PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sindroma Guillain Barre (SGB) adalah penyakit autoimun pada sistem saraf
perifer yang ditandai paralisis akut dan difus, berupa hilangnya segmental myelin
pada radiks spinalis, saraf perifer dan saraf kranialis, disertai hilangnya sensorik yang
bersifat subyektif, didahului oleh suatu infeksi. Sindroma Guillain Barre mengambil
nama dari dua Ilmuwan Perancis, Guillain dan Barr , yang menemukan dua orang
prajurit perang di tahun 1916 yang mengidap kelumpuhan kemudian sembuh setelah
menerima perawatan medis. Penyakit ini menjangkiti satu dari 40,000 orang tiap
tahunnya (Erasmus, 2004; Iskandar, 2005).
Penyakit ini terjadi setelah prosedur infeksi akut. Sindroma
Guillain Barre
mulanya mempengaruhi sistem saraf perifer. Biasanya penyakit ini adalah bentuk
kelumpuhan akut di daerah tubuh bagian bawah yang bergerak ke arah ekstremitas
atas dan wajah. Secara bertahap pasien kehilangan semua refleks lalu mengalami
kelumpuhan tubuh lengkap.
Penyakit ini terdapat diseluruh dunia, disemua musim, bukan penyakit
epidemik, dan bukan penyakit menular, menyerang anak dan dewasa pada semua
kelompok usia, laki laki sama banyak dengan wanita, kejadiannya bertingkat seiring
dengan bertambahnya umur (Haflan,2007)
Terjadi puncak insidensi antara usia 15-35 tahun dan antara 50-74 tahun.
Jarang mengenai usia dibawah 2 tahun. Usia termuda yang pernah dilaporkan adalah
3 bulan dan paling tua usia 95 tahun. Dari pengelompokan ras didapatkan bahwa 83%
penderita adalah kulit putih, 7% kulit hitam, 5% Hispanic, 1% Asia dan 4% pada
kelompok ras yang tidak spesifik (Iskandar,2005)
B. Tujuan Penulisan
1. Memperoleh informasi lebih lanjut mengenai Guillain Barre Syndrome
2. Mampu melakukan diagnosis dan tindakan yang tepat pada kasus
Guillan Barre Syndrome
3. Untuk memenuhi syarat mengikuti ujian program pendidikan profesi di
bagian Ilmu Penyakit Saraf RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo
Purwokerto
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
SGB merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai adanya paralisis flasid
yang terjadi secara akut berhubungan dengan proses autoimun dimana targetnya
adalah saraf perifer, radiks, dan nervus kranialis sering terjadi setelah 1 sampai 3
minggu setelah infeksi akut (Iskandar,2005).
Merupakan suatu kondisi polineuropati akut, di mana terjadi paralisis asenden
atau paralisis landry, akibat autoimun dengan respon inflamasi pada radiks dan syaraf
tepi (poliradikulopati dan polineuropati) (Misbach,2007).
B. Epidemilogi
Pada tahun 1859, seorang neurolog Perancis, Jean-Baptiste Landry pertama
kali menulis tentang penyakit ini, sedangkan istilah landry ascending paralysis
diperkenalkan oleh Westphal. Osler menyatakan terdapatnya hubungan SGB dengan
kejadian infeksi akut. Pada tahun 1916, Guillain, Barre dan Strohl menjelaskan
tentang adanya perubahan khas berupa peninggian protein cairan serebrospinal (CSS)
tanpa disertai peninggian jumlah sel. Keadaan ini disebut sebagai disosiasi
sitoalbuminik. Nama SGB dipopulerkan oleh Draganescu dan Claudian. Menurut
Lambert dan Murder mengatakan bahwa untuk menegakkan diagnosa SGB selain
berdasarkan gejala klinis,pemeriksaan CSS, juga adanya kelainan pada pemeriksaan
EMG dapat membantu menegakkan diagnosa. Terdapat perlambatan kecepatan hantar
saraf pada EMG (Iskandar,2005)
Insidensi sindroma Guillain-Barre bervariasi antara 0.6 sampai 1.9 kasus per
100.000 orang pertahun. Selama periode 42 tahun Central Medical Mayo Clinic
melakukan penelitian mendapatkan insidensi rate 1.7 per 100.000 orang.
