BAB II
PEMBAHASAN
Penanganan kegawatdaruratan obstetrik ada tidak hanya membutuhkan sebuat tim medis
yang menangani kegawatdaruratan tetapi lebih pada membutuhkan petugas kesehatan yang
terlatih untuk setiap kasus-kasus kegawatdaruratan.
tetapo prosedur akan dilakukan selembut mungkin sehingga perasaan kurang enak itu
diupayakan sesedikit mungkin.
2.1.3. Komunikatif
Petugas kesehatan harus berkomunikasi dengan pasien dalam bahasa dan kalimat yang
tepat, mudah dipahami, dan memperhatikan nilai norma kultur setempat. Dalam melakukan
pemeriksaan, petugas kesehatan harus menjelaskan kepada pasien apa yang akan diperikssssa
dan apa yang diharapkan. Apabila hasil pemeriksaan normal atau kondisi pasien sudah
stabil,upaya untuk memastikan hal itu harus dilakukan. Menjelaskan kondisi yang sebenarnya
kepada pasien sangatlah penting.
2.1.4. Hak Pasien
Hak-hak pasien harus dihormati seperti penjelasan informed consent, hak pasien untuk
menolak pengobatan yang akan diberikan dan kerahasiaan status medik pasien.
2.1.5. Dukungan Keluarga (Family Support)
Dukungan keluarga bagi pasien sangat dibutuhkan. Oleh karena itu, petugas kesehatan
harus mengupayakan hal itu antara lain dengan senantiasa memberikan penjelasan kepada
keluarga pasien tentang kondisi pasien, peka akan masalah kelurga yang berkaitan dengan
keterbatasan keuangan, keterbatasan transportasi, dan sebagainya.
Dalam kondisi tertentu, prinsip-prinsip tersebut dapat dinomorduakan, misalnya apa bila
pasien dalam keadaan syok, dan petugas kesehatan kebetulan hanya sendirian, maka tidak
mungkin untuk meminta informed consent kepada keluarga pasien. Prosedur untuk
menyelamatkan jiwa pasien harus dilakukan walaupun keluarga pasien belum diberi informasi.
2.2.Penilaian Awal
Dalam menentukan kondisi kasus obstetri yang dihadapi apakah dalam keadaa
gawatdarurat atau tidak, secara prinsip harus dilakukan pemeriksaan secara sistematis meliputi
anamnesis, pemeriksaan fisik umum, dan pemeriksaan obstetrik. Dalam praktik, oleh karena
pemeriksaan sistematis membutuhkan waktu yang agak lama, padahal penilaian harus dilakukan
secara cepat, maka dilakukan penilaian awal.
Penilaian awal adalah langkah untuk menentukan dengan cepat kasus obstetri yang
dicurigai dalam keadaan kegawatdarurat dan membutuhkan pertolongan segera dengan
mengidentifikasi penyulit yang dihadapi. Dalam penilaian awal ini, anamnesis lengkap belum
dilakukan. Anamnesa awal dilakukan bersama-sama periksa pandang, periksa raba, dan penilaian
tanda vital dan hanya untuk mendapatkan informasi yang sangat penting berkaitan dengan kasus.
Misalnya apakah kasus mengalami perdarahan, demam, tidak sadar, kejang, sudah mengedan,
atau bersalin berapa lama, dan sebagainya. Fokus utama penilaian adalah apakah pasieng
mengalami syok hipofolemik, syok septik, syok jenis lain (syok kardiogenik, syok neurologik,
dan sebagainya), koma, kejang-kejang, atau koma disertai kejang-kejang, dan hal itu terjadi
dalam kehamilan, persalinan, atau pasca persalinan.
badannya tetap hangat karena kondisi hipotermia berbahaya dan dapat memperberat syok.
Naikkanlah kaki pasien untuk membantu aliran darah balik ke jantung. Jika posisi berbaring
menyebabkan pasien merasa sesak napas, kemungkinan hla ini dikarenakan gagal jantung dan
edema paru-paru. Pada kasus demikian, tungkai diturunkan dan naikkanlah posisi kepala untuk
mengurangi cairan dalam paru-paru.
2.3.2. Pemberian Oksigen
Oksigen diberikan dengan kecepatan 6-8 liter / menit. Intubasi maupun ventilasi tekanan
positif hanya dilakukan kalau ada indikasi yang jelas.
