Anda di halaman 1dari 35

STUDENT LEARNING OBJECTIVE ( SLO ) PJBL TOPIK 1

Topik: Fundamental Pathophysiology (FP) ALL dan Thalassemia


A. Acute Lymphoblastic Leukemia (ALL)
1. Definisi
2. Etiologi
3. Faktor Resiko
4. Epidemiologi
5. Patofisiologi (berupa bagan dan termasuk pohon masalah keperawatan)
6. Tanda dan Gejala
7. Pemeriksaan Diagnostik
8. Penatalaksanaan
9. Pencegahan
10. Komplikasi
B. Thalassemia
1. Definisi
2. Etiologi
3. Faktor Resiko
4. Epidemiologi
5. Patofisiologi (berupa bagan dan termasuk pohon masalah keperawatan)
6. Tanda dan Gejala
7. Pemeriksaan Diagnostik
8. Penatalaksanaan
9. Pencegahan
10. Komplikasi

A. ACUTE LYMPHOBLASTIC LEUKIMIA (ALL)


1. DEFINISI ACUTE LYMPHOBLASTIC LEUKIMIA
Leukemia adalah penyakit keganasan sel darah yang berasal
dari sumsum tulang, ditandai proliferasi sel-sel darah putih, gangguan
pengaturan leukosit dengan manifestasi adanya sel-sel abnormal dalam
darah tepi (Permono,et al. 2010). Menurut Soto (2009) leukemia akut
adalah suatu penyakit keganasan primer dari organ pembentuk darah,
adanya infiltrasi progresif dan penggantian sumsum tulang normal serta
jaringan limfatik oleh sel immatur pembentuk limfoid dan myeloid.
LLA adalah yang paling umum keganasan pada anak-anak.
Klinis LLA ditentukan oleh derajat kegagalan sumsum tulang, disebabkan
oleh infiltrasi limfoblas dan infiltrasi organ ekstramedullar (Arceci, Hann &
Smith, 2006).
Leukemia limfositik akut (LLA) adalah suatu penyakit yang
berakibat fatal, dimana sel-sel yang dalam keadaan normal berkembang
menjadi limfosit berubah menjadi ganas dan dengan segera akan
menggantikan sel-sel normal di dalam sumsum tulang. LLA merupakan
leukemia yang paling sering terjadi pada anak-anak. Sekitar 85% dari
semua tipe leukemia pada anak merupakan LLA. Leukimia jenis ini
merupakan 25% dari semua jenis kanker yang mengenai anak-anak di
bawah umur 15 tahun. Paling sering terjadi pada anak usia antara 3-10
tahun, tetapi kadang terjadi pada usia dewasa dengan umur 30-50 tahun.
(Mughal,2006)
Dalam penelittian pada leukemia limfoblastik akut menunjukkan
bahwa sebagian besar LLA (Leukemia limfoblastik akut) mempunyai
homogenitas pada fenotif permukaan sel blas dari setiap pasien, sehingga
dugaan semakin kuat bahwa populasi sel leukemia itu berasal dari sel
tunggal. Oleh karena homogenitas itu maka LLA diklasifikasikan secara

morfologik sebagai berikut:


L-1 terdiri dari sel-sel limfoblas kecil serupa, dengan kromatin homogen
anak inti umumnya tidak tampak dari sitoplasma sempit.

L-2 pada jenis ini sel limfoblas lebih besar tetapi ukurannya bervariasi,

kromatin lebih kasar dengan satu atau lebih anak inti.


L-3 terdiri dari sel limfoblas besar, homogeny dengan kromatin berbecak,
banyak ditemukan anak inti serta sitoplasma yang basofilik dan

bervakuolisasi.
LLA 5 kali lebih sering daripada LMA dengan perkiraan 70-80% leukemia
pada anak merupakan leukemia jenis LLA. (Gurney et al, 1995; Pui, 1997,
2000; Zipf et al, 2000). Selain itu LLA juga memiliki tingkat kesembuhan
kira-kira 75-80% (Pui et al, 2003)
2. ETIOLOGI ACUTE LYMPHOBLASTIC LEUKIMIA
Penyebab Akut Limfoblastik Leukimia (ALL) sampai saat ini belum
jelas, diduga kemungkinan karena virus (virus onkogenik) dan faktor lain
yang mungkin berperan, yaitu:
1.
Faktor Predisposisi
a) Penyakit defisiensi imun tertentu, misalnya agannaglobulinemia;
kelainan kromosom, misalnya sindrom Down (risikonya 20 kali lipat
populasi umumnya); sindrom Bloom.
b) Virus
Virus sebagai penyebab sampai sekarang masih terus diteliti. Kita
tahu bahwa virus disebut HTLV-1 (manusia sel T leukemia virus)
meningkatkan risiko mengembangkan jenis langka dewasa sel T
leukemia.Sel leukemia mempunyai enzim trankriptase (suatu enzim
yang diperkirakan berasal dari virus). Limfoma Burkitt, yang diduga
disebabkan oleh virus EB, dapat berakhir dengan leukemia.
c) Radiasi ionisasi
Terdapat bukti yang menyongkong dugaan bahwa radiasi pada ibu
selama kehamilan dapat meningkatkan risiko pada janinnya. Baik
dilingkungan kerja, maupun pengobatan kanker sebelumnya.
Terpapar zat-zat kimiawi seperti benzene, arsen, kloramfenikol,
fenilbutazon, dan agen anti neoplastik.
d) Herediter

Faktor herediter lebih sering pada saudara sekandung terutama


pada kembar monozigot.
e) Obat-obatan
Obat-obat
imunosupresif,

obat

karsinogenik

seperti

diethylstilbestrol
f) Merokok dan Alkohol
Sebuah tinjauan studi (analisis meta) pada tahun 2009
menunjukkan bahwa rokok dalam rumah oleh orang tua dapat
meningkatkan risiko ALL pada anak-anak mereka. Ini termasuk
merokok oleh ayah dalam waktu sebelum konsepsi. Data dari studi
ESCALE Perancis pada tahun 2013 menunjukkan bahwa minum
lebih dari 2 cangkir kopi sehari dapat sedikit meningkatkan risiko
anak ALL. Penelitian lebih lanjut diperlukan pada hal ini.
2.

Faktor Lain
a)
Faktor eksogen seperti sinar X, sinar radioaktif, dan bahan kimia
b)
c)

(benzol, arsen, preparat sulfat), infeksi (virus dan bakteri).


Faktor endogen seperti ras
Faktor konstitusi seperti kelainan kromosom, herediter (kadangkadang dijumpai kasus leukemia pada kakak-adik atau kembar
satu telur).

3. FAKTOR RESIKO ACUTE LYMPHOBLASTIC LEUKIMIA


a. Faktor genetik
Insidensi ALL pada anak-anak penderita sinddrom down adalah
20 kali lebih banyak daripada normal. Kelainan pada kromosom 21 dapat
mengakibatkan leukemia akut
pada

penderita

agranulositosis

kelainan

Insiden leukemia akut juga meningkat

kongenital

kongenital,sindrom

dengan
ellis

aneuloidi,

van

misalnya

greveld,penyakit

seliak,sindrom bloom,anemia fanconi, sindrom klenefelter dan sindrom


trisomi D.
b. Sinar Radioaktif

Sinar radioaktif merupakan faktor eksternal yang paling jelas


dapat menyebabkan leukemia pada binatang maupun pada manusia .
Angka kejadian leukemia mioblastik akut (AML) dan leukemia granulositik
kronis (LGK) jelas sekali meningkat sesudah sinar radioaktif. Penderita
yang diobati dengan sinar radioaktif akan menderita leukemia sekitar 6 %
klien dan baru terjadi sesudah 5 tahun.
c. Virus
Ada beberapa penelitian yang membuktikan bahwa penyebab
leukemia adalah virus. Terutama dalam penelitian tersebut penyebabnya
adalah adanya enzymreverse transkriptase yang ditemukan dalam darah
manusia. Seperti diketahui bahwa enzym ini juga ditemukan dalam virusw
onkogenikseperti

