Oleh:
Ratna Pambayun
A34304028
Oleh:
Ratna Pambayun
A34304028
RINGKASAN
RATNA PAMBAYUN. Pengaruh Jarak Tanam terhadap Produksi Beberapa
Sayuran Indigenous. Dibimbing oleh BAMBANG S. PURWOKO.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pengaturan jarak
tanam terhadap pertumbuhan dan hasil beberapa sayuran indigenous (katuk,
kenikir, dan kemangi). Penelitian dilaksanakan dari bulan Desember 2007 Juli
2008 di kebun percobaan SANREM, Nanggung Bogor. Percobaan
menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) satu faktor dengan empat
perlakuan jarak tanam yaitu: 50 cm x 10 cm (populasi 200 000 tanaman/ha),
50 cm x 13.3 cm (populasi 150 000 tanaman/ha), 50 cm x 20 cm (populasi 100
000 tanaman/ha) dan 50 cm x 40 cm (populasi 50 000 tanaman/ha) dengan tiga
kali ulangan. Pengamatan meliputi karakter tinggi tanaman, jumlah daun, jumlah
cabang, jumlah tunas, bobot panen per tanaman serta bobot panen per petak.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan jarak tanam dapat
meningkatkan
bobot
panen
katuk
per
petak.
Jarak
tanam
cenderung
mempengaruhi bobot panen kenikir per tanaman secara nyata, akan tetapi
terhadap karakter kenikir yang lain tidak terdapat perbedaan yang signifikan antar
perlakuan. Jarak tanam yang renggang dapat meningkatkan tinggi tanaman,
jumlah daun, jumlah cabang dan bobot panen per tanaman pada kemangi namun
tidak meningkatkan bobot panen per petak.
Dari penelitian ini disimpulkan bahwa terdapat jarak tanam yang
optimum pada tanaman katuk dan kenikir. Jarak tanam yang optimum pada
tanaman katuk yaitu 50 cm x 12.5 cm (populasi 160 000 tanaman/ha dan kenikir
50 cm x 16 cm (populasi 126 667 tanaman/ha). Pada tanaman kemangi, respon
bobot panen per petak pada populasi yang meningkat sampai dengan 200 000
tanaman/ha bersifat linier sehingga hasil yang optimum mungkin diperoleh pada
jarak tanam yang lebih rapat atau populasinya lebih besar dari 200 000
tanaman/ha.
LEMBAR PENGESAHAN
Judul
Nama
: Ratna Pambayun
NRP
: A34304028
Menyetujui,
Dosen Pembimbing
Mengetahui,
Dekan Fakultas Pertanian
Tanggal Lulus : ..
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Pati pada tanggal 28 September 1986. Penulis
merupakan anak pertama dari pasangan Bapak Sri Hartono dan Ibu Rachmi Astuti
Yuwani.
Penulis menyelesaikan pendidikan Taman Kanak-kanak di TK Kenari IV
pada tahun 1992. Kemudian melanjutkan ke SDN Pati Kidul 04 Pati sampai tahun
1998. Pendidikan selanjutnya penulis tempuh di SMP Negeri 2 Pati sampai
dengan tahun 2001, dan pada tahun yang sama penulis melanjutkan ke SMA
Negeri 1 Pati hingga lulus tahun 2004. Tahun 2004, penulis diterima sebagai
mahasiswa program studi Hortikultura, Departemen Agronomi dan Hortikultura,
Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan
Seleksi Masuk IPB).
Selama kuliah penulis aktif dalam Organisasi IKMP (Ikatan Keluarga
Mahasiswa Pati) sebagai Bendahara pada tahun 2005. Tahun 2006 penulis
berkesempatan mengikuti program magang liburan di PT Pesona Daun Mas Asri
selama 1 bulan. Penulis juga pernah berkesempatan menjadi Asisten untuk mata
kuliah Dasar Hortikultura pada tahun 2008.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang senantiasa
mencurahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi
yang
berjudul PENGARUH
JARAK
TANAM
TERHADAP
DAFTAR ISI
Halaman
PENDAHULUAN ....................................................................
Latar Belakang ...............................................................
Tujuan Percobaan ...........................................................
Hipotesis ........................................................................
1
1
2
2
3
3
5
6
7
9
9
9
10
11
11
12
12
13
13
17
21
24
28
29
LAMPIRAN .............................................................................
31
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
Teks
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
Teks
1.
2.
3.
4.
5.
6.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia merupakan negara tropika yang memiliki tingkat keanekaragaman
sayuran cukup tinggi. Menurut William et al. (1993) lebih dari 100 jenis tanaman
dapat dibudidayakan sebagai sayuran di daerah tropika dan masih ada 50 jenis
tanaman sayur yang tumbuh liar, akan tetapi kesadaran masyarakat Indonesia
untuk mengonsumsi sayur masih tergolong rendah. Berdasarkan data dari
Puslitbang Gizi dan Makanan (2007) tingkat konsumsi sayur masyarakat
Indonesia adalah sebesar 37.94 kg/kapita/tahun sedangkan standar dari FAO
adalah 65.75 kg/kapita/tahun (www.p3gizi.litbang.go). Hal ini antara lain
disebabkan oleh rendahnya daya beli dan pengetahuan masyarakat terhadap
kebutuhan sayuran. Kebutuhan sayuran di Indonesia dapat dipenuhi dengan
adanya peningkatan produksi sayuran komersial dan penambahan ragam sayuran
(diversifikasi) dengan sayuran indigenous Indonesia.
Katuk (Sauropus androgynus L. Merrill), kenikir (Cosmos caudatus
Kunth.) dan kemangi (Ocimum americanum L.) merupakan jenis sayuran
indigenous Indonesia yang dapat dikembangkan sebagai tanaman alternatif untuk
memenuhi kebutuhan terhadap sayuran yang terus meningkat seiring dengan
pertambahan penduduk di Indonesia. Sayuran ini umumnya cenderung
dibudidayakan masyarakat dalam skala kecil dan bersifat lokal, akan tetapi
tanaman tersebut mempunyai resistensi yang tinggi terhadap patogen serta mudah
beradaptasi dengan lingkungan yang kurang baik, sehingga dapat dimanfaatkan
sebagai pengganti sayuran komersial dalam pemenuhan kebutuhan nutrisi
manusia (Chen, 1999). Oleh karena itu pengembangan sayuran indigenous untuk
dibudidayakan secara intensif akan mendatangkan keuntungan. Seleksi varietas
dan teknik budidaya yang tepat diharapkan dapat meningkatkan produksi sayuran
indigenous Indonesia.
