Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN
Tugas dokter yang utama adalah mempertahankan hidup dan mengurangi
penderitaan pasiennya. Anestesi sebagai salah satu cabang ilmu kedokteran sangat
berperan dalam mewujudkan tugas profesi dokter tersebut karena dapat mengurangi
nyeri dan memberikan bantuan hidup. Anestesi adalah cabang ilmu kedokteran yang
mendasari berbagai tindakan yang meliputi pemberian anestesi, penjagaan
keselamatan penderita yang mengalami pembedahan, pemberian bantuan hidup
dasar, pengobatan intensif pasien gawat, terapi inhalasi, dan penanggulangan nyeri
menahun1
Pasien yang akan menjalani anestesi dan pembedahan (elektif atau darurat)
harus dipersiapkan dengan baik. Pada prinsipnya dalam penatalaksanaan anestesi
pada suatu operasi terdapat beberapa tahap yang herus dilaksanakan yaitu pra
anestesi yang terdiri dari persiapan mental dan fisik pasien, perencanaan anestesi,
menentukan prognosis dan persiapan pada pada hari operasi. Tahap penatalaksanaan
anestesi yang terdiri dari premedikasi, masa anestesi dan pemeliharaan. Serta tahap
pemulihan dan perawatan pasca anestesi.2
Urologi meliputi ginjal, ureter, uretra, buli-buli, prostat. Operasi pada lower
abdominalis termasuk bedah urologi sering menggunakan anestesi regional baik
spinal maupun epidural. Tidak menutup kemungkinan juga menggunakan anestesi
umum bila terdapat indikasi tertentu.3 Ureter merupakan struktur retroperitoneal dan
mempunyai inervasi simpatik dan nociceptive projection ke saraf spinal yang nyaris
sama dengan ginjal. Segmen spinal ini juga menyediakan inervasi somatic ke daerah
lumbal, flank, area ilioinguinal, dan scrotum atau labia. Nyeri dari ginjal dan ureter
berasal dari area itu. Saraf parasimpatik dari S2-4 saraf spinal mempersarafi ureter.4
Ureterolithiasis adalah di dalam ureter. Penyebab pembentukan batu meliputi
idiopatik, gangguan aliran kemih, gangguan metabolisme, infeksi saluran kemih oleh
mikroorganisme berdaya membuat urease, dehidrasi, benda asing, jaringan mati dan
multifaktor. Terapi yang diberikan dapat berupa terapi konservatif dan terapi
intervensi.4

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. ANESTESI UMUM
Anestesi dapat dibagi dua macam, yaitu anestesi umum dan anestesi
regional. Anestesi umum masih dibagi lagi menurut cara pemberiannya yaitu
inhalasi inhalasi dan parenteral.
Pada kasus ini anestesi yang digunakan adalah anestesi umum, yaitu
meniadakan nyeri secara sentral disertai hilangnya kesadaran dan bersifat
reversible. Dalam memberikan obat-obat anestesi pada penderita yang akan
menjalani operasi maka perlu diperhatikan tujuannya yaitu sebagai premedikasi,
induksi, maintenance dan lain-lain.1
Anestesi umum meniadakan nyeri secara sentral disertai hilangnya kesadaran
dan bersifat pulih kembali (reversibel). Komponen anestesi yang ideal terdiri dari
: (1) hipnotik (2) analgesia (3) relaksasi otot. Obat anestesi yang masuk ke
pembuluh darah atau sirkulasi kemudian menyebar ke jaringan. Yang pertama
terpengaruh oleh obat anestesi ialah jaringan kaya akan pembuluh darah seperti
otak, sehingga kesadaran menurun atau hilang, hilangnya rasa sakit, dan
sebagainya. Seseorang yang memberikan anestesi perlu mengetahui stadium
anestesi untuk menentukan stadium terbaik pembedahan itu dan mencegah
terjadinya kelebihan dosis. Tanda-tanda klinis anestesia umum (menggunakan zat
anestesi yang mudah menguap, terutama diethyleter) :
Stadium I :
analgesia dari mulainya induksi anestesi hingga

hilangnya kesadaran.
Stadium II :
excitement, dari hilangnya kesadaran hingga mulainya

respirasi teratur, mungkin terdapat batuk, kegelisahan atau muntah.


Stadium III
:
dari mulai respirasi teratur hingga berhentinya
respirasi. Dibagi 4 plane:
Plane 1 :
dari timbulnya pernafasan teratur hingga berhentinya
pergerakan bola mata.
Plane 2 :
dari tidak adanya pergerakan bola mata hingga
mulainya paralisis interkostal.

Plane 3 :

dari mulainya paralisis interkostal hingga total paralisis

interkostal.
Plane 4 :

dari

diafragma.
Stadium IV :

overdosis, dari timbulnya paralysis diafragma hingga

kelumpuhan

interkostal

hingga

paralisis

cardiac arrest.
Dalam memberikan obat-obatan pada penderita yang akan menjalani
operasi maka perlu diperhatikan tujuannya yaitu sebagai premedikasi,
induksi, maintenance, dan lain-lain.
A.1 Persiapan Pra Anestesi
Kunjungan pra anestesi pada pasien yang akan menjalani operasi dan
pembedahan baik elektif dan darurat mutlak harus dilakukan untuk
keberhasilan tindakan tersebut. Adapun tujuan pra anestesi adalah:1

Mempersiapkan mental dan fisik secara optimal.

Merencanakan dan memilih teknik serta obat-obat anestesi yang


sesuai dengan fisik dan kehendak pasien.

Menentukan status fisik dengan klasifikasi ASA (American Society


Anesthesiology):1
i. ASA I

Pasien

normal

sehat,

kelainan

bedah

terlokalisir, tanpa kelainan faali, biokimiawi, dan psikiatris.


Angka mortalitas 2%.
ii. ASA II

Pasien dengan gangguan sistemik ringan

sampai dengan sedang sebagai akibat kelainan bedah atau


proses patofisiologis. Angka mortalitas 16%.
iii. ASA III

: Pasien dengan gangguan sistemik berat

sehingga aktivitas harian terbatas. Angka mortalitas 38%.


iv. ASA IV

: Pasien dengan gangguan sistemik berat yang

mengancam jiwa, tidak selalu sembuh dengan operasi. Misal :


insufisiensi fungsi organ, angina menetap. Angka mortalitas
68%.

v. ASA V

:Pasien dengan kemungkinan hidup kecil.

