Dampak Lingkungan
Dampak lain penanaman produk pertanian untuk biomassa adalah kerusakan pada alam. Andre Baumann yang
menjabat ketua Organisasi Lingkungan Hidup Jerman NABU menegaskan produksi tanaman untuk biomassa harus
memenuhi standar amdal:
Biomassa sudah digunakan selama ratusan tahun. Tapi dulu produk biomassa tidak diangkut dengan truk atau
pesawat sampai tempat tujuan. Sekam gandum atau sisa tanaman lainnya digunakan di pertanian yang sama
sehingga membentuk lingkaran yang tertutup. Tapi sekarang, manusia memakai truk dan kapal laut untuk
mengangkut kelapa sawit dari kawasan tropis ke Eropa, ini menyebabkan siklus penggunaan biomassa tidak lagi
tertutup.
Dampak produksi tanaman untuk biomassa juga mulai dirasakan di kawasan lain dunia. Contohnya di Benua Hitam
Afrika. Pakar lingkungan dari Institut Pertanian untuk Kawasan Tropis dan Subtropis Universitas Hohenheim
Joachim Sauberborn menjelaskan Di Afrika sumber daya alam yang dapat diperbarui luas digunakan. Banyak
warga masih memakai kayu untuk memasak. Namun, dampak negatifnya adalah kerusakan kawasan hutan karena
penebangan yang tidak terkontrol. Hilangnya vegetasi hutan menyebabkan pengikisan lapisan tanah yang subur.
Akibatnya, lahan pertanian pun makin berkurang.
Untuk mendapatkan lahan pertanian baru, penduduk Afrika membuka hutan. Akibatnya siklus kerusakan alam terus
berlanjut. Penebangan pohon-pohon untuk lahan pertanian menyebabkan karbondioksida dilepaskan ke udara.
Padahal karbondioksida atau CO2 adalah salah satu gas rumah kaca penyebab pemanasan global.
Kembali ke halaman pertama
Misalnya, biodiesel dari kelapa sawit. Selain tersedia dalam jumlah banyak, dapat diperbarui dan menghasilkan
energi yang ramah lingkungan, penggunaan biodiesel dari kelapa sawit dapat meningkatkan efisiensi pembakaran
mesin, termasuk mesin kendaraan bermotor. Biodiesel jenis ini mempunyai kandungan asetan tinggi, bebas dari
sulfur dan mampu dioperasikan di musim dingin, bahkan saat suhu mencapai minus 20 derajat Celcius sekalipun,
sehingga cocok digunakan di Jerman.
Namun, pakar biologi Andre Baumann memperingatkan jangan sampai kebutuhan energi di Jerman merusak alam di
negara produsen biomassa tersebut.
Pemerintah menggunakan uang pajak rakyat untuk memberi subsidi pada produk biomassa. Padahal produk itu
menyebabkan rusaknya hutan tropis di bagian lain dunia. Misalnya, kelapa sawit yang berasal dari perkebunan yang
sebelumnya merupakan hutan. Produk tersebut harus ditranspor ribuan kilometer ke Jerman. Di sini, kelapa sawit
diolah menjadi biogas dan ampasnya digunakan sebagai pupuk. Ini sama sekali bukan sistem pertanian
berkelanjutan. Sistem ini tidak bisa dipertanggung-jawabkan secara sosial maupun ekologis.
Masa Depan Biomassa Sebagai Bahan Bakar
Lalu bagaimana masa depan penggunaan energi dari biomassa? Saat ini, bioenergi hanya memegang pangsa 13
persen dari keseluruhan sumber energi dunia. Menurut pakar biologi Andre Baumann kunci untuk meningkatkan
efisiensi energi bukan dengan memperluas produksi tanaman untuk biomassa. Sebaliknya, penggunaan energi
keseluruhanlah yang perlu dikurangi. (zpr/zer)
seluruh kebutuhan dalam jangka panjang. Cadangan energi semakin lama semakin menipis dan
proses produksinya membutuhkan waktu jutaan tahun.
Menurut Sudiartono, Kepala Pusat Studi Energi (PSE) UGM, pemanfaatan sumber energi
terbarukan menjadi solusi pemenuhan kebutuhan energi yang semakin lama semakin besar di
masa mendatang. Sumber daya energi terbarukan memiliki keunggulan, yakni dapat diproduksi
dalam waktu relatif tidak lama dibandingkan dengan sumber energi tak terbarukan. "Namun,
sumber daya terbarukan selama ini belum dimanfaatkan secara optimal di Indonesia," tuturnya
saat berbicara dengan wartawan di Ruang Multimedia UGM, Jumat (27/3).
Sumber energi terbarukan, misalnya angin, air, dan matahari, merupakan penghasil energi
yang belum banyak dimanfaatkan. Dijelaskan Sudiartono, sebenarnya di Indonesia telah banyak
dibangun pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTM), tetapi pada praktiknya tidak beroperasi
secara optimal. Hal ini disebabkan tidak adanya transfer pengetahuan kepada masyarakat.