Teknik budidaya yang perlu diperhatikan untuk meningkatkan hasil antara
lain adalah dengan pengaturan jarak tanam atau populasi. Penggunaan jarak tanam
yang tepat dapat mengurangi tingkat kompetisi tanaman dengan tanaman lain
maupun dengan gulma dalam memperebutkan air, cahaya matahari dan hara.
Serangan hama penyakit juga dapat dicegah dengan pengaturan jarak tanam. Jarak
tanam yang terlalu rapat dapat menyebabkan hama dan penyakit berpindah
dengan cepat ke tanaman lain, dan sebaliknya jika jarak antar tanaman terlalu
lebar menyebabkan gulma dapat tumbuh subur. Harjadi (1996) menyatakan
bahwa pada umumnya populasi yang tinggi pada suatu lahan dapat meningkatkan
produksi tanaman. Namun banyaknya jumlah tanaman dalam satu petak lahan
dapat mempengaruhi kemampuan tanaman dalam memanfaatkan cahaya matahari
sehingga kualitas tanaman menurun.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Moniruzzaman (2006) terhadap
tanaman selada, diperoleh hasil bahwa dengan semakin lebar jarak tanam maka
akan dihasilkan tanaman dengan tinggi tanaman tertinggi dan bobot panen per
tanaman yang paling besar. Hal ini disebabkan oleh rendahnya tingkat persaingan
dalam memperoleh nutrisi, hara dan cahaya matahari pada masing-masing
tanaman. Penelitian serupa terhadap tanaman bayam yang dilakukan oleh Mortley
et al. (1991) menunjukkan bahwa bobot panen bayam per petak meningkat secara
linier seiring dengan penggunaan jarak tanam yang semakin rapat.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh jarak tanam terhadap
pertumbuhan dan hasil pada sayuran indigenous katuk (Sauropus androgynus L.
Merril), kenikir (Cosmos caudatus Kunth.) dan kemangi (Ocimum americanum
L.).
Hipotesis
Terdapat jarak tanam (populasi) optimum pada tiap komoditi sayuran
indigenous.
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi Sayuran Indigenous
Sayuran adalah tanaman sukulen yang dibudidayakan di pekarangan secara
intensif atau bagian dari tanaman yang dikonsumsi bersama makanan utama lain
(Grubben dan Piluek, 1994). Di Indonesia sayuran biasanya dikonsumsi bersama
makanan pokok seperti nasi, namun kandungan aneka vitamin, karbohidrat (dalam
bentuk serat), dan mineral yang dimiliki sayuran tidak dapat disubstitusi dengan
makanan pokok (Nazarudin, 1995).
Sayuran yang dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia terdiri atas dua
golongan, yaitu sayuran komersial dan sayuran indigenous. Sayuran indigenous
atau yang lebih dikenal dengan sayuran lokal/asli merupakan sejenis sayuran yang
berasal dari Indonesia atau dari luar Indonesia namun sudah beradaptasi dan sudah
dibudidayakan atau dimanfaatkan oleh penduduk setempat dari dulu sehingga
sudah dianggap sebagai tanaman turun-temurun (Anonim, www.pustakadeptan.go.id).
Sayuran indigenous biasanya dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai
tanaman pekarangan yang pembudidayaannya terbatas pada skala rumah tangga
saja. Sayuran indigenous juga dapat dimanfaatkan untuk mengatasi masalah
pemenuhan gizi pada keluarga pra sejahtera, karena cara budidayanya yang
mudah dan biaya yang murah. Jenis sayuran indigenous yang terdapat di
Indonesia cukup banyak, diantaranya yang sering dimanfaatkan oleh masyarakat
adalah daun katuk (Sauropus androgynus L. Merrill), kenikir (Cosmos caudatus
Kunth.) dan kemangi (Ocimum americanum L.)
Katuk (Sauropus androgynus L. Merrill)
Katuk atau star gooseberry termasuk dalam famili Euphorbiaceae. Katuk
mempunyai nama yang berbeda di setiap negara. Di Malaysia katuk dikenal
dengan nama cekur manis, di Filipina dikenal dengan nama binahian, sedangkan
di Thailand dikenal dengan nama phakwan-ban (Van den Bergh, 1994b).
Katuk merupakan salah satu jenis sayuran indigenous yang cukup dikenal di
Indonesia. Karakteristik tanaman katuk antara lain berbentuk tanaman semak
dengan tinggi 2 m 3 m, memiliki batang berbentuk silinder dan tidak terlalu
keras, batang muda berwarna hijau dan yang tua berwarna cokelat. Daun katuk
berbentuk bulat telur dan tumbuh pada cabang dengan letak yang berselangseling. Warna daun permukaan atas hijau, kadang-kadang mempunyai bercak
keputihan sedangkan daun permukaan bawah berwarna hijau muda dengan
pertulangan daun tampak jelas. Bunga yang dimiliki oleh katuk bersifat berbentuk
majemuk tandan, uniseksual, dan monoecious (terdapat dua macam bunga dalam
satu tanaman yaitu bunga jantan dan bunga betina). Bunga katuk mempunyai daun
pelindung kecil berselang-seling berwarna hijau muda dan tangkai bunga
berbentuk silindris dengan panjang 1 - 1.5 cm (Van den Bergh, 1994b).
Di Indonesia, tanaman katuk dapat tumbuh optimum di dataran rendah
sampai dengan ketinggian 1 300 m dpl (di atas permukaan laut). Katuk merupakan
tanaman liar yang dapat tumbuh di pinggiran jalan hingga di daerah yang
mengandung bebatuan. Pada tanah dengan kondisi drainase dan kesuburan yang
baik, katuk dapat tumbuh secara maksimal. Katuk dapat diperbanyak
menggunakan biji dan stek batang. Perbanyakan dengan biji jarang dilakukan
karena membutuhkan waktu yang lama. Tanaman hasil stek dapat langsung
ditanam di lapangan produksi atau terlebih dahulu ditanam di pembibitan selama
satu bulan agar akarnya tumbuh. Tanaman ini jarang terserang hama dan penyakit
sehingga tidak perlu dilakukan penyemprotan pestisida (Van den Bergh, 1994b).
Katuk memiliki nutrisi tinggi, produktif dan mudah untuk dibudidayakan.