Tindakan operasi hampir tak ada harapan. Tidak diharapkan


hidup dalam 24 jam tanpa operasi / dengan operasi. Angka
mortalitas 98%.
Untuk operasi cito, ASA ditambah huruf E (Emergency) tanda
darurat1
Macam-macam teknik anestesi yang dapat digunakan :
a. Open drop method : cara ini dapat digunakan untuk anestetik yang menguap,
peralatan sangat sederhana dan tidak mahal. Zat anestetik diteteskan pada kapas
yang diletakkan di depan hidung penderita sehingga kadar yang dihisap tidak
diketahui, dan pemakaiannya boros karena zat anestetik menguap ke udara
terbuka.
b. Semi open drop method : hampir sama dengan open drop, hanya untuk
mengurangi terbuangnya zat anestetik, digunakan masker. Karbondioksida
yang dikeluarkan sering terhisap kembali sehingga dapat terjadi hipoksia.
Untuk menghindarinya dialirkan volume fresh gas flow yang tinggi minimal 3x
dari minimal volume udara semenit.
c. Semi closed method : udara yang dihisap diberikan bersama oksigen murni
yang dapat ditentukan kadarnya kemudian dilewatkan pada vaporizer sehingga
kadar zat anestetik dapat ditentukan. Udara panas yang dikeluarkan akan
dibuang ke udara luar. Keuntungannya dalamnya anestesi dapat diatur dengan
memberikan kadar tertentu dari zat anestetik, dan hipoksia dapat dihindari
dengan memberikan volume fresh gas flow kurang dari 100 % kebutuhan.
d.

Closed method : cara ini hampir sama seperti semi closed hanya udara ekspirasi
dialirkan melalui soda lime yang dapat mengikat CO 2, sehingga udara yang
mengandung anestetik dapat digunakan lagi. 2
Pada kasus isi dipakai semi closed anestesi karena memiliki beberapa

keuntungan, yaitu5

Konsentrasi inspirasi relatif konstan

Konservasi panas dan uap

Menurunkan polusi kamar

Menurunkan resiko ledakan dengan obat yang mudah terbakar.


A.2 Premedikasi Anestesi
Premedikasi anestesi adalah pemberian obat sebelum anestesi. Adapun
tujuan dari premedikasi antara lain :5

memberikan rasa nyaman bagi pasien, misal : diazepam.

menghilangkan rasa khawatir, misal : diazepam

membuat amnesia, misal : diazepam, midazolam

memberikan analgesia, misal : pethidin

mencegah muntah, misal : droperidol

memperlancar induksi, misal : pethidin

mengurangi jumlah obat-obat anesthesia, misal pethidin

menekan reflek-reflek yang tidak diinginkan, misal : sulfas atropin.

mengurangi sekresi kelenjar saluran nafas, misal : sulfas atropin dan


hiosin

2. Obat-obatan Premedikasi
a.

Sulfas Atropin
Sulfas atropin termasuk golongan anti kolinergik. Berguna untuk
mengurangi sekresi lendir dan menurunkan efek bronchial dan kardial yang
berasal dari perangsangan parasimpatis akibat obat anestesi atau tindakan
operasi. Efek lainnya yaitu melemaskan otot polos, mendepresi vagal reflek,
menurunkan spasme gastrointestinal, dan mengurangi rasa mual serta
muntah. Obat ini juga menimbulkan rasa kering di mulut serta penglihatan
kabur, maka lebih baik tidak diberikan pra anestesi lokal maupun regional.
Dalam dosis toksik dapat menyebabkan gelisah, delirium, halusinasi, dan

kebingungan pada pasien. Tetapi hal ini dapat diatasi dengan pemberian
prostigmin 1 2 mg intravena.5
Sediaan

: dalam bentuk sulfat atropin dalam ampul 0,25 dan 0,5 mg.

Dosis

: 0,01 mg/ kgBB.

Pemberian : SC, IM, IV


b. Pethidin
Pethidin

merupakan

narkotik

yang

sering

digunakan

untuk

premedikasi. Keuntungan penggunaan obat ini adalah memudahkan


induksi, mengurangi kebutuhan obat anestesi, menghasilkan analgesia pra
dan pasca bedah, memudahkan melakukan pemberian pernafasan buatan ,
dan dapat diantagonis dengan naloxon.6
Pethidin dapat menyebabkan vasodilatasi perifer, sehingga dapat
menyebabkan hipotensi orthostatik. Hal ini akan lebih berat lagi bila
digunakan pada pasien dengan hipovolemia. Juga dapat menyebabkan
depresi pusat pernapasan di medula yang dapat ditunjukkan dengan respon
turunnya CO2. mual dan muntah menunjukkan adanya stimulasi narkotik
pada pusat muntah di medula. Posisi tidur dapat mengurangi efek
tersebut.6
Sediaan

: dalam ampul 100 mg/ 2cc.

Dosis

: 1 mg/ kgBB.

Pemberian

: IV, IM

c. Midazolam
Midazolam merupakan suatu golongan imidazo-benzodiazepin
dengan sifat yang sangat mirip dengan golongan benzodiazepine.
Merupakan benzodiapin kerja cepat yang bekerja menekan SSP.
Midazolam berikatan dengan reseptor benzodiazepin yang terdapat di
berbagai area di otak seperti di medulla spinalis, batang otak, serebelum
system limbic serta korteks serebri. Efek induksi terjadi sekitar 1,5 menit

setelah pemberian intra vena bila sebelumnya diberikan premedikasi obat


narkotika dan 2-2,5 menit tanpa premedikasi narkotika sebelumnya.6
Midazolam diindikasikan pada premedikasi sebelum induksi
anestesi, basal sedasion sebelum tindakan diagnostic atau pembedahan
yang dilakukan di bawah anestesi local serta induksi dan pemelharaan
selama anestesi. Obat ini dikontra indikasikan pada keadaan sensitive
terhadap golongan benzodiazepine, pasien dengan insufisiensi pernafasan,
acut narrow-angle claucoma.6
Dosis premedikasi sebelum operasi :
Pemberian intramuskular pada penderita yang mengalami nyeri
sebelum tindakan bedah, pemberian tunggal atau kombinasi dengan
antikolinergik atau analgesik.
Dewasa : 0,07- 0,1 mg/ kg BB secara IM sesuai dengan keadaan
umum pasien, lazimnya diberikan 5mg.
Dosis usia lanjut dan pasien lemah 0,025 0,05 mg/ kg BB (IM).
Untuk basal sedation pada dewasa tidak melebihi 2,5 mg IV 5-10 menit
sebelum permulaan operasi, pada orang tua dosis harus diturunkan 1- 1,5
mg dengan total dosis tidak melebihi 3,5 mg IV.
Midazolam mempunyai efek samping :
Efek yang berpotensi mengancam jiwa : midazolam dapat
mengakibatkan depresi pernafasan dan kardiovaskular, iritabilitas pada
ventrikel dan perubahan pada kontrol baroreflek dari denyut jantung.
Efek yang berat dan ireversibel : selain depresi SSP yang
berhubungan dengan dosis, tidak pernah dilaporkan efek samping yang
ireversibel
Efek samping simtomatik : agitasi, involuntary movement, bingung,
pandangan kabur, nyeri pada tempat suntikan, tromboflebitis dan
trombosis.

Midazolam dapat berinteraksi dengan obat alkohol, opioid, simetidin,


ketamin.4
3. Induksi
Pada kasus ini digunakan Propofol. Propofol adalah campuran 1% obat
dalam air dan emulsi yang berisi 10% soya bean oil, 1,2% phosphatide telur
dan 2,25% glyserol. Dosis yang dianjurkan 2,5mg/kgBB untuk induksi tanpa
premedikasi.6
Pemberian intravena propofol (2mg/kg) menginduksi anestesi secara
cepat. Rasa nyeri kadang-kadang terjadi di tempat suntikan, tetapi jarang
disertai plebitis atau trombosis. Anestesi dapat dipertahankan dengan infus
propofol yang berkesinambungan dengan opiat, N2O dan/atau anestetik
inhalasi lain.
Propofol menurunkan tekanan arteri sistemik kira-kira 80% tetapi
efek ini disebabkan karena vasodilatasi perifer daripada penurunan curah
jantung. Tekanan sistemik kembali normal dengan intubasi trakea.6
Propofol tidak merusak fungsi hati dan ginjal. Aliran darah ke otak,
metabolisme otak dan tekanan intrakranial akan menurun. Keuntungan
propofol karena bekerja lebih cepat dari tiopental dan konfusi pasca operasi
yang minimal.6
Efek samping propofol pada sistem pernapasan adanya depresi
pernapasan,

apnea,

brokospasme

dan

laringospasme.

Pada

sistem

kardiovaskuler berupa hipotensi, aritmia, takikardia, bradikardia, hipertensi.


Pada susunan saraf pusat adanya sakit kepala, pusing, euforia, kebingungan,
kejang, mual dan muntah.3
4. Pemeliharaan
a. Nitrous Oksida /Gas Gelak (N2O)
Merupakan gas yang tidak berwarna, berbau manis dan tidak iritatif,
tidak berasa, lebih berat dari udara, tidak mudah terbakar/meledak, dan
tidak bereaksi dengan soda lime absorber (pengikat CO2). Mempunyai

sifat anestesi yang kurang kuat, tetapi dapat melalui stadium induksi
dengan cepat, karena gas ini tidak larut dalam darah. Gas ini tidak
mempunyai sifat merelaksasi otot, oleh karena itu pada operasi abdomen
dan ortopedi perlu tambahan dengan zat relaksasi otot. Terhadap SSP
menimbulkan analgesi yang berarti. Depresi nafas terjadi pada masa
pemulihan, hal ini terjadi karena Nitrous Oksida mendesak oksigen dalam
ruangan-ruangan tubuh. Hipoksia difusi dapat dicegah dengan pemberian
oksigen konsentrasi tinggi beberapa menit sebelum anestesi selesai.
Penggunaan biasanya dipakai perbandingan atau kombinasi dengan
oksigen. Penggunaan dalam anestesi umumnya dipakai dalam kombinasi
N2O : O2 adalah sebagai berikut 60% : 40% ; 70% : 30% atau 50% : 50%.6
b. Ethrane ( Enflurane)
Merupakan anestesi yang poten. Dapat mendepresi SSP menimbulkan
efek hipnotik. Pada kontrasepsi inspirasi 3 3,5 % dapat menimbulkan
perubahan EEG yaitu epileptiform, karena itu sebaiknya tidak digunakan
pada pasien epilepsi. Dan dapat meningkatkan aliran darah ke otak. Pada
anestesi yang dalam dapat menurunkan tekanan darah disebabkan depresi
pada myokardium. Aritmia jarang terjadi dan penggunaan adrenalin untuk
infiltrasi relatif aman. Pada sistem pernafasan, mendepresi ventilasi
pulmoner dengan menurunkan volume tidal dan mungkin pula
meningkatkan laju nafas. Tidak menyebabkan hipersekresi dari bronkus.
Pada otot, Ethrane menimbulkan efek relaksasi yang moderat.
Menyebabkan peningkatan aktivitas obat pelumpuh otot non depolarisasi.
Penggunaan Ethrane pada operasi sectio cesaria cukup aman pada
konsentrasi rendah (0,5 - 0,8 vol %) tanpa menimbulkan depresi pada
fetus. Berhati-hati pada penggunaan konsentrasi tinggi karena dapat
menimbulkan relaksasi otot uterus.1
Untuk induksi, Ethrane 2 4 vol % dikombinasikan O2 atau campuran
N2O-O2, sedangkan untuk mempertahankan anestesi diperlukan 0,5 3 %.

Keuntungan dari Ethrane adalah harum, induksi dan pemulihan yang


cepat, tidak ada iritasi, sebagai bronkodilator, relaksasi otot baik, dapat
mempertahankan stabilitas dari sistem kardiovaskuler serta bersifat non
emetik. Sedangkan kerugiannya bersifat myocardial depresan, iritasi pada
CNS,

ada

kemungkinan

kerusakan

hati.

Sebaiknya

dihindari

pemberiannya pada pasien dengan keparahan ginjal.1


c. Halothane (Fluothane)
Berbentuk cairan jernih, sangat mudah menguap dan berbau manis,
tidak tajam dan mempunyai titik didih 50 C. Konsentrasi yang digunakan
untuk anestesi beragam dari 0,2 3%. Merupakan zat yang poten sehingga
membutuhkan vaporizer yang dikalibrasi untuk mencegah dosis yang
berlebihan. Karena kurang larut dalam darah dibandingkan dengan eter,
maka saturasi dalam darah lebih cepat, sehingga induksi inhalasi relatif
lebih cepat dan menyenangkan untuk pasien. Jika persediaan terbatas
maka sebaiknya Halothane digunakan untuk menstabilkan setelah indeuksi
intravena. Pada kondisi klinis halothane tidak mudah terbakar dan
meledak.
Halothane

memberikan

induksi

anestesi

yang

mulus,

tetapi

mempunyai sifat analgesi yang buruk. Penggunaan zat ini untuk anestesi
secara tunggal akan menyebabkan depresi kardiopulmoneryang ditandai
dengan sianosis, kecuali bila gas inspirasi mengandung oksigen dengan
konsentrasi tinggi. Halothane mempunyai efek relaksasi otot yang lebih
kecil daripada eter, merupakan suatu bronkodilator. Depresi pusat
pernafasan oleh halothane ditandai dengan pernafasan yang cepat dan
dangkal, peningkatan frekuensi pernafasan ini lebih kecil bila diberikan
premedikasi dengan opium. Efek pada kardiovaskuler adalah depresi
langsung pada miokardium dengan penurunan curah jantung dan tekanan
darah, tetapi terjadi vasodilatasi kulit sehingga mungkin perfusi jaringan
lebih baik. Kerugian dari halothane dapat diatasi dengan dikombinasikan
dengan N2O (50 70%) atau trikloroetilen (0,5-1%).7
5. Obat Pelumpuh Otot

a. Suksametonium (Succynil choline).


Terutama digunakan untuk mempermudah/ fasilitas intubasi trakea
karena mula kerja cepat (1-2 menit) dan lama kerja yang singkat (3 5
menit). Juga dapat dipakai untuk memelihara relaksasi otot dengan cara
pemberian kontinyu per infus atau suntikan intermitten. Dosis untuk
intubasi 1-2 mg/kgBB/I.V.
Komplikasi dan efek samping dari obat ini adalah (1) bradikardi,
bradiaritma dan asistole pada pemberian berulang atau terlalu cepat serta
pada anak-anak; (2) takikardi dan takiaritmia; (3) lama kerja memanjang
terutama bila kadar kolinesterase plasma berkurang; (4)

peningkatan

tekanan intra okuler; (5) hiperkalemi; (6) dan nyeri otot fasikulasi.
Obat ini tersedia dalam flacon berisi bubuk 100 mg dan 500 mg.
Pengenceran dengan garam fisiologis / aquabidest steril 5 atau 25 ml
sehingga membentuk larutan 2 %. Cara pemberian I.V/I.M/ intra lingual/
intra bukal.1
b. Atrakurium besylate (tracrium)
Sebagai pelumpuh otot dengan struktur benzilisoquinolin yang
memiliki beberapa keuntungan antara lain bahwa metabolisme di dalam
darah (plasma) melalui suatu reaksi yang disebut eliminasi hoffman yang
tidak tergantung fungsi hati dan fungsi ginjal, tidak mempunyai efek
kumulasi pada pemberian berulang, tidak menyebabkan perubahan fungsi
kardiovaskuler yang bermakna.
Menurut Chapple DJ dkk (1987) dan Tateishi (1989) bahwa pada
binatang atracurium tidak mempunyai efek yang nyata pada CBF, CMR
O2 atau ICP. Metabolitnya yang disebut laudanosin, menembus blood
brain barrier dan dapat menimbulkan kejang EEG, tetapi kadar laudanosin
pada dosis klinis atracurium tidak menimbulkan efek ini. Lanier dkk
mengatakan bahwa tidak ada perbedaan ambang kejang dengan lidokain
pada kucing yang diberikan atracurium. pancuronium, atau vecuronium.
Obat ini menurunkan MAP tetapi tidak menyebabkan perubahan ICP.
Dosis atracurium untuk intubasi adalah 0,5 mg/kg dan dosis pemeliharaan

adalah 5-10 ug/kg/menit. Kemasan : 2,5 ml dan 5 ml yang berisi 25 mg


dan 50 mg atrakurium besylate. Mula kerja pada dosis intubasi 2-3 menit
sedangkan lama kerjanya pada dosis relaksasi 15-35 menit.1
6. Intubasi Endotrakeal
Suatu tindakan memasukkan pipa khusus ke dalam trakea, sehingga
jalan nafas bebas hambatan dan nafas mudah dikendalikan. Intubasi trakea
bertujuan untuk :1

Mempermudah pemberian anestesi.

Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas.

Mencegah kemungkinan aspirasi lambung.

Mempermudah penghisapan sekret trakheobronkial.

Pemakaian ventilasi yang lama.

Mengatasi obstruksi laring akut.

7. Terapi Cairan
Prinsip dasar terapi cairan adalah cairan yang diberikan harus
mendekati jumlah dan komposisi cairan yang hilang. Terapi cairan
perioperatif bertujuan untuk :

Memenuhi kebutuhan cairan, elektrolit dan darah yang hilang selama


operasi.

Mengatasi syok dan kelainan yang ditimbulkan karena terapi yang


diberikan.
Pemberian cairan operasi dibagi :

a. Pra operasi
Dapat terjadi defisit cairan karena kurang makan, puasa, muntah,
penghisapan isi lambung, penumpukan cairan pada ruang ketiga seperti
pada ileus obstriktif, perdarahan, luka bakar dan lain-lain. Kebutuhan
cairan untuk dewasa dalam 24 jam adalah 2 ml / kg BB / jam. Setiap
kenaikan suhu 10 Celcius kebutuhan cairan bertambah 10-15 %.
b. Selama operasi

Dapat terjadi kehilangan cairan karena proses operasi. Kebutuhan


cairan pada dewasa untuk operasi :

Ringan = 4 ml/kgBB/jam.