retrovirus

tipe

yaitu

jenis

virus

RNA yang

menyebabkan leukemia pada binatang. Enzym tersebut menyebabkan


virus yang bersangkutan dapat membentuk bahan genetic yang kemudian
bergabung dengan genom yang terinfeksi.
d. Bahan Kimia
Belson et al (2007) menguraikan bahwa bahan-bahan kimia
yang pada umumnya kebanyakan berhubungan dengan leukemia anak
adalah hidrokarbon dan pestisida. Beberapa studi membuktikan adanya
hubungan antara leukemia dan keterpaparan langsung dengan bahanbahan kimia tersebut (misalnya pestisida yang digunakan dirumah
tangga) (Freedman et al, 2001; Lowengart 1987). Hidrokarbon merupakan
bahan organic yang terdiri dari kardon dan hydrogen, dan terdapat dalam
bensin. Hidrokarbon juga banyak ditemukan dalam rumah tangga dan
produk industry seperti cat, tinta, dan bahan pelarut yang digunakan untuk
melarutkan bahan kimia lain.
e. Radiasi Non-Ionisasi
Radiasi medan elektromagnetik merupakan radiasi yang
bersifat non-ionisasi. Radiasi ini terdiri dari medan magnet dan medan
listrik yang berperan dalam meningkatkan risiko leukemia. Beberapa
penelitian

menemukan

bahwa

keterpaparan

terhadap

medan

elektromagnetik memiliki hubungan dengan leukemia pada anak (Ross et


al, 1994; Kyle, 2001).
f. Alkohol
Konsumsi alcohol selama hamil dapat meningkatkan risiko
leukemia jenis LMA. (Shu et al, 1996; Van Duijin et al, 1994). Shu et al
(1996) menguji pengaruh konsumsi alcohol terhadap peningkatan risiko
leukemia anak, mulai 1 bulan sebelum kehamilan sampai selama masa
kehamilan. Risiko LMA dengan konsumsi alcohol selama kehamilan
hampir 2 kali dari LLA. (Belson et al, 2007).
g. Riwayat Reproduksi
Terdapat factor pada orang tua yang mempengaruhi kejadian
leukemia pada anak, diantaranya adalah riwayat reproduksi. Beberapa
penelitian menyatakan bahwa riwayat reproduksi ibu berhubungan
dengan leukemia anak (Ross et al, 1994). Ibu yang pernah keguguran
sebanyak dua kali atau lebih memiliki risiko 25 kali lebih tinggi
dibandingkan dengan anak yang ibunya tidak pernah keguguran.
Penelitian tersebut dilakukan pada kasus leukemia anak dengan usia di
bawah 2 tahun
Faktor lain adalah umur ibu. Umur ibu yang sudah tua saat
mengandung berhubungan dengan leukemia anak khususnya tipe
leukemia limfositik akut. Ibu yang mengandung pada umur > 35 tahun
meningkatkan risiko leukemia pada anak yang dikandung (Belson et al,
2007).
4. EPIDEMIOLOGI ACUTE LYMPHOBLASTIC LEUKIMIA
ALL merupakan jenis leukimia yang dijumpapi pada anak-anak.
Hampir semua leukimia terjadi pada anak-anak yang berusia di bawah 4
tahun dan separuh dari remaja adalah leukemia jenis ini. Beberapa data
epidemiologi menunjukkna data sabagai berikut :
a Insidensi

Insiden leukemia dinegara barat adalah 13/100.000 penduduk /tahun.


Leukemia merupaka n 2,8 % dari seluruh kasus kanker,belum ada
angka pasti mengenai insiden leukemia di Indonesia.
b Frekuansi Relative
Frekuensi relativ leukemia di negara barat menurut Gunz adalah
sebagai berikut :
-Leukemia akut 60%
c. Usia
Penyakit leukemia lymphoblastik acute lebih sering terjadi pada anakanak.
d. Jenis kelamin
Leukemia lebih sering dijumpai laki-laki daripada wanita dengan
perbandingan sekitar 2:1.
Leukemia adalah jenis kanker anak yang paling umum terjadi;
ALL rerjadi pada 80% kasus leukemia anak. Insidens paling tinggi terjadi
pada anak yang berusia antara 3-5 tahun. Anak perempuan menunjukkan
prognosis yang lebih baik daripada anak laki-laki. Sedikitnya 60%-70%
akan mencapai penyembuhan atau kelangsungan hidup jangka panjang.
Anak afrika amerika mempunyai frekuensi remisi yang lebih sedikit dan
angka kesintasan median yang juga lebih rendah
5. PATOFISIOLOGI ACUTE LYMPHOBLASTIC LEUKIMIA
Sebuah sel induk majemuk berpotensi untuk mengalami
diferensiasi, poliferasi dan maturasi untuk membentuk sel-sel darah
matang yang dapat dilihat pada sirkulasi perifer. Sel-sel induk majemuk
awalnya dibedakan untuk membentuk dua kolam sel induk yang berbeda.
Sel induk myeloid menimbulkan enam jenis sel darah (eritrosit, trombosit,
monosit, basofil, neutrofil, eusinofil). Sedangkan sel induk limfoid
dibedakan untuk membentuk sirkulasi limfosit T Band. Leukimia dapat
berkembang pada setiap tahap dan dalam setiap baris sel. Dua hal yang

umum pada acute lymphocytic atau lymphoblastic leukemia (ALL), acute


myeloid leukemia (AML). Pertama, keduanya muncul dari sebuah sel
leukimia tunggal yang mengembang dan memperoleh mutasi tambahan,
yang berpuncak pada populasi sel leukimia monoklonal. Kedua, adanya
kegagalan untuk menjaga keseimbangan relatif antara proliferasi dan
diferensiasi, sehingga sel-sel tidak bisa membedakan melewati tahap
tertentu sel yang hematopoiesis. Sel (lymphoblast atau myeloblast)
kemudian berkembang tak terkendali.
Sel yang berasal dari sel myeloid akan menyebabkan Acute
Myeloid Leukimia (AML) sementara sel yang berasal dari sel induk limfosit
akan menyebabkan Acute Lymphobastic Leukimia (ALL). ALL akan
melakukan invasi keberbagai organ tubuh, baik organ vital seperti hati,
limpa, dan tulang. Selain itu sel leukosit itu juga akan menginvasi sitem
syaraf pusat dan sumsum tulang. Apabila sel kanker menginvasi sumsum
tulang akan menyebabkan penggantian unsur sel normal sehingga kerja
dari sumsum tulang sebagai produsen eritrosit akan berpengaruh dengan
berkurangnya

jumlah

produksi

eritrosit

yang

akan

menyebabkan

timbulnya anemia. Anemia sendiri akan menyebabkan suplai oksigen ke


jantung

menurun,

lesu,

pucat,

dispneu

dan

letargi

yang

akan

menyebabkan perubahan pada pola nafas seseorang. Invasi sel leukosit


itu juga bisa menyebabkan trombositopenia yang bisa mengakibatkan
pendarahan sehingga bisa terjadi syok hipovolemik. Selain itu akibat
berkurangnya sel leukosit yang normal akan menyebabkan penurunan
status imun dalam tubuh sehingga resiko seseorang mengalami infeksi
juga semakin besar. Sementara apabila sel leukosit abnormal menginvasi
system syaraf pusat Sakit kepala, nausea, diplopia, penglihatan kabur.
Dan apabila invasi dari sel leukosit abnormal sudha masuk ke organ vital
dalam tubuh akan memperburuk kondisi kesehatan pasien, mulai dari
nyeri tulang apabila sel leukosit memasuki tulang, hepatomegali apabila

menginfiltrasi hati sampai terjadi splenomegali dan limfadenopati akibat


infiltrasi sel leukosit abnormal ke limfa. (Dipiro, et al, 2005. Cecily Lynn
Betz & Linda A.).