Sayuran ini mengandung vitamin A sangat tinggi sehingga daun muda, bunga dan
buahnya dikonsumsi sebagai pelengkap nutrisi, memperlancar ASI dan sebagai
pakan ternak. Dalam 100 g bahan katuk mengandung air 79.8 g, protein 7.6 g,
lemak 1.8 g, karbohidrat 6.9 g, serat 1.9 g, arang 2 g, vitamin A 10 000 IU,
vitamin B1 0.23 mg, vitamin B2 0.15 g, vitamin C 136 mg, kalsium 234 mg, fosfor
64 mg, besi 3.1 mg (Van den Bergh, 1994b). Selain dimanfaatkan sebagai sayuran,
di beberapa daerah daun katuk digunakan pula sebagai pewarna makanan. Daun
dan akarnya juga dapat digunakan untuk bahan ramuan obat-obatan tradisional
(Sastrapradja, 1979).
daun-daunnya dipetik,
tunas baru
akan
cepat
tumbuh
untuk
menggantikannya.
Daun kenikir apabila diremas-remas akan mengeluarkan bau yang khas karena
mengandung minyak esensial. Adanya minyak tersebut menimbulkan rasa yang
agak sengau pada daun mentah, akan tetapi dengan pengukusan rasa tersebut akan
hilang. Daun kenikir, setelah dikukus dapat dibuat urap atau pecel (Sastrapradja,
1979). Tanaman kenikir juga dapat digunakan sebagai tanaman penghias
pekarangan karena bunganya yang berwarna cerah. Efek farmakologis yang
dimiliki oleh kenikir antara lain adalah penambah nafsu makan dan penguat
jantung. Daun kenikir juga dapat dimanfaatkan sebagai obat tradisional untuk
menghentikan pendarahan dan untuk menguatkan tulang (Van den Bergh, 1994a).
Jarak tanam
Produksi tanaman yang maksimum dapat diperoleh dengan penerapan
beberapa teknik budidaya yang tepat. Jarak tanam merupakan salah satu teknik
budidaya yang mengatur tata letak dan populasi tanaman dengan jarak yang pasti
menurut dua arah tertentu dalam satu area (Zaubin, 1985). Melalui pemilihan
jarak tanam yang tepat tingkat persaingan antar maupun intern tanaman dapat
ditekan serendah mungkin. Selain itu pemilihan jarak tanam juga dapat
mengoptimumkan kemampuan tanaman dalam memanfaatkan unsur-unsur yang
dibutuhkan dalam proses fotosintesis seperti cahaya matahari, air dan hara.
Pengaturan jarak tanam sangat berkaitan erat dengan kerapatan tanaman.
Kerapatan tanaman akan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan
tanaman. Penggunaan jarak tanam yang rapat akan meningkatkan jumlah populasi
namun kompetisi yang dialami tanaman juga semakin ketat. Kompetisi yang
intensif antar tanaman dapat mengakibatkan perubahan morfologi pada tanaman,
seperti berkurangnya organ yang terbentuk sehingga perkembangan tanaman
menjadi terganggu (Harjadi, 1996).
Tanaman yang mempunyai tajuk dengan daun lebih banyak akan
memungkinkan terjadinya persaingan terhadap penerimaan radiasi matahari,
sirkulasi CO2 dan penyerapan air sehingga dapat menurunkan hasil tanaman.
Sebaliknya, tajuk yang mempunyai daun lebih sedikit memungkinkan radiasi
matahari sampai ke seluruh permukaan daun. Selain itu, sirkulasi CO2 menjadi
lebih lancar karena udara mengalir dengan baik (Wulandari, 2007).
Pada awalnya peningkatan jumlah populasi tanaman per satuan luas akan
meningkatkan hasil. Namun jika populasi terus ditingkatkan lama kelamaan
hasilnya akan turun (Gambar 1). Hal ini diakibatkan adanya persaingan antar
tanaman yang semakin ketat dalam memperebutkan air, zat hara serta cahaya
matahari. Apabila jarak yang digunakan semakin lebar, maka jumlah populasi
tanaman akan lebih sedikit namun kemungkinan produktivitas per tanaman akan
lebih tinggi.
Hasil
Populasi tanaman
Gambar 1. Hubungan antara Produksi Tanaman per Satuan Luas dengan
Populasi Tanaman. Sumber: Zaubin (1985)
Menurut Holiday dalam Zaubin (1985) hubungan antara hasil dan populasi
dapat digambarkan dengan kurva asimtotik dan kurva parabolik. Pada hubungan
asimtotik, semakin tinggi jumlah populasi tanaman per satuan luas maka akan
meningkatkan produksi namun ketika populasi terus meningkat sampai pada titik
tertentu maka tidak akan terjadi peningkatan produksi lagi (konstan). Hal ini
dikarenakan pada awal pertumbuhan telah tercapai penggunaan cahaya secara
maksimal akan tetapi pada akhirnya penampilan tanaman secara individu akan
menurun karena adanya persaingan cahaya dan faktor tumbuh lainnya. Hubungan
asimtotik biasanya terjadi pada tanaman yang dipanen bagian vegetatifnya seperti
bayam, kangkung dan sayuran daun lainnya. Pada hubungan parabolik, dengan
semakin tinggi populasi maka produksi akan meningkat namun ketika populasi
terus meningkat sampai dengan titik tertentu maka akan terjadi penurunan
produksi. Hubungan parabolik biasanya terjadi pada tanaman yang dipanen bagian
generatifnya seperti apel, tomat dan cabai.
i+
ij
Keterangan :
Yij = Pengamatan pada perlakuan ke-i dan kelompok ke-j
ij
sehingga jumlah total tanaman yang digunakan adalah 1 800 tanaman dari tiga
jenis tanaman yang digunakan yaitu; katuk, kenikir dan kemangi.
Pelaksanaan
Benih kenikir dan kemangi disemai dalam tray yang berisi 128 lubang.
Media yang digunakan yaitu kompos dan tanah dengan perbandingan 1:1.
Pembibitan dilakukan selama 3 - 4 minggu sampai kondisi tanaman sudah siap
dipindah ke lapangan. Khusus untuk kemangi, sebelum penanaman dilakukan
pengapuran dengan dosis kapur 2 ton/ha atau 800 g per petak. Bibit tanaman
kenikir, kemangi dan katuk ditanam pada bedengan yang berukuran 1 m x 4 m
dengan pengaturan jarak tanam yang berbeda, yaitu 50 cm x 10 cm (200 000
tanaman/ha), 50 cm x 13.3 cm
cm. Tanaman kemangi dipanen pada saat cabang yang terdiri atas daun-daun
muda berukuran 20 cm dengan cara memotong cabang sepanjang 10 cm kemudian
disatukan dalam satu ikatan yang terdiri atas 5-10 cabang (Laksana, 2007)
sedangkan panen pada tanaman kenikir dilakukan ketika cabang muda telah
mencapai ukuran 30 cm dengan cara memotong bagian cabang sepanjang 15 cm
20 cm (Hermanto, 2008).
