamat atau oleh toksin seperti benzene. Imunosurpresi
hematopoiesis diduga merupakan mekanisme penting pada pasien aplastic pasca infeksi dan
idiopatik.

Anemia Fanconi

Merupakan bentuk konstitusional anemia aplastik yang disebabkan oleh defek genetik pada
protein yang terlibat dalam perbaikan DNA dan diturukan secara autosomal resesif. Diagnosis
didasarkan pada adanya peningkatan pemecahan kromosom pasca pajanan terhadap agen yang
merusak DNA. Mekanisme perbaikan kerusakan DNA berlangsung secara tidak normal dalam
semua sel pada anemia Fanconi. Anemia ini dapat mencetuskan keganasan. Biasanya anemia ini
ditemukan pada anak-anak sebelum usia 10 tahun dan disertai kelainan lain seperti mikrosefali,

14

tidak ada ibu jari, caf au lait, hiperpigmentasi, perawakan pendek, MCV dan hemoglobin F
tinggi, dan dapat disertai kelainan ginjal.

Temuan

dalam

hapusan

darah tepi
Leukoeritroblastosis

Evaluasi lanjutan
Pemeriksaan sumsum tulang
untuk melihat apakah adanya
SOL

(Space

Lesion)

Occupying

pada

anak-anak

Abnormalitas pada sel darah

dengan infeksi
Suspek leukemia/ limfoma

putih
Rouleaux
Tidak
ditemukan

Suspek myeloma
Anemia akibat

abnormal

sel

kronis

atau

penyakit
anemia

sideroblastik

Tabel 1.2 Evaluasi anemia normositik

Anemia normositik disertai dengan peningkatan retikulosit (anemia hemolitik)


Anemia hemolitik merupakan suatu kondisi dimana eritrosit dihancurkan dan dihilangkan
dari sirkulasi sebelum waktu hidup normal mereka habis. Ketika eritrosit rusak dan dihilangkan,
baik secara intravaskuler dan ekstravaskuler, sumsum tulang membuat eritrosit baru lebih banyak
untuk mengganti defisit tersebut. Namun, pada anemia hemolitik, sumsum tulang tidak mampu
mengkompensasi kekurangan tersebut. Ketidakseimbangan produksi dan destruksi ini
menyebabkan anemia dan gambaran klinis lainnya terlihat.
Gambaran klinis pada anemia hemolitik secara umum adalah:

Pucat pada kulit dan mukosa

Ikterus

Splenomegali
15

Urin gelap karena kelebihan urobilinogen

Jenis-jenis anemia hemolitik:


1. Enzimopati

Defisiensi Glucose-6-phospate dehydrogenase (G6PD)


Merupakan suatu abnormalitas dalam jalur shunt heksosa monofosfat glikolisis yang

menyebabkan deplesi nikotinamida adenine dinukleotida fosfat (NADPH) tereduksi dan


ketidakmapuan meregenerasi glutation tereduksi. Glutation tereduksi melindungi kelompok
sulfhidril dalam membran sel darah merah dari oksidasi. Saat pasien dengan G6PD terpapar
stress oksidan kuat, hemoglobin teroksidasi, membentuk presipitat sulfohemoglobin (badan
Heinz) yang terlihat pada pewarnaan khusus. Gen untuk defisiensi G6PD berada pada kromosom
X. Varian dari anemia ini sering terlihat pada daerah endemic malaria. Defisiensi G6PD
melindungi terhadap parasitisme eritrosit.
Gambaran klinis dari anemia ini ditandai dengan adanya anemia hemolisis akut yang
dipicu oleh infeksi atau ingesti obat oksidan. Morfologi sel darah merah berubah menjadi seperti
cookie cells. Hal ini merupakan akibat dari fagositosis badan Heinz oleh makrofag splenik.
Ikterus yang nyata secara klinis, urin berwarna gelap sebagai akibat dari pigmen bilirubin,
hemoglobinuria bila hemolisis terjadi intravaskular, dan penurunan kadar haptoglobin biasa
terjadi pada episode hemolitik.

2. Defek membran eritrosit

Sferositosis Herediter
Mutasi gen pengkode protein membran eritrosit adalah penyebab kelainan ini. 75%

disebabkan oleh penurunan autosomal dominan, sisanya diturunkan oleh autosomal resesif.
Sferositosis herediter disebabkan oleh defek kuantitas protein membran eritrosit dalam
menentukan keutuhan membran eritrosit akibat mutasi gen spektrin dan akyrin, sehingga
16

membran eritrosit menjadi tidak stabil (penurunan deformabilitas dan fleksibilitas) yang
menyebabkan terjebaknya sel darah merah di mikrosirkulasi limpa. Akhirnya eritrosit ini
difagositosis oleh limpa dan terjadilah proses hemolisis ekstravaskular.
Gambaran klinis dapat berupa ikterus, splenomegali dan anemia. Temuan pada
laboratorium ditemukan anemia, retikulositosis, peningkatan MCHC, sferositosis pada preparat
darah tepi, hiperbilirubinemia dan uuji fragilitas osmotic ynang abnormal. Tes yang paling
sensitive untuk mendeteksi sferosit adalah uji fragilitas osmotic dengan inkubasi selama 18 jam
dalam kondisi steril pada suhu 370C.

