Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Usaha Kecil Menengah (UKM) sudah berperan besar dalam perekonomian Indonesia
sejak dahulu. Hal ini semakin dirasakan ketika krisis ekonomi melanda Indonesia, dimana
peranan UKM adalah sentral dalam menyediakan lapangan kerja. Meskipun peranan UKM
dalam perekonomian Indonesia adalah sentral, namun kebijakan pemerintah maupun
pengaturan yang mendukungnya sampai sekarang dirasa belum maksimal. Hal ini dapat
dilihat bahkan dari hal yang paling mendasar seperti definisi yang berbeda untuk antar
instansi pemerintahan.
Demikian juga kebijakan yang diambil yang cenderung berlebihan namun tidak
efektif, hinga kebijakan menjadi kurang komprehensif, kurang terarah, serta bersifat tambalsulam. Padahal UKM masih memiliki banyak permasalahan yang perlu mendapatkan
penanganan dari otoritas untuk mengatasi keterbatasan akses ke kredit bank/sumber
permodalan lain dan akses pasar. Selain itu kelemahan dalam organisasi, manajemen, maupun
penguasaan teknologi juga perlu dibenahi.
Masih banyaknya permasalahan yang dihadapi oleh UKM membuat kemampuan
UKM berkiprah dalam perekonomian nasional tidak dapat maksimal. Salah satu
permasalahan yang dianggap mendasar adalah adanya kecendrungan dari pemerintah dalam
menjalankan program untuk pengembangan UKM seringkali merupakan tindakan koreksi
Universitas Sumatera Utaraterhadap kebijakan lain yang berdampak merugikan usaha kecil
(seperti halnya yang pernah terjadi di Jepang di mana kebijakan UKM diarahkan untuk
mengkoreksi kesenjangan antara usaha besar dan UKM), sehingga sifatnya adalah tambalsulam.
Padahal seperti kita ketahui bahwa diberlakunya kebijakan yang bersifat tambalsulam membuat tidak adanya kesinambungan dan konsistensi dari peraturan dan
pelaksanaannya, sehingga tujuan pengembangan UKM pun kurang tercapai secara maksimal.
Oleh karena itu perlu bagi Indonesia untuk membenahi penanganan UKM dengan serius, agar
supaya dapat memanfaatkan potensinya secara maksimal. Salah satu pembenahan utama yang
diperlukan adalah dari aspek regulasinya.
1

1.2 Rumusan Masalah


1) Bagaimana sifat permasalahan yang dihadapi UKM?
2) Apa macam permasalahan yang dihadapi UKM?
3) Bagaimana bentuk kelembagaan untuk perumusan dan implementasi kebijaksanaan
UKM?
4) Bagaimana

petunjuk

teknis

perkuatan

business

development

service

dalam

pengembangan sentra Usaha Kecil Menengah?

1.3 Tujuan
1) Untuk mengetahui sifat permasalahan yang dihadapi UKM.
2) Untuk mengetahui macam permasalahan yang dihadapi UKM.
3) Untuk mengetahui bentuk kelembagaan untuk perumusan dan implementasi
kebijaksanaan UKM.
4) Untuk mengetahui petunjuk teknis perkuatan business development service dalam
pengembangan sentra Usaha Kecil Menengah.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Timbulnya Cita-Cita ke Arah Pembentukan Koperasi
Sejarah Koperasi di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari kehadiran pedagangpedagang bangsa Eropa di negeri ini. Kehidupan masyarakat Indonesia ketika itu masih
cenderung bersifat tradisional. Tapi setelah terjadi gelombang pelayaran samudera oleh
pedagang-pedagang bangsa Eropa, dan keterlibatan mereka dalam hubungan dagang dengan
masyarakat Indonesia, hubungan perdagangan antara Indonesia dengan beberapa negara
Eropa cenderung meningkat.
Namun didorong oleh keserakahan pedagang-pedagang bangsa Eropa itu untuk
meraih keuntungan sebesar-besarnya, hubungan perdagangan itu kemudian berubah menjadi
keinginan untuk menguasai. Hampir semua pedagang-pedagang bangsa Eropa bermaksud
menguasai rantai-rantai perdagangan antara daerah-daerah di Asia dengan daratan Eropa,
yaitu dengan menerapkan cara-cara perdagangan monopoli. Dari sini, hubungan yang semula
hanya bersifat murni perdagangan, menjelma menjadi praktik penjajahan.
Akibatnya terjadi penindasan oleh pedagang-pedagang bangsa Eropa terhadap
masyarakat Indonesia tidak dapat dihindari. Sebagai bangsa terjajah, masyarakat Indonesia
dieksploitasi secara semena-mena oleh kaum penjajah. Hal ini berlangsung selama ratusan
tahun. Penderitaan inilah kemudian yang telah menggugah semangat pemuka-pemuka bangsa
Indonesia untuk berjuang memperbaiki kehidupan masyarakat. Sebagaimana diketahui,
perjuangan pemuka-pemuka bangsa Indonesia itu memiliki berbagai bentuk. Salah satu
diantaranya adalah dengan mendirikan Koperasi.
2.2 Perjuangan Pembentukkan Koperasi pada Zaman Penjajahan
3