Pengamatan
Pengamatan dilakukan pada empat tanaman contoh pada masing-masing
petak tanaman. Peubah-peubah yang diamati meliputi:
Tinggi tanaman, diukur dari permukaan tanah sampai dengan titik tumbuh.
Pengukuran dilakukan saat 2 - 7 MST. Pengukuran karakter tinggi
tanaman hanya dilakukan pada tanaman kemangi dan kenikir.
Jumlah tunas, dihitung berdasarkan jumlah tunas yang tumbuh dari batang
utama. Pengukuran hanya dilakukan pada tanaman katuk.
F hitung
0.30tn
0.11 tn
0.69tn
1.62 tn
0.95 tn
1.95 tn
1.61 tn
1.38 tn
1.06 tn
1.19 tn
0.26 tn
0.31 tn
1.85 tn
4.58 *
KK (%)
18.57
8.00x
18.16
6.69x
12.14
17.44
16.69
8.30
14.15y
15.00y
13.64y
13.17y
9.67
6.36x
Keterangan :
Koefisien keragaman pada beberapa karakter katuk relatif besar. Hal ini
dikarenakan kondisi drainase yang berbeda pada blok satu. Selain itu tingkat
keragaman bahan tanam cukup tinggi karena berasal dari stek walaupun sudah
diusahakan seseragam mungkin khususnya dalam ukuran diameter batang.
Menurut Sitompul dan Guritno (1995) tanaman mempunyai keragaman yang
tinggi akibat faktor dari dalam tanaman dan lingkungan yang tidak dapat
dihilangkan sekalipun bahan tanam dan tempat percobaan sudah dibuat seseragam
mungkin.
Tunas pada tanaman katuk pertama kali muncul pada 1 MST akan tetapi
pengamatan baru dilakukan pada saat tanaman berumur 4 MST. Hal ini
dikarenakan pada awal penanaman banyak tanaman katuk yang mati sehingga
perlu dilakukan penyulaman terlebih dahulu. Panjang tunas katuk dari
pengamatan awal, 4 MST sampai dengan 7 MST tidak menunjukkan perbedaan
yang nyata pada masing-masing perlakuan jarak tanam. Nilai rata-rata panjang
tunas katuk dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Rata-rata Panjang Tunas Tanaman Katuk
Jarak tanam
(populasi tanaman/ha)
50 cm x 10 cm (200 000 tanaman/ha)
50 cm x 13.3 cm (150 000 tanaman/ha)
50 cm x 20 cm (100 000 tanaman/ha)
50 cm x 40 cm (50 000 tanaman/ha)
Respon
Keterangan:
tn : Tidak berbeda nyata pada uji F 5%
Daun katuk merupakan daun majemuk dan biasanya dalam satu cabang terdiri
11 - 27 helai anak daun. Daun yang berasal dari tunas baru biasanya akan muncul
segera setelah pemanenan. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa jumlah
daun pada katuk tidak dipengaruhi oleh jarak tanam secara nyata. Nilai rata-rata
jumlah daun katuk disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Rata-rata Jumlah Daun Tanaman Katuk
Jarak tanam
(populasi tanaman/ha)
5.0
6.5
8.3
10.1
5.2
6.3
10.4
12.1
50 cm x 20 cm
5.8
8.3
10.3
13.5
50 cm x 40 cm
5.7
8.0
11.1
14.2
tn
tn
tn
tn
50 cm x 10 cm
Respon
Keterangan:
tn: Tidak berbeda nyata pada uji F 5%
1.7
2.1
2.3
2.7
1.8
1.8
2.3
2.3
50 cm x 20 cm
1.8
2.3
2.3
2.4
50 cm x 40 cm
2.3
2.6
2.6
2.8
tn
tn
tn
tn
50 cm x 10 cm
Respon
Keterangan:
tn: Tidak berbeda nyata pada uji F 5%
Panen tanaman katuk pada penelitian ini dilakukan pada saat tanaman
berumur 7 MST. Panen berikutnya dilakukan pada 8 MST. Nilai rata-rata bobot
panen per tanaman dan bobot panen per petak dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Rata-rata Bobot Panen Katuk per Tanaman dan Bobot Panen
Katuk per Petak
Jarak tanam
(populasi tanaman/ha)
27.20
208.33a
35.45
229.33a
50 cm x 20 cm
55.00
175.67ab
50 cm x 40 cm
46.68
99.00b
50 cm x 10 cm
Respon
tn
Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan
berbeda nyata pada uji Tukey taraf 5%.
tn: Tidak berbeda nyata pada uji F 5%
Jarak tanam pada percobaan ini tidak memberikan pengaruh yang nyata
terhadap bobot panen per tanaman akan tetapi jarak tanam secara nyata dapat
meningkatkan bobot panen katuk per petak. Tanaman dengan jarak tanam yang
rapat menghasilkan bobot panen per petak yang nyata lebih tinggi dibanding jarak
tanam yang renggang (Tabel 5).
Berdasarkan grafik pada Gambar 2, diketahui bahwa respon membentuk
hubungan kuadratik. Artinya dengan semakin besar populasi atau jarak tanam
yang semakin rapat maka produksi daun katuk akan semakin besar sampai pada
satu titik tertentu yang diduga dapat menghasilkan produksi paling besar. Namun
jika populasi katuk ditingkatkan lagi maka produksi akan menurun. Dari
persamaan regresi y = -10-8x2+0.0032x-39.417 (R2= 0.4673), diperoleh nilai x
sebesar 160 000. Hal ini berarti titik produksi optimum pada tanaman katuk
dicapai pada populasi 160 000 tanaman/ha. Berdasarkan nilai tersebut maka dapat
diduga jarak tanam optimum pada tanaman katuk adalah 50 cm x 12.5 cm.
350
300
250
200
150
100
50
0
0
50000
F Hitung
1.87tn
1.37 tn
0.52 tn
0.67 tn
0.54 tn
0.53 tn
1.52 tn
2.20 tn
1.48 tn
1.28 tn
0.21tn
0.08 tn
1.25 tn
1.25 tn
1.97 tn
3.62 +
0.15 tn
Keterangan :
tn : tidak berbeda nyata pada uji F 5%
+
: cenderung nyata pada taraf 10 %
x
: data setelah ditransformasi dengan metode log (Y)
y
: data setelah ditransformasi dengan metode log (Y+1)
KK (%)
10.55
11.45
13.70
17.41
7.00x
19.15
12.16y
19.88
19.42
12.46
7.10
8.91
9.64
7.86
8.77
9.08 x
4.26x
Jarak tanam
---------------------------cm----------------------------50 cm x 10 cm
(populasi 200 000 tanaman/ha)
50 cm x 13.3 cm
(populasi 150 000 tanaman/ha)
50 cm x 20 cm
(populasi 100 000 tanaman/ha)
50 cm x 40 cm
(populasi 50 000 tanaman/ha)
Respon
6.37
9.67
14.96
26.01
43.78
67.41
5.90
8.94
16.26
28.69
48.57
79.66
6.85
10.42
16.32
30.68
54.02
79.25
7.14
10.63
17.19
31.33
53.99
80.20
tn
tn
tn
tn
tn
tn
Keterangan:
tn : Tidak berbeda nyata pada uji F 5%
Cabang pada kenikir mulai muncul pada saat tanaman berumur 3 MST pada
beberapa petak namun cabang muncul serempak ketika tanaman berumur 4 MST.