6. TANDA DAN GEJALA ACUTE LYMPHOBLASTIC LEUKIMIA


Manifestasi klinis leukemia limfositik menyerupai leukemia
granulositik akut, dengan tanda dan gejala dikaitkan dengan penekanan
unsur sumsum tulang normal (Wujcik, 2000). Karena itu, infeksi,
perdarahan dan anemia merupakan manifestasi utama. Sepertiga pasien
tampak dengan infeksi dan perdarahan waktu didiagnosis. Malaise,
demam, letargi, kehilangan berat badan, dan keringat pada malam hari
juga dapat menjadi gejala yang tampak. Karena menyerang daerah
ekstramedular, pasien ini mengalami limfadenopati (kelenjar getah bening
yang membesar) dan hepatosplenomegali (lien dan hepar membesar).
Nyeri tulang dan arthralgia, meskipun terdapat pada orang dewasa, lebih
sering pada anak-anak. (Sylvia A. Price & Lorraine M. Wilson. 2005)
7. PEMERIKSAAN

DIAGNOSTIK

ACUTE

LYMPHOBLASTIC

LEUKIMIA
Secara umum diagnosis penyakit leukemia (kanker darah)
dapat dipastikan dengan beberapa pemeriksaan, antara lain:
Pemeriksaan fisik : dokter memeriksa pembengkakan nodus-nodus
getah bening, limpa, dan hati.

Tes darah : laboratorium memeriksa tingkat sel-sel darah. Leukemia


menyebabkan suatu tingkatan sel-sel darah putih yang sangat tinggi.
Ia juga menyebabkan tingkatan-tingkatan yang rendah dari plateletplatelet dan hemoglobin, yang ditemukan di dalam sel-sel darah
merah.

Pasien

dengan

leukemia

pada

umumnya

mengalami

peningkatan jumlah sel darah putih (leukosit) yaitu antara 20 sampai


200 x 109/liter. Banyak factor yang mempengaruhi jumlah sel darah
putih pada manusia seperti infeksi bakteri namun jumlah sel yang
sangat tinggi menandakan kemungkinan besar adalah leukemia.
Biopsi : dokter mengangkat beberapa sumsum tulang dari tulang
pinggul atau tulang besar lainnya. Seorang ahli patologi memeriksa
contoh di bawah sebuah mikroskop. Pengangkatan jaringan untuk
mencari sel-sel kanker disebut biopsi. Biopsi adalah cara satu-satunya
yang pasti untuk mengetahui apakah sel-sel leukemia ada didalam
sumsum tulang. Ada dua cara dokter dapat memperoleh sumsum
tulang. Beberapa pasien-pasien akan mempunyai prosedur keduaduanya:
a. Bone marrow aspiration (Penyedotan sumsum tulang): dokter
menggunakan sebuah jarum untuk mengangkat contoh-contoh dari
sumsum tulang.
b. Bone marrow

biopsy

(Biopsi

sumsum

tulang):

dokter

menggunakan suatu jarum yang sangat tebal untuk mengangkat


sepotong kecil dari tulang dan sumsum tulang.
Kemudian akan dilakukan pemeriksaan dengan mikroskop. Pada
pasien leukemia akut, dalam sumsum tulang yang diperiksa tedapat
jumlah sel blast yang sangat banyak. Sel blast akan terlihat pada
sumsum tulang meskipun tidak terlihat pada saat pemeriksaan darah.
Pada leukemia mielositik kronik, sel yang terlihat tidak normal adalah
sel granulosit. Sementara pada leukemia limfositik kronik adalah sel
limfosit sama seperti yang terlihat pada darah.

Cytogenetics : Lab melihat pada kromosom-kromosom dari sel-sel


dari contoh-contoh dari peripheral blood, sumsum tulang, atau nodusnodus getah bening.
Spinal tap : dokter mengangkat beberapa dari cairan cerebrospinal
(cairan yang mengisi ruang-ruang di dan sekitar otak dan sumsum
tulang belakang). Dokter menggunakan suatu jarum panjang yang
kecil untuk mengangkat cairan dari kolom tulang belakang (spinal
columm).

Prosedur

memakan

waktu

kira-kira

30

menit

dan

dilaksanakan dengan pembiusan local. Pasien harus terbaring untuk


beberapa jam setelahnya untuk mempertahankannya dari mendapat
sakit kepala. Lab memeriksa cairan untuk sel-sel leukemia dan tandatanda lain dari persoalan-persoalan.
Chest X-ray : X-ray dapat mengungkap tanda-tanda dari penyakit di
dada.
Diagnosis leukemia lymphoblastic akut dilakukan dengan
pemeriksaan fisik yaitu ditemukan splenomegaly (80%), hepatomegaly,
limfadenopati, nyeri tekan tulang dada, ekimosis, dan pendarahan retina.
Kemudian

ada

beberapa

pemeriksaan

penunjang

diantaranya

pemeriksaan darah tepid an pemeriksaan sumsum tulang. Pada


pemeriksaan darah tepi ditemukan leukositosis (60%) dan kadang-kadang
leukopeni (25%). Namun untuk menentukan seseorang terkonfirmasi
sebagai penderita leukemia haruslah dengan pemeriksaan sumsum
tulang. Pada diagnosis jenis LLA ditemukan lebih dari 50% sel sumsum
tulang merupakan lymphoblasts. Jumlah blast minimal 20-30% dari sel
berinti sumsum tulang (Mughal, et al. 2006).
8. PENATALAKSANAA ACUTE LYMPHOBLASTIC LEUKIMIA
Pengobatan leukemia lymphoblastic akut (ALL) bervariasi
menurut usia, kondisi umum, diagnosa dan hasil pengujian cytogenetic.
Terapi standar untuk ALL telah berubah kurang lebih dalam 15 tahun
terakhir, strategi saat ini telah sangat efektif menyembuhkan orang

dewasa. Tujuan terapi adalah obat. Pengobatan dapat dibagi menjadi


empat tahap:
Tahap pertama - induksi kemoterapi
Tahap kedua - konsolidasi kemoterapi
Tahap Ketiga - perawatan kemoterapi
Tahap keempat - profilaksis sistem saraf pusat (SSP)
Dua fase pertama menggunakan obat kemoterapi intensif
dirancang untuk membunuh sel-sel leukemia yang tumbuh dengan cepat.
Terapi yang lengkap untuk ALL biasanya berkelanjutan selama dua
sampai tiga tahun.
Pengobatan dan perawatan yang terselesaikan dicapai sekitar
90 persen dari pasien, dengan 25 persen menjadi 40 persen menikmati
kelangsungan hidup jangka panjang. Sekitar 5 persen dari pasien
meninggal karena komplikasi terkait pengobatan selama terapi awal
mereka, dan 5 persen lain tidak pernah mencapai penyelesaian awal.
a. Kemoterapi
Pengobatan dari ALL biasanya mendesak dan perlu diberikan
dalam hari, dan kadang-kadang hari yang sama, seperti penetapan
diagnosis . Tahap pertama dari pengobatan, disebut induksi kemoterapi,
mensyaratkan bahwa pasien tetap di rumah sakit selama sekitar empat
minggu.
b. Induksi kemoterapi
Obat yang paling umum digunakan untuk induksi pengobatan
dari ALL ini adalah daunorubicin, vincristine, prednison, asparaginase dan
kadang-kadang siklofosfamid. Intensif perawatan suportif menyertai
kemoterapi, termasuk transfusi sel darah merah dan trombosit. Antibiotik
yang diperlukan baik preventatively maupun sebagai pengobatan untuk
infeksi bakteri dan jamur. Agen G-CSF (Neupogen) dapat bermanfaat
dalam menghitung darah putih normal yang dapat membangun kembali
dengan cepat. Walaupun kemungkinan luka mulut dan gangguan pada
saluran usus jarang ditemukan, tapi sementara terjadi rambut rontok.

Setelah jumlah darah kembali normal, sumsum tulang biopsi


dilakukan ulang untuk menentukan apakah pasien telah memasuki remisi
lengkap. Remisi lengkap dicapai ketika darah dan sumsum
tulang tidak menunjukkan bukti leukemia dan jumlah darah kembali
normal.
c. Konsolidasi kemoterapi
Konsolidasi kemoterapi biasanya mencakup beberapa siklus
kemoterapi intensif yang diberikan selama enam sampai sembilan bulan.
Rawat inap sering diminta dan intensif perawatan suportif masih
diperlukan,

termasuk

transfusi

sel

darah

merah

dan

trombosit.

