Anda di halaman 1dari 5

Patogenesa, Pola Penyebaran, dan Prinsip Terapi Abses Rongga Mulut

diposting oleh gilangrasuna-fkg pada 13 December 2011


di Catatan Kecil Tentang Gigi - 0 komentar
Proses infeksi pada jaringan pulpo-periapikal dapat menyebabkan beberapa kondisi ketika
melibatkan jaringan periapikal, dapat berupa granuloma, abses, kista, atau osteomyelitis. Dalam
catatan ini akan dibahas mengenai patogenesa abses mulai dari jaringan periapikal hingga ke
jaringan lunak.
PATOGENESA DAN POLA PENYEBARAN
Saluran pulpa yang sempit menyebabkan drainase yang tidak sempurna pada pulpa yang terinfeksi,
namun dapat menjadi tempat berkumpulnya bakteri dan menyebar kearah jaringan periapikal secara
progresif (Topazian, 2002). Ketika infeksi mencapai akar gigi, jalur patofisiologi proses infeksi ini
dipengaruhi oleh jumlah dan virulensi bakteri, ketahanan host, dan anatomi jaringan yang terlibat.
Abses merupakan rongga patologis yang berisi pus yang disebabkan oleh infeksi bakteri campuran.
Bakteri yang berperan dalam proses pembentukan abses ini yaitu Staphylococcus aureus dan
Streptococcus mutans. Staphylococcus aureus dalam proses ini memiliki enzim aktif yang disebut
koagulase yang fungsinya untuk mendeposisi fibrin. Sedangkan Streptococcus mutans memiliki 3
enzim utama yang berperan dalam penyebaran infeksi gigi, yaitu streptokinase, streptodornase, dan
hyaluronidase. Hyaluronidase adalah enzim yang bersifat merusak jembatan antar sel, yang pada
fase aktifnya nanti, enzim ini berperan layaknya parang yang digunakan petani untuk merambah
hutan.
Bagaimana sebenarnya pola perjalanan abses ini?
Seperti yang kita semua ketahui, pada umumnya abses merupakan proses yang kronis, meskipun
sebenarnya ada juga abses periapikal akut, namun di catatan ini saya hendak membahas mengenai
perjalanan abses secara kronis.
Seperti yang disebutkan diatas, bakteri Streptococcus mutans (selanjutnya disingkat S.mutans)
memiliki 3 macam enzim yang sifatnya destruktif, salah satunya adalah enzim hyaluronidase.
Enzim ini berperan layaknya parang petani yang membuka hutan untuk dijadikan ladang
persawahannya, ya.. enzim ini merusak jembatan antar sel yang terbuat dari jaringan ikat
(hyalin/hyaluronat), kalau ditilik dari namanya hyaluronidase, artinya adalah enzim pemecah
hyalin/hyaluronat. Padahal, fungsi jembatan antar sel penting adanya, sebagai transpor nutrisi antar
sel, sebagai jalur komunikasi antar sel, juga sebagai unsur penyusun dan penguat jaringan. Jika
jembatan ini rusak dalam jumlah besar, maka dapat diperkirakan, kelangsungan hidup jaringan yang
tersusun atas sel-sel dapat terancam rusak/mati/nekrosis.
Proses kematian pulpa, salah satu yang bertanggung jawab adalah enzim dari S.mutans tadi,
akibatnya jaringan pulpa mati, dan menjadi media perkembangbiakan bakteri yang baik, sebelum
akhirnya mereka mampu merambah ke jaringan yang lebih dalam, yaitu jaringan periapikal.
Pada perjalanannya, tidak hanya S.mutans yang terlibat dalam proses abses, karenanya infeksi
pulpo-periapikal seringkali disebut sebagai mixed bacterial infection. Kondisi abses kronis dapat
terjadi apabila ketahanan host dalam kondisi yang tidak terlalu baik, dan virulensi bakteri cukup
tinggi. Yang terjadi dalam daerah periapikal adalah pembentukan rongga patologis abses disertai
pembentukan pus yang sifatnya berkelanjutan apabila tidak diberi penanganan.

Adanya keterlibatan bakteri dalam jaringan periapikal, tentunya mengundang respon keradangan
untuk datang ke jaringan yang terinfeksi tersebut, namun karena kondisi hostnya tidak terlalu baik,
dan virulensi bakteri cukup tinggi, yang terjadi alih-alih kesembuhan, namun malah menciptakan
kondisi abses yang merupakan hasil sinergi dari bakteri S.mutans dan S.aureus.
S.mutans dengan 3 enzimnya yang bersifat destruktif tadi, terus saja mampu merusak jaringan yang
ada di daerah periapikal, sedangkan S.aureus dengan enzim koagulasenya mampu mendeposisi
fibrin di sekitar wilayah kerja S.mutans, untuk membentuk sebuah pseudomembran yang terbuat
dari jaringan ikat, yang sering kita kenal sebagai membran abses (oleh karena itu, jika dilihat
melalui ronsenologis, batas abses tidak jelas dan tidak beraturan, karena jaringan ikat adalah
jaringan lunak yang tidak mampu ditangkap dengan baik dengan ronsen foto). Ini adalah peristiwa
yang unik dimana S.aureus melindungi dirinya dan S.mutans dari reaksi keradangan dan terapi
antibiotika.
Tidak hanya proses destruksi oleh S.mutans dan produksi membran abses saja yang terjadi pada
peristiwa pembentukan abses ini, tapi juga ada pembentukan pus oleh bakteri pembuat pus
(pyogenik), salah satunya juga adalah S.aureus. jadi, rongga yang terbentuk oleh sinergi dua
kelompok bakteri tadi, tidak kosong, melainkan terisi oleh pus yang konsistensinya terdiri dari
leukosit yang mati (oleh karena itu pus terlihat putih kekuningan), jaringan nekrotik, dan bakteri
dalam jumlah besar.
Secara alamiah, sebenarnya pus yang terkandung dalam rongga tersebut akan terus berusaha
mencari jalan keluar sendiri, namun pada perjalanannya seringkali merepotkan pasien dengan
timbulnya gejala-gejala yang cukup mengganggu seperti nyeri, demam, dan malaise. Karena mau
tidak mau, pus dalam rongga patologis tersebut harus keluar, baik dengan bantuan dokter gigi atau
keluar secara alami.
Rongga patologis yang berisi pus (abses) ini terjadi dalam daerah periapikal, yang notabene adalah
di dalam tulang. Untuk mencapai luar tubuh, maka abses ini harus menembus jaringan keras tulang,
mencapai jaringan lunak, lalu barulah bertemu dengan dunia luar. Terlihat sederhana memang, tapi
perjalanan inilah yang disebut pola penyebaran abses.
Pola penyebaran abses dipengaruhi oleh 3 kondisi, yaitu (lagi-lagi) virulensi bakteri, ketahanan
jaringan, dan perlekatan otot. Virulensi bakteri yang tinggi mampu menyebabkan bakteri bergerak
secara leluasa ke segala arah, ketahanan jaringan sekitar yang tidak baik menyebabkan jaringan
menjadi rapuh dan mudah dirusak, sedangkan perlekatan otot mempengaruhi arah gerak pus.
Sebelum mencapai dunia luar, perjalanan pus ini mengalami beberapa kondisi, karena sesuai
perjalanannya, dari dalam tulang melalui cancelous bone, pus bergerak menuju ke arah tepian
tulang atau lapisan tulang terluar yang kita kenal dengan sebutan korteks tulang. Tulang yang dalam
kondisi hidup dan normal, selalu dilapisi oleh lapisan tipis yang tervaskularisasi dengan baik guna
menutrisi tulang dari luar, yang disebut periosteum. Karena memiliki vaskularisasi yang baik ini,
maka respon keradangan juga terjadi ketika pus mulai mencapai korteks, dan melakukan
eksudasinya dengan melepas komponen keradangan dan sel plasma ke rongga subperiosteal (antara
korteks dan periosteum) dengan tujuan menghambat laju pus yang kandungannya berpotensi
destruktif tersebut. Peristiwa ini alih-alih tanpa gejala, tapi cenderung menimbulkan rasa sakit,
terasa hangat pada regio yang terlibat, bisa timbul pembengkakan, peristiwa ini disebut
periostitis/serous periostitis. Adanya tambahan istilah serous disebabkan karena konsistensi
eksudat yang dikeluarkan ke rongga subperiosteal mengandung kurang lebih 70% plasma, dan tidak
kental seperti pus karena memang belum ada keterlibatan pus di rongga tersebut. Periostitis dapat
berlangsung selama 2-3 hari, tergantung keadaan host.

Apabila dalam rentang 2-3 hari ternyata respon keradangan diatas tidak mampu menghambat
aktivitas bakteri penyebab, maka dapat berlanjut ke kondisi yang disebut abses subperiosteal. Abses
subperiosteal terjadi di rongga yang sama, yaitu di sela-sela antara korteks tulang dengan lapisan
periosteum, bedanya adalah.. di kondisi ini sudah terdapat keterlibatan pus, alias pus sudah berhasil
menembus korteks dan memasuki rongga subperiosteal, karenanya nama abses yang tadinya
disebut abses periapikal, berubah terminologi menjadi abses subperiosteal. Karena lapisan
periosteum adalah lapisan yang tipis, maka dalam beberapa jam saja akan mudah tertembus oleh
cairan pus yang kental, sebuah kondisi yang sangat berbeda dengan peristiwa periostitis dimana
konsistensi cairannya lebih serous.
Jika periosteum sudah tertembus oleh pus yang berasal dari dalam tulang tadi, maka dengan
bebasnya, proses infeksi ini akan menjalar menuju fascial space terdekat, karena telah mencapai
area jaringan lunak. Apabila infeksi telah meluas mengenai fascial spaces, maka dapat terjadi fascial
abscess. Fascial spaces adalah ruangan potensial yang dibatasi/ditutupi/dilapisi oleh lapisan jaringan
ikat. Fascial spaces dibagi menjadi :
Fascial spaces primer
1. Maksila
a. Canine spaces
b. Buccal spaces
c. Infratemporal spaces
2. Mandibula
a. Submental spaces
b. Buccal spaces
c. Sublingual spaces
d. Submandibular spaces
- Fascial spaces sekunder
Fascial spaces sekunder merupakan fascial spaces yang dibatasi oleh jaringan ikat dengan pasokan
darah yang kurang. Ruangan ini berhubungan secara anatomis dengan daerah dan struktur vital.
Yang termasuk fascial spaces sekunder yaitu masticatory space, cervical space, retropharyngeal
space, lateral pharyngeal space, prevertebral space, dan body of mandible space. Infeksi yang
terjadi pada fascial spaces sekunder berpotensi menyebabkan komplikasi yang parah.
Terjadinya infeksi pada salah satu atau lebih fascial space yang paling sering oleh karena
penyebaran kuman dari penyakit odontogenik terutama komplikasi dari periapikal abses. Pus yang
mengandung bakteri pada periapikal abses akan berusaha keluar dari apeks gigi, menembus tulang,
dan akhirnya ke jaringan sekitarnya, salah satunya adalah fascial spaces. Gigi mana yang terkena
periapikal abses ini kemudian yang akan menentukan jenis dari fascial spaces yang terkena infeksi.
Canine spaces
Berisi musculus levator anguli oris, dan m. labii superior. Infeksi daerah ini disebabkan periapikal
abses dari gigi caninus maksila. Gejala klinisnya yaitu pembengkakan pipi bagian depan dan
hilangnya lekukan nasolabial. Penyebaran lanjut dari infeksi canine spaces dapat menyerang daerah
infraorbital dan sinus kavernosus.
Buccal spaces

Terletak sebelah lateral dari m. buccinator dan berisi kelenjar parotis dan n. facialis. Infeksi berasal
dari gigi premolar dan molar yang ujung akarnya berada di atas perlekatan m. buccinator pada
maksila atau berada di bawah perlekatan m. buccinator pada mandibula. Gejala infeksi yaitu edema
pipi dan trismus ringan.
Infratemporal spaces
Terletak di posterior dari maksila, lateral dari proc. Pterigoideus, inferior dari dasar tengkorak, dan
profundus dari temporal space. Berisi nervus dan pembuluh darah. Infeksi berasaal dari gigi molar
III maksila. Gejala infeksi berupa tidak adanya pembengkakan wajah dan kadang terdapat trismus
bila infeksi telah menyebar.
Submental space
Infeksi berasal dari gigi incisivus mandibula. Gejala infeksi berupa bengkak pada garis midline
yang jelas di bawah dagu.
Sublingual space
Terletak di dasar mulut, superior dari m. mylohyoid, dan sebelah medial dari mandibula. Infeksi
berasal dari gigi anterior mandibula dengan ujung akar di atas m. mylohyoid. Gejala infeksi berupa
pembengkakan dasar mulut, terangkatnya lidah, nyeri, dan dysphagia.
Submandibular space
Terletak posterior dan inferior dari m. mylohyoid dan m. platysma. Infeksi berasal dari gigi molar
mandibula dengan ujung akar di bawah m. mylohyoid dan dari pericoronitis. Gejala infeksi berupa
pembengkakan pada daerah segitiga submandibula leher disekitar sudut mandibula, perabaan terasa
lunak dan adanya trismus ringan.
Masticator space
Berisi m. masseter, m. pterygoid medial dan lateral, insersi dari m. temporalis. Infeksi berasal dari
gigi molar III mandibula. Gejala infeksi berupa trismus dan jika abses besar maka infeksi dapat
menyebar ke lateral pharyngeal space. Pasien membutuhkan intubasi nasoendotracheal untuk alat
bantu bernapas.
Lateral pharyngeal space (parapharyngeal space)
Berhubungan dengan banyak space di sekelilingnya sehingga infeksi pada daerah ini dapat dengan
cepat menyebar. Gejala infeksi berupa panas, menggigil, nyeri dysphagia, trismus.
Retropharyngeal space (posterior visceral space)
Infeksi berasal dari gigi molar mandibula, dari infeksi saluran pernapasan atas, dari tonsil, parotis,
telinga tengah, dan sinus. Gejala infeksi berupa kaku leher, sakit tenggorokan, dysphagia, hot potato
voice, stridor. Merupakan infeksi fascial spaces yang serius karena infeksi dapat menyebar ke
mediastinum dan daerah leher yang lebih dalam (menyebabkan kerusakan n. vagus dan n cranial
bawah, Horner syndrome)
PRINSIP TERAPI

Pada dasarnya, prinsip terapi abses adalah insisi untuk drainase (mengeluarkan cairan pus), dengan
catatan, prinsip ini dipergunakan untuk abses yang berada di jaringan lunak. Lalu bagaimana
dengan abses periapikal? Yang terjadi didalam tulang? Biasanya abses periapikal memiliki
kondisi khas berupa gigi mengalami karies besar dan terasa menonjol, sakit bila digunakan
mengunyah, kadang terasa ada cairan asin keluar dari gigi yang berlubang tersebut. Terapi kegawatdaruratannya dalam kondisi ini tentunya belum dapat dilakukan insisi, oleh karena pus berada
dalam tulang, namun yang dapat dilakukan adalah melakukan prosedur open bur, melakukan
eksterpasi guna mengeluarkan jaringan nekrotik, oklusal grinding, dan pemberian terapi
farmakologi.
Terima Kasih!
Jangan berhenti belajar, anak bangsa!
Salam Sejawat.

Anda mungkin juga menyukai