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa karakter jumlah cabang pada tanaman
kenikir tidak berbeda nyata pada taraf 5 %.
Tabel 8. Rata-rata Jumlah Cabang Tanaman Kenikir
Jarak tanam
(populasi tanaman/ha)
7.5
9.2
11.3
8.4
10.2
12.2
50 cm x 20 cm
10.4
12.5
14.3
50 cm x 40 cm
11.3
13.3
15.1
tn
tn
tn
50 cm x 10 cm
Respon
Keterangan:
tn : Tidak berbeda nyata pada uji F 5%
kenikir berkisar antara 17 20. Nilai rata-rata jumlah daun kenikir disajikan pada
Tabel 9.
Tabel 9. Nilai Rata-rata Jumlah Daun Tanaman Kenikir
MST (Minggu Setelah Tanam)
Jarak tanam
50 cm x 10 cm
(populasi 200 000 tanaman/ha)
50 cm x 13.3 cm
(populasi 150 000 tanaman/ha)
50 cm x 20 cm
(populasi 100 000 tanaman/ha)
50 cm x 40 cm
(populasi 50 000 tanaman/ha)
Respon
Keterangan:
tn : Tidak berbeda nyata pada uji F 5%
a.
6.0
8.7
10.5
13.3
15.5
17.3
5.7
8.3
10.8
13.8
16.2
17.5
6.4
8.7
10.7
15.0
16.5
18.2
6.8
8.5
10.8
15.2
17.5
20.2
tn
tn
tn
tn
tn
tn
b.
c.
d.
cenderung berpengaruh terhadap hasil panen daun kenikir per tanaman. Data pada
Tabel 10 menunjukkan bahwa terdapat suatu kecenderungan dengan semakin
lebar jarak tanam maka bobot panen per tanaman akan semakin tinggi. Tanaman
kenikir yang ditanam dengan jarak 50 cm x 40 cm cenderung menghasilkan bobot
panen per tanaman yang paling besar yaitu sebesar 92.89 g.
Tabel 10. Rata-rata Bobot Panen Kenikir per Tanaman dan Bobot Panen
Kenikir per Petak
Jarak tanam
(populasi tanaman/ha)
34.15
1318.30
46.03
1417.70
50 cm x 20 cm
52.24
1528.70
50 cm x 40 cm
92.89
1316.00
tn
50 cm x 10 cm
Respon
Keterangan:
tn : Tidak berbeda nyata pada uji F 5%
+ : Cenderung nyata pada taraf 10%
2500
2000
1500
1000
500
0
0
50000
100000
150000
200000
250000
Keterangan :
** : berbeda sangat nyata pada taraf 1 %
* : berbeda nyata pada taraf 5 %
+
: cenderung nyata pada taraf 10 %
tn : tidak berbeda nyata
x
: data setelah ditransformasi dengan metode log (Y)
F Hitung
2.1tn
2.39 tn
0.86 tn
12.99**
2.48 tn
1.38 tn
4.29 +
2.53 tn
0.38 tn
1.66 tn
9.10*
5.45*
0.17 tn
KK (%)
14.61
10.57
9.64
3.57
12.96
9.13
17.34
9.51
7.12
5.48
4.38
20.90
14.76x
--------------------cm------------------50 cm x 10 cm
8.34
16.99
24.51
37.23b
8.65
16.02
23.32
36.01b
50 cm x 20 cm
7.23
15.95
23.48
35.34b
50 cm x 40 cm
9.79
19.40
26.04
41.55a
tn
tn
tn
Respon
Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan
berbeda nyata pada uji Tukey taraf 5%.
tn: Tidak berbeda nyata pada uji F 5%
10.0
14.8
18.8
9.3
13.0
19.1
50 cm x 20 cm
9.8
13.5
21.3
50 cm x 40 cm
12.1
14.7
28.5
tn
tn
50 cm x 10 cm
Respon
Keterangan:
tn :
Tidak berbeda nyata pada uji F 5%
+ : Cenderung nyata pada taraf 10%
10.8
15.6
18.8
23.6b
11.2
15.3
18.7
25.3ab
50 cm x 20 cm
9.6
15.3
17.2
26.9a
50 cm x 40 cm
11.8
16.2
18.5
28.2a
tn
tn
tn
50 cm x 10 cm
Respon
Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan
berbeda nyata pada uji Tukey taraf 5%.
tn :
Tidak berbeda nyata pada uji F 5%
Tanaman kemangi dapat dipanen pada saat berumur lima minggu setelah
ditanam. Karakter bobot panen kemangi per petak tidak dipengaruhi oleh jarak
tanam secara nyata sedangkan bobot panen kemangi per tanaman secara nyata
meningkat dengan jarak tanam yang semakin renggang. Perlakuan jarak tanam
50 cm x 20 cm (populasi 100 000 tanaman/ha) memiliki bobot panen daun
kemangi yang terbesar, yaitu 40.08 g. Bobot panen kemangi per tanaman yang
terendah dihasilkan pada jarak tanam 50 cm x 13.3 cm. Nilai rata-rata hasil panen
kemangi per petak disajikan pada Tabel 15.