2.3.3. Pemberian Cairan Intravena
Cairan intra vena diberikan pada tahap awal untuk persiapan mengantisipasi kalau
kemudian penambahan cairan dibutuhkan. Pemberian cairan infus intravena selanjutnya baik
jenis cairan, banyaknya cairan yang diberikan, dan kecepatan pemberian cairan harus sesuai
dengan diagnosis kasus. Misalnya pemberian cairan untuk mengganti cairan tubuh yang hilang
pada syok hipovolemik seperti pada perdarahan berbeda dengan pemberian cairan pada syok
septik. Pada umumnya dipilih cairan isotonik, misalnya NaCl 0.9 % atau Ringer Laktat. Jarum
infus yang digunakan sebaiknya nomor 16-18 agar cairan dapat dimasukkan secara cepat.
Pengukuran banyaknya cairan infus yang diberikan sangatlah penting. Berhati-hatilah
agar tidak berlebihan memberikan cairan intravena terlebih lagi pada syok septik. Setiap tanda
pembengkakan, napas pendek, dan pipi bengkak, kemungkinan adalah tanda kelebihan
pemberian cairan. Apabila hal ini terjadi, pemberian cairan dihentikan. Diuretika mungkin harus
diberikan bila terjadi edema paru-paru.
2.3.4. Pemberian Tranfusi Darah
Pada kasus perdarahan yang banyak, terlebih lagi apabila disertai syok, transfusi darah
sangat diperlukan untuk menyelamatkan jiwa penderita. Walaupun demikian, transfusi darah
bukan tanpa risiko dan bahkan dapat berakibat kompliksai yang berbahaya dan fatal. Oleh karena
itu, keputusan untuk memberikan transfusi darah harus dilakukan dengan sangat hati-hati. Risiko
yang serius berkaitan dengan transfusi darah mencakup penyebaran mikroorganisme infeksius
( misalnya human immunodeficiency virus atau HIV dan virus hepatitis), masalah yang berkaitan
dengan imunologik ( misalnya hemolisis intravaskular), dan kelebihan cairan dalam transfusi
darah.
2.3.5. Pasang Kateter Kandung Kemih
Kateter kandung kemih dipasang untuk mengukur banyaknya urin yang keluar guna
menulai fungsi ginjal dan keseimbangan pemasukan danpengeluaran cairan tubuh. Lebih baik
dipakai kateter foley. Jika kateterisasi tidak mungkin dilakukan, urin ditampung dan dicatat
kemungkinan terdapat peningkatan konsesntrasi urin ( urin berwarna gelap) atau produksi urin
berkurang sampai tidak ada urin sama sekali. Jika produksi urin mula-mula rendah kemudian
semakin bertambah, hal ini menunjukan bahwa kondisi pasien membaik. Diharapkan produksi
urin paling sedikit 100 ml/4 jam atau 30 mL/ jam.
2.3.6. Pemberian Antibiotika
Antibiotika harus diberikan apabila terdapat infeksi, misalnya pada kasus sepsi, syok
septik, cidera intraabdominal, dan perforasi uterus.
Pada kasus syok, pemberian antibiotika intravena lebih diutamakan sebab lebih cepat
menyebarkan obat ke jaringan yang terkena infeksi. Apabila pemberian intravena tidak
memungkinkan, obat dapat diberikan intramuskular. Pemberian antibiotika per oral diberikan
jika pemberian intra vena dan intramuskular tidak memungkinkan, yaitu jika pasien dalam
keadaan syok, pada infeksi ringan, atau untuk mencegah infeksi yang belum timbul, tetapi
diantisipasi dapat terjadi sebagai komplikasi.
Profilaksis antibiotika adalah pemberian antibiotika untuk pencegahan infeksi pada kasus
tanpa tanda-tanda dan gejala infeksi. Antibiotika diberikan dalam dosis tugngal, paling banyak
ialah 3 kali dosis. Sebaiknya profilaksis antibiotika diberikan setelah tali pusat diklem untuk
menghindari efeknya pada bayi. Profilaksis antibiotika yang diberikan dalam dosis terapeutik
selain menyalahi prinsip juga tidak perlu dan
penggunaan antibiotika berlebihan ialah retensi kuma, efek samping, toksisitas, reaksi alergi, dan
biaya yang tidak perlu dikeluarkan.
2.3.9. Rujukan
Apabila fasilitas medik di tempat kasus diterima tidak memadai untuk menyelesaikan
kasus dengan tindakan klinik yang adekuat, maka kasus harus dirujuk ke fasilitas kesehatan lain
yang lebih lengkap. Sebaiknya sebelum pasien dirujuk, fasilitas kesehatan yang akan menerima
rujukan dihubungi dan diberitahu terlebih dahulu sehingga persiapan penanganan ataupun
perawatan inap telah dilakukan dan diyakini rujukan kasusa tidak akan ditolak.