2.2.1 Jaman Belanda


Perkenalan bangsa Indonesia dengan Koperasi dimulai pada penghujung abad ke 19,
tepatnya pada tahun 1895. Ditengah-tengah penderitaan masyarakat Indonesia, R Aria
Wiriaatmaja, seorang patih di Purwokwerto, mempelopori berdirinya sebuah bank yang
bertujuan menolong para pegawai agar tidak terjerat oleh lintah darat. Usaha ini mendapat
persetujuan dan dukungan dari Residen Purwokerto E Sieburg. Badan usahanya berbentuk
Koperasi, dan diberi nama Bank Penolong dan Tabungan (Hulp en Spaarbank).
Pelayanan bank itu semula masih terbatas untuk kalangan peagawai pamong praja
rendahan yang dipandang memikul beban utang terlalu berat. Pada tahun 1898, atas bantuan
E. Sieburg dan De Wolff Van Westerrode jangkauan pelayanan bank itu diperluas ke sektor
pertanian (Hulp-Spaar en Lanbouwcrediet Bank), yaitu dengan meniru pola Koperasi
pertanian yang dikembangkan di Jerman (Raiffesien).
Tapi karena kondisi masyarakat yang hidup di alam penjajahan tidak diperbolehkan
berkembang lebih jauh, upaya yang terakhir ini tidak mendapatkan dukungan dari pemerintah
kolonial. Akibatnya, setiap gerak-gerik Koperasi pertama di Indonesia itu diawasi secara
ketat dan mendapat banyak rintangan pemerintah kolonial Belanda.
Salah satu upaya yang ditempuh pemerintah kolonial Belanda untuk merintangi
perkembangan bank yang dirintis oleh R. Aris Wiriaatmaja tersebut adalah dengan
mendirikan Algemene Volkscrediet Bank. Selain itu, pemerintah kolonial Belanda juga
mendirikan rumah gadai, bank desa, serta lumbung desa.
Dengan tumbuhnya kesadaran berbangsa dan bernegara bangsa Indonesia, maka para
pelopor penggerakan nasional semakin menggiatkan usahanya untuk menggunakan Koperasi
sebagai sarana perjuangannya. Melalui Budi Utomo (1908), Raden Sutomo berusaha
mengembangkan Koperasi rumah tangga. Tapi karena kesadaran masyarakat akan manfaat
koperasi masih sangat rendah, usahanya ini kurang begitu berhasil. Koperasi-koperasi rumah
tangga ini pada umumnya tidak mendapat dukungan yang diharapkan dari warga masyarakat.
Kemudian, sekitar tahun 1913, Serikat Dagang Islam yang kemudian berubah menjadi
Serikat Islam, mempelopori pula pendirian beberapa jenis Koperasi industri kecil dan
kerajinan. Karena rendahnya tingkat pendidikan , kurangnya penyuluhan kepada masyarakat,
dan miskinnya pemimpin Koperasi pada waktu itu, menyebabkan koperasi-koperasi ini pun
tidak bisa bertahan lama.
4