Tabel 15. Rata-rata Bobot Panen Kemangi per Tanaman dan Bobot Panen
Kemangi per Petak
Jarak tanam
(populasi tanaman/ha)
27.08ab
1053.33
20.58b
1053.33
50 cm x 20 cm
40.08a
823.70
50 cm x 40 cm
35.42ab
606.70
50 cm x 10 cm
Respon
tn
Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan
berbeda nyata pada uji Tukey taraf 5%.
tn: Tidak berbeda nyata pada uji F 5%
Populasi optimum pada tanaman kemangi tidak dapat diduga dengan tepat
karena respon membentuk hubungan linier (Gambar 5.). Adanya hubungan linier
antara populasi dan produksi daun kemangi menunjukkan bahwa dengan jarak
tanam yang lebih rapat atau populasi yang lebih besar dari 200 000 tanaman/ha
1600
1400
1200
1000
800
600
400
200
0
0
50000
100000
150000
200000
250000
Pembahasan
Daun merupakan karakter penting untuk diamati karena sebagai indikator
pertumbuhan terkait dengan pembentukan biomassa tanaman. Jumlah dan ukuran
daun dipengaruhi oleh faktor genotipe dan lingkungan. Menurut Dewi (2004)
jumlah daun akan mencapai maksimal dan kemudian tetap konstan sampai mulai
terjadinya proses penuaan. Hasil analisis uji F secara statistik menunjukkan bahwa
perlakuan jarak tanam tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah daun pada
tanaman katuk dan kenikir. Hasil ini sejalan dengan pendapat Wulandari (2007)
bahwa jarak tanam tidak berpengaruh nyata terhadap karakter jumlah daun kedelai
Pertumbuhan vegetatif tanaman kemangi seperti; tinggi tanaman, jumlah
daun, dan jumlah cabang meningkat pada jarak tanam yang lebar (populasi
rendah. Diduga pada populasi yang rendah menyebabkan kompetisi yang terjadi
antar tanaman menjadi rendah sehingga masing-masing tanaman mempunyai
ruang tumbuh yang lebih besar dan tajuk dapat berkembang dengan baik. Kondisi
ini memungkinkan cahaya matahari dapat menyentuh sebagian besar permukaan
daun sehingga cahaya yang diterima oleh daun dapat mencukupi untuk kebutuhan
fotosintesis. Laju fotosintesis berhubungan dengan ketersediaan bahan mentah,
yaitu air, karbondioksida dan cahaya matahari. Ketersediaan bahan mentah yang
cukup akan meningkatkan jumlah karbohidrat yang terbentuk dalam proses
fotosintesis. Pada fase vegetatif, tanaman menggunakan sebagian besar
karbohidrat yang dibentuknya diantaranya untuk proses pembelahan dan
pemanjangan sel. Jika laju pembelahan dan pemanjangan sel berjalan cepat maka
pertumbuhan batang, daun, dan akar pada tanaman juga akan berlangsung cepat
(Harjadi, 1996).
Pertumbuhan vegetatif yang baik umumnya akan diikuti dengan
peningkatan komponen hasil (bobot panen per tanaman). Tanaman yang
digunakan pada penelitian merupakan sayuran yang dipanen bagian vegetatifnya
sehingga dengan semakin banyak daun dan cabang pada satu tanaman maka hasil
per tanaman akan semakin tinggi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa bobot
panen per tanaman tertinggi dihasilkan pada jarak tanam yang lebih renggang. Hal
ini sejalan dengan pernyataan Gardner et al. (1991), Davis (1993), Preece and
Read (2005) dan (Moniruzzaman, 2006) yang menyatakan bahwa jarak tanam
yang lebih lebar dapat meningkatkan bobot panen per tanaman.
Bobot panen per petak pada tanaman kenikir dan kemangi tidak
dipengaruhi oleh jarak tanam. Pada tanaman katuk perlakuan jarak tanam yang
rapat secara nyata meningkatkan bobot panen per petak. Perlakuan jarak tanam
50 cm x 13.3 cm menghasilkan bobot panen per petak yang paling besar.
Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Moniruzzaman (2006) yang menyatakan
bahwa bobot panen per petak pada tanaman selada (Lactuca sativa L.) meningkat
pada jarak tanam yang rapat karena adanya peningkatan terhadap jumlah individu
tanaman dalam satu area.
Berdasarkan analisis regresi diperoleh hasil bahwa terdapat hubungan
kuadratik antara bobot panen per petak dengan jumlah populasi pada tanaman
katuk sehingga apabila jumlah populasi terus ditingkatkan maka produksi akan
menurun setelah melewati titik optimum. Seperti yang diungkapkan oleh Zaubin
(1985) bahwa dengan semakin rapat jarak tanam maka populasi tanaman akan
semakin besar sehingga dapat meningkatkan hasil per satuan luas secara linier,
tetapi apabila populasi tersebut terus ditingkatkan maka hasilnya akan menurun.
Hal ini diduga bahwa pada populasi yang tinggi (jarak tanam terlalu rapat)
tanaman akan saling menaungi sehingga bagian tanaman yang ternaungi akan
cenderung mengalami etiolasi karena kekurangan cahaya. Cabang yang
mengalami etiolasi akan menjadi kurus dan memanjang sehingga mempengaruhi
produksi fotosintat (Harjadi, 1996).
Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa bobot panen kemangi per petak
meningkat secara linier pada jarak tanam yang rapat. Hal ini sejalan dengan hasil
penelitian Mortley et al. (1991) yang menyatakan bahwa produksi bayam per
petak meningkat secara linier pada rentang populasi 40 000, 54 000, 80 000 dan
161 000 tanaman/ha. Tanaman kemangi diduga masih dapat menghasilkan
produksi daun yang tinggi walaupun pada kondisi populasi yang tinggi (lebih
besar dari 200 000 tanaman/ha). Kondisi ini dapat terjadi karena diduga daya
adaptasi tanaman kemangi terhadap jarak tanam yang rapat lebih tinggi jika
dibandingkan dengan katuk dan kenikir. Pada jarak tanam yang rapat tajuk
kemangi akan tumbuh menyamping sehingga tanaman masih dapat tumbuh
dengan baik (Gambar 6).
a.
b.
c.
d.
DAFTAR PUSTAKA
Chen, N. 1999. Evaluating the potential of leafy vegetables, p 86-99. In: L.M
Engle and N.C Altoveros (Eds). Collection, Conservation, and Utilization
of Indigenous Vegetable. AVRDC. Taiwan.
Davis, J.M. 1993. In-row plant spacing and yields of fresh-market basil.
http://www.banglajol.info/index.php/JARD/article/viewarticle/776.
[diakses tanggal 21 Juli 2008]
Departemen Pertanian. 2006. Sayuran indigenous meningkatkan gizi dan
pendapatan petani. http://www.pustaka-deptan.go.id/inovasi/kliping.php
[diakses tanggal 12 November 2007]
Dewi, K. 2004. Pengaruh Jenis Pupuk Kandang dan Jarak Tanam terhadap
Pertumbuhan dan Produksi Jagung Manis (Zea mays saccharata Sturt).
Skripsi. Departemen Budidaya Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut
Pertanian Bogor. Bogor. 42 hal.
Firmansyah dan I.K Adnyana, 2007. Kemangi versus Selasih.
http://www.pikiranrakyat.com/cetak/2006/012006/26/cakrawala/lainnya0
.htm. [diakses tanggal 12 November 2007]
Grubben, G.J.H and K. Piluek. 1994. Introduction, p. 17-27. In: J.S Siemonsma
and K.Piluek (Eds). Plant Resources of South-East Asia No.8. PROSEA:
Vegetables. Prosea. Bogor.