Data di Indonesia mengenai gambaran epidemiologi belum banyak. Penelitian
menyebutkan bahwa insidensi terbanyak di Indonesia adalah dekade I, II, III (dibawah
usia 35 tahun) dengan jumlah penderita laki-laki dan wanita hamper sama. Sedangkan
penelitian di Bandung menyebutkan bahwa perbandingan laki-laki dan wanita 3 : 1
dengan usia rata-rata 23,5 tahun (Iskandar, 2005).
C. Etiologi
Etiologi SGB sampai saat ini masih belum dapat diketahui dengan pasti
penyebabnya dan masih menjadi bahan perdebatan. Beberapa keadaan/penyakit yang
mendahului dan mungkin ada hubungannya dengan terjadinya SGB, antara lain:
Infeksi; Vaksinasi; Pembedahan; Penyakit sistematik, seperti keganasan, systemic
lupus erythematosus, tiroiditis. penyakit Addison; serta kehamilan atau dalam masa
nifas
SGB sering sekali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik. Insidensi
kasus SGB yang berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56% - 80%, yaitu 1
sampai 4 minggu sebelum gejala neurologi timbul seperti infeksi saluran pernafasan
atas atau infeksi gastrointestinal (Seneviratne, 2003).
Definite
Probable
Possible
Virus
CMV
EBV
HIV
Varicella- Zoster
Vaccinia/Smallpox
Influenza
Measles
Mumps
Rubella
Hepatitis
Coxsackie
Echo
Bakteri
Campylobacter
Typhoid
Jejeni
Mycoplasma
Pneumonia
Borreila B
Paratyphoid
Brucellosis
Chlamydia
Legionella
Listeria
bahwa
imunopatogenesa
merupakan
mekanisme
yang
E. Manifestasi Klinik
1
Interval antara yang mendahuui dan awitan polyneuritis berkisar antara 1-28 hari,
biasanya antara 10-14 hari.
2
Klinis awal ditandai dengan parestesia dan gatal pada jari kaki atau jari tangan
disebut glove and stocking. Pada sebagian orang merasakan nyeri pada otot
punggung sampai paha belakang, betis dan anggota gerak.
Kelumpuhan motorik yang progresif akut dan ascenderen. Gambaran khas SGB
adalah kelemahan motorik dengan pola dari anggota gerak bawah dan secara
ascenden mempegaruhi pula anggota gerak atas (ascending paralysis), kelemahan
motoriknya bersifat simetris.
Progresivitas penyakit dapat berlangsung dalam beberapa jam, hari, atau minggu.
Ditemukan juga adanya keterlibatan saraf kranial pada 45%-75% kasus. Urutan
saraf cranial yang sering terlibat: nervus fascialis, paresis bulbar, otot-otot
mastikasi, ocular. Tetapi berbeda dengan ekstremitas, pola penyakit pada saraf
kranial sering memberi gambaran yang asimetris.
Fase progresif sekitar 3-4 minggu kemudian setelah mencapai puncak mengalami
pendataran (plateau level), kelumpuhan akan menetap dan berlangsung beberapa
minggu sampai beberapa bulan yang diikuti penyembuhan berangsur-angsur,
dalam waktu 6 bulan sampai 12 bulan, maksimal 18 bulan.
Paralysis diafragma dan otot interkostal terjadi pada 25% kasus, menyebabkan
insufisiensi pernafasan atau gagal nafas merupakan komplikasi yang paling sering
dari SGB akut. Hal ini membutuhkan ventilator.
Disfungsi otonom yang terjadi seperti aritmia kordis, flushing pada wajah,
hipotensi dan hipertensi, tidak berkeringat atau diaforesis profuse yang episodic.
(Misbach,2007)
F.
Relative simetris
Tanpa demam
Asimetris
Keterangan
Gejala dan tanda minimal, pasien dapat berlari
Grade 2
Grade 3
Grade 4
Grade 5
Perlu ventilasi
1.
Kelemahan
Gambaran klinis yang klasik adalah kelemahan yang ascending dan simetris
secara natural. Anggota tubuh bagian bawah biasanya terkena duluan sebelum tungkai
atas. Otot-otot proksimal mungkin terlibat lebih awal daripada yang lebih
distal. Tubuh, bulbar, dan otot pernapasan dapat terpengaruh juga. Kelemahan otot
pernapasan dengan sesak napas mungkin ditemukan, berkembang secara akut dan
berlangsung selama beberapa hari sampai minggu. Keparahan dapat berkisar dari
kelemahan ringan sampai tetraplegia dengan kegagalan ventilasi (Ropper, 2005).