3.
a.
Trained and skilled staff ( petugas kesehatan yang terlatih dan terampil)
d. Alat transportasi
Ketersediaan alat transportasi merupakan elemen yang krusial dari kuatnya sistem rujukan. Alat
transportasi tidak mesti harus ambulans. Sarana transportasiumum seperti taxi ataupun mobil
pribadi dapat digunakan dalam situasi gawatdarurat.
e.
f.
Ketersediaan obat, bahan, alat, dan perlengkapan, kamar operasi, dan lain sebagainya di fasilitas
kesehatan.
g. Lingkungan kerja yang kondusif serta kerjasama antara petugas yang baik
h. Meningakatkan kualitas sistem penanganan kegawatdaruratan maternal dan neonatal pada setiap
fasilitas kesehatan/ pusat pelayanan kesehatan
i.
Komunikasi dan hubungan antara penolong kasus kegawatan pada level komunitas dengan
petugas di fasilitas yang lebih baik (tempat rujukan)
4.
Plasenta previa marginalis : bila pinggir plasenta berada tepat pada pinggir pembukaan jalan
lahir.
Anamnesis : adanya perdarahan per vaginam pada kehamilan lebih 20 minggu dan berlangsung
tanpa sebab.
b. Pemeriksaan luar : sering ditemukan kelainan letak. Bila letak kepala maka kepala belum masuk
pintu atas panggul.
c.
Penentuan letak plasenta secara langsung dengan perabaan langsung melalui kanalis servikalis
tetapi pemeriksaan ini sangat berbahaya karena dapat menyebabkan perdarahan yang banyak.
Oleh karena itu cara ini hanya dilakukan diatas meja operasi.
persiapan operasi sesar ( picture source : Rescue 911 - Episode 303 - -911 Placenta Previa- (Part
2) - YouTube
Ibu yang menderita anemia sebelumnya akan sangat rentan terhadap perdarahan, walaupun
perdarahan tidak terlalu banyak. Darah sebagai obat utama untuk menagatasi perdarahan belum
selalu ada atau tersedia di rumah sakit.
Prinsip dasar penanganan. Setiap ibu dengan perdarahan antepartum harus segera dikirim
ke rumah sakit yang memiliki fasilitas perdarahan yang pertama kali jarang sekali. Apabila
dalam penilaian yang tenang dan jujur ternyata perdarahan telah berlangsung tidak
membahayakan ibu,janin dan kehamilannya belum cukup 36 minggu atau taksiran berat janin
kurang dari 2500 gram dan persalinan belum mulai dapat dibenarkan menunda persalinan sampai
janin dapat hidup diluar kandungan.Tetapi bila terjadi perdarahan yang membahayakan ibu dan
janin atau kehamilannya telah mencapai 36 minggu dan taksiran berat janin mencapai 2500 gram
atau persalinan telah mulai, maka penanganan pasif harus di tinggalkan dan di tempuh
penanganan aktif.
Memilih cara persalinanan yang terbaik adalah tergantung dari derajat plasenta previa,
paritas dan banyaknya perdarahan. Plasenta previa totalis merupakan indikasi mutlak untuk
seksio sesaria tanpa menghiraukan faktor faktor lannya. Perdarahan banyak dan ber ulang
ulang biasnya disebabkan oleh plasenta yang letaknya lebih tinggi daerjatnya daripada
yangditemukan pada pemeriksaan dalam atau vaskularisasi yang hebat pada serviks dan segmen
bawah uterus.
Pada kasus yang terbengkalai, dengan anemia berat karena perdarahan atau infeksi intra
uterin, baik seksio sesaria maupun persalinan pervaginam sama sama tidak mengamankan ibu
dan janinnya. Akan tetapi dengan bantuan transfusi darah dan antibiotika secukupnya, seksio
cesaria masih lebih aman daripada persalinan pervaginam untuk semua kasus plasenta previa
totalis dari kebanyakan plasenta previa parsialis (Hanifa Winkjosastro, 2005).
Factor-faktor yang menentukan sikap/tindakan persalinan mana yang akan dipilih.
a.
b. Banyaknya perdarahan
c.
d. Keadaan janin
e.
f.
Paritas
b. Perdarahan tidak ada atau tidak banyak (Hb masih dalam batas normal).
c.
Tempat
tinggal
pasien
dekat
dengan
rumah
sakit
(dapat
menempuh
Anak mati
Perawatan konservatif berupa :
1) Istirahat
2) Memberikan hematinik dan spasmolitik unntuk mengatasi anemia
3) Memberikan antibiotik bila ada indikasi.