Gardner, F.P, R.B. Pearce, and R.L Mitchell. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya.
Cetakan ke-1. Diterjemahkan oleh Herawati Susilo. UI Press. Jakarta. 424
hal.
Harjadi, S.S. 1996. Pengantar Agronomi. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
197 hal.
Hermanto, D. 2008. Koleksi dan Karakterisasi Plasma Nutfah Sayuran
Indigenous. Skripsi. Program Studi Hortikultura. Institut Pertanian Bogor.
Bogor. 87 hal.
Laksana, A. 2007. Koleksi dan Karakterisasi Lima Sayuran Indigenous Indonesia
Asal Kabupaten Bogor dan Pandeglang. Skripsi. Program Studi
Hortikultura. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 98 hal.
Moniruzzaman, M. 2006. Effects of plant spacing and mulching on yield and
profitability of lettuce (Lactuca sativa L.). Journal of Agriculture & Rural
Development 4(1&2): 107-111.
Mortley, D.G, E.G Rhoden, and V.A. Khan. 1991. Plant spacing influences yield
of vegetables amaranth. http://www.actahort.org/books/318/318_29.htm.
[diakses tanggal 21 Juli 2008].
Nazarudin. 1995. Budidaya dan Pengaturan Panen Sayuran Dataran Rendah.
Penebar Swadaya. Jakarta. 142 hal.
Preece, J.E and P.E. Read. 2005. The Biology of Horticulture. 2nd edition. John
Wiley & Sons. USA. 514 p.
Puslitbang Gizi. 2007. Konsumsi protein rakyat Indonesia sangat kurang.
http://www.p3gizi.litbang.depkes.go.idindex2.phpoption=com_content&d
o_pdf=1&id=36 , [diakses tanggal 12 November 2007]
Sastrapradja, S. 1979. Tanaman Pekarangan. Lembaga Biologi Nasional LIPI.
Bogor. 97 hal.
Sitompul, S. M dan B. Guritno. 1995. Analisis Pertumbuhan Tanaman. Gadjah
Mada University Press. Yogyakarta. 367 hal.
Sunarto, A.T. 1994. Ocimum americanum L., p 218-220. In: J.S. Siemonsma and
K. Piluek (Eds). Plant Resources of South-East Asia No. 8. PROSEA:
Vegetables. Prosea. Bogor.
Van den Bergh, M.H. 1994a. Cosmos caudatus Kunth, p. 152-153. In: J.S.
Siemonsma and K. Piluek (Eds). Plant Resources of South-East Asia No.
8. PROSEA: Vegetables. Prosea. Bogor.
Van den Bergh, M.H. 1994b. Sauropus androgynus (L.) Merrill., p. 244-245. In:
J.S. Siemonsma and K. Piluek (Eds). Plant Resources of South-East Asia
No. 8. PROSEA: Vegetables. Prosea. Bogor.
William, C.N, J.O. Uzo, and W.T.H. Peregrine. 1993. Produksi Sayuran di Daerah
Tropika. Diterjemahkan oleh S. Ronoprawiro. Gadjah Mada University
Press. Yogyakarta.374 hal.
Wulandari, D. 2007. Pengaruh Jenis Pemupukan dan Populasi Terhadap
Pertumbuhan dan Produksi Kedelai (Glycine max (L.) Merril). Skripsi.
Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 47 hal.
Zaubin, M. 1985. Pengaruh Tumpangsari Jagung, Kacang Panjang, dan Populasi
Terhadap Produksi Bawang Putih (Allium sativum L.). Laporan
Penelitian. Fakultas Pertanian. Universitas Jember. Jember. 74 hal.
LAMPIRAN
Kelembapan
Curah Hujan
Hari Hujan
( C)
(%)
(mm)
(hari)
Juni 07
25.6
83
149
13
Juli
25.6
81
30
Agustus
25.4
79
90
September
26
77
50
Oktober
26
81
142
11
November
25
81
116
12
Desember
25.3
89
211
19
Januari
25.7
84
241
10
Februari
24.4
90
201
15
Maret
25.1
87
281
18
April
25.5
83
257
16
Mei
25.8
82
175
14
Juni 08
25.6
83
94
Bulan
Sumber: Badan Meteorologi dan Geofisika Balai Wilayah II Stasiun Klimatologi Klas I Darmaga
Bogor
5 MST
6 MST
7 MST
SK
db
JK
KT
Fhit
Pr > F
Ulangan
2.26
1.13
2.64
0.151
Perlakuan
1.22
0.41
0.95
0.473
Galat
2.57
0.43
KK (%)
12.13
Ulangan
15.28
7.64
4.78
0.057
Perlakuan
9.38
3.13
1.95
0.222
Galat
9.59
1.6
KK (%)
17.44
Ulangan
19.63
9.81
3.52
0.097
Perlakuan
13.42
4.47
1.61
0.284
Galat
16.71
2.79
KK (%)
16.69
Ulangan
0.059
0.029
3.44
0.101
Perlakuan
0.036
0.012
1.38
0.335
Galat
0.052
0.009
KK (%)
8.30
5 MST
6 MST
7 MST
SK
db
JK
KT
Fhit
Pr > F
Ulangan
0.009
0.004
1.09
0.394
Perlakuan
0.013
0.004
1.06
0.434
Galat
0.025
0.004
KK (%)
14.15
Ulangan
0.002
0.001
0.19
0.832
Perlakuan
0.019
0.006
1.19
0.390
Galat
0.033
0.005
KK (%)
15
Ulangan
0.0015
0.0008
0.15
0.861
Perlakuan
0.0039
0.0013
0.26
0.855
Galat
0.0302
0.0050
KK (%)
13.64
Ulangan
0.0003
0.0001
0.03
0.974
Perlakuan
0.0048
0.0016
0.31
0.816
Galat
0.0308
0.0051
KK (%)
