Anda di halaman 1dari 10

Sindroma Nefrotik

Definisi
Sindrom nefrotik (SN) adalah sekumpulan gejala yang terdiri dari proteinuri
masif, hipoalbuminemia yang disertai atau tidak disertai dengan edema, dan
hiperkolestrolemia. (1,2)
Secara klinis SN terdiri dari:

Edema massif

Proteinuria

Hipoalbuminemia

Hiperkolestrolemia atau normokolestrolemia

Klasifikasi
Umumnya sindrom nefrotik infantil diklasifikasikan berdasarkan beberapa
kriteria seperti presentasi klinis, riwayat keluarga, hasil laboratorium, gambaran
histologi, dan molekular genetik. Sindrom nefrotik infantil ini dapat bersifat
primer dan sekunder.
-

Sindrom nefrotik infantil primer, terdiri dari:

Sindrom nefrotik idiopatik yang terdiri dari:


o Sindrom nefrotik kelainan minimal
o Glomeruloskelerosis fokal segmental
o Glomerulonefritis membranosa

Sklerosis mesangial difus (SMD, diffuse mesangial sclerosis)

Sindrom

nefrotik

infantil

yang

berhubungan

dengan

sindrom

malformasi:
o Sindrom Denys-Drash (SDD)
o Sindrom Galloway-Mowat
o Sindrom Lowe
-

Sindrom nefrotik infantil sekunder atau didapat yang terjadi karena:

Infeksi

sifilis, virus sitomegalo, hepatitis,

toksoplasmosis, HIV.

rubella,

malaria

Toksik : merkuri yang menyebabkan immune-complex-mediated


epimembranous nephritis

Lupus Eritematosus sistemik

Sindrom hemalitik uremik

Reaksi obat

Nefroblastoma atau tumor wilms.

Sindrom nefrotik secara gambaran histologik


International Collaboratif Study of Kidney Disease in Children (ISKDC) telah
menyusun klasifikasi histopatologik Sindrom Nefrotik Idiopatik atau disebut juga
SN Primer sebagai berikut:
-

Minimal Change= Sindrom nefrotik minimal (SNKM)

Glomeroluklerosis fokal

Glomerulonefritis proliferatif yang dapat bersifat

Difus eksudatif

Fokal

Pembentukan crescent (bulan sabit)

Mesangial

Membranoproliferatif

Nefropati membranosa

Glomerulonefritis kronik

Sindrom Nefrotik menurut terjadinya:


-

Sindrom Nefrotik Kongenital


Pertama kali dilaporkan di Finlandia, sehingga disebut juga SN tipe Finlandia.
Kelainan ini diturunkan melalui gen resesif. Biasanya anak lahir premature
(90%), plasenta besar (beratnya kira-kira 40% dari berat badan). Gejala
asfiksia dijumpai pada 75% kasus. Gejala pertama berupa edema, asites,
biasanya tampak pada waktu lahir atau dalam minggu pertama. Pada

pemeriksaan laboratorium dijumpai hipoproteinemia, proteinuria massif dan


hipercolestrolemia. Gejala klinik yang lain berupa kelainan congenital pada
muka seperti hidung kecil, jarak kedua mata lebar, telinga letaknya lebih
rendah dari normal. Prognosis jelek dan meninggal Karen ainfeksi sekunder
atau kegagalan ginjal. Salah satu cara untuk menemukan kemungkinan
kelainan ini secara dini adalah pemeriksaan kadar alfa feto protein cairan
amnion yang biasanya meninggi.
-

Sindrom Nefrotik yang didapat: termasuk disini sindrom nefrotik primer yang
idiopatik dan sekunder.

Pada pemabahasan selanjutnya, yang dimaksud dengan SN adalah Sindrom


Nefrotik yang idiopatik dengan kelainan histologik yang berupa SNKM. Terdapat
beberapa teori yang terjadi pada anak yaitu:
-

Soluble Antigen Antibody Complex (SAAC)


Antigen yang mausk ke sirkulasi menimbulkan antibody sehingga terjadi
reaksi antigen amtibody larut dalam darah. SAAC ini kemudian menyebabkan
system komplemen dalam tubuh bereaksi sehingga komplemen C 3 akan
bersatu dengan SAAC membentuk deposit yang kemudian terperangkap
dibawa epitel capsula bowman yang secara imunofloresensi terlihat beberapa
benjolan yang disebut HUMPS sepanjang membran basalis glomerulus
berbentuk granuler atau noduler. Komplemen C3 yang ada dalam HUMPS
inilah yang menyebabkan permeabilitas mbg terganggu sehingga eritrosit,
protein, dan lain-lain dapat melewati mbg sehingga dapat dijumpai didalam
urin.