4) Pemeriksaan USG, Hb, dan hematokrit.
Bila selama 3 hari tidak terjadi perdarahan setelah melakukan perawatan konservatif
maka lakukan mobilisasi bertahap. Pasien dipulangkan bila tetap tidak ada perdarahan. Bila
timbul perdarahan segera bawa ke rumah sakit dan tidak boleh melakukan senggama.
Penanganan aktif berupa :
a.
Plasenta lateralis atau marginalis dimana janin mati dan serviks sudah matang, kepala sudah
masuk pintu atas panggul dan tidak ada perdarahan atau hanya sedikit perdarahan maka lakukan
amniotomi yang diikuti dengan drips oksitosin pada partus per vaginam bila gagal drips (sesuai
dengan protap terminasi kehamilan). Bila terjadi perdarahan banyak, lakukan seksio sesarea.
indikasi melakukan seksio sesarea yaitu :
a.
Presentase abnormal.
d. Panggul sempit.
e.
f.
Gawat janin
sesudah persalinan. Masalah ini mungkin berkaitan dengan kondisi ibu, masalah pada tali pusat
dan plasenta atau masalah pada bayi selama atau sesudah persalinan.
4.2.3. Perubahan Yang Terjadi Pada Asfiksia
Pernapasan adalah tanda vital pertama yang berhenti ketika BBL kekurangan oksigen.
Pada periode awal bayi akan mengalami napas cepat yang disebut dengan gasping primer.
Setelah periode awal ini akan diikuti dengan keadaan bayi tidak bernapas yang diseebut apneu
primer. Pada saat ini frekuensi jantug mulai menurun, namun tekanan darah masih tetap
bertahan.
Bila keadaan ini berlangsung lama dan tidak dilakukan pertolongan pada BBL, maka bayi
akan melakukan usaha napas megap-megap yang disebut gasping sekunder dan kemudian masuk
dalam periode apneu sekunder. Pada saat ini frekuensi jantung semakin menurun dan tekanan
darah semakin menurun dan bisa menyebabkan kematian bila bayi tidak segera ditolong. Oleh
karena itu, setiap menjumpai kasus dengan apneu, harus dianggap sebagai apneu sekunder dan
segera dilakukan resusitasi.
4.2.4. Penyebab Asfiksia
Asfiksia pada bayi baru lahir disebabkan oleh faktor ibu, faktor bayi, dan faktor tali pusat
atau plasenta.
a) Faktor ibu
a.
e.
f.
b) Faktor bayi
a.
Infark plasenta
b. Hematoma plasenta
c.
f.
4.2.5. Diagnostik
a) Anamnesa
a.
b) Pemeriksaan fisik
a.
Manajemen persalinan yang baik dan benar ( persalinan yang bersih dan aman), dan
d. Melaksanakan pelayanan neonatal esensial terutama dengan melakukan resusitasi yang baik dan
benar sesuai dengan standar.
4.2.7. Penanganan Awal dan Lanjutan
4.2.7.1.Resusitasi
4)
Keringkan bayi sambil merangsang taktil dengan menggosok punggung atau menyentil ujung
jari kaki bayi dan mengganti kain yang basah dengan yang kering.
Bila bayi tidak bernapas lakukan ventilasi tekanan positif (VTP) dengan memakai balon dan
sungkup selama 30 detik dengan kecepatan 40-60 kali permenit.
4.2.7.2.Terapi Medikamentosa
1) Epinefrin
Indikasi :
a.
Denyut jantung bayi < 60 kali/menit setelah paling tidak 30 detikd ilakukan ventilasi yang
adekuat dan kompresi dada belum ada respon
b. Asistolik
1. Dosis : 0.1 0.3 ml/kg BB dalam larutan 1 : 10.000 ( 0.01 mg 0.03 mg/kg BB)
2. Cara : intra vema tau endotrakeal. Dapat diulang setiap 3-5 menit bila perlu
2) Cairan pengganti volume darah
Indikasi :
a.
Bayi baru lahir yang dlakukan resusitasi mengalami hipovolemia dan tidak ada respon dengan
resusitasi
b.
Hipovolemia kemungkinan akibat adanya perdarahan atau syok. Klinis ditandai adanya
pucat,perfusi yang buruk, nadi kecil/lemah, dan pada resusitasi tidak memberikan respon yang
adekuat.
Jenis cairan :
a.
b.
Transfusi darah golongan O negatif jika diduga kehilangan darah banyak dan bila fasilitas
tersedia dengan dosis awal 10 ml/kg BB IV pelan selama 5-10 menit. Dapat diulang sampai
menunjukkan respon klinis.