Eliptositosis Herediter
Kelainan dasar pada eliptositosis adalah kegagalan spektrin heterodimer ( dan ) dalam

membentuk spektrin heterotetramer akibat mutasi gen. Ketidakmampuan untuk membentuk


spektrin heterotetramer akan mengganggu interaksi antar protein membran eritrosit yang
menjamin stabilitas eritrosit dan berpotensi menimbulkan anemia hemolitik. Pada eliptositosis
herediter, perubahan interaksi antar protein membran menyebabkan kerangka eritrosit mengalami
reorganisisasi dan menjadi tidak tahan terhadap beban mekanik sirkulasi. Pada eliptositosis
herediter, hemolisis intravaskuler memiliki peran kecil.
Gambaran klinis eliptositosis herediter sama dengan sferositosis herediter, beberapa
kasus terdeteksi hanya karena kebetulan melalui pemeriksaan darah tepi tanpa adanya tandatanda hemolisis yang nyata. Pemeriksaan laboratorium menunjukkan adanya gambaran
eliptositosis pada apusan darah tepi setidaknya 15% dari total eritrosit dan sering mencapa 5090% dari total eritrosit.
3. Anemia akibat hemolisis autoimun
Merupakan proses akut yang dicetuskan oleh suatu infeksi. Anemia hemolitik autoimun
juga dapat menjadi gejala penyakit autoimun kronik dan juga dapat disebabkan oleh obat-obatan.
Obat-obatan dapat mencetuskan suatu anemia hemolitik dengan Coombs positif dengan
membentuk hapten pada membran sel darah merah atau membentuk kompleks imun (kuinidin)
yang menempel pada membran sel darah merah. Antibodi kemudian mengaktivasi hemolisis
intravaskular yang dipicu oleh komplemen. Tipe ketiga hemolisis imun yang dipicu oleh obat
17

terjadi selama terapi dengan -metildopa dan sejumlah obat lain. Pada tipe ini terjadi neoantigen
dan berikatan dengan antibodi. Hal ini memberikan hasil positif jauh lebih sering dibandingkan
dengan yang sesungguhnya memicu hemolisis.
Bentuk kedua penyakit hemolitik didapat yang tidak diperantarai antibodi disebabkan
oleh kerusakan mekanis pada membran sel darah merah dalam sirkulasi. Pada mikroangiopati
trombotik, sel darah merah terperangkap oleh jaringan fibrin dalam sirkulasi dan robek secara
fisis oleh tekanan potongan saat melewati jaringan tersebut. Sindrom ini dapat disebabkan oleh
KID, TTP, hipertensi maligna, dan toksemia. Trombosit biasanya besar, hapusan darah
menunjukkan fragmen sel darah merah mikrosferosit, tear drop, dan polikromasi.
Anemia akibat Hemoglobinopati
Hemoglobinopati adalah kelainan darah yang disebabkan oleh kelainan sintesis rantai globin
baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Kelainan ini bersifat herediter dan disebabkan oleh
mutasi gen pengkode protein globin. Pemeriksaan laboratorium yang diperlukan untuk
menegakkan diagnosis anemia jenis ini adalah pemeriksaan darah lengkap, sediaan apus darah
tepi, elektroforesis hemoglobin, kadar HbA2 , HbF, uji stabilitas Hb, uji fragilitas osmotik
eritrosit, hingga beberapa uji konfirmasi Hb varian.
Jenis-jenis anemia ini adalah:

Thalassemia

Merupakan gangguan pada sintesis hemoglobin akibat adanya delesi gen pada kromosom
nomor 16. Pada kromosom nomor 16 terdapat 4 gen . Delesi gen tunggal tidak memberikan
kelainan apapun (silent carrier state). Delesi 2 gen menghasilkan thalassemia minor dengan
anemia ringan. Delesi keempat gen menyebabkan hidrops fetalis. Delesi 3 gen menyebabkan
anemia hemolitik sedang.

Thalassemia

Thalassemia disebabkan oleh mutasi yang merusak sintesis rantai . Oleh karena
ketidakseimbangan sintesis rantai alfa dan beta, rantai alfa mengalami presipitasi di dalam sel,
mengakibatkan penghancuran sel darah merah baik di sumsum tulang atau di limpa. Tanda dan
18

gejala thalassemia mayor timbul sebagai kombinasi penyakit hemolitik kronik, berkurang atau
hilangnya produksi HbA normal dan eritropoiesis inefektif.