Perubahan elektrokemis
Selain perubahan struktur mbg, maka perubahan elektrokemis dapat juga
menimbulkan proteinuria. Dari beberapa percobaan terbukti bahwa kelainan
terpenting pada glomerulus berupa gangguan fungsi elektrostatik (sebagai
sawar glomerulus terhadap filtrasi protein) yaitu hilangnya fixed negatif ion
yang terdapat pada lapisan sialo-protein glomeruli. Akibat hilangnya muatan
listrik ini maka permeabilitas mbg terhadap protein berat molekul rendah
seperti albumin meningkat sehingga albumin dapat keluar bersama urin.
Patofisiologi

Gangguan fisiologis yang menyebabkan edema pada sindroma nefrotik pada awal
sebagian

besar

kasus

adalah

reaksi

antigen-antibodi

pada

glomerulus,

menyebabkan peningkatan permeabilitas membran basalis glomerulus, proteinuria


massif, dan hipoalbuminemia. Pasien dengan sindroma nefrotik seringkali
kehilangan protein sebanyak 5-15 gram dalam 24 jam. Hipoalbuminemia, dengan
penurunan tekanan osmotik koloid membantu cairan transundat untuk keluar dari
ruang vaskular ke ruang interstisium. Mekanisme ini hampir secara langsung
menyebabkan edema. Selain itu, hipovolemia juga mengakibatkan penurunan laju
filtrat glomerulus dan penurunan aliran plasma ginjal, serta mengaktifkan
mekanisme renin-angiostensin. Hipovolemia juga mengaktifkan reseptor volume
dalam atrium kiri. Akibatnya adalah peningkatan produksi aldosteron dan
hormone antidiuretik (ADH). Ginjal tersebut menahan garam dan air, yang akan
memperburuk edema.

Dengan pengurangan rantai kejadian ini, dapat terjadi

edema masif (anasarca). Namun, jumlah protein yang hilang tersebut tidak
berhubungan secara tepat karena kecepatan sintesis protein untuk menggantikan
protein yang hilang pada setiap orang bervariasi. Pada Sindroma Nefrotik terjadi
peningkatan kolesterol dan trigliserida serum akibat dari peningkatan stimulasi
produksi lipoprotein karena penurunan plasma albumin dan penurunan onkotik
plasma. Adanya hiperlipidemia merupakan akibat dari peningkatan produksi
lipoprotein dalam hati yang timbul sebagai kompensasi hilangnya protein dan
lemak yang banyak dalam urin (lipiduria). Pada hiperlipidemia, kolesterol serum,
very low density lipoprotein (VLDL), low density lipoprotein (LDL), dan
trigliserida meningkat sedangkan high density lipoprotein (HDL) cenderung
normal atau menurun. Hal ini disebabkan oleh peningkatan sintesis lipid di hepar
dan penurunan katabolisme di perifer (penurunan pengeluaran lipoprotein, VLDL,
kilomikron, dan intermediate density lipoprotein) dari darah. Peningkatan sintesis
lipoprotein lipid distimulasi oleh penurunan albumin serum dan penurunan
tekanan onkotik.

(5.6)

Lipiduria, lemak bebas (oval fat bodies) sering ditemukan

pada sediaan urin. Sumber lemak ini berasal dari filtrat lipoprotein melalui
membran basalis glomerolus yang permeabel. (2,3,4)
Gejala Klinis
Penyakit ini dimulai pada tahun pertama kehidupan, tetapi biasanya terjadi antara
usia 2 sampai 7 tahun, dengan rasio pria berbanding wanita 2:1. Onset sering