3) Bikarbonat
Indikasi:
a.
c) Cara : diencerkan dengan aquabides atau dekstrose 5 % sa,a banyak diberikan secara intravena
dengan kecepatan minimal 2 menit
d) Efek samping : pada keadaan hiperosmolaritas dan kandungan CO2 dari bikarbonat merusak
fungsi miokardium dan otak.
4.2.7.3.Penanganan Lanjutan
a.
Berikan imunisasi Hepatitis B pada saat bayi masih dirawat dan imunisasi Polio pada saat
pulang.
1. Rujukan yang paling tepat adalah rujukan antepartum untuk ibu resiko tinggi/komplikasi
2.
Bila puskesmas tidak mempunyai fasilitas lengkap maka lakukan rujukan bila bayi tidak
merespon terhadap tindakan resusitasi
3.
Bila fasilitas mempunyai fasilitas lengkap dan kemampuan melakukan pemasangan ET dan
pemberian obata serta bayi tidak memberikan respon terhadap tindakan resusitasi, maka segera
lakukan rujukan
4.
Bila sampai dengan 10 menit bayi tidak dapat dirujuk, jelaskankepada orang tua tentang
prognosis bayi yang kurang baik dan pertimbangkan manfaat rujukan untuk bayi ini kurang baik
jika tidak segera dirujuk.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Kegawatdaruratan dapat didefinisikan sebagai situasi serius dan kadang kala berbahaya
yang terjadi secara tiba-tiba dan tidak terduga dan membutuhkan tindakan segera guna
menyelamtkan jiwa/ nyawa (Campbell S, Lee C, 2000).
Penanganan kegawatdaruratan obstetrik ada tidak hanya membutuhkan sebuat tim medis
yang menangani kegawatdaruratan tetapi lebih pada membutuhkan petugas kesehatan yang
terlatih untuk setiap kasus-kasus kegawatdaruratan
Prinsip umum penanganan kasus kegawatdaruratan
a.
b. Pemberian oksigen
c.
f.
Pemberian antibiotika
Rujukan
Plasenta previa adalah keadaaan dimana plasenta berimplantasi pada tempat abnormal,
yaitu pada segmen bawah rahim sehingga menutupi sebagian atau seluruh pembukaan jalan lahir
(Ostium Uteri Internal) (Rustam mochtar, 1998).
Manajemen pada plasenta previa yaitu.
a.
Persalinan pervaginam
2)
3)
2.
1)
2)
3.
1)
2)
3)
Mempertahankan sirkulasi
Rangsangan dan pertahankan sirkulasi darah dengan cara
Kompresi dada.
Pengobatan
B. Saran
Kasus kegawatdaruratan maternal dan neonatal bukanlah merupakan tanggung jawab
petugas kesehatan untuk mengananinya. Namun, dibutuhkan peran serta berbagai pihak dalam
mewujudkan kondisi yang mendukung demi tercapainya keselamatan ibu dan bayi yang
mengalami kegawatan melalui sistem pertolongan yang sinergi, bekerja efektif, efisien, dan
kontinu.
Kasus kegawatdaruratan merupakan hal yang saat ini mendapat perhatian yang begitu
besar. Oleh karena itu, diharapkan seluruh pihak memberikan kontribusinya dalam merespon
kasus kegawatdaruratan ini. Bagi mahasiswa, sudah seyogyanya memberikan peran dengan
mempelajari dengan sungguh-sunggu kasus-kasus kegawatadaruratan dan memaksimalkan
keterampilan dalam melakukan penanganan kegawatdaruratan yang berada dalam koridor
wewenang bidan.
DAFTAR PUSTAKA
Cunningham, William. 2002. William Obstetri vol 2. EGC : Jakarta.
Campbell S, Lee C. Obstetric emergencies. In: Campbell S, Lee C, editors.
Obstetrics by Ten Teachers. 17th edition. Arnold Publishers; 2000. pp. 303
317.
Nwobodo EL. Obstetric emergencies as seen in a tertiary health institution in
North-Western Nigeria: maternal and fetal outcome. Nigerian Medical
Practitioner. 2006;49(3):5455.
Waspodo, dkk.. 2005. Pelatihan Pelayanan Kegawatdaruratan Obstetri neonatal Esensial Dasar.
Jakarta : Depkes RI.
Mochtar, Rustam. 1998. Sinopsis Obstetri Jilid I . EGC : Jakarta.
Prawirohardjo, Sarwono. 2002. Buku Panduan Praktis Maternal dan
Neonatal.