2.
Keterlibatan saraf kranial tampak pada 45-75% pasien dengan SGB. Saraf kranial
III-VII dan IX-XII mungkin akan terpengaruh. Keluhan umum mungkin termasuk
sebagai berikut; wajah droop (bisa menampakkan palsy Bell), Diplopias, Dysarthria,
Disfagia, Ophthalmoplegia, serta gangguan pada pupil.
Kelemahan wajah dan orofaringeal biasanya muncul setelah tubuh dan tungkai
yang terkena. Varian Miller-Fisher dari SGB adalah unik karena subtipe ini dimulai
dengan defisit saraf kranial (Ropper, 2005).
3. Perubahan Sensorik
10
11
12
Mielitis akut, ditandai oleh paralysis sensorimotor dengan batas sensorik yang
jelas dan paralysis sfingter, refleks meningkat dan ada tanda Babinski.
Myastenia gravis, tidak ada gangguan pola gerak yang terganggu adalah
kekuatan yang makin berkurang bila menjalani aktivitas, bila beristirahat
kekuatan akan pulih, paresis tidak asenderen.
13
respirasi, jarang paresis saraf cranial, atrofi oto yang hebat, disertai keluhan
sensorik yang persisten.
11 Ataksia serebella akut, kelemahan otot ringan disertai gangguan koordinasi
gait, terutama bila anak tidak kooperatif (Pattriraja,2007)
H. Komplikasi
1
Papil edema akibat obstruksi villi arachnoid dan terjadi gangguan absorbsi
I. Penatalaksanaan
a. Perawatan
Karena memerlukan perawatan berbaring yang lama maka perlu pengaturan
perubahan posisi, untuk mencegah ulkus dekubitus, deep vein trombosis, emboli paru,
pneumonia. Dilakukan gerakan gerakan secara pasif pada daerah yang mengalami
kelumpuhan, perhatikan pemberian cairan dan monitoring kadar elektrolit dan yang
14
terutama pada tanda vital dalam hal ini nadi, tekanan darah, frekuensi pernafasan
(Davey,2006)
b. Pengobatan
Pada sebagian besar penderita dapat sembuh sendiri. Pengobatan secara umum
bersifat simtomatik. Meskipun dikatakan bahwa penyakit ini dapat sembuh sendiri,
perlu dipikirkan waktu perawatan yang cukup lama dan angka kecacatan (gejala sisa)
cukup tinggi sehingga pengobatan tetap harus diberikan. Tujuan terapi khusus adalah
mengurangi beratnya penyakit dan mempercepat penyembuhan melalui sistem
imunitas (imunoterapi) (Walling, 2013).
1) Kortikosteroid
Kebanyakan penelitian mengatakan bahwa penggunaan preparat steroid tidak
mempunyai nilai/tidak bermanfaat untuk terapi SGB.
2) Plasmafaresis
Plasmafaresis atau plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan faktor
autoantibodi yang beredar. Pemakain plasmaparesis pada SGB memperlihatkan hasil
yang baik, berupa perbaikan klinis yang lebih cepat, penggunaan alat bantu nafas
yang lebih sedikit, dan lama perawatan yang lebih pendek. Pengobatan dilakukan
dengan mengganti 200-250 ml plasma/kg BB dalam 7-14 hari. Plasmaparesis lebih
bermanfaat bila diberikan saat awal onset gejala (minggu pertama).
3) Pengobatan imunosupresan:
Imunoglobulin IV (IVIg)
Obat sitotoksik
J.
Prognosis
Pada umumnya, sekitar 3% sampai 5% pasien tidak dapat bertahan dengan
penyakitnya, tetapi pada sebagian kecil penderita dapat bertahan dengan gejala sisa.
95% terjadi penyembuhan tanpa gejala sisa dalam waktu 3 bulan bila dengan keadaan
antara lain pada pemeriksaan NCV-EMG relatif normal, mendapat terapi
plasmaparesis dalam 4 minggu mulai saat onset, progresifitas penyakit lambat dan
pendek, dan terjadi pada penderita berusia 30-60 tahun (Iskandar, 2005; Seneviratne ,
2003).
16