Sickle cell anemia

Disebabkan oleh substitusi asam amino valin menjadi glutamate pada posisi 6. Anemia ini
biasanya kronik, berat. Hemoglobin menjadi berbentuk seperti bulan sabit dan mengkristal,
membentuk gel bila terjadi deoksigenasi. Saat direoksigenasi, hemoglobin sabit secara normal
dapat larut kembali. Sel sabit tersebut disebut reversible dan dapat masuk ke dalam
mikrosirkulasi. Saat oksigen diekstraksi dan saturasi menurun, dapat terjadi penyumbatan pada
mikrovaskular dan menyebabkan infark.
Anak dengan anemia sel sabit rentan terhadap infeksi pada usia 4 bulan. Pada waktu
tersebut, terjadi disfungsi splenik yang menyebabkan infark splenik. Infark splenik menyebabkan
gnagguan pada sistem pertahanan tubuh, sehingga pasien rentan terhadap infeksi yang ditandai
dengan demam. Manifestasi anemia ini biasanya ditandai dengan icterus, pucat dan
splenomegaly yang bervariasi pada bayi. Selain itu dapat terajdi murmur pada jantung,
keterlambatan pertumbuhan serta maturasi seksual.
Penyakit ini dipersulit oleh krisis sekuesterasi yaitu proses perubahan akut sel darah
merah menjadi bentuk sabit di intravascular. Hal ini ditandai dengan adanya nyeri atau disfungsi
pada organ tersebut. Manifestasi dapat berupa:

Anemia: kronik, terjadi pada usia3-4 bulan. Kadar Hematokrit 18-26%

Krisis aplastik: infeksi parvovirus, retikulositopenia

Krisis sekuesterasi: splenomegali masif

Krisis hemolitik

Daktilitis

Krisis nyeri: infark vasooklusif pada otot, tulang, sumsum tulang

Stroke
19

Sindrom dada akut

Penyakit paru kronik

osteonekrosis

Priapismus

Retinopati

Kardiomiopati

Infeksi

Kegagalan pertumbuhan.

Diagnosis hemoglobinopati dapat ditegakkan dengan mengidentifikasi jumlah serta tipe


hemoglobin dengan menggunakan elektroforesis atau kromatografi.

Anemia Makrositik

Penyebab tersering anemia makrositik (anemia megaloblastik) adalah defisiensi folat dan
kobalamin. Defisiensi dari kedua zat ini menyebabkan terjadinya gangguan sintesis DNA dan
replikasi DNA sehingga sintesis fragmen-fragmen DNA menjadi terhambat dan terjadi
pemanjangan pada fase S. Defisiensi folat dan kobalamin menyebabkan terganggunya
pembelahan sel dan defek maturasi inti pada jalur hematopoiesis.
Gambaran klinis secara umum anemia megaloblastik memberikan gejala yang tidak spesifik
seperti:

Kelemahan umum

Nafas cepat

Pucat

Ikterus ringan
20

Sakit kepala ringan

Pada pemeriksaan laboratorium dapat ditemukan:

Penurunan Hb, Ht tidak menunjukkan kelainan

Ukuran eritrosit bertambah, MCV >130 fl, MCH meningkat

Dapat ditemukan hipersegmentasi neutrophil, trombositopenia, eosinophilia

Dapat ditemukan kadar folat/ kobalamin yang menurun

Gambar 1.3 Klasifikasi anemia makrositik berdasarkan kadar retikulosit

21

BAB III
KESIMPULAN
Kesimpulan
a) Anemia defisiensi besi merupakan salah satu masalah kesehatan pada anak Indonesia
yang dapat mengganggu tumbuh kembang anak.
b) Defisiensi besi dapat terjadi karena kehilangan berlebihan besi maupun penurunan
penyerapan besi.
c) Pendekatan diagnosis anemia dimulai dari anamnesis riwayat penyakit dalam keluarga,
penyakit terdahulu, dan pemeriksaan fisik untuk mengarahkan pemilihan pemeriksaan
penunjang yang tepat sesuai dengan penyakit yang diperkirakan
d) Suplementasi besi diberikan kepada semua anak, dengan prioritas usia balita (0-5 tahun),
terutama usia 0-2 tahun

22

DAFTAR PUSTAKA
1. IDAI Ikatan Dokter Anak Indonesia Suplementasi Besi untuk Bayi dan Anak
2. World Health Organization. Iron deficiency anemia: assessment, prevention, and control.
A guide for programme managers. Geneva: WHO; 2001.
3. Javier P Gisbert, Professor; Fernando Gomolln, MD, PhD. A guide to diagnosis of iron
deficiency and iron deficiency anemia in digestive diseases. World Journal of
Gastroenterology. 2009.
4. Lembar S, Bororing S, Then Z, Kurniawan W. Hematologi. Ed ke 1. Jakarta: WIMI;
2011. Hal. 121-154

23

Anda mungkin juga menyukai