Hambatan formal dari pemerintah kolonial Belanda tampak jelas dengan


diterapkannya peraturan koperasi No.431 tahun 1915. Menurut Undang-undang ini, syarat
administratif yang harus dipenuhi oleh orang-orang yang ingin mendirikan Koperasi dibuat
sangat berat, baik yang menyangkut masalah perizinan, pembiayaan maupun masalahmasalah teknis saat pendirian dan selama Koperasi menjalankan usahanya.
Tetapi peraturan tersebut tidak bisa bertahan lama. Setelah dibentuknya panitia
Koperasi yang diketuai oleh Dr. J.H. Boeke pada tahun 1920, peraturan ini segera ditinjau
kembali. Hasil peninjauan itu adalah disusunnya peraturan Koperasi No. 91 tahun 1927.
Peraturan terakhir ini menetapkan persyaratan yang lebih longgar dari peraturan sebelumnya,
sehingga lebih mendorong masyarakat untuk mendirikan koperasi.
Setelah itu, perkembangan Koperasi di Indonesia mulai menunjukkan tanda-tanda
yang menggembirakan. Adalah The Studi Club 1928, sebagai kelompok kaum intelektual
Indonesia, yang kemudian sangat menyadari peranan Koperasi sebagai salah satu alat
perjuangan bangsa. Organisasi ini menganjurkan kepada para anggotanya untuk ikut
mempelopori pendirian perkumpulan Koperasi di lingkungan tempat tinggalnya masingmasing. Jumlah Koperasi di Indonesia pada tahun 1939 mencapai 1712 buah, dengan yang
jumlah terdaftar sebanyak 172 buah, dengan jumlah anggota sekitar 14.134 orang.
2.2.2 Zaman Jepang
Pada bulan Maret 1942 Jepang merebut kendali kekuasaan di Indonesia dari tangan
Belanda. Selama masa pendudukan Jepang, antara tahun 1942-1945 dan sesuai dengan sifat
kemiliteran pemerintah pendudukan Jepang, usaha-usaha Koperasi di Indonesia disesuaikan
dengan asas-asas kemiliteran. Usaha Koperasi di Indonesia dibatasi hanya untuk kepentingan
perang Asia Timur Raya yang dikobarkan oleh Jepang.
Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Militer Jepang No. 23 pasal 2, yang menyatakan
bahwa pendirian perkumpulan (termasuk Koperasi), dan persidangan harus mendapat
persetujuan dari pemerintah setempat. Dengan berlakunya peraturan tersebut maka peraturan
Koperasi yang lama tidak berlaku lagi. Akibatnya, perkumpulan Koperasi yang berdiri
berdasarkan peraturan pemerintah Belanda harus mendapatkan persetujuan ulang dari
Suchokan.
Satu hal yang perlu dicatat, pada zaman Jepang ini dikembangkan suatu model
Koperasi yang terkenal dengan sebutan Kumiai. Sesuai dengan peraturan yang berlaku, ia
5

bertugas menyalurkan barang-barang kebutuhan pokok rakyat. Propaganda yang dilakukan


oleh pemerintah pendudukan Jepang berhasil meyakinkan masyarkat bahwa Kumiai didirikan
untuk meningkatkan kesejahteraan mereka, sehingga mendapat simpati yang cukup luas dari
masyarakat.
Tetapi pada saat kepercayaan masyarakat tumbuh terhadap Kuimiai, Jepang mulai
melakukan siasat yang sebenarnya. Siasat pemerintah pendudukan Jepang melalui
pembentukan Kumiai sebenarnya adalah untuk menyelewengkan asas-asas koperasi yang
sebenarnya untuk memenuhi kepentingan perang. Sehingga akhirnya masyarakat menyadari
bahwa keberadaan Kumiai hanyalah untuk dijadikan sebagai tempat mengumpulkan bahanbahan kebutuhan pokok guna kepentingan perang Jepang melawan Sekutu.
Dengan tujuan seperti itu, keberadaan Kumiai jelas sangat bertentangan dengan
kepentingan ekonomi masyarakat. Kepercayaan masyarkat terhadap Koperasi model
pemerintah pendudukan Jepang ini pun surut kembali. Dalam perkembangan selanjutnya,
pemerintah pendudukan Jepang menetapkan suatu kebijakan pemisahan urusan perkoperasian
dengan urusan perekonomian. Akibatnya, pembinaan Koperasi sebagai alat perjuangan
ekonomi masyarakat terabaikan sama sekali. Fungsi Koperasi dalam periode ini benar-benar
hanya sebagai alat untuk mendistribusikan bahan-bahan kebutuhan pokok untuk kepentingan
perang Jepang, bukan untuk kepentingan rakyat Indonesia. Kenyataan itu telah menyebabkan
sangat melemahnya semangat berkoperasi di dalam masyarakat Indonesia.
2.3 Pertumbuhan dan Perkembangan Koperasi pada Kurun Waktu Mempertahankan
Kemerdekaan (1945-1949)
Setelah memperoleh kemerdekaan, bangsa Indonesia memiliki kebebasan untuk
menentukan pilihan kebijakan ekonominya. Suatu hal yang sangat jelas pada periode ini
adalah menonjolnya tekad para pemimpin bangsa Indonesia untuk mengubah tatanan
perekonomian Indonesia yang liberal-kapitalistik menjadi tatanan perekonomian yang sesuai
dengan semangat pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945.
Sebagaimana diketahui, dalam pasal 33 UUD1945, semangat koperasi ditempatkan
sebagai semangat dasar perekonomian bangsa Indonesia. Melalui pasal itu, Indonesia
bermaksud untuk menyusun suatu sistemperekonomian usaha bersama berdasar atas asas
kekeluargaan. Sebagaimana dikemukakan oleh Bung Hatta, yang dimaksud dengan usaha
bersama berdasar atas asas kekeluargaan dalam pasal 33 ayat 1 UUD 1945 itu, tidak lain dari
6

koperasi sebagaimana dikemukakan didalam penjelasan pasal tersebut. Karena itulah, di


dalam penjelasan pasal 33 UUD 1945, koperasi dinyatakan sebagai bangsa usaha yang sesuai
dengan system perekonomian yang hendak dikembangkan di Indonesia.
Agar pengembangan koperasi benar-benar sejalan dengan semangat pasal 33 UUD
1945, maka pemerintah Indonesia melakukan reorganisasi terhadap jawatan koperasi dan
perdagangan dalam negeri menjadi dua jawatan yang terpisah. Urutan pembinaan koperasi
dilimpahkan sepenuhnya kepada jawatan koperasi. Jawatan inilah kemudian yang bertugas
menyusun program-program pengembangan koperasi.
2.4 Pertumbuhan dan Perkembangan Koperasi pada Kurun Waktu (1950-1965)
Berkat hasil kerja keras Jawatan Koperasi, perkembangan Koperasi pada masa ini
mendapat dukungan penuh dari masyarakat. Secara keseluruhan, setidak-tidaknya sampai
tahun 1959, perkembangan Koperasi di Indonesia dapat dikatakan cukup pesat. Namun
perkembangan yang menggembirakan hanya berlangsung sementara. Sebagai akibat dari
diterapkannya system demokrasi liberal, perkembangan koprasi kembali terombang-ambing.
Partai-partai politik yang ada cenderung memanfaatkan Koperasi sebagai wadah untuk
memperluas pengaruhnya. Dengan kata lain, Koperasi pada masa ini cenderung hanya
dijadikan sebagai alat politik. Hal ini telah menyebabkan rusaknya citra Koperasi, dan
hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap Koperasi sebagai organisasi ekonomi yang
memperjuangkan peningkatan kesejahteraan mereka.
Sejalan dengan perkembangan situasi politik dalam negeri yang tidak begitu
menggembirakan itu, antara lain ditandai dengan dikeluarkannya dekrit presiden pada tanggal
5 juli 1959, maka keberadaan Koperasi terpaksa disesuaikan dengan perkembangan kebijakan
politik pemerintah pada masa itu. Undang-Undang (UU) Koperasi No. 79/1958 misalnya,
yang disahkan berdasarkan ketentuan UUDS 1950, menjadi tidak sesuai lagi dengan
kebijakan politik dan ekonomi pemerintah. Pemerintah kemudian memberlakukan Peraturan
Pemerintah (PP) No. 60/1959, sebagai pengganti UU No. 79/1958.
Dalam PP No. 60/1959 ini, antara lain dinyatakan bahwa fungsi Koperasi dalam
system perekonomian Indonesia adalah sebagai alat untuk melaksanakan praktik ekonomi
terpimpin. Pada mulanya setelah diberlakukannya PP No. 60/1959 ini, perkembangan
Koperasi terlihat semakin pesat. Hal itu antara lain disebabkan oleh banyaknya bantuan
Pemerintah kepada Koperasi, serta dipermudahnya persyaratan pendirian Koperasi.
7

Namun situasi yang cukup yang menggembirakan tersebut segera berakhir dengan
diterbitkannya UU Koperasi 14/1985 sebagai pengganti PP No 60/1959 dan memberlakukan.
Pengganti undang-undang ini menyebabkan perkembangan Koperasi kembali memburuk. Hal
yang sangat menonjol pada masa ini adalah sulitnya bagi seseorang untuk menjadi anggota
Koperasi, tanpa menggabungkan diri sebagai anggota kelompok polotik tertentu. Hal itu jelas
menghancurkan citra Koperasi, dan menguatkan pendapat masyarakat bahwa Koperasi
hanyalah sekedar alat bagi kepentingan kelompok tertentu.
2.5 Perkembangan Koperasi pada Masa Pemerintahan Orde Baru dan Reformasi
Menyusul jatuhnya pemerintahan Soekarno pada tahun 1966, Pemerintah Orde Baru
kemudian memberlaakukan UU No. 12 Tahun 2967 sebagai pengganti UU No. 14 Tahun
1665. Pembaerlakuan UU No. 12 Tahun 1967 ini disusul dengan dilakukannya rehabilitasi
Koperasi. Akibatnya, jumlah Koperasi yang ada pada tahun 1966 berjumlah sebanyak 73.406
buah, dengan jumlah anggota sebanyak 11.775.930 orang, pada tahun 1967 merosot secara
drastis. Koperasi-koperasi yang tidak dapat menyesuaikan diri dengan uu No. 12 Tahun 1967,
terpaksa dibubarkan atau memubarkan diri. Jumlah Koperasi pada akhir tahun 1969 hanya
tinggal sekitar 13.949 buah, dengan jumlah anggota sebanyak 2.723.056 orang.
Tapi kemudian, menyusul diberlakukannya UU No. 12 Tahun 1967, Koperasi mulai
berkembang kembali. Salah satu program pengembangan koperasi yang cukup menonjol
pada masa ini adalah pembentukan Koperasi Unit Desa (KUD). Pembentukan KUD ini
merupakan penyatuan (amalgamasi) dari beberapa Koperasi pertanian yang kecil dan banyak
jumlahnya di pedesaan. Di samping itu, dalam periode ini pengembangan Koperasi juga
diintegrasikan dengan pembangunan di bidang-bidang lain.
Hasil yang dicapai dari kebijakan pengembangan Koperasi itu antara lain tampak
pada peningkatan jumlah Koperasi. Berikut merupakan tabel Perkembangan Koperasi dan
KUD PELITA I PELITA V.
No.

Uraian

1
2
3
4
5

Kop & KUD


Anggota
Modal
Volume Usaha
SHU

Satuan
Unit
Orang
Rp jt..
Rp jt.
Rp jt

I
II
13.523
17.625
2.478.960 7.615.000
38.817
102.197
88.401
421.981
2.656
9.859

PELITA
III
IV
V
24.791
35.512
37.560
8.507.320 15.823.450 19.167.776
480.147
583.511
727.943
1.490.112 4.260.190 4.918.474
22.000
86.443
120.376
8

Sebagaimana tampak dalam tabel tersebut, jumlah Koperasi, jumlah anggota, modal, volume
usaha dan sisa hasil usaha Koperasi mengalami peningkatan dari Pelita I hingga Pelita V.
Terlepas dari perkembangan yang sepintas lalu tampak cukup mengembirakan
tersebut, betapa pun harus diakui bahwa perkembanagn Koperasi selama Orde Baru lebih
menonjol segi kuantitatifnya. Sedangkan dari segi kualitatifnya masih terdapat banyak
kelemahan. Salah satu kelemahan yang sangat menonjol adalah mencoloknya tingkat
ketergantungan Koperasi terhadap fasilitas dan campur tangan pemerintah. Bahkan, Koperasi
kadang-kadang terkesan sekedar sebagai kepanjanagn tangan pemerintah dalam menjalankan
program-programnya.
Salah satu langkah strategis yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru untuk emningkatkan
kemandirian Koperasi adalah dengan mengganti UU Koperasi No. 12 Tahun 1967 dengan
UU Koperasi No. 25 Tahun 1992.

BAB III
9

KESIMPULAN
1) Sejarah Koperasi di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari kehadiran pedagangpedagang bangsa Eropa di negeri ini.
2) Pada zaman Belanda perkembangan Koperasi di Indonesia mulai menunjukkan tandatanda yang menggembirakan. Pada zaman Jepang semangat berkoperasi di dalam
masyarakat Indonesia sangat melemah.
3) Pertumbuhan dan perkembangan koperasi pada kurun waktu mempertahankan
kemerdekaan (1945-1949) terdapat perkembangan tekad para pemimpin bangsa
Indonesia untuk mengubah tatanan perekonomian Indonesia yang liberal-kapitalistik
menjadi tatanan perekonomian yang sesuai dengan semangat pasal 33 UndangUndang Dasar 1945
4) Pertumbuhan dan perkembangan koperasi pada kurun waktu (1950-1965) mendapat
dukungan penuh dari masyarakat berkat hasil kerja keras Jawatan Koperasi.
5) Perkembangan koperasi pada masa pemerintahan orde baru dan reformasi terdapat
satu langkah strategis yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru untuk meningkatkan
kemandirian Koperasi adalah dengan mengganti UU Koperasi No. 12 Tahun 1967
dengan UU Koperasi No. 25 Tahun 1992.

10

Anda mungkin juga menyukai