ditandai dengan infeksi saluran pernapasan atas yang terjadi secara tiba-tiba, dan
adanya edema merupakan gejala utama pada penyakit ini. Edema menjadi sangat
jelas jika retensi cairan melebihi 3 5 % dari berat badan. Edema periorbital
merupakan gejala inisial yang sering salah didiagnosis sebagai alergi. Edema
berpengaruh pada gravitasi, terlokalisasi pada ekstremitas bawah saat posisi tegak,
dan berada di bagian dorsal tubuh jika posisi berbaring. Edema biasanya lunak dan
cekung bila ditekan (pitting) umumnya ditemukan disekitar mata (preorbital) dan
berlanjut ke daerah abdomen genitalia kemudian ekstremitas. Edema seluruh tubuh
(anasarka) akan didapatkan asites serta efusi pleura ataupun efusi pericardial.
Terbentuknya asites yang cepat sering disertai dengan nyeri abdominal dan
malaise, yang berhubungan seiring terjadinya hipovolemia. Nyeri abdomen
biasanya terkait dengan komplikasi seperti peritonitis, thrombosis, atau yang lebih
jarang pankreatitis.
Pemeriksaan Penunjang
-

Urin
Albumin:

Kualitatif: ++ sampai ++++

Kuantitatif:

>50

mg/KgBB/hari

(diperiksa

memakai

reagens

ESBACH)
Sedimen: oval fat bodies: epitel sel yang mengandung butir-butir lemak,
kadang-kadang dijumpai eritrosit, lekosit, toraks hilain dan toraks eritrosit. Hal
tersebut dikatakan sebagai proteinuria atau dapat juga disebut albuminuria.
Albumin adalah salah satu jenis protein. Ada dua sebab yang menimbulkan
proteinuria, yaitu: permeabilitas kapiler glomelurus yang meningkat akibat
kelainan atau kerusakan mbg dan reabsorpsi protein di tubulus berkurang.
Oleh karena proteinuria parallel dengan kerusakan mbg, maka proteinuria
dapat dipakai sebagai petunjuk sederhana untuk menentukan derajat
glomerulus. Jadi yang diukur adalah index selectivity of proteinuria (ISP). ISP
dapat ditentukan dengan cara mengukur rasio antara clearance igG dan
cleareance transferin.

ISP = Clearance / cleareance transferrin


Bila ISP > 0,2 berarti ISP menurun (poorly selective proteinuria) yang secara
klinik menunjukan:

Kerusakan glomerulus berat

Tidak respon terhadap kortikosteroid baik

Darah
Pada pemeriksaan kimia darah dijumpai:

Protein total menurun (N : 6,2-8,1 mg/100ml)

Albumin menurun (N : 4-5,8 mg/100ml). hal ini disebut sebagai


hipoalbuminemia (nilai kadar albumin dalam darah < 2,5 gram/100
ml). SN kelainan ini dapat disebabkan oleh:
o Proteinuria
o Katabolisme protein yang berlebihan
o Nutricional deficiency
Pada SN ternyata katabolisme protein meningkat akibat
katabolisme protein yang terjadi di tubuh ginjal. Peningkatan
katabolisme

ini

merupakan

faktor

tambahan

terjadinya

hipoalbuminemia selain dari proteinuria (albuminuria). Pada SN


sering pula dijumpai anoreksia akibat edema mukosa usus
sehingga

intake

berkurang

yang

pada

gilirannya

dapat

menimbulkan hipoproteinemia. Pada umumnya edema anasarka


terjadi bila kadar albumin darah < 2 gram/100ml, dan syok
hipovolemia terjadi biasanya pada kadar < 1 garam/100ml.

Hiperkolestrolemia bila kadar kolestrol > 250mg/100ml. akhir-akhir ini


disebut juga sebagai hiperlipidemia oleh karena bukan hanya kolestrol
saja yang meninggi dalam darah, konsituen lemak itu adalah:

o Kolestrol
o Low density lipoprotein (LDL)
o Very low density lipoprotein (VLDL)
o Trigliserida

