Anda di halaman 1dari 9

LATAR BELAKANG

Para pendiri Negara kita Republik Indonesia tercinta dengan segala pemahamannya tentang kondisi Tanah
Air Indonesia yang terdiri beribu ribu pulau dan suku bangsa dengan bijak menempatkan kondisi Desa
sebagai unsur Pemerintah terdepan. Struktur Pemerintahan sedemikian rupa memiliki semangat untuk
menjadikan Desa sebagai pilar utama pembangunan bangsa, logikanya bila sekitar 80.000 desa di bumi
pertiwi ini maju, mandiri, sejahtrera dan demokratis maka menjelmalah Negara Kesatuan Indonesia menjadi
bangsa yang besar dan terhormat dalam percaturan bangsa bangsa di dunia.
Lain yang diharap lain pula kenyataannya, dengan pola sentralistik yang dikembangkan di masa lalu telah
menempatkan desa menjadi pelengkap penderita yang tidak berdaya segalanya ditentukan dari atas
bahkan cenderung segala potensi yang dimilikinya lebih banyak menjadi Upeti pada Pemerintah diatasnya.
Desa tetap miskin bodoh dan abdi para pejabat diatasnya yang semakin rakus mengeksploitasi desa.
Setelah berjalan lama mulai tumbuh akan kesadaran akan kekeliruan tersebut terutama setelah terbukti
bahwa pola sentralistik hanya menghasilkan koruptor-koruptor dan kesenjangan sosial yang tajam antara
pusat, daerah dan desa. Reformasi pola ini dirombak total dimana pola desentralisasi yang ditinggalkan akan
dipacu kembali Undang-Undang Dasar 1945 yang telah diamandemen, kemudian lahir Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 Tentang Pemerintahan Daerah yang semangatnya lebih berpihak pada desentralisasi dan
demokratisasi. Kesulitan berhimpun dalam rangka membangun posisi tawar bagi pemerintahan desa telah
punah.
Selama ini, kebijakan pembangunan di Indonesia terutama pembangunan Desa selalu bersipat top down dan
sektoral dalam perencanaan serta implementasinya tidak terintegrasi, hal ini dapat dilihat dari program
pemerintah pusat ( setiap departemen ) yang bersipat sektoral. Perencanaan disusun tanpa melibatkan
sektor yang lain serta pemerintah daerah, hal lain yang menjadi permaslahan adalah tidak dicermatinya
persoalan mendasar yang terjadi di daerah, sehingga formulasi strategi dan program menjadi tidak tepat.
Berkaitan dengan kemiskinan, sebagaimana terinformasikan dalam data statistik, ternyata sebagian besar
masyarakat miskin berada di desa, oleh karena itu, pembangunan sudah sewajarnya difokuskan di ddesa
sebagai upaya mengatasi kemiskinan, Pembangunan selama ini, lebih banyak di arahkan di kota, hal ini
menyebabkan aktivitas perekonomian, berpusat di kota, hal inilah yang menyebabkan terjadinya migrasi
dari desa ke kota. Masyarakat desa dengan segala keterbatasan pindah ke kota mengadu nasib dan
sebagian besar dari mereka menjadi persoalan besar di kota.
Disisi lain, kondisi di desa tidak tersentuh pembangunan secara utuh, infrastruktur dasar tidak terpenuhi,
aktivitas ekonomi sangat rendah, peluang usaha juga rendah, sarana pendidikan terbatas, sebagian besar
baru terpenuhi untuk sekolah dasar saja, Kondisi ini menyebabkan tidak ada pilihan lain bagi masyarakat
desa untuk merubah nasibnya, yaitu dengan merantau ke kota.
Pada kenyataannya, seluruh potensi sumber daya alam, sebagai raw material aktivitas penunjang
perekonomian bisa dilaksanakan tanpa ada support bahan baku yang diproduksi di desa. Kondisi ini yang
harus segera diselesaikan melalui strategi pembangunan desa yang tepat dan teritegrasi.
Fakta lain memperlihatkan ekploitasi sumber daya alam di desa secara besar besaran, dengan tidak
mencermati daya dukung lingkungan serta tidak melibatkan masyarakat setempat, dengan alasan
kemampuan rendah dari masyarakat setempat, menyebabkan kerusakan lingkungan, baik fisik maupun
sosial. Kondisi lingkungan menjadi rusak, demikian juga terjadi trasformasi kultur secara negatif, sebagai
akibat masuknya para pendatang baru yang menyebabkan strategi pembangunan dalam mengatasi
kemiskinan tidak akan berhasil apabila tidak diintegrasikan dalam kebijakan pembangunan
berkelanjutanyang secara sadar merubah pola konsumsi masyarakat dan cara-cara produksi yang tidak
menunjang keberlanjutan sumber daya alam dan lingkungan hidup.
PERMASALAHAN
1. Sampai saat ini belum ada konsep/model pembangunan desa yang dapat menjadi solusi secara optimal
dalam upaya pengentasan kemiskinan di desa.
2. Pembangunan desa yang dilaksanakan bersifat sektoral, yang hanya akan memberikan solusi secara
parsial juga dan dengan waktu yang bersifat temporer, sehingga tidak ada jaminan kelangsungan program
tersebut.
3. Sumberdaya manusia di desa, baik aparat maupun masyarakatnya memberikan kontribusi besar terhadap
melambatnya berbagai upaya pelaksanaan pembangunan desa itu sendiri.

4. Keterbatasan sumber pendanaan, baik dari desa maupun dari Kabupaten, Provinsi dan Nasional,
merupakan faktor utama lain yang menyebabkan lambatnya proses pembangunan desa. Disisi lain Anggaran
yang disediakan/dialokasikan ke desa, baik dari Kbupaten, Provinsi maupun dari Nasional, cenderung
bersifat project, bahkan charity, bersifat sesaat dan berdampak pada golongan tertentu saja di desa.
5. Perencanaan yang disusun, walaupun telah melalui suatu proses yang panjang, yaitu dari Musrenbang,
Musrenbangda, (Kabupaten dan Provinsi) serta Musrenbangnas, tetap tidak menujukan suatu streamline
yang jelas serta tidak menujukan keterpaduan program (commited programme). Bahkan pada kebanyakan
kasus perencanaan, usulan dari desa sejak di awal diskusi pada Musrenbangcam telah terelementasi.
6. Sudut pandang dari semua pihak terhadap upaya pembangunan desa masih seperti dulu, yaitu
menempatkan desa sebagai suatu objek dengan klasifikasi rendah, sehingga tidak menjadi prioritas dan
bersifat seperlunya saja, sehingga dengan memformulasikan suatu program yang bersifat charity, dianggap
telah memberikan sesuatu manfaat yang sangat besar.
7. Belum terlihat adanya suatu pemahaman yang menunjukan bahwa desa sebagai sumber utama
pembangunan Nasional, sehingga desa patut menjadi sasaran utama pembangunan dan harus ditempatkan
sebagai partner utama dalam sistem pembangunan Nasional.
8. Persoalan ketidak jelasan kewenangan yang ada di Pemerintah Kabupaten, Provinsi dan Nasional
menyebabkan terdapatnya berbagai kesulitan dalam menyusun dan mengimplementasi kebijakan
Pemerintah Provinsi terhadap upaya Pembangunan desa.
ANALISIS
Terkait dengan pembangunan desa (rural development), secara tradisional Mosher (1969:91) menyebutkan
bahwa pembangunan desa mempunyai tujuan untuk pertumbuhan sektor pertanian, dan integrasi Nasional,
yaitu membawa seluruh penduduk suatu negara ke dalam pola utama kehidupan yang sesuai, serta
menciptakan keadilan ekonomi berupa bagaimana pendapatan itu didistribusikan kepada seluruh penduduk,
Menurut Fellman & Getis (2003:357), pembangunan desa diarahkan kepada bagaimana mengubah sumber
daya alam dan sumber daya manusia suatu wilayah atau Negara, sehingga berguna dalam produksi barang
dan melaksanakan pertumbuhan ekonomi, modernisasi dan perbaikan dalam tingkat produksi barang
( materi) dan konsumsi.
Dengan demikian, pembangunan desa diarahkan untuk menghilangkan atau mengurangi berbagai hambatan
dalam kehidupan sosial ekonomi, seperti kurang pengetahuan dan keterampilan, kurang kesempatan kerja,
dan sebagainya. Akibat berbagai hambatan tersebut, penduduk wilayah pedesaan umumnya miskin
(Jayadinata & Pramandika, 2006: 1), Sasaran dari program pembangunan pedesaan adalah meningkatkan
kehidupan sosial dan kehidupan ekonomi masyarakat desa, sehingga mereka memperoleh tingkat kepuasan
dalam pemenuhan kebutuhan material dan spiritual
Berdasar uraian di atas, pembangunan desa secara konkret harus memperhatikan berbagai faktor,
diantaranya adalah terkait dengan pembangunan ekonomi, pembanguna atau pelayanan pendidikan,
pengembangan kapasitas pemerintahan dan penyediaan bernagai infrastruktur desa. semua faktor tersebut
diperlukan guna mengimplementasikan dan mengintegrasikan pembangunan desa ke dalam suatu rencana
yang terstruktur dalam desain tata ruang.
Disisi lain, baik dalam Musyawarah perencanaan pembangunan ( Musrenbang), musyawarah perenacanaan
pembangunan daerah ( Musrenbangda), dan musyawarah perencanaan pembanguan kecamatan
( Musrenbangcam), dimana ajang tersebut sebagai ajang perencanaan pembangunan daerah, selama ini
dirasakan tidak optimal dan hanya bersifat formalitas semata, karena terjadi tarik menarik kepentingan
antara elite di daerah, Dengan demikian, ajang musrenbang/musrenbangda/musrenbangcam pun tidak
maksimal untuk menyerap aspirasi masyarakat dalam pembangunan karena masing masing level (elite
birokrasi) bertahan dengan pendirian atau keputusan keputusan yang telah dibuat sebelumnya dalam hal
penentuan program pembangunan daerah. Di samping itu, hasil musrenbang dalam kenyataannya tidak
pernah diaplikasikan dan diimplementasikan dilapangan secara utuh.
Otonomi daerah yang berada di Kabupaten/Kota juga menyebabkan peran pemerintah Provinsi menjadi
tidak maksimal dalam upaya pengentasan kemiskinan di Jawa Barat, Dalam hierarki perundang undangan,
peran pemerintah Provinsi hanya sebatas memberikan saran dan konsultasi kepada pemerintah
Kabupaten/Kota. Hal tersebut menyebabkan ketiadaan akses yang lebih bagi pemerintah Provinsi untuk
dapat mengimplementasikan program program pengentasan atau penanggulangan kemiskinan di desa.

Minimnya peran pemerintah Provinsi terkait dengan pembangunan desa, kondisi tersebut kemudian
diperparah dengan banyaknya kebijakan pemerintah pusat dalam pembangunan desa yang selalu bersifat
top down, dimana pemerintah pusat selalu memaksakan program programnya dalam pembangunan desa
bagi daerah. Kebijakan Pemerintah dalam pembangunan desa juga bersifat parsial atau sektoral, sehingga
keterkaitan dan keterpaduan antar program tidak terjadi. Dengan kata lain, antar departemen terkait tidak
ada sinergitas fungsi dan program terkait dengan kemiskinan di desa, selain itu, kebijakan pemerintah
dalam pembangunan desa selam ini tidak akomodatif terhadap ke khasan daerah dan cenderung
diseragamkan, kebijakan tidak fokus pada pengentasan atau penanggulangan kemiskinan, dimana kegiatan
apa yang akan dilakukan tidak berdasarkan pada grand design pembangunan desa (misalnya 5 tahunan)
Kebijakan pemerintah terkait pembangunan desa selama ini dinilai tidak berdasarkan pada potensi desa
yang ada, tidak berdasarkan pada desain tata ruang (yang telah dibuat), hasil musrenbang tidak
implementatif, tidak ada perencanaan yang komprehensif terhadap pembangunan desa, mekanisme
perencanaan dan pembiayaan desa tidak optimal, peran Stakeholders terutama pemerintah desa tidak
optimal, Hal tersebut telah menyebabkan pembangunan desa hanya menggantungkan (depen on) pada
bantuan atau program dari pemerintah pusat, Provinsi Kabupaten dan Kota. selain itu, kebijakan pemerintah
terkait pembangunan desa selama ini juga dinilai tidak memperhatikan kondisi faktual infrastruktur yang
ada di desa, ketersediaan prasarana ekonomi dan aktivitas ekonomi, pelayanan pendidikan, kesehatan,
kesempatan kerja sehingga diversifikasi usaha di desa sangat terbatas, lebih lanjut, desa menjadi tidak
mandiri dan hanya menggantungkan usaha atau pencaharian nafkah kepada sektor pertanian semata.
Akibat program program pemerintah yang tidak berdasarkan pada potensi dan kekhasan daerah tersebut
telah menyebabkan banyak potensi yang berada di desa menjadi tidak berkembang.
Secara umum, berdasarkan peraturan perundang undangan, sebenarnya desa dapat membangun daerahnya
berdasarkan prakarsa sendiri secara bottom up. Dimana desa terdiri dari kepala desa dan perangkatnya
serta badan permusyawaratan desa (BPD) sebagai legislatif Desa, Di sisi lain, sumber pembiayaan bagi
pembangunan desa yang dapat diambil berdasar perundang undangan yaitu dari Pemerintah Pusat,
Pemerintah Provinsi, Kabupaten / Kota, dari penghasilan desa yang syah (BUMdes), serta kerjasama dengan
pihak ketiga.
Dengan mekanisme seperti ini, maka perencanaan dan pelaksanaan pembangunan di desa seharusnya
bersifat bottom up. Akan tetapi selama ini, baik perencanaan maupun implementasi pembangunan desa
selalu bersifat top down, dimana desa hanya menerima program program pembangunan desa dari
pemerintah. Berdasarkan mekanisme perundang undangan yang ada, seharusnya desa memiliki grand
design pembangunan sendiri (inisiatif desa), jika desa memiliki grand design dalam pembangunan desanya,
maka desa dimungkinkan hanya akan mengajukan pembiayaan ke pemerintah pusat, provinsi, kabupaten
atau kota. sedangkan inisiatif untuk melakukan dan melaksanakan pembangunan (Program program)
datang dari inisiatif desa sendiri.
Lebih lanjut, dalam pengajuan pembiayaan yang dilakukan oleh desa kepada pemerintah, terdapat
klasifikasi program pembangunan desa, misalnya untuk pembangunan infrastruktur fisik, pembangunan
ekonomi dan kemasyarakatan, pendidikan, kesehatan, dan sebagainya. Dengan demikian, desa
dimungkinkan untuk mengajukan pembiayaan ke pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota, misalnya
untuk membangun sekolah, pasar desa, listrik, air, dan sebagainya, Disisi lain, desa dimungkinkan juga
untuk dapat melakukan riset potensi desa dan bekerjasama dengan pihak ketiga, misalnya terkait dengan
kondisi tanah atau lahan yang tandus dan tidak bisa dikembangkan. Hingga, semua pengajuan program
pembangunan desa muncul dari inisiatif desa berdasarkan pada kondisi eksisting dan tata ruang desa,
Berdasarkan perundang hal tersebut dapat dilakukan oleh desa, namun sejauh ini berbagai program
pembangunan desa selalu ditentukan oleh pemerintah (top down) dan desa hanya melaksanakannya saja,
Maka permasalahan yang kemudian timbul adalah, apakah perangkat desanya tidak mengerti ataukah
pemerintah yang tidak pernah mengerti akan esensi pembangunan desa, sehingga memaksakan
programnya sendiri.
Dengan demikian, pemerintah (baik pusat, provinsi, kabupaten/ kota) seharusnya hanya mendorong dan
meningkatkan kapasitas sumber daya manusia di desa untuk mampu merencanakan pembangunan
desanya, sehingga pemerintah pusat hanya melakukan pembiayaan berbagai program pembangunan yang
di ajukan oleh desa, Selama ini permasalahan tersebut selalu terjadi karena desa sendiri tidak memiliki
konsep dalam merancang pembangunan desa dan pemerintah juga tidak memahami akan eksistensi
pembangunan desa berdasarkan keunikan dan kekhasan desa dengan memaksakan berbagai programnya.
Secara umum kondisi tersebut dapat dikatakan telah mencapai tahap kejenuhan, Untuk mengatasi
persoalan kemiskinan, upaya yang perlu dilakukan tidak lagi semata mata mengandalkan pada kebijakan
ekonomi makro, tetapi juga diimbangi dengan kebijakan mikro berupa terobosan yang secara langsung
memberikan pengaruh pada peningkatan produktivitas golongan miskin tersebut, utamanya dengan
peningkatan pembangunan desa yang terintegrasi (Tjiptoherijanto, 1997: 57).
Dengan melihat desa sebagai wadah kegiatan ekonomi, kita harus merubah pandangan inferior atas wilayah

ini, dan merubahnya dengan memandang desa sebagai basis potensial kegiatan ekonomi melalui investasi
prasarana dan sarana yang menunjang keperluan pertanian, serta mengarahkannya secara lebih terpadu,
Sudah saatnya desa tidak dapat lagi dipandang hanya sebagai wilayah pendukung kehidupan daerah
perkotaan, namun seharusnya pembangunan wilayah kota atau daerah pedesaan secara menyatu.
STRATEGI
Mencermati uraian terdahulu, walaupun belum melalui suatu penelitian yang resmi, hanya berbekal
pengalaman ( experient base) dan pendekatan literatur, dapat dirumuskan suatu strategi upaya
pembangunan desa dalam rangka pengentasan kemiskinan, Sebagai berikut :
1. Penyusunan tata ruang desa menjadi prasyarat utama dalam memulai suatu upaya pembangunan
desa. Dalam proses penyusunan tata ruang desa telah dirumuskan berbagai potensi yang ada, keunikan,
kultur yang melandasi dan harapan harapan yang ingin dicapai, sehingga wujud desa nantinya menjadi
khas, seperti desa wisata, desa tambang, desa kebun, desa peternakan, desa nelayan, desa agribisnis, desa
industri, desa tradisional dan lain sebagainya. Dalam tata ruang tersebut, harus tersusun rencana
infrastruktur, site plan untuk office, pemukiman, comercial area, lahan usaha/budidaya berbasis sentra(satu
hamparan), kemampuan daya dukung lingkungan (berdasarkan estimasi jumlah penduduk maksimal), lokasi
pendidikan, sarana pelayanan kesehatan, pasar, terminal dan ruang publik (alun alun, taman) dan
sebagainya sesuai kebutuhan dan kesepakatan masyarakat.
2. Penetapan aktivitas dan komoditi yang akan dijadikan basis pengembangan ekonomi desa,
didasarkan analisis terhadap potensi yang ada, kemampuan masyarakat pada umumnya, potensi pasar,
minat dan kultur masyarakat.
3. Pembentukan lembaga lembaga masyarakat yang akan berperan sebagai stakeholders, dan
akan memberikan berbagai masukan dalam proses pembangunan desa.
4. Perumusan perencanaan pembangunan untuk satu masa jabatan Kepala Desa, serta program
pembangunan setiap tahunnya. Perumusan harus melibatkan harus melibatkan seluruh komponen di desa,
didasarkan kepada tata ruang yang telah disusun serta didasarkan kepada kewajaran dan ketersediaan
anggaran.
5. Pemerintah pusat, Provinsi, Kabupaten / Kota dapat memberikan asistensi, masukan sesuai dengan
kebijakan, misi dan visi terhadap dokumen perencanaan yang disusun, serta memberikan dukungan berupa
pengalokasiandana dalam bentuk tugas pembantuan atau bantuan yang diarahkan (specific grand ), Dengan
demikian tidak ada lagi program charity, baik dari Kabupaten / Kota, Provinsi maupun dari pusat. Seluruh
aktivitas pembangunan di desa sudah terintegrasi programnya (commited program ) dan sudah terintegrasi
juga alokasi anggarannya (commited budget).
6. Untuk pembangunan pendidikan, terutama dalam menuntaskan program wajardikdas sembilan tahun, di
desa perlu di bangun sekolah dasar dan sekolah lanjutan pertama dalam satu lokasi, ini dilakukan untuk
mengefisiesikan biaya pembangunan dan pemeliharaan sekolah, juga untuk meringankan beban orang tua
murid yang besar, yaitu komponen transport.
7. Untuk meningkatkan akses pelayanan kesehatan di desa perlu dibangun Puskesmas Pembantu atau
sejenis, dan untuk desa yang sangat terpencil dapat didukung dengan Unit Pelayanan Kesehatan Keliling.
8. Untuk pembangunan perekonomian di desa, dilakukan penetapan kegiatan dan komoditas terpilih,
sinkronisasi dengan Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten / Kota, penguatan Badan Usaha Milik Desa
(Bumdes), penyiapan masyarakat dan lokasi sentra Manajemen sentra, Penetapan berbagai kerjasama
dengan pihak ketiga, penyiapan sarana perekonomian (seperti terminal, pasar, koperasi, atau sejenis),
penunjang aktivitas ekonomi masyarakat, serta pembentukan lembaga fasilitator, baik dari masyarakat Desa
itu sendiri atau dari luar dan dari Perguruan Tinggi melalui program Kuliah Kerja Nyata (KKN).
9. Untuk meningkatkan SDM aparat desa dilakukan dengan meningkatkan program dan kegiatan yang telah
berjalan melalui program pusat, provinsi dan kabupaten / kota, efektivitas program lomba desa dan
peningkatan program Non Governtment (NGO).
KESIMPULAN
1. Keberhasilan pembangunan desa sangat dipengaruhi oleh cara pandang level pemerintah, baik pusat,
provinsi maupun kabupaten / kota.

2. Pembangunan Desa pada hakekatnya merupakan pengakuan dan penghargaan dari semua pihak
terhadap pemerintahan dan masyarakat desa dalam upayanya mencapai harapan dengan potensi, dan
kekhasannya sendiri sehingga desa seyogyanya menjadi prioritas utama pembangunan dari semua level
pemerintahan.
3. Keberhasilan pembangunan desa akan memberikan kontribusi yang signifikan terhadap keberhasilan
pembangunan secara nasional, provinsional dan kabupaten / kota.
4. Persoalan kemiskinan, baik diperkotaan maupun di pedesaan akan tereliminasi secara signifikan, apabila
tercapai pembangunan di desa desa.
5. Konsep Desa Mandiri, Dinamis dan Sejahtera, merupakan konsep integrasi perencanaan dan
implementasi, dikenal dengan commited programme dan commited budget, merupakan konsep yang
dilakukan secara gradual, terarah dan pasti, serta melibatkan semua pemangku kepentingan yang akan
beraktivitas di desa.
6. Keberhasilan konsep ini sangat tergantung kepada political will para pengambilan kebijakan dan peran
serta seluruh pemangku kepentingan.
Diposkan oleh mawardie

https://tegallinggah.wordpress.com/desa/model-pembangunan-desa-terpadu/

desa mandiri dalam perwujudan peradaban

Pembangunan adalah usaha yang dilakukan secara terus menerus dan berkelanjutan guna
meningkatkan kondisi yang lebih baik dan kondusif, terwujudnya kehidupan masyarakat yang
berdaulat, mandiri, memiliki daya saing, berkeadilan, sejahtera, maju serta memiliki kekuatan
moral dan etika yang baik (cageur, bageur, bener, pinter tur singer serta silih asih silih asah silih
asuh) dalam perspektif (sing katepi ku ati, sing kahontal ku akal).
Pembangunan Daerah Provinsi Jawa Barat di masa yang akan datang tidak terlepas dari tuntutan
dan tantangan yang diartikulasikan ke dalam visi dan misi serta strategi Jawa Barat yang
akseleratif, berkesinambungan dan berkelanjutan serta efektif dan efisien. Hal ini sejalan dengan
Skala prioritas pembangunan di Jawa Barat yang tercermin dalam Common Goals, antara lain :
1. Peningkatan kualitas pendidikan.
2. Peningkatan kualitas kesehatan.
3. Kemandirian pangan.
4. Peningkatan daya beli masyarakat.
5. Peningkatan kinerja aparatur.
6. Penanganan bencana dan pengendalian lingkungan hidup.
7. Pengembangan infrastruktur wilayah.

8. Pengembangan energi.
9. Pembangunan perdesaan.
10. Pengembangan budaya lokal dan destinasi wisata.
Pemerintah Provinsi Jawa Barat menyadari bahwa pendekatan pembangunan daerah yang
bertumpu pada pembangunan manusia merupakan suatu landasan untuk mewujudkan visi yang
sudah ditetapkan. Pembangunan manusia adalah pembangunan yang berpusat pada manusia
yang menempatkan manusia sebagai tujuan akhir dari pembangunan bukan sebagai alat
pembangunan.
Berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 2 Tahun 2009 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Daerah Tahun 2009-2013, telah ditetapkan visi
Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat yakni Tercapainya Masyarakat Jawa Barat yang
Mandiri, Dinamis dan Sejahtera. Visi tersebut dijabarkan ke dalam 5 (lima) misi, yaitu :
1. Mewujudkan sumber daya manusia Jawa Barat yang produktif dan berdaya saing.
2. Meningkatkan ekonomi regional berbasis potensi lokal.
3. Meningkatkan ketersediaan dan kualitas infrastruktur wilayah.
4. Meningkatkan daya dukung dan daya tampung lingkungan untuk pembangunan yang
berkelanjutan.
5. Meningkatkan efektifitas pemerintahan daerah dan kualitas demokrasi.
Sejalan dengan misi kelima di atas, telah ditentukan kebijakan dan program sebagai salah satu
bentuk komitmen Pemerintah Provinsi Jawa Barat terhadap pemberdayaan masyarakat dan
pembangunan di perdesaan. Program dan kebijakan tersebut adalah :
1. Meningkatkan partisipasi dan peran kelembagaan masyarakat dalam pembangunan, yang
dilaksanakan melalui program peningkatan partisipasi masyarakat dengan sasaran :
1. Terwujudnya kemitraan pemerintah, swasta dan masyarakat dalam pembangunan;
2. Meningkatnya frekuensi keterlibatan masyarakat dalam penetapan kebijakan.
2. Mewujudkan desa membangun yang dilaksanakan melalui program pemantapan dan
pembangunan desa, dengan sasaran :
1. Meningkatnya kinerja pemerintahan desa;
2. Meningkatnya kualitas sarana dan prasarana desa;

3. Meningkatnya kesejahteraan masyarakat desa.


Sebagai salah satu bentuk perhatian konsentratif Pemerintah Provinsi Jawa Barat terhadap
pembangunan perdesaan diantaranya pada Tahun Anggaran 2010 telah memberikan bantuan
terhadap 100 (seratus) Desa terpilih tersebar di 17 Kabupaten se Jawa Barat, yang dikemas ke
dalam Program Desa Mandiri dalam Perwujudan Desa Peradaban di Jawa Barat.
Program Desa Mandiri dalam Perwujudan Desa Peradaban di Jawa Barat adalah desa yang maju
kehidupan lahir bathin meliputi bidang ekonomi, pendidikan, kesehatan, keamanan dan
ketertiban, kedaulatan politik, peran serta masyarakat dan kinerja pemerintahan desa. Desa
Mandiri dalam Perwujudan Desa Peradaban adalah desa yang dilengkapi dengan berbagai
fasilitas sosial yang memadai seperti sarana dan prasarana, kesehatan pendidikan, ekonomi,
ibadah, olahraga, hiburan dan perbelanjaan dan lain-lain.
Kemudian program ini setelah dilaksanakan berdasarkan hasil evaluasi pada Tahun Anggaran
2011 terhadap 100 (seratus) Desa terpilih tersebar di 17 Kabupaten se Jawa Barat, adalah sebagai
berikut :
1. Kualifikasi A sebanyak 25 Desa (artinya pelaksanaan program hasilnya sangat
memuaskan);
2. Kualifikasi B sebanyak 60 Desa (artinya pelaksanaan program hasilnya sesuai harapan
masyarakat dan Pemerintah Provinsi Jawa Barat);
3. Kualifikasi C sebanyak 15 Desa (artinya pelaksanaan program hasilnya cukup baik).
Sehingga Program Desa Mandiri dalam Perwujudan Desa Peradaban di Jawa Barat
direkomendasikan oleh pihak Pemerintah Provinsi Jawa Barat, DPRD Provinsi Jawa Barat,
akademisi dan tokoh masyarakat agar dilanjutkan.
Sesuai dengan tugas pokok dan fungsi Organisasi Perangkat Daerah (OPD) Provinsi Jawa Barat,
yang di dalamnya terkait erat dengan pembangunan pemberdayaan masyarakat dan pemerintahan
desa, maka yang menjadi leading sector Program Desa Mandiri dalam Perwujudan Desa
Peradaban di Jawa Barat adalah Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa
(BPMPD) Provinsi Jawa Barat.
Landasan pemikiran diluncurkannya Program Desa Mandiri dalam Perwujudan Desa Peradaban
di Jawa Barat, adalah :
1. Masyarakat Jawa barat adalah masyarakat agamis dengan kekayaan warisan budaya dan
nilai-nilai luhur tradisional yang sangat tinggi.
2. Berdasarkan data BPS jumlah penduduk Jawa Barat pada akhir tahun 2011 43 juta jiwa,
penduduk miskin di desa 36%.

3. Banyaknya bantuan dari pusat, provinsi, kabupaten/kota ke desa yang kurang sinergis dan
bersifat top down.
4. Meningkatnya angka pengangguran dan urbanisasi di desa.
5. Menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan dan lembaga
kemasyarakatan desa.
6. Infrastruktur perdesaan saat ini kurang memadai dan kondisinya secara umum rusak.
7. Kualitas SDM aparatur dan kelembagaan masyarakat desa rendah.
8. Peran stratejik terhadap kontribusi pembangunan dari aspek fisik, ekonomi, sosial, dan
budaya belum mendukung secara signifikan terhadap pembangunan, padahal desa
sebagai salah satu pusat pertumbuhan pembangunan.
9. Banyaknya potensi desa (SDA dan SDM) yang layak untuk dikembangkan.
10. Pelaksanaan Program Desa Mandiri dalam Perwujudan Desa Peradaban di Jawa Barat
Tahun 2010 hasilnya cukup baik.
Mewujudkan kesejahteraan masyarakat perdesaan, bukan tugas yang ringan, apalagi bila
terdapat kendala dan hambatan dalam teknis pelaksanaanya seperti belum stabilnya faktor
keamanan, kondisi perekonomian Nasional yang belum menunjukkan perkembangan
menggembirakan.
Dengan mencermati hal-hal tersebut maka perlu dilakukan upaya terobosan yang tepat untuk
mempercepat pencapaian sasaran melalui aktivitas pembangunan yang efektif, efisien dan
ekonomis. Pembangunan harus terintegrasi dan dikonsentrasikan di desa melalui pelibatan
masyarakat secara swakelola.
Maksud dan Tujuan
Maksud dari Program Desa Mandiri dalam Perwujudan Desa Peradaban di Jawa Barat adalah
mendorong desa yang berpotensi untuk berkembang, maju dan mandiri dalam rangka
mempercepat pencapaian peningkatan kesejahteraan masyarakat Desa dengan memberdayakan
Pemerintah dan Masyarakat Desa melalui pendayagunaan sumberdaya lokal secara mandiri dan
sumberdaya pembangunan secara optimal.
Tujuan Program Desa Mandiri dalam Perwujudan Desa Peradaban di Jawa Barat adalah :
1. Meningkatkan proses percepatan pembangunan di perdesaan.
2. Mewujudkan tatanan desa membangun yang secara fisik memiliki potensi SDA dan
SDM, kelembagaan dan sarana/prasarana yang memadai menuju desa mandiri.

3. Meningkatkan prilaku masyarakat desa yang mendukung pola hidup bersih, sehat, tertib
dan aman serta kecintaan terhadap lingkungan.
4. Meningkatkan kesempatan berusaha dan bekerja serta terbukanya lapangan kerja baru
yang merupakan hasil kreativitas dan inovasi desa.
5. Menjadikan desa sebagai pusat kegiatan bagi masyarakat desa, agar betah tinggal di desa.
Sasaran
Sasaran dari Program Desa Mandiri dalam Perwujudan Desa Peradaban di Jawa Barat, adalah:
1. Meningkatnya kuantitas dan kualitas infrastruktur pedesaan.
2. Meningkatnya perekonomian masyarakat pedesaan.
3. Meningkatnya kualitas pendidikan dan kesehatan.
4. Meningkatnya lapangan pekerjaan di desa.
5. Meningkatnya kinerja aparatur pemerintahan desa.
6. Meningkatnya partisipasi masyarakat.
http://sindang.desamembangun.or.id/2012/07/18/desa-mandiri-dalam-perwujudandesa-peradaban/

Anda mungkin juga menyukai