13.17
SK
db
JK
KT
Fhit
Pr > F
4 MST
Ulangan
9.13
4.56
0.63
0.563
Perlakuan
6.4
2.13
0.3
0.828
Galat
43.27
7.21
KK (%)
18.57
Ulangan
0.0073
0.0037
0.36
0.709
Perlakuan
0.0032
0.0011
0.11
0.953
Galat
0.0605
0.0101
KK (%)
8.00
Ulangan
15.52
7.76
0.53
0.612
Perlakuan
29.92
9.97
0.69
0.593
Galat
87.22
14.54
KK (%)
18.16
Ulangan
0.026
0.013
1.55
0.287
Perlakuan
0.041
0.014
1.62
0.282
Galat
0.051
0.008
KK (%)
6.69
5 MST
6 MST
7 MST
db
JK
KT
Fhit
Pr > F
Ulangan
0.084
0.042
1.81
0.242
Perlakuan
0.129
0.043
1.85
0.238
Galat
0.140
0.023
KK (%)
9.67
db
JK
KT
Fhit
Pr > F
Ulangan
0.118
0.059
2.98
0.126
Perlakuan
0.269
0.089
4.58
0.048
Galat
0.118
0.020
KK (%)
6.36
3 MST
4 MST
5 MST
6 MST
7 MST
SK
db
JK
KT
Fhit
Pr > F
Ulangan
2.26
1.13
1.88
0.233
Perlakuan
2.31
0.77
1.28
0.364
Galat
3.61
0.60
KK (%)
12.46
Ulangan
0.79
0.39
1.08
0.399
Perlakuan
0.23
0.08
0.21
0.888
Galat
2.21
0.37
KK (%)
7.10
Ulangan
0.54
0.27
0.30
0.753
Perlakuan
0.23
0.08
0.08
0.966
Galat
5.46
0.91
KK (%)
8.91
Ulangan
2.54
1.27
0.67
0.548
Perlakuan
7.17
2.39
1.25
0.372
Galat
11.46
1.91
KK (%)
9.64
Ulangan
2.67
1.33
0.80
0.492
Perlakuan
6.25
2.08
1.25
0.372
Galat
10.00
1.67
KK (%)
7.86
Ulangan
2.04
1.02
0.40
0.689
Perlakuan
15.23
5.08
1.97
0.219
Galat
15.46
2.58
KK (%)
8.77
3 MST
4 MST
5 MST
6 MST
7 MST
SK
db
JK
KT
Fhit
Pr > F
Ulangan
0.26
0.13
0.27
0.769
Perlakuan
2.69
0.89
1.87
0.236
Galat
2.88
0.48
KK (%)
10.55
Ulangan
0.28
0.14
0.11
0.898
Perlakuan
5.29
1.76
1.37
0.339
Galat
7.73
1.29
KK (%)
11.45
Ulangan
1.15
0.57
0.12
0.892
Perlakuan
7.62
2.54
0.52
0.686
Galat
29.52
4.92
KK (%)
13.71
Ulangan
56.58
28.29
1.10
0.393
Perlakuan
51.58
17.19
0.67
0.603
Galat
154.863
25.81
KK (%)
17.41
Ulangan
0.026
0.013
0.94
0.441
Perlakuan
0.022
0.007
0.54
0.674
Galat
0.084
0.014
KK (%)
6.99
Ulangan
336.35
168.18
0.78
0.499
Perlakuan
341.46
113.82
0.53
0.679
Galat
1291.81
215.30
KK (%)
19.15
5 MST
6 MST
SK
db
JK
KT
Fhit
Pr > F
Ulangan
0.041
0.021
1.39
0.318
Perlakuan
0.067
0.022
1.52
0.303
Galat
0.089
KK (%)
12.15
Ulangan
16.70
8.35
1.66
0.266
Perlakuan
33.22
11.07
2.20
0.188
Galat
30.13
5.02
KK (%)
19.88
Ulangan
17.17
8.58
1.31
0.338
Perlakuan
29.10
9.70
1.48
0.313
Galat
39.46
6.58
KK (%)
19.41
Tabel Lampiran 10. Sidik Ragam Bobot Panen Kenikir per Tanaman
SK
db
JK
KT
Fhit
Pr > F
Ulangan
0.003
0.002
0.06
0.940
Perlakuan
0.261
0.087
3.62
0.084
Galat
0.144
0.024
KK (%)
9.08
Tabel Lampiran 11. Sidik Ragam Bobot Panen Kenikir per Petak
SK
db
JK
KT
Fhit
Pr > F
Ulangan
0.026
0.013
0.72
0.524
Perlakuan
0.008
0.003
0.15
0.926
Galat
0.107
0.018
KK (%)
4.26
4 MST
5 MST
SK
db
JK
KT
Fhit
Pr > F
Ulangan
10.53
5.27
2.95
0.128
Perlakuan
13.27
4.42
2.48
0.159
Galat
10.72
1.79
KK (%)
12.96
Ulangan
1.38
0.693
0.42
0.672
Perlakuan
6.77
2.25
1.38
0.335
Galat
9.78
1.63
KK (%)
9.13
Ulangan
33.13
16.57
1.15
0.378
Perlakuan
185.52
61.84
4.29
0.061
Galat
86.53
14.42
KK (%)
17.34
3 MST
4 MST
5 MST
SK
db
JK
KT
Fhit
Pr > F
Ulangan
8.01
4.00
3.78
0.087
Perlakuan
8.04
2.68
2.53
0.154
Galat
6.36
1.06
KK (%)
9.51
Ulangan
4.38
2.19
1.78
0.248
Perlakuan
1.39
0.46
0.38
0.774
Galat
7.41
1.23
KK (%)
7.12
Ulangan
0.95
0.47
0.47
0.645
Perlakuan
4.97
1.66
1.66
0.274
Galat
6.01
1.00
KK (%)
5.48
Ulangan
15.87
7.94
6.11
0.036
Perlakuan
35.46
11.82
9.10
0.012
Galat
7.79
KK (%)
4.38
3 MST
4 MST
5 MST
SK
db
JK
KT
Fhit
Pr > F
Ulangan
15.06
7.53
4.87
0.055
Perlakuan
9.73
3.24
2.1
0.202
Galat
9.28
KK (%)
14.61
Ulangan
15.77
7.89
2.42
0.170
Perlakuan
23.44
7.81
2.39
0.167
Galat
19.59
3.26
KK (%)
10.57
Ulangan
9.00
4.50
0.82
0.485
Perlakuan
14.15
4.72
0.86
0.512
Galat
33.02
5.50
KK (%)
9.64
Ulangan
55.87
27.93
15.57
0.004
Perlakuan
69.95
23.32
12.99
0.005
Galat
10.77
1.79
KK (%)
3.57
Tabel Lampiran 15. Sidik Ragam Bobot Panen Kemangi per Tanaman
SK
db
JK
KT
Fhit
Pr > F
Ulangan
836.07
418.04
10.09
0.012
Perlakuan
677.06
225.69
5.45
0.038
Galat
248.59
41.43
KK (%)
20.90
Tabel Lampiran 16. Sidik Ragam Bobot Panen Kemangi per Petak
SK
db
JK
KT
Fhit
Pr > F
Ulangan
0.026
0.013
0.72
0.524
Perlakuan
0.008
0.003
0.15
0.926
Galat
0.107
0.018
KK (%)
4.26