Sedang= 6 ml / kgBB/jam

Berat = 8 ml / kgBB/jam.
Bila terjadi perdarahan selama operasi, di mana perdarahan kurang

dari 10 % EBV maka cukup digantikan dengan cairan kristaloid sebanyak


3 kali volume darah yang hilang. Apabila perdarahan lebih dari 10 %
maka dapat dipertimbangkan pemberian plasma / koloid / dekstran dengan
dosis 1-2 kali darah yang hilang.
c. Setelah operasi
Pemberian cairan pasca operasi ditentukan berdasarkan defisit cairan
selama operasi ditambah kebutuhan sehari-hari pasien1.
8. Pemulihan
Pasca anestesi dilakukan pemulihan dan perawatan pasca operasi dan
anestesi yang biasanya dilakukan di ruang pulih sadar atau recovery room
yaitu ruangan untuk observasi pasien pasca atau anestesi. Ruang pulih sadar
merupakan batu loncatan sebelum pasien dipindahkan ke bangsal atau masih
memerlukan perawatan intensif di ICU. Dengan demikian pasien pasca
operasi atau anestesi dapat terhindar dari komplikasi yang disebabkan karena
operasi atau pengaruh anestesinya.1,2
B. ANESTESI DALAM BEDAH UROLOGI
Anestesi dalam bedah urologi merupakan suatu teknik anestesi yang
digunakan pada operasi urologi guna menghasilkan efek sedasi, analgetik dan
relaksasi pada saat berlangsungnya operasi. Bedah urologi yang biasanya
dilakukan

seperti

nephrotectomi,

vesikolithotomi,

nephrolithotomi,

prostaktektomi, ESWL (Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy), TUVP


(Transurethral Vaporization of the Prostat). Penggunaan obat anestesi untuk
setiap pembedahan urologi tentunya berbeda-beda. Pada pasien dengan kelainan

ginjal yang berat, pemberian dosis obat anestesi harus dikurangi sebab fungsi
ekskresi ginjal menurun.3
C. URETEROLITHIASIS
Batu ureter pada umumnya adalah batu yang terbentuk di dalam sistim
kalik ginjal, yang turun ke ureter. Terdapat tiga penyempitan sepanjang
ureter yang biasanya menjadi tempat berhentinya batu yang turun dari kalik yaitu
ureteropelvic junction (UPJ), persilangan ureter dengan vasa iliaka, dan
muaraureter di dinding buli.
Komposisi batu ureter sama dengan komposisi batu saluran kencing
padaumumnya yaitu sebagian besar terdiri dari garam kalsium, seperti kalsium
oksalatmonohidrat dan kalsium oksalat dihidrat. Sedang sebagian kecil terdiri
dari batuasam urat, batu struvit dan batu sistin.
Keluhan yang disampaikan oleh pasien, tergantung pada posisi
batu,ukuran batu dan penyulit yang telah terjadi. Keluhan yang paling dirasakan
oleh pasien adalah nyeri pada pinggang, baik berupa nyeri kolik maupun bukan kolik. Nyeri
kolik

disebabkan

oleh

adanya

aktivitas

peristaltik

otot

polos

sistem

kalisesmeningkat dalam usaha untuk mengeluarkan batu dari saluran kemih.


Peningkatan peristaltik menyebabkan tekanan intraluminal meningkat sehingga
terjadi peregangan dari terminal saraf yang memberikan sensasi nyeri. Sedangkan
nyeri non kolik terjadi akibat peregangan kapsul ginjal karena terjadi
hidronefrosis atauinfeksi pada ginjal akibat stasis urine.8
Hematuria

sering

dikeluhkan

oleh

pasien

akibat

trauma

pada

mukosasaluran kemih karena batu. Kadang hematuria didapatkan dari


pemeriksaanurinalisis berupa hematuria mikroskopik. Jika didapatkan demam,
harus dicurigaisuatu urosepsis. Pada pemeriksaan fisis, mungkin didapatkan nyeri
ketok pada daerahkosto-vertebra, teraba ginjal pada sisi yang sakit akibat
hidronefrosis, terlihat tanda-tanda gagal ginjal, dan adanya retensi urine. Pada
pemeriksaan sedimen urine, menunjukkan adanya leukosituria,hematuria dan
dijumpai kristal-kristal pembentuk batu. Pemeriksaan kultur urinemungkin
menunjukkan adanya pertumbuhan kuman pemecah urea.8

D. HIDRONEFROSIS
Hidronefrosis adalah dilatasi piala dan perifer ginjal pada satu atau kedua
ginjal akibat adanya obstruksi pada aliran normal urin menyebabkan urin
mengalir balik sehingga atekanan di ginjal meningkat.9 Apabila obstruksi ini
terjadi di uretra atau kandung kemih, tekanan balik akan mempengaruhi kedua
ginjal tetapi jika obstruksi terjadi disalah satu ureter akibat adanya batu atau
kekakuan maka hanya satu ginjal yang rusak.
Apapun penyebab dari hidronefrosis, disebabkan adanya obstruksi baik
parsial ataupun intermitten mengakibatkan terjadinya akumulasi urin di piala
ginjal. Sehingga menyebabkan disertasi piala dan kolik ginjal. Pada saat ini atrofi
ginjal terjadi ketika salah satu ginjal sedang mengalami kerusakan bertahap maka
ginjal yang lain akan membesar secara bertahap (hipertrofikompensatori),
akibatnya fungsi renal terganggu. 9
E. URETERORENOSKOPI
Penemuan ureteroskopi pada tahun 1980-an telah mengubah secara
dramatis manajemen batu saluran kemih. Ureteroskopi rigid digunakan bersama
dengan litotripsi ultrasonic, litotripsi elektrohidrolik, litotripsi laser, dan litotripsi
pneumatik agar memberikan hasil lebih baik. Pengangkatan batu juga dapat
dilakukan dengan ekstraksi keranjang di bawah pengamatan langsung dengan
fluoroskopi. Perkembangan dalam bidang serat optik dan sistem irigasi
menghasilkan alat baru yaitu uretroskop semirigid yang lebih kecil (6,9 sampi 8,5
F). penemuan miniskop semirigis dan uteroskop fleksibel membuat kita dapat
mencapai ureter atas dan sistem pengumpul intrarenal secara lebih aman. Namun,
keterbatasan dari alat semirigid dan fleksibel ini adalah sempitnya saluran untuk
bekerja. Saar ini, pilihan alat tergantung lokasi batu, komposisi batu dan
pengalaman klinikus, serta ketersediaan alat.
F. DJ STENT
Dj stent merupakan singkatan dari double J stent. Alat ini sering digunakan
urolog dengan bentuk seperti 2 buah huruf J. Alat ini dipasang di ureter, satu
ekornya berada di sistem pelvikokaliks ginjal dan satu lagi di kandung kemih.

Fungsi dari benda ini adalah untuk mempermudah aliran kencing dari ginjal
ke kandung kencing, juga memudahkan terbawanya serpihan batu saluran
kencing. Ketika ujung DJ stent berada di sistema pelvikokaliks maka peristaltik
ureter terhenti sehingga seluruh ureter dilatasi. (Sumber peristaltik berada di
kaliks minoris ginjal). Urine dari ginjal mengalir di dalam lubang DJ stent dan
juga antara DJ stent dengan ureter. DJ stent dipasang ketika (indikasi
pemasangan DJ stent):
1. menyambung ureter yang terputus.
2. jika saat tindakan URS lapisan dalam ureter terluka.
3. setelah operasi URS batu ureter distal, karena dikhawatirkan muara ureter
bengkak sehingga urine tidak dapat keluar.
4. stenosis atau penyempitan ureter. DJ stent berfungsi agar setelah dipasang
penyempitan tersebut menjadi longgar.
5. setelah URS dengan batu ureter tertanam, sehingga saat selesai URS
lapisan dalam ureter kurang baik.
6. operasi batu ginjal yang jumlahnya banyak dan terdapat kemungkinan
batu sisa. Jika tidak dipasang dapat terjadi bocor urine berkepanjangan.
7. batu ginjal yang besar dan direncanakan ESWL. Seandainya tidak
dipasang maka serpihan batu dapat menimbulkan rasa nyeri.
8. untuk mengamankan saluran kencing pada pasien kanker cervix.
9. untuk mengamankan ginjal saat kedua ginjal/ureter tersumbat dan baru
dapat diterapi pada 1 sisi saja. Maka sisi yang lain dipasang DJ stent.
10. pada pasien gagal ginjal karena sumbatan kencing, (jika tidak dapat
dilakukan nefrostomi karena hidronefrosis kecil).

BAB III
PENYAJIAN KASUS
A. IDENTITAS PASIEN

No. Rekam Medik

Nama

: Ny. K.L

Umur

: 54 tahun

Jenis Kelamin

: Perempuan

Alamat

: Ds. Nyampan, Bengkayang

Suku

: Dayak

Agama

: Kristen

Status

: Menikah

Pekerjaan

: Ibu Rumah Tangga

Tanggal Masuk

: 30 November 2014

Tanggal Operasi

: 8 November 2014

B. PEMERIKSAAN PRA ANESTESI


1. Anamnesa
a. Keluhan utama : Nyeri pinggang sebelah kanan
b. Riwayat Penyakit Sekarang

: Pasien mengeluh nyeri pinggang sejak

sekitar 1 tahun yang lalu. Nyeri pinggang yang dirasakan tersebut


menjalar ke perut seperti kram. Sejak masuk rumah sakit pasien mengeluh
kencingnya tidak lampias, keluhan kencing nyeri dan berdarah disangkal.
Nyeri pinggang kembali muncul dan semakin tidak tertahankan sejak 1
hari sebelum masuk rumah sakit dan pasien dibawa ke IGD RSUD dr.
Abdul Azis. Pasien telah mendapatkan pengobatan ranitidine, ketorolac,
ceftriaxone dan ondansentron.
c. Riwayat Penyakit Dahulu : Diabetes mellitus, hipertensi, asma dan
penyakit jantung disangkal.
d. Riwayat Penyakit Pernapasan : disangkal
e. Riwayat Penyakit Kardiovaskular : disangkal
f. Riwayat Penyakit Lain : disangkal
g. Riwayat Alergi Obat : disangkal
h. Riwayat Operasi : disangkal
i. Kebiasaan : Merokok ( - ), alkoholik ( - ), obat-obatan ( - )
2. Pemeriksaan Fisik:

Keadaan umum : Baik


Vital sign

GCS E4M6V5

TD

: 120/80 mmHg

: 68 kali per menit

Rr : 16 kali per menit

Suhu

: 36,9

BB : 58 kg

Mata

: konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), pupil isokor 3mm

Mulut

: malampati derajat 1

Jalan nafas

: tersumbat (-), ompong (-), gigi palsu (-), oedem (-), kekakuan
sendi rahang (-), kaku leher (-)

Thorax

: Inspeksi

: Simetris (+), retraksi dinding dada (-)

Palpasi

: Vocal fremitus normal, iktus kordis teraba di


linea midclavicula sinistra ICS 5

Perkusi : Pulmo : Sonor (+), Cor : pekak (+)


Auskultasi : Cor
Pulmo

: S1-S2 tunggal, regular, murmur (-)


:

Vesikuler

(+/+),

Rhonki

(-/-),

Wheezing (-/-)
Abdomen:
I : datar, distended (+), massa (-), skar (-), caput medusa (-)
A : Bising usus (-)
P : Nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba
P : Timpani (+) pada empat kuadran

- - -

Ekstremitas : Oedem

akral dingin

3. Pemeriksaan penunjang :
a. Laboratorium
Hemoglobin
Hct

: 13,1
35,6

GDS

: Kualitatif (-)

Ureum

: 28,2

Eritrosit

: 4,44

Creatinin

: 0,8

Leukosit

: 8,9

Albumin

: TD

Trombosit

: 224

Natrium

: TD

Gol darah

: A

PT
APTT

Kalium

TD

Clorida

: TD

HbsAg

: TD

:
b. Foto Polos thorax : dalam batas normal
c. EKG : normal
4. Kesimpulan :
Kelainan sistemik : Tidak Ada Kelainan Sistemik
Kegawatan

: Tidak Ada

Status fisik ASA

:I

C. RENCANA ANESTESI
1. Persiapan Operasi
-

Informed consent
Persetujuan operasi tertulis (+)
Puasa 6 jam

Persiapan WB 1 kolf

2. Jenis Anestesi

: Anestesi umum

3. Teknik Anestesi

: GA intubasi, SC, ET no. 7, NK


4.Obat-obatan

: midazolam 5mg, fentanyl 100g,

propofol 150mg, atracurium besilat 30mg


5. Maintenance

: O2 2 lpm, N20 2 lpm, isoflurance 1,5 vol %


6.Monitoring

: tanda-tanda vital, kedalaman anestesi

dan perdarahan
7. Perawatan pasca anestesi di ruang pemulihan

D. TATALAKSANA ANESTESI
1. Di ruang persiapan
- Pasien masuk ke ruang persiapan operasi

Pemeriksaan kembali : identitas pasien, persetujuan operasi, lama puasa 6

jam, dan darah yang akan diperlukan.