baru meningkat

bila

plasma

albumin

<

gram/100ml8
Diagnosis(4)
Sindrom nefrotik (SN) adalah keadaan klinis yang ditandai dengan gejala:
1. Proteinuria masif (> 40 mg/m2 LPB/jam atau 50 mg/kg/hari atau rasio
protein/kreatinin pada urin sewaktu > 2 mg/mg atau dipstik 2+)
2. Hipoalbuminemia < 2,5 g/dL
3. Edema
4. Dapat disertai hiperkolesterolemia > 200 mg/dL
Penatalaksanaan
TATA LAKSANA UMUM
Anak dengan manifestasi klinis SN pertama kali, sebaiknya dirawat di rumah
sakit dengan tujuan untuk mempercepat pemeriksaan dan evaluasi pengaturan
diit, penanggulangan edema, memulai pengobatan steroid, dan edukasi
orangtua. Sebelum pengobatan steroid dimulai, dilakukan pemeriksaanpemeriksaan berikut:
1. Pengukuran berat badan dan tinggi badan
2. Pengukuran tekanan darah
3. Pemeriksaan fisis untuk mencari tanda atau gejala penyakit sistemik,
seperti lupus eritematosus sistemik, purpura Henoch- Schonlein.
4. Mencari fokus infeksi di gigi-geligi, telinga, ataupun kecacingan. Setiap
infeksi perlu dieradikasi lebih dahulu sebelum terapi steroid dimulai.

5. Melakukan uji Mantoux. Bila hasilnya positif diberikan profilaksis


INH selama 6 bulan bersama steroid, dan bila ditemukan tuberkulosis
diberikan obat antituberkulosis (OAT).
Perawatan di rumah sakit pada SN relaps hanya dilakukan bila terdapat edema
anasarka yang berat atau disertai komplikasi muntah, infeksi berat, gagal
ginjal, atau syok. Tirah baring tidak perlu dipaksakan dan aktivitas fisik
disesuaikan dengan kemampuan pasien. Bila edema tidak berat, anak boleh
sekolah.
DIITETIK
Pemberian diit tinggi protein dianggap merupakan kontraindikasi karena akan
menambah beban glomerulus untuk mengeluarkan sisa metabolisme protein
(hiperfiltrasi) dan menyebabkan sklerosis glomerulus. Bila diberi diit rendah
protein akan terjadi malnutrisi energi protein (MEP) dan menyebabkan
hambatan pertumbuhan anak. Jadi cukup diberikan diit protein normal sesuai
dengan RDA (recommended daily allowances) yaitu 1,5-2 g/kgbb/hari. Diit
rendah garam (1-2 g/hari) hanya diperlukan selama anak menderita edema.(4)
DIURETIK
Restriksi cairan dianjurkan selama ada edema berat. Biasanya diberikan loop
diuretic seperti furosemid 1-3 mg/kgbb/hari, bila perlu dikombinasikan dengan
spironolakton (antagonis aldosteron, diuretik hemat kalium) 2-4 mg/kgbb/hari.
Sebelum pemberian diuretik, perlu disingkirkan kemungkinan hipovolemia.
Pada pemakaian diuretik lebih dari 1-2 minggu perlu dilakukan pemantauan
elektrolit kalium dan natrium darah. Bila pemberian diuretik tidak berhasil
(edema refrakter), biasanya terjadi karena hipovolemia atau hipoalbuminemia

berat ( 1 g/dL), dapat diberikan infus albumin 20-25% dengan dosis 1 g/kgbb
se-lama 2-4 jam untuk menarik cairan dari jaringan interstisial dan diakhiri
dengan pemberian furosemid intravena 1-2 mg/kgbb. (4)
PENGOBATAN DENGAN KORTIKOSTEROID

Pada SN idiopatik, kortikosteroid merupakan pengobatan awal, kecuali bila


ada kontraindikasi. Jenis steroid yang diberikan adalah prednison atau
prednisolon. (4)
TERAPI INISIAL
Terapi inisial pada anak dengan sindrom nefrotik idiopatik tanpa
kontraindikasi steroid sesuai dengan anjuran ISKDC adalah diberikan
prednison 60 mg/m2 LPB/hari atau 2 mg/kgbb/hari (maksimal 80 mg/ hari)
dalam dosis terbagi, untuk menginduksi remisi. Dosis prednison dihitung
sesuai dengan berat badan ideal (berat badan terhadap tinggi badan).
Prednison dosis penuh (full dose) inisial diberikan selama 4 minggu. Bila
terjadi remisi dalam 4 minggu pertama, dilanjutkan dengan 4 minggu kedua
dengan dosis 40 mg/m2 LPB (2/3 dosis awal) atau 1,5 mg/kgbb/hari, secara
alternating (selang sehari), 1 x sehari setