Anda di halaman 1dari 3

Megalopolis Hijau, Malang Ijo Ruko - Ruko

Perkembangan Kota Malang mencapai titik dimana kejengahan dan kerisauan publik
patut dipertimbangkan kembali oleh pengelola kota. Seringkali isu-isu mengenai permasalahan
lingkungan hidup dianggap kurang seksi dimata publik karena belum mengena pada kondisi fisik
maupun sosial manusianya, padahal hal tersebut sangat terkait dalam prinsip kehidupan secara
mendasar. Hubungan vertikal dan horizontal yang selaras dan ideal yang merupakan pedoman
hidup masyarakat lampau kini semakin bergeser seiring pertumbuhan Kota Malang sebagai
tempat singgah sementara. Berdasarkan data dan peraturan UU No. 26 Tahun 2007, sebuah kota
seharusnya menyediakan 30% RTH (Ruang Terbuka Hijau) dari total luas wilayahnya. Namun
RTH di Kota Malang masih belum memenuhi. Jumlah RTH di kota Malang saat ini adalah
1303,192 Ha (Bappeko Kota Malang, 2007). Jumlah tersebut masih belum bisa memenuhi
kebutuhan sebuah kota akan RTH, dimana seharusnya yang dimiliki Kota Malang adalah
1998,506 Ha. Setelah permasalahan lingkungan, permasalahan lain berdatangan berkaitan
kebutuhan ekonomi seiring dengan ambiguitas hilangnya identitas lokal Kota Malang. Ijo rukoruko, demikian pesatnya pertumbuhan ruko telah menjamur sejak 2012 sesuai fokus rencana
pembangunan Pemkot Malang. Dengan acuan standarisasi minimum RTH sesuai Undangundang No. 26 Tahun 2007 sebanyak 10%, faktanya ruko belum mampu memenuhi standar
tersebut, padahal toleransinya sudah cukup besar karena standar sebuah infrastruktur memiliki
RTH 40% dari koefisien dasar bangunannya. Berdasarkan sebuah penelitian, menunjukkan
penentuan lokasi potensial ruko baru diantaranya Kelurahan Tlogomas dengan persentase total
ranking sebesar 120,96% berada di Kecamatan Lowokwaru, Kelurahan Buring dengan
persentase total nilai total ranking sebesar 35,16% berada di Kecamatan Kedungkandang,
Kelurahan Oro-oro Dowo dengan persentase nilai total ranking sebesar 23,19% berada di
Kecamatan Klojen, Kelurahan Blimbing dengan persentase nilai total ranking sebesar 19,80%
dan terakhir pada Kelurahan Sukun dengan persentase nilai total ranking sebesar 7,74%. Daerah
mengalih fungsikan kawasan hijau maupun kuning menjadi kawasan untuk kegiatan usaha.
Slogan yang dahulu diberikan untuk Kota Malang adalah Malang ijo royo-royo sekarang
berubah
menjadi
Malang
ijo
ruko-ruko
Mempersiapkan ruang kota tidak hanya melihat dari salah satu kacamata dikotomis saja;
korporasi populer kapital, archetype aristrokat akademisi atau masyarakat partisipatorik. Ketiga
elemen tersebut idealnya saling terintegrasi dengan baik. Menurut Tan Malaka dalam
pemikirannya yang tertuang pada tulisan Semangat Muda (Tokyo, 1926) terdapat pendapat
menarik terkait "Pimpinan itu baru bisa sempurna, kalau perhubungan atau kontak dengan
Rakyat sempurna pula." Pertanyaan mendasar yang timbul adalah kemana arah perancangan
Kota Malang secara umum, Metropolitan Ibu Kota, Imitasi tereferensi Dubai, atau Metropolis
New York? Perihal mana yang dipilih, menurut Eko Prawoto, seorang arsitek lokal Jogja

mengungkapkan pendapatnya mengenai pola pikir ideal perancangan ruang dengan lebih baik
melihat realita lokal yang ada dengan cara evolutif-organik dari dalam bukan mencomot
langsung dialektis pola pemikiran luar dan memasukkannya ke dalam. Kemana arah bahtera
Malang berbasis lokalitas mengarah? Melihat kembali perencanaan dan komitmen tata kota,
program yang sudah berjalan tahun 2011 lalu yaitu P2KH atau Program Pengembangan Kota
Hijau di Malang telah dimulai. Tahun 2013 merupakan kelanjutan dari pelaksanaan tahun 2011
dan 2012 dengan spektrum atribut yang lebih luas untuk mulai diwujudkan secara bertahap, tidak
sebatas pada 3 (tiga) atribut yang diprioritaskan sebelumnya, yakni green open space, green
community serta green planning and design. Malang juga turut melakukan branding independen
dengan sebutan Malang, Green, Clean and Safe. Beberapa implementasi berupa merangkul
komunitas peduli lingkungan dan pembangunan taman tematik yang layak mulai ditingkatkan
meskipun mengalami keterlambatan eksekusi.
Melihat pilar tumbuh paradigma keberlanjutan atau Sustainable Development terdapat 3
pemenuhan kebutuhan inti yaitu Ekonomi, Sosial dan Ekologi yang terintegrasi. Penghematan
energi lingkungan yang memiliki aspek keterkaitan dalam kebutuhan manusianya sebagai
konsumen sekaligus dapat memiliki nilai jual lebih untuk meningkatkan ekonomi. Lebih
mengerucut pada paradigma tata kota The Megalopolis, sebuah antitesa Metropolis City awalnya
dicanangkan oleh Geografer Prancis bernama Jean Gottmann mengungkapkan untuk
meninggalkan keterbatasan dan ide anakronis dari metropolis tradisional, meninggalkan ide kota
sebagai unit erat menetap dan terorganisir dimana orang-orang, kegiatan, dan kekayaan yang
padat ke daerah yang sangat kecil jelas dipisahkan berupa lingkungan non-perkotaan. Tetapi
tanpa disadari ia juga meminta untuk mengabaikan kelas bawah terjebak yang secara bersamaan
menuju hilangnya kota industri. Gottmann tergabung dalam The Metabolist Group pelopor
pemikiran posmodern di Jepang merujuk pada Megalopolis ala Tokyo-Osaka 1960 yang
terkoneksi langsung oleh Shinkansen (Kereta Berkecepatan Tinggi) intuk berspekulasi
pertumbuhan kota mengambil yang baru dan spektakuler.
Proyek kolaboratif Megalopolis dan Megaform yang menarik inspirasi kalangan avantgarde kala itu dikombinasikan dengan agenda sosial libertarian dalam proyek New Babel
Belanda (1957-1974). Menciptakan negara bergaya megastructural yang disponsori Hi-Tech
menjadi visi nyata surga komersialisasi baru di lokasi kaya minyak Los Angeles. Contoh lainnya
Dharavi, Mumbai yang merupakan pemukiman terbesar di Asia, sebuah desa informal
sebelumnya telah berdiri perifer lama, sebuah high-density, low-rise, mixed-use, sangat produktif
untuk kantong industri rumahan pusat kota yang sekarang duduk di seberang distrik keuangan
baru
pada
beberapa
real
estate
Mumbai
yang
berharga.
PBB mengadopsi istilah Megacity pada tahun 1986 dan digunakan untuk menjadi acuan setiap
kota lebih dari 10 juta orang bukan dalam arti spesifik ekstensi bentuk kelompok diri dibangun
penuh sesak berkembang pesat seperti kota-kota berkembang. Hal ini cenderung untuk
menggabungkan Tokyo dan Kairo daripada melihat mereka sebagai konurbasi yang sangat
berbeda yang telah muncul secara kebetulan di negara maju dan berkembang. Sementara
bersamaan muncul megalopolis dan megacity yang memiliki jejak ekologis sangat berbeda.
Dhavari mendaur ulang sebagian besar sampah kota dan meskipun penampilan jauh 'hijau'
daripada megalopolis berbasis minyak dengan dipertahankannya dedaunan rimbun.

The Megalopolis, menjadi kesempatan untuk arsitektur perusahaan, untuk sebagian besar
tetap menjadi dilema bagi arsitek independen diluar praktek perusahaan, karena mereka tidak
lagi bisa diperintah pesanan formal kota seperti yang mereka lakukan di kota metropolitan.
Kemakmuran dan kesejahteraan tepian kota di seluruh Amerika Utara, Eropa, Australia dan
Selandia Baru tidak pernah bisa direplikasi di seluruh dunia, karena kehabisan sumber daya
global daripada skala regional. Pertumbuhan tak terkendali dari megalopolis dengan
MegaStructures desain di seluruh dunia juga dibayangi oleh kelompok luas dari kota-kota besar,
yang telah tumbuh secara eksponensial dengan tidak lepas dari tatanan kolonial metropolitan.
Apakah seperti ini arah impian pembangunan infrastruktur korporasi yang terbungkus dedaunan
rimbun berdasar fakta di Kota Malang peninggalan Thomas Carsten? Dibangunnya jalur KotaKabupaten yang secara iklim konteks berbeda mengeruk hasil menggunakan megastructure?
Atau memilih metode menggeser peran perancang dengan imajinasi yang diperkaya teknik
kolaborasi dan komunikasi berbasis bertumbuhnya lokalitas?

- Dionisius Dino Briananto-

NB : Urutan bahasan (tidak perlu dicantumkan u/ mempermudah membaca saja)


(FENOMENA FAKTA DAN DATA MALANG)
(PROGRAM PEMERINTAH P2KH & BRAND)
(PARADIGMA SUSTAINABILITY & MEGALOPOLIS HIJAU)
(SOLUSI BERUPA PERTANYAAN)

Anda mungkin juga menyukai