- Pastikan pasien terlah terpasang infus dan lancer serta kateter urin.
- Persiapkan peralatan dn obat-obatan anestesi.
2. Di ruang operasi
- Pasien masuk ke ruang operasi, manset dan indikator saturasi oksigen
-

dipasang serta monitor menyala.


Dilakukan premedikasi dengan midazolam 5 mg dan fentanyl 100 g

secara IV
Dilakukan induksi dengan propofol 150 mg IV, segera kepala
diekstensikan, facemask didekatkan pada hidung dengan O2 4 lpm.
Setelah refleks bulu mata menghilang, atracurium besilat 30 mg
diinjeksikan secara IV. Dilakukan pemijatan ambu hingga saturasi 100%.
Sesudah tenang dilakukan intubasi dengan endotrakeal tube no. 7. Setelah
terpasang dengan baik dihubungkan dengan mesin anestesi untuk
mengalirkan O2 2 lpm, N2O 2lpm dan isoflurance 1,5 vol %. Nafas

dikendalikan dengan ventilator.


Setelah anestesi berjalan dengan baik, operasi dimulai,
Tanda-tanda vital terus dimonitor sampai operasi selesai dan pasien
dipindahkan ke ruang pemulihan sebelum dibawa kembali ke bangsal.

Monitoring Selama Anestesi


Jam
11.00
11.05
11.10
11.15
11.20
11.25
11.30
11.35
11.40
11.45
11.50
11.55
12.00
12.05
12.10
12.15

Tensi
137/74
107/73
100/70
105/71
110/74
115/80
124/85
135/85
140/85
140/85
125/90
122/77
114/78
112/77
127/76
128/80

Nadi
71
71
67
62
73
71
73
72
74
72
76
76
78
76
78
74

Sa02
100%
100%
100%
100%
100%
100%
100%
100%
100%
100%
100%
100%
100%
100%
100%
100%

12.20
12.25
12.30
12.35
12.40
12.45
12.50
12.55
13.00
13.05

118/78
117/69
127/83
131/85
129/79
115/69
124/81
127/82
134/80
121/76

81
73
75
78
71
80
73
76
76
71

100%
100%
100%
100%
100%
100%
100%
100%
100%
100%

3. Di ruang pemulihan
Monitoring Pasca Anestesi
Jam
13.1

Tensi
140/85

Nadi
74

RR
100%

5
13.2

140/85

72

100%

0
13.2

125/90

76

100%

5
13.3

122/77

76

100%

0
13.3

114/78

78

100%

5
13.4

112/77

76

100%

0
13.4

127/76

78

100%

5
13.5

128/80

74

100%

0
13.5

118/78

81

100%

5
14.0

117/69

73

100%

0
14.0

127/83

75

100%

5
4. Instruksi Pasca Anestesi

Posisi terlentang
Tirah baring 24 jam
Kontrol tanda-tanda vital
Infus RL 20 tpm
Inj. Ketorolac 30 mg tiap 8 jam
Drip Tramadol 200mg dalam 500 cc RL 10 tpm
Inj. Ondansentron 4 mg bila pasien mengeluh mual

BAB IV
PEMBAHASAN
Pembedahan atau operasi akan dilakukan pada seorang wanita, 47 tahun
dengan berat badan 58 kg. Setiap pembedahan akan dilakukan anestesi untuk
menghilangkan rasa sakit/nyeri pasien selama proses operasi. Anestesi dilakukan
sesuai prosedur yang ada mulai dari pemeriksaan pre anestesi hingga
penatalaksanaan pasien pasca pembedahan di bangsal.
Pada kasus ini, pasien dengan keluhan nyeri perut sebelah kanan yang telah
didiagnosis urolithiasis oleh dokter bedah dan akan dilakukan pembedahan. Untuk
menentukan teknik atau prosedur yang akan dilakukan selama proses anestesi maka

dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang sebelum


proses anestesi dilakukan.
Dari data anamnesis yang dilakukan terhadap pasien, pasien menyangkal
adanya riwayat penyakit sistemik seperti diabetes mellitus, hipertensi, asma atau
sesak napas serta penyakit jantung. Penilaian riwayat penyakit ini penting untuk
mengetahui pemilihan obat apa yang tepat serta mempertimbangkan pemilihan
teknik anestesi untuk mengurangi kemungkinan terburuk, baik selama operasi
maupun pasca operasi.
Selain anamnesis, dilakukan pemeriksaan fisik pada pasien dan didapatkan
keadaan dalam batas normal, baik tanda-tanda vital, keadaan mulut dan leher, thorax,
abdomen maupun ekstremitas. Penilaian ini dilakukan sebelum operasi dilakukan
atau dikenal dengan sebutan pra anestesi. American Sociey Anesthesiology (ASA)
membuat klasifikasi status fisik pasien sebagai berikut.
a. ASA I

: Pasien normal sehat, kelainan bedah terlokalisir, tanpa

kelainan faali, biokimiawi, dan psikiatris. Angka mortalitas 2%.


b. ASA II

: Pasien dengan gangguan sistemik ringan sampai dengan

sedang sebagai akibat kelainan bedah atau proses patofisiologis. Angka


mortalitas 16%.
c. ASA III

: Pasien dengan gangguan sistemik berat sehingga aktivitas

harian terbatas. Angka mortalitas 38%.