Transplantasi sel induk tidak biasanya dilakukan untuk mengobati ALL


kecuali terdapat Sitogenetik abnormal. Agen kemoterapi digunakan
selama konsolidasi termasuk agen sama digunakan selama induksi, serta
Ara-C, etoposide, metotreksat dan 6-mercaptopurine.
d. Perawatan kemoterapi
Setelah pasien menyelesaikan kemoterapi intensif, mereka
perlu mengambil pil oral kemoterapi untuk 18-24 bulan tambahan. Pil oral
kemoterapi ini biasanya metotreksat dan 6-mercaptopurine biasanya
dapat ditoleransi dengan baik dan dengan efek samping yang minimal.
Pasien harus melakukan tes darah mereka dan memeriksakan sebulan
sekali saat mengambil pil kemoterapi. Kebanyakan pasien dengan ALL
dapat kembali bekerja selama terapi berlangsung.
e. Profilaksis Sistem saraf pusat (SSP)
ALL sering dapat kambuh dalam cairan tulang belakang, cairan
yang banyak mengandung sum-sum tulang belakang dan otak. Untuk
mencegah kambuh di lokasi ini, kemoterapi harus disuntikkan langsung ke
dalam cairan yang mengandung sum-sum tulang belakang. Hal ini
dilakukan dengan memasukkan jarum antara vertebra punggung ( disebut

keran tulang belakang atau fungsi lumbal) dan menanamkan kemoterapi


langsung ke cairan tulang belakang. Ini disebut intrathecal kemoterapi.
Pasien secara rutin diberikan suntikan enam atau lebih
intrathecal kemoterapi untuk mencegah terulangnya ALL. Suntikan lain
mungkin diperlukan jika sel-sel leukemia terdeteksi dalam sum sum
tulang belakang. Kebanyakan orang melakukan intrathecal terapi dalam
dua sampai empat bulan dari awal pengobatan mereka. Sakit kepala dan
mual adalah efek samping yang kadang-kadang terjadi.
f. Terapi ajuvan
Hingga satu-seperempat dari orang dewasa dengan semua
memiliki "kromosom Philadelphia" dalam sel-sel leukemia mereka, yang
menunjukkan prognosis yang buruk. Ada beberapa obat yang disetujui
FDA yang tersedia untuk pasien seperti ini, termasuk imatinib (Gleevec)
dan dasatinib (Sprycel). Pasien mulai mendapatkan obat tersebut selama
induksi kemoterapi dan terus tanpa batas. Seperti semua pasien biasanya
diberi alogenik transplantasi sumsum tulang sebagai obat terbaik untuk
mereka. Semua pasien rentan terhadap infeksi virus dan radang paruparu

yang

disebut

pneumocystis

selama

pengobatan

mereka.

Pencegahan dengan antibiotik, seperti asiklovir dan Septra atau Bactrim,


diberikan selama terapi ALL.
g. Transplantasi sel induk
Transplantasi sel induk, juga disebut transplantasi darah atau
sumsum (BMT), dilakukan hanya pada pasien yang memiliki Sitogenetik
normal, pengujian kromosom atau lainnya beresiko tinggi pada semua
fitur.

Sitogenetik

adalah

komponen

yang

paling

penting

untuk

memutuskan apakah seseorang harus melakukan transplantasi sumsum


tulang untuk ALL. Pasien dengan kromosom Philadelphia atau dengan
translokasi melibatkan kromosom 4 dan 11, harus melakukan BMT.

Di UCSF Medical Center, transplantasi alogenik

yang

menggunakan sel induk atau sumsum tulang dari saudara yang cocok
atau saudari pilihan dan dianggap terapi standar untuk ALL. Pasienpasien

muda

dengan

ALL

sangat

berisiko

transplantasi alogenik tapi kekurangan donor

tinggi

membutuhkan

saudara yang cocok

kadang-kadang dilakukan dengan transplantasi alogenik menggunakan


donor

yang tidak cocok diidentifikasi pada Program Donor sumsum

Nasional (NMDP). UCSF kami juga menawarkan transplantasi autologous


yang menggunakan sel-sel yang dikumpulkan dari darah pasien sendiri
setelah mereka telah mencapai remisi lengkap-untuk pasien dengan ALL
berisiko tinggi donor yang kurang kompatibel.
Protokol transplantasi sel induk autologous adalah terapi
penelitian. Setelah sukses induksi terapi, pasien dengan ALL berisiko
tinggi diberikan satu siklus kemoterapi intensif konsolidasi. Ketika jumlah
darah mulai kembali normal setelah konsolidasi terapi, sel-sel induk yang
dikumpulkan dari darah yang menggunakan teknik yang disebut
apheresis. Kateter IV besar yang disebut kateter Quentin dimasukkan ke
salah satu pembuluh darah besar di leher. Kateter ini terhubung ke
sebuah mesin apheresis, yang bertindak sebagai sebuah centrifuge yang
memisahkan darah ke komponen individual, memungkinkan terdapat
hanya sel darah putih. Semua sel lain, termasuk sel-sel darah merah dan
trombosit, diberikan kembali kepada pasien.
Setiap prosedur apheresis mengambil empat jam, dan dua
sampai tiga prosedur biasanya diperlukan untuk mengumpulkan sel induk
yang cukup. Setelah menyelesaikan radiasi dan kemoterapi, sel-sel induk
autologous dicairkan dan kembali diinfus melalui pembuluh darah untuk
me-restart produksi darah. Terapi dosis tinggi dalam semua protokol
termasuk terapi radiasi dan kemoterapi. Rawat inap perlu untuk radiasi
dengan dosis tinggi, kemoterapi dan infus ulang sel-sel induk darah

perifer autologous berlangsung kira-kira empat minggu. Efek sampingnya


sangat banyak dan perawatan suportif agresif merupakan

langkah-

langkah yang diperlukan.


9. PENCEGAHAN ACUTE LYMPHOBLASTIC LEUKIMIA
1. Pencegahan Primer
Pencegahan primer meliputi segala kegiatan yang dapat
menghentikan kejadian suatu penyakit atau gangguan sebelum hal itu
terjadi.
a. Pengendalian Terhadap Pemaparan Sinar Radioaktif
Pencegahan ini ditujukan kepada petugas radiologi dan pasien
yang penatalaksanaan medisnya menggunakan radiasi. Untuk petugas
radiologi dapat dilakukan dengan menggunakan baju khusus anti radiasi,
mengurangi paparan terhadap radiasi, dan pergantian atau rotasi kerja.
Untuk pasien dapat dilakukan dengan memberikan pelayanan diagnostik
radiologi serendah mungkin sesuai kebutuhan klinis.
b. Pengendalian Terhadap Pemaparan Lingkungan Kimia
Pencegahan ini dilakukan pada pekerja yang sering terpapar
dengan benzene dan zat aditif serta senyawa lainnya. Dapat dilakukan
dengan memberikan pengetahuan atau informasi mengenai bahan-bahan
karsinogen agar pekerja dapat bekerja dengan hati-hati. Hindari paparan
langsung terhadap zat-zat kimia tersebut.
c. Mengurangi frekuensi merokok
Pencegahan ini ditujukan kepada kelompok perokok berat agar
dapat berhenti atau mengurangi merokok. Satu dari empat kasus LMA
disebabkan

oleh

merokok.