"Keberhasilan operasionalisasi PLTM akan terwujud jika ada pengelolaan dari masyarakat
setempat," tegas Sudiartono.
Lebih lanjut dikatakannya, Indonesia memiliki sumber-sumber air yang berlimpah. Akan
tetapi, belum banyak yang berpikir untuk memanfaatkannya. Pemanfaatan aliran sungai sebagai
sumber pembangkit listrik belum dilakukan. "Selama ini baru air terjun yang dimanfaatkan
sebagai pembangkit listrik. Padahal Indonesia memiliki banyak sungai besar yang bisa
memproduksi energi yang besar meskipun alirannya berjalan lambat, " jelasnya.
Sudiartono menuturkan tidak akan terjadi pembelian listrik dari Malaysia untuk digunakan
di daerah pedalaman Kalimantan jika sungai telah dimanfaatkan sebagai pembangkit listrik. Hal
inilah yang menjadi tantangan bagi UGM dan perguruan tinggi lainnya untuk mengembangkan
pemanfaatan sumber energi terbarukan.
Pengembangan PLTM kuncinya berada pada generator maupun turbin. Yang menjadi
kendala sampai saat ini adalah Indonesia belum dapat memproduksi generator ataupun turbin air,
juga belum mampu memproduksi bahan bakar selain premium. "Penguasaan teknologi, khususnya
teknologi energi, harus dikuasai terlebih dahulu jika tidak ingin selamanya tergantung pada
produk-produk teknologi energi dari negara maju. Tanpa adanya penguasaan teknologi eksplorasi
dan eksploitasi serta pengelolaan sumber daya energi, maka kedaulatan energi tidak akan
tercapai," terang Sudiartono.
Terkait dengan ancaman krisis energi bahan bakar yang akan dialami Indonesia sekitar 2030 tahun mendatang, Drs. Budi Eka Nurcahyo, M.S. (Wakil Kepala PSE UGM) mengimbau untuk
mengurangi ketergantungan terhadap pemakaian minyak bumi. Pengembangan bahan bakar
nabati, misalnya bioetanol, menjadi salah satu alternatif solusi untuk mencegah krisis energi di
masa datang.
Ditambahkannya, membicarakan energi tidak hanya terkait dengan penggunaan energi saja.
Namun, berhubungan pula dengan perilaku dan kebiasaan manusia dalam menggunakan energi.
"Kebiasaan manusia inilah yang menjadi pokok perhatian dalam pemanfaatan energi," kata Budi
menutup perbincangan.
di
sektor
energi.
Sumber Daya
Cadangan
Produksi
Cadangan/Produksi
*
Minyak Bumi
56,6
Barel
Milyar
8,4
Barel**
Milyar
348
Barel
Juta
24
Gas Bumi
Batubara
CBM (Gas)
*
Tidak
Sumber:
334,5 TSCF
165 TSCF
90,5
18,7
Milyar
ton
ton
453 TSCF
ada
temuan
Presentasi
Milyar
cadangan
Menteri
2,79 TSCF
59
93
baru;
ESDM,
**
11
Termasuk
blok
April
Cepu
2008
Di sisi lain, potensi energi terbarukan seperti biomasa, panas bumi, energi surya, energi air, dan
energi angin cukup besar. Hanya saja sampai saat ini pemanfaatannya masih sangat terbatas.
Hal ini antara lain disebabkan oleh harga energi terbarukan yang belum kompetitif bila
dibandingkan dengan harga energi fosil yang masih disubsidi, penguasaan teknologi yang
rendah sehingga nilai impornya tinggi, keterbatasan dana untuk penelitian, pengembangan,
maupun investasi dalam pemanfaatan energi terbarukan serta infrastruktur yang kurang
memadai.
Sumber Daya
Setara
Tenaga Air
75,67 GW
4,2 GW
Panas Bumi
27,00 GW
1,04 GW
Mini/Mikro Hidro
0,45 GW
0,45 GW
0,084 GW
Biomasa
49,81 GW
49,81 GW
0,3 GW
4,80 kWh/m2/day
0,008 GW
9,29 GW
0,0005GW
Tenaga Surya
Tenaga Angin
9,29 GW
Terpasang
Selama ini energi terbarukan lebih banyak dimanfaatkan untuk menghasilkan listrik
mengingat listrik merupakan kebutuhan yang sangat penting baik sebagai penerangan
dirumah-rumah maupun untuk menggerakkan industri. Namun demikian, ada juga
beberapa jenis energi terbarukan yang dikonsumsi secara langsung walaupun
jumlahnya masih sangat sedikit. Padahal pengembangan energi terbarukan merupakan
salah satu solusi penting bagi keberlanjutan pembangunan khususnya sektor energi.