d. ASA IV

: Pasien dengan gangguan sistemik berat yang mengancam

jiwa, tidak selalu sembuh dengan operasi. Misal : insufisiensi fungsi


organ, angina menetap. Angka mortalitas 68%.
e. ASA V

: Pasien dengan kemungkinan hidup kecil. Tindakan operasi

hampir tak ada harapan. Tidak diharapkan hidup dalam 24 jam tanpa
operasi / dengan operasi. Angka mortalitas 98%.
Berdasarkan klasifikasi tersebut, pasien ini termasuk dalam ASA I dimana
pasien dalam keadaan sehat, kelainan bedah terlokalisir tanpa adanya kelainan
sistemik lainnya.
Pada pasien dipilih untuk dilakukan tindakan anestesi umum dengan intubasi
endotrakeal napas terkendali dengan pertimbangan keuntungan yang didapat dari

tindakan anesthesia tersebut. Keuntungan dari tindakan ini antara lain: jalan nafas
yang aman dan terjamin karena terpasang ETT, pasien akan merasa lebih nyaman
karena dalam keadaan tertidur dan terhindar dari trauma terhadap operasi serta
kondisi pasien lebih mudah dikendalikan sesuai dengan kebutuhan operasi, dimana
pada operasi ini pasien dalam keadaan lateral decubitus atau miring ke kanan yang
bila pasien dalam keadaan sadar dikhawatirkan akan muncul keluhan pegal ataupun
kesulitan jalan napas.
Untuk mencapai trias anestesi yaitu analgesic, hypnosis dan relaksasi otot
maka setelah dipasang jalur intravena dengan cairan RL (ringer Laktat) sebagai
loading mulai dimasukkanlah obat-obat premedikasi, midazolam 5 mg bertujuan
untuk memberikan efek sedasi dan amnesia retrograde, fentanyl 100 mcg sebagai
analgetik opioid, propofol 150 mg sebagai obat induksi anestesia, muscle relaksan
dengan golongan non-depolarisasi jenis intermediete acting yaitu atrakurium dosis
30 mg. Sebagai obat anestesi diberikan isofluran 1,5 vol % dengan tambahan O2 2
lpm dan N2O 2 lpm.
Setelah operasi selesai, pasien segera dipindahkan ke ruang recovery room.
Pasien segera diperiksa nilai kesadarannya menggunakan Aldrette score. Penilaian
tersebut

mencakup

penilaian

terhadap

kesadaran,

warna

kulit,

aktivitas,

kardiovaskuler dan respirasi. Pasien ini mendapat nilai 9/10 yang berarti pasien dapat
dipindahkan ke ruang perawatan.
Pemberian obat-obatan analgesik tetap dilnjutkan hingga pasien kembali di
ruangan untuk mengurangi rasa sakit atau nyeri pada luka pasca operasi. Selain obatobatan, terapi cairan juga diberikan secara tepat untuk mengoreksi kehilangan darah
selama operasi.
a.
b.

Defisit cairan karena puasa 6 jam 2 x 58 x 6 = 696 cc


Kebutuhan cairan selama operasi sedang selama 2 jam = kebutuhan
dasar selama operasi + kebutuhan operasi sedang (2 x 58 x 2) + (6 cc x 58 x

c.

2) = 232 cc + 696 cc = 928 cc


Perdarahan yang terjadi kira-kira 250 cc
EBV = 70 cc x 58 = 4060 cc.
Darah yang hilang = 250/4060 x 100% = 6,15 % EBV
Bila perdarahan 10% dari EBV maka dapat diberikan kristaloid subsitusi
dengan perbandingan 1 : 2-4 ml cairan kristaloid. Jadi pada pasien ini :

= 1 : 2-4 ml
= 250 : 500 cc 1000 cc kristaloid
Jadi perdarahan saat operasi yang keluar sekitar 250 cc dapat diganti dengan
d.
e.

kristaloid sebesar 500 cc-1000 cc


Kebutuhan cairan total = 696 + 928 + (500-1000) = 2124 cc 2624 cc
Cairan yang sudah diberikan
- Pra anestesi = 500 cc
- Saat operasi = 1000 cc

f.

Total cairan yang masuk = 1500 cc

Jadi kekurangan cairan sebesar 624 cc 1124 cc maka penambahan cairan masih
diperlukan saat pasien dibangsal ditambah kebutuhan cairan per hari selama 24 jam.
g. Terapi cairan pasca bedah

Memenuhi kebutuhan air, elektrolit nutrisi


Mengganti kehilangan cairan pada masa pasca bedah (cairan lambung,

febris)
Melanjutkan penggantian defisit pre operatif dan durante operatif
Koreksi gangguan keseimbangan karena terapi cairan
Kebutuhan cairan pasien post operasi 50 cc /kgBB/24 jam (BB = 58 kg)
50 cc x 58 kg = 2900 cc/24 jam

Kebutuhan elektrolit anak dan dewasa


Na+

= 2 - 4 mEq / kgBB
= (2 x 58) (4 x 58) = 116 232 mEq

K+

= 1 2 mEq / kgBB
= (1 x 58) (2x58) = 58 116 mEq

Kebutuhan Kalori Basal


Dewasa = BB x 20-30
= (58 x 20) (58 x 30)
= 1160 1740 mEq
Pada pasien post operasi yang tidak puasa, pemberian cairan diberikan

berupa cairan maintenance selama di ruang pulih sadar (RR). Apabila keluhan
mual, muntah, dan bising usus sudah ada maka pasien dicoba untuk minum
sedikit-sedikit. Setelah kondisi baik dan cairan oral adekuat sesuai kebutuhan,

maka secara perlahan cairan maintenance parenteral dikurangi. Apabila sudah


cukup cairan hanya diberikan lewat oral saja.

DAFTAR PUSTAKA
1. Muhardi, M., et al. 1989. Anestesiologi. Jakarta: Bagian Anastesiologi dan
Terapi Intensif FKUI.
2. Boulton T.H., Blogg C.E., (1994). Anesthesiology, cetakan I. EGC, Jakarta.
3. Monk, Terri G. and Craig Weldon. 2001. The Renal System and Anesthesia
for Urologic Surgery Edition 4. Lippincoat Williams & Wilkin Publishers. p:
42.
4. Ansell J.S., Gee W.F. 1990. Disease of the Kidney and Ureter. In Bonica J.J.
(ed). The Management of Pain. Philadelphia: Lea & Febiger. p: 1233.
5. Tony H., (1998). Anestesi umum dalam Farmakologi dan Terapi, edisi IV.
Balai Penerbit FKUI, Jakarta.
6. Morgan G.E., Mikhail M.S., (1992). Clinical Anesthesiology. 1st ed. A large
medical Book

7. Dobson Michael B, (1994). Penuntun Praktis Anestesi, cetakan I, Penerbit


Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
8. Samsuhidrajat R., De JongW. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. Jakarta:
EGC. p: 756-764.
9. Purnomo B. 2003. Batu Ginjal dan Ureter Dalam Dasar-Dasar Urologi.
Yogyakarata: Sagung Seto. p: 57-68.

Anda mungkin juga menyukai