Dapat

dilakukan

dengan

memberikan

penyuluhan tentang bahaya merokok yang bisa menyebabkan kanker


termasuk leukemia (LMA).
d. Pemeriksaan Kesehatan Pranikah
Pencegahan ini lebih ditujukan pada pasangan yang akan
menikah. Pemeriksaan ini memastikan status kesehatan masing-masing

calon mempelai. Apabila masing-masing pasangan atau salah satu dari


pasangan tersebut mempunyai riwayat keluarga yang menderita sindrom
Down atau kelainan gen lainnya, dianjurkan untuk konsultasi dengan ahli
hematologi. Jadi pasangan tersebut dapat memutuskan untuk tetap
menikah atau tidak.
2. Pencegahan Sekunder
Pencegahan

sekunder

bertujuan

untuk

menghentikan

perkembangan penyakit atau cedera menuju suatu perkembangan ke


arah kerusakan atau ketidakmampuan.Dapat dilakukan dengan cara
mendeteksi penyakit secara dini dan pengobatan yang cepat dan tepat.
a. Diagnosis dini
a.1 Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik untuk jenis LLA yaitu ditemukan splenomegali
(86%), hepatomegali, limfadenopati, nyeri tekan tulang dada, ekimosis,
dan perdarahan retina. Pada penderita LMA ditemukan hipertrofi gusi
yang mudah berdarah. Kadang-kadang ada gangguan penglihatan yang
disebabkan adanya perdarahan fundus oculi. Pada penderita leukemia
jenis LLK ditemukan hepatosplenomegali dan limfadenopati. Anemia,
gejala-gejala hipermetabolisme (penurunan berat badan, berkeringat)
menunjukkan penyakitnya sudah berlanjut.Pada LGK/LMK hampir selalu
ditemukan splenomegali, yaitu pada 90% kasus. Selain itu Juga
didapatkan nyeri tekan pada tulang dada dan hepatomegali. Kadangkadang terdapat purpura, perdarahan retina, panas, pembesaran kelenjar
getah bening dan kadang-kadang priapismus.
a.2 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan dengan pemeriksaan
darah tepi dan pemeriksaan sumsum tulang.

a.2.1 Pemeriksaan darah tepi


Pada penderita leukemia jenis LLA ditemukan leukositosis
(60%) dan kadang-kadang leukopenia (25%).Pada penderita LMA
ditemukan penurunan eritrosit dan trombosit.Pada penderita LLK
ditemukan limfositosis lebih dari 50.000/mm 3, sedangkan pada penderita
LGK/LMK ditemukan leukositosis lebih dari 50.000/mm 3.
a.2.2. Pemeriksaan sumsum tulang
Hasil pemeriksaan sumsum tulang pada penderita leukemia
akut ditemukan keadaan hiperselular. Hampir semua sel sumsum tulang
diganti sel leukemia (blast), terdapat perubahan tiba-tiba dari sel muda
(blast) ke sel yang matang tanpa sel antara (leukemic gap). Jumlah blast
minimal 30% dari sel berinti dalam sumsum tulang. Pada penderita LLK
ditemukan adanya infiltrasi merata oleh limfosit kecil yaitu lebih dari 40%
dari total sel yang berinti. Kurang lebih 95% pasien LLK disebabkan oleh
peningkatan limfosit B. Sedangkan pada penderita LGK/LMK ditemukan
keadaan hiperselular dengan peningkatan jumlah megakariosit dan
aktivitas granulopoeisis. Jumlah granulosit lebih dari 30.000/mm 3.

10. KOMPLIKASI ACUTE LYMPHOBLASTIC LEUKIMIA


Anak yang selamat dari leukemia mengalami peningkatan risiko
untuk terjadi keganasan baru di masa selanjutnya dibandingkan
dengan anak-anak yang tidak sakit leukemia, lebih cendrung
berhubungan dengan sifat agresif regimen kemoterapeutik (atau
radiologi).
Regimen terapi,

termasuk

transplantasi

sumsum

tulang,

dihubungkan dengan depresi sumsum tulang temporer, dan

peningkatan risiko perkembangan infeksi berat yang dapat


menyebabkan kematian.
Bahkan pada terapi dan remisi yang berhasil, sel-sel leukimik
masih tetap ada, meninggalkan gejala sisa penyakit. Implikasi
untuk prognosis dan pengobatan masih belum jelas. (Elizabeth J
Corwin, 2009)

B. THALASSEMIA
1. DEFINISI THALASSEMIA
Talasemia adalah gangguan pembuatan hemoglobin yang
diturunkan. Pertama kali ditemukan secara bersamaan di Amerika Serikat
dan Itali antara

1925-1927. Kata Talasemia dimaksudkan untuk

mengaitkan penyakit tersebut

dengan penduduk Mediterania, dalam

bahasa Yunani Thalasa berarti laut. (Permono, & Ugrasena, 2006).

Menurut Setianingsih (2008), Talasemia merupakan penyakit


genetik yang menyebabkan gangguan sintesis rantai globin, komponen
utama molekul hemoglobin (Hb).
Menurut studi yang dilakukan oleh Sylvia Morais de Souza et al,
thalassemia adalah penyakit monogenik paling umum dan ditandai
dengan anemia hipokromatik dan mikrositik, yang terjadi akibat dari
tidak adanya atau berkurangnya sintesis rantai globin.
Menurut studi yang dilakukan oleh Deborah Rund dan Eliezer
Rachmilewitz, talasemia adalah anemia turunan yang disebabkan . Oleh
kelainan

produksi

hemoglobin.

Thalassemia

menyebabkan

tubuh

mensintesa lebih sedikit sel-sel darah merah yang sehat dan hemoglobin
kurang dari biasanya.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Mohammad Azhar
Ibrahim Kharza, thalassemia merupakan suatu kelainan bawaan sintesis
hemoglobin (Hb). Kelainan ini bervariasi, dari asimtomatik sampai parah,
dan bervariasi sesuai dengan rantai hemoglobin darah yang terpengaruh.
Rantai yang mengalami kelainan mempengaruhi usia onset gejala (Thalassemia mempengaruhi janin, -Thalassemia mempengaruhi bayi
yang baru lahir).
2. ETIOLOGI THALASSEMIA
Thalassemia terjadi akibat adanya perubahan pada gen globin
pada kromosom manusia. Gen globin adalah bagian dari sekelompok
gen yang terletak pada kromosom 11. Bentuk daripada gen beta-globin ini
diatur oleh locus control region (LCR). Berbagai mutasi pada gen atau
pada unsur-unsur dasargen menyebabkan cacat pada inisiasi atau
pengakhiran transkripsi, pembelahan RNA yang abnormal, substitusi, dan
frameshifts. Hasilnya adalah penurunan atau pemberhentian daripada
penghasilan

rantai

beta-globin,

sehingga

menimbulkan

sindrom

thalassemia beta.mMutasi Beta-zero () ditandai dengan tidak adanya


produksi beta-globin, yang biasanya akibat mutasi nonsense, frameshift,
atau splicing.Sedangkan mutasi beta-plus() ditandai dengan adanya
produksi beberapa beta-globin tetapi dengan

sedikit cacat splicing.

Mutasi yang spesifik memiliki beberapa hubungan dengan faktor etnis


atau kelompok berbeda yang lazim di berbagai belahan dunia. Seringkali,
sebagian besar individu yang mewarisi penyakit ini mengikuti pola
resesifautosomal,

dengan individu heterozigot memiliki kelainan gen

tersebut, sedangkan pada individu heterozigot atau individu compound


homozigot, kelainan itu memanifestasi sebagai penyakit beta-thalassemia
mayor atau intermedia.
3. FAKTOR RESIKO THALASSEMIA
a. Faktor Genetik
Penyakit ini diturunkan melalui gen yang disebut sebagai gen
globin beta dan gen golbin alpha yang terletak pada kromosom 11 dan
kromosom 16. Pada manusia kromosom selalu ditemukan berpasangan.
Bila hanya sebelah gen globin yang mengalami kelainan disebut carrier
thalassemia. Seorang carrier thalassemia tampak normal/sehat, sebab
masih mempunyai sebelah gen dalam keadaan normal (dapat berfungsi
dengan

baik).

Seorang

carrier

thalassemia

jarang

memerlukan

pengobatan. Bila kelainan gen globin terjadi pada kedua kromosom,


dinamakan penderita thalassemia ( homozigot/mayor). Kedua belah gen
yang sakit tersebut berasal dari kedua orang tua yang masing-masing
carrier thalassemia.
Pada proses pembuahan, anak hanya mendapat sebelah gen
globin dari ibunya

dan sebelah lagi dari ayahnya. Bila kedua orang

tuanya masing-masing carrier thalassemia maka pada setiap pembuahan


akan terdapat beberapa kemungkinan. Kemungkinan pertama anak
mendapatkan gen globin yang berubah (gen thalassemia) dari bapaknya
dan ibunya maka anak akan menderita thalassemia. Sedangkan bila anak
hanya mendapat sebelah gen thalassemia dari ibu atau ayahnya maka

anak hanya menjadi carrier penyakit ini. Kemungkinan lain adalah anak
mendapatkan gen globin normal dari kedua orang tuanya.
b. Umur
Thalassemia mayor terjadi bila kedua orang tua carrier
thalassemia. Anak-anak dengan thalassemia mayor tampak normal saat
lahir, tetapi akan menderita kekurangan darah pada usia antara 3-18
bulan. Penderita memerlukan transfusi darah secara berkala seumur
hidupnya. Apabila penderita thalassemia mayor tidak dirawat, maka hidup
mereka biasanya hanya bertahan antara 1-8 tahun.
Pada thalassemia mayor yang gejala klinisnya jelas, gejala
tersebut telah terlihat sejak anak berumur kurang dari 1 tahun. Sedangkan
pada thalassemia minor gejalanya lebih ringan, biasanya anak baru dating
berobat pada umur sekitar 4-6 tahun.
c. Riwayat keluarga thalassemia.
Thalassemia diwariskan dari orang tua kepada anak-anak
mereka melalui gen hemoglobin yang bermutasi. Karena ini adalah
penyakit turunan maka setidaknya tidak perlu menunggu gejala itu muncul
bila memang orang tua memiliki riwayat dengan penyakit ini. Bagi orang
tua yang hidup dengan thalasemia hendaknya segera memeriksakan
kondisi kesehatan anaknya karena bukan tidak mungkin apa yang
diidapnya sekarang menurun ke anak.
d. Keturunan ras tertentu.
Thalassemia cenderung lebih sering terjadi pada orang-orang
Italia, Yunani, Timur Tengah, Asia, dan Afrika.

4. EPIDEMIOLOGI THALASSEMIA
Di seluruh dunia, thalassemia adalah suatu penyakit yang
umum terdapat pada manusia. Thalassemia mengenai seluruh kelompok

etnik di kebanyakan negara di seluruh dunia. Sebagai contoh, di Siprus,


satu dari tujuh individu adalah sebagai pembawa genetik thalassemia,
yang akan menyebabkan 49 pernikahan diantara pembawa genetik
thalassemia menghasilkan 158 kasus thalassemia mayor yang baru.
Sebuah studi longitudinal jangka panjang di German yang dijalankan oleh
Elisabeth Konne dan Enno Kleihauer dari 1971 sampai dengan 2007 telah
mendapati daripada 34.228 orang, 34% dari mereka yang diteliti
ditemukan memiliki sebuah hemoglobinopati. Sebagian besar kasus
melibatkan thalassemia (25798 kasus, 25,6%) dan kelainan struktural
hemoglobin (8.430 kasus, 8,4%). Dari sebuah studi yang dilakukan oleh
M. Sengupta pada penduduk desa di India, daripada 4635 komunitas
etnis, lima mutasi umum dan 12 mutasi langka telah dilaporkan. Dari
sebuah studi survei skala besar di Cina yang dilakukan oleh Yi-Tao Zeng
dan Shu-Zhen Huang, dalam dua dekade terakhir ini, dari satu juta orang
di 28 provinsi, kasus -thalassemia yang dilaporkan adalah 2,64% dan
untuk -thalassemia adalah 0,66%. Dalam satu studi yang dilakukan di
Inggris oleh Hickman Met al, sekitar 3000 bayi yang lahir (0,47%)
membawa sifat sickle cell dan 2800 (0,44%) membawa sifat thalassemia
pertahun. Sekitar 178 (0,28 per 1000 kelahiran) mempunyai penyakit
sickle cell(SCD) dan 43 (0,07 per 1000 kelahiran) mempunyai kelainan
thalassemia beta mayor / intermedia.
Prevalensi dan tingkat keparahan Thalassemia tergantung
kepada populasi (Wiwanitkit, 2007). Thalassemia juga sering dijumpai di
daerah endemik untuk malaria di seluruh dunia (Mosby, 2002). Prevalensi
yang tinggi dijumpai di Mediterranean dan Asia Tenggara. Thalassemia
mayor pertama kali dijumpai di Itali tetapi masalah ini lebih besar di Asia
Tenggara terutama di Thailand dan Laos. Di Asia Tenggara, penderita dan
pembawa Thalassemia adalah sebanyak 1% sampai 40% dari seluruh
populasi. Prevalensi tertinggi dilaporkan di timur laut Thailand, selatan
Laos dan daerah utara dari Kemboja. Tipe utama di daerah ini adalah

Thalassemia (Wiwanitkit, 2007). Thalassemia mempunyai insidens


yang tinggi di Mediterranean. Pada African American, 2-3% mempunyai
Thalassemia minor (Mosby, 2002).
Negara-negara ini dapat

dibagi

kepada

tiga

kategori

berdasarkan fasilitas yang ada. Pertama adalah negara di Mediterranean


dimana sebanyak 80 sampai 100% pencegahan tercapai hasil dari
program pencegahan yang sudah lama dibangunkan. Kedua, daerah
industri yang maju dimana prevalensi meningkat akibat dari migrasi.
Negara-negara ini mempunyai keupayaan untuk mengontrol masalah ini
tetapi payah untuk mencapai kelompok imigran yang mempunyai latar
belakang budaya yang berbeda-beda. Ketiga adalah negara-negara
membangun yang mana penangan terhadap Thalassemia terganggu
akibat masalah ekonomi, prioritas terhadap masalah kesehatan yang lain
seperti penyakit infeksius serta halangan dari segi agama atau budaya.
(Angastiniotis, 1998)
Studi tentang karakteristik pada penderita Thalassemia telah
dilakukan di RS Dr. Pirngadi dari tahun 1979 sampai 1989. didapatkan
131 kasus di mana 61.60% menderita Thalassemia mayor, 35.71%
Thalassemia Hb E dan 2.20% menderita Hemoglobin H. (Sinulingga,
1991)
Perubahan tengkorak lebih konsisten berat pada pasien dengan
thalassemia mayor dibandingkan pada mereka dengan kondisi lainnya
yang menghasilkan hiperplasia sumsum tulang. Dalam sebuah penelitian
terhadap 60 pasien (usia 11-16 tahun) dengan thalassemia, Wisetsin
mengamati bahwa lima (8,3%) memiliki penampilan hair-on-end. Dalam
satu penelitian yang dijalankan tentang kelainan yang terdapat pada
thalassemia, gambaran radiologi yang dijumpai adalah 83% merupakan
perubahan pada trabekular, 65% adalah penipisan dari lamina dura, dan
33% adalah penampilan hair-on-end.

5. PATOFISIOLOGI THALASSEMIA
Hemoglobin post natal ( Hb A )
Rantai alfa

Rantai beta
Defisiensi rantai

beta
Thalassemia beta

Defisiensi sintesa

rantai beta
Hiperplasia

Menstimuli

alfa
Sumsum tulang
Perubahan
Kerusakan pem

Hemopoiesis

eritropoiesis
SDM rusak

Sintesa rantai
extramedular
Splenomegali

Skeletal

limfadenopati

bentukan Hb
Anemia

Hemolisis

Hemokromatosis

Hemolisis
Maturasi Sexual

Hemosiderosis

Fibrosis

Anemia berat
& pertumbuhan
Terganggu
Kulit kecoklatan
Pembentukan eritrosit
oleh sumsum tulang
disuplay dari
transfusi
Fe meningkat
Hemosiderosis
Jantung

Liver

Gagal

Kandung empedu

Sirosis

Kolelitiasis

pancreas

limpa

Diabetes

Splenomegali
Jantung

6. TANDA DAN GEJALA THALASSEMIA


Gejala yang didapat pada pasien berupa gejala umum anemia
yaitu: anemis, pucat, mudah capek, dan adanya penurunan kadar
hemoglobin. Hal ini disebabkan oleh penurunan fungsional hemoglobin
dalam menyuplai atau membawa oksigen ke jaringan-jaringan tubuh yang
digunakan untuk oksidasi sel. Sehingga oksigenasi ke jaringan berkurang.
Selain sebagai pembawa oksigen, hemoglobin juga sebagai pigmen
merah eritrosit sehingga apabila terjadi penurunan kadar hemoglobin ke
jaringan maka jaringan tersebut menjadi pucat. Penurunan fungsional
hemoglobin

tersebut

dapat

disebabkan

oleh

adanya

kelainan

pembentukan hemoglobin, penurunan besi sebagai pengikat oksigen


dalam hemoglobin.

Kompensasi tubuh agar suplai oksigen ke jaringan tetap terjaga


maka jantung sebagai pemompa darah berdenyut lebih keras dan sering
yang disebut sebagai takikardia di mana hal ini juga terjadi pada anak
(denyut nadi 120 kali/menit, normal 60-100 kali.menit). Tetapi frekuensi
respirasi pasien dalam tahap normal 24 kali/menit (normal 16-24
kali/menit). Lemas dan mudah capek disebabkan oleh karena suplai
oksigen ke jaringan untuk oksidasi sel sebagai proses penghasil energi
berkurang. Pasien mengalami penurunan kadar hemoglobin (4,8 g/dl) di
mana nilai rujukan normal untuk anak-anak sebesar 10-16 g/dl (Sutedjo,
2007).
Penurunan ini dapat disebabkan oleh adanya kelainan
produksi/pembentukan hemoglobin berupa kelainan susunan asam amino
dan kelainan kecepatan sintesis hemoglobin. Kelainan dua hal tersebut
dapat dikategorikan adanya hemoglobinopati. Kelainan pembentukan
hemoglobin tersebut dapat mengakibatkan adanya morfologi eritrosit
abnormal (mikrositik, Heinz bodies, sel target) sehingga dengan cepat
akan didestruksi oleh limpa dan hati. Peristiwa destruksi eritrosit secara
cepat kurang dari masa hidupnya (120 hari) disebut sebagai hemolisis.
Adanya hepatomegali dan splenomegali merupakan salah satu tanda dari
anemia hemolitik di mana disertai adanya penurunan kadar hemoglobin.
Pada pasien ditemukan splenomegali sebesar 1 shuffner (satuan
splenomegali yang diukur dengan membuat garis diagonal antara arcus
costarum dengan crista illiaca melewati umbulicus, lalu dari garis tersebut
dibagi menjadi delapan bagian. Satu bagian dinamakan satu shuffner.
Splen atau limpa secara normal bertugas menghancurkan
eritrosit tua maupun abnormal sehingga dapat melepaskan hemoglobin
yang akan dimetabolisme menjadi biliribun di hati/hepar, menjadi reservoir
cadangan eritrosit, sintesis limfosit dan sel plasma dalam system imun,
dan membentuk eritrosit baru saat masa janin dan bayi baru lahir. Adanya
hemolisis menyebabkan proses perombakan eritrosit secara cepat.

Eritrosit abnormal cepat dihancurkan oleh limpa dan hati dengan bantuan
makrofag sehingga semakin banyak eritrosit abnormal maka kerja limpa
akan semakin berat. Hal inilah yang menyebabkan adanya splenomegali.
Selain destruksi eritrosit di limpa juga terdapat di hati. Selain itu
sebagai kompensasi atau umpan balik dari penurunan kadar hemoglobin
akibat oksigenasi ke jaringan kurang merangsang terjadinya eritropoesis
6-8 kali lipat oleh sumsum tulang. Untuk menunjang dan membantu kerja
sumsum tulang dalam eritropoesis sehingga terbentuk eritropoesis
ekstramedular pada limpa dan hati sehingga merupakan salah satu
penyebab hepatosplenomegali. Pada pasien hemoglobinopati anemia sel
sabit tidak ditemukan hepatomegali di mana limpa mengecil dikarenakan
terjadinya infark. Selain itu makrofag di limpa lebih aktif dibandingkan
makrofag pada hati.
Penyebab lain hepatomegali pada pasien disebabkan oleh
pemberian obat penambah darah dan penyerapan besi meningkat akibat
peningkatan eritropoesis di mana mengandung preparat besi (sulfas
ferrosus) sehingga terjadi penimbunan cadangan besi berlebih. Padahal
hati secara normal berfungsi sebagai sintesis ferritin (simpanan besi) dan
transferin (protein pengikat besi) dan sebagai tempat penyimpanan
terbesar cadangan besi dalam bentuk ferritin dan hemosiderin.
Adanya hepatomegali dan splenomegali pada pasien dapat
mengakibatkan penurunan imunitas tubuh sehingga tubuh rentan
terhadap infeksi mikroorganisme. Limpa sebagai tempat sintesis limfosit
dan sel plasma (bahan antibodi) merupakan salah satu pertahanan
imunitas tubuh. Hati sebagai tempat yang sering dilalui mikroorganisme
patogenik

yang

akan

dihancurkan

sebelum

memasuki

saluran

gastrointestinal. Kemungkinan pasien mengalami infeksi dimana terdapat


tanda-tanda infeksi pada pasien, yaitu : suhu (38,0 0C), panas, tonsil
membesar dan kemerahan, dan faring kemerahan. Infeksi ini bisa

didapatkan dari mikroorganisme seperti: malaria, hepatitis, haemophilus,


streptococcus, pneumococcus, dll.
Suhu tubuh meningkat dikarenakan adanya metabolisme organ
yang berlebihan terhadap infeksi. Tonsil merupakan salah satu jaringan
limfoid yang memproduksi limfosit untuk pertahanan imunitas tubuh dan
akan membesar apabila bekerja berlebihan terhadap suatu infeksi atau
penurunan imunitas lainnya. Infeksi mikroorganisme menyerang saluran
pencernaan salah satu faring sehingga membuat organ tersebut
mengalami kemerahan. Gejala infeksi lainnya pada pasien yaitu batuk
pilek.
Gejala klinis thalasemia mayor :
1.

Tampak pucat dan lemah karena kebutuhan jaringan akan oksigen

tidak terpenuhi yang disebabkan hemoglobin pada thalasemia (HbF)


memiliki afinitas tinggi terhadap oksigen
2.

Facies thalasemia yang disebabkan pembesaran tulang karena

hiperplasia sumsum hebat


3.

Hepatosplenomegali yang disebakan oleh penghancuran sel darah

merah berlebihan, hemopoesis ekstramedular, dan kelebihan beban besi.


4.

Pemeriksaan radiologis tulang memperlihatkan medula yang lebar,

korteks tipis, dan trabekula kasar. Tulang tengkorak memperlihatkan


diploe dan pada anak besar kadang-kandang terlihat brush appereance.
5.

Hemosiderosis yang terjadi pada kelenjar endokrin menyebabkan

keterlambatan

menarse

dan

gangguan

perkembangan

sifat

seks

sekunder. Selain itu juga menyebabkan diabetes, sirosis hati, aritmia


jantung, gagal jatung, dan perikarditis.
6.

Sebagai sindrom klinik penderita thalassemia mayor (homozigot)

yang telah agak besar menunjukkan gejala-gejala fisik yang unik berupa
hambatan pertumbuhan, anak menjadi kurus bahkan kurang gizi, perut
membuncit

akibat

hepatosplenomegali

dengan

wajah

yang

khas

mongoloid, frontal bossing, mulut tongos (rodent like mouth), bibir agak
tertarik, maloklusi gigi.
Gejala klinis Thalasemia minor
Penderita yang menderita thalasemia minor, hanya sebagai carrier
dan hanya menunjukkan gejala-gejala yang ringan. Orang dengan anemia
talasemia minor (paling banyak) ringan (dengan sedikit menurunkan
tingkat hemoglobin dalam darah). Situasi ini dapat sangat erat
menyerupai dengan anemia kekurangan zat besi ringan. Namun, orang
dengan talasemia minor memiliki tingkat besi darah normal (kecuali
mereka miliki adalah kekurangan zat besi karena alasan lain). Tidak ada
perawatan yang diperlukan untuk thalassemia minor. Secara khusus, besi
tidak perlu dan tidak disarankan.

7. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK THALASSEMIA


1.
Anamnesis
Keluhan timbul karena anemia: pucat, gangguan nafsu makan,
gangguan tumbuh kembang dan perut membesar karena
pembesaran lien dan hati. Pada umumnya keluh kesah ini mulai
timbul pada usia 6 bulan.
2.

Pemeriksaan fisis
-

Pucat

Bentuk muka mongoloid (facies Cooley)

Dapat ditemukan ikterus

Gangguan pertumbuhan

Splenomegali dan hepatomegali yang menyebabkan perut


membesar

3. Pemeriksaan penunjang

a. Darah tepi :
-

Hb rendah dapat sampai 2-3 g%

Gambaran morfologi eritrosit : mikrositik hipokromik, sel


target,

anisositosis

berat

dengan

makroovalositosis,

mikrosferosit, polikromasi,basophilic stippling, benda HowellJolly, poikilositosis dan sel target. Gambaran ini lebih kurang
khas.
b.

Retikulosit meningkat.
Sumsum tulang (tidak menentukan diagnosis)

Hiperplasi sistem eritropoesis dengan normoblas terbanyak


dari jenis asidofil.

c.

Granula Fe (dengan pengecatan Prussian biru) meningkat.


Pemeriksaan khusus :

Hb F meningkat : 20%-90% Hb total

Elektroforesis Hb : hemoglobinopati lain dan mengukur kadar


Hb F.

Pemeriksaan pedigree: kedua orangtua pasien thalassemia


mayor

merupakan trait (carrier) dengan Hb A2 meningkat (>

3,5% dari Hb total).


4.

Pemeriksaan lain :
-

Foto Ro tulang kepala : gambaran hair on end,korteks


menipis, diploe melebar dengan trabekula tegak lurus pada
korteks.

Foto tulang pipih dan ujung tulang panjang : perluasan


sumsum tulang sehingga trabekula tampak jelas.

5.

Diagnosis banding
Thalasemia minor :
-

Anemia kurang besi

Anemia karena infeksi menahun

Anemia pada keracunan timah hitam (Pb)

Anemia sideroblastik

8. PENATALAKSANAAN THALASSEMIA
1. Tranfusi darah
Trannfusi

darah

sangat

dibutuhkan

pada

penderita

thalasemia sedang ataupun berat. Dengan transfusi darah, kadar sel


darah merah dan kadar hemoglobin dapat dipertahankan.

Untuk

thalasemia intermedia, tranfusi dapat diberikan dengan jangka waktu yang


lebih jarang di banding thalasemia yang berat. Misalnya saat penderita
mengalami infeksi atau saat penderita mengalami anemia berat sehingga
menyebabkan kelelahan. Sebaliknya, untuk thalasemia berat seperti
thalasemia beta mayor, tranfusi darah sangat di butuhkan. Dan tranfusi di
lakukan secara reguler kira-kira setiap 2 sampai 4 minggu.
2. Terapi iron chelatin
Dampak dari tranfusi darah adalah overloading besi. Hal ini
dikarenakan hemoglobin yang ada di dalam sel darah merah merupakan
protein kaya besi. Sehingga dengan tranfusi darah yang sering dapat
menyebabkan kelebihan besi pada darah. Kondisi ini dapat menyebabkan
kerusakan pada hati, jantung, dan organ-organ lainya yang ada di dalam
tubuh.
Untuk mencegah kerusakan ini, dibutuhkan terapi iron chelation
untuk membuang kelebihan besi dari tubuh. Ada dua obat yang paling
sering digunakan dalam terapi ini yaitu:
Deforxamine ( desferal ) merupakan obat cair yang diberikan di
bawah kuliat. Biasanya obat ini diberikan dengan mengunakan alat
semacam

portable

pump.

Efek

samping

obat

berkurangnya kemampuan mendengar dan melihat.

ini

adalah

Defarasrox, merupakan pil yang di makan sekali dalam sehari. Efek


samping obat ini antara lain skit kepala, nause, muntah,diare, dan
lelah.

3. Suplemen asam folat


Asam folat sangat berperan dalam proses pematanga sel darah
merah. Biasanya suplemen asam folat ini di butuhkan dalam terapi iron
chelation dan tranfusi darah.
9. PENCEGAHAN THALASSEMIA
a. Pencegahan Primer
Pencegahan primer adalah mencegah seseorang untuk tidak
menderita thalasemia ataupun menjadi carrier thalasemia yaitu dengan
konseling genetik pranikah. Konseling genetik pranikah (marniage
counseling untuk mencegah perkawinan di antara pasien thalasemia agar
tidak mendapat keturunan yang homozigot atau varian-varian thalasemia
dengan motalitas tinggi. Perkawinan antara 2 heterozigot (carrier)
menghasilkan: 25% thalasemik (homozigot), 50% carrier (heterozigot) dan
25% normal (Genie, 2004).
b. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder pada penderita thalasemia dilakukan
dengan cara (Genie, 2004):
1) Diagnosis Prenatal
Diagnosis prenatal selain ditujukan untuk pasangan carrier, juga
dimaksudkan bagi pasangan beresiko lainnya yang telah mempunyai
bayi thalasemia. Tujuan dari diagnosis prenatal adalah untuk
mengetahui sedini mungkin apakah janin yang dikandung menderita
thalasemia mayor atau tidak. Diagnosis prenatal pada thalasemia
dapat dilakukan pada usia 8-10 minggu kehamilan dengan sampel
villi chorialis sehingga masih memungkinkan untuk melakukan
terminasi jika dibutuhkan.
2) Skrining

Skrining

merupakan

pemantauan

perjalanan

penyakit

dan

pemantauan hasil terapi yang lebih akurat. Pemeriksaan ini meliputi:


a) Hematologi rutin untuk mengetahui kadar Hb dan ukuran sel-sel
darah.
b) Gambaran darah tepi untuk melihat bentuk, warna dan
kematangan sel-sel darah.
c) Feritin, Serum Iron (SI) untuk melihat status besi.
d) Analisis hemoglobin untuk diagnosis dan menentukan jenis
thalasemia.
e) Analisis DNA untuk diagnosa prenatal (pada janin) dan penelitian.
3) Transfusi Darah
Pemberian transfusi darah berupa sel darah merah sampai kadar
hemoglobin sekitar 11 g/dl. Kadar hemoglobin setinggi ini akan
mengurangi kegiatan hemopoesis yang berlebihan di dalam sum-sum
tulang dan mengurangi absorpsi Fe dari traktus digestivus. Pasien
dengan kadar Hb yang rendah untuk waktu yang lama, perlu
ditransfusi dengan hati-hati dan sedikit demi sedikit. Frekuensi
sebaiknya sekitar 2-3 minggu. Sebelum dan sesudah pemberian
transfusi ditentukan hematrokit. Berat badan perlu dipantau paling
sedikit 2 kali 1 tahun.
c. Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier adalah mengurangi ketidakmampuan dan
mengadakan rehabilitasi bagi penderita thalasemia. Pencegahan tersier
bagi penderita thalasemia adalah dengan mendirikan pusat rehabilitasi
medis bagi penderita thalasemia.
10. KOMPLIKASI THALASSEMIA
Akibat anemia yang berat dan lama, sering terjadi gagal
jantung. Transfusi darah yang berulang-ulang dari proses hemolisis
menyebabkan kadar besi dalam darah tinggi, sehingga tertimbun dalam
berbagai jaringan tubuh seperti hepar, limpa, kulit, jantung, dan lain lain.
Hal

ini

dapat

mengakibatkan

gangguan

fungsi

alat

tersebut

(hemokromotosis). Limpa yang besar mudah ruptur akibat trauma yang

ringan, kematian terutama disebabkan oleh infeksi dan gagal jantung


(Harnawatiaj, 2008).

Anda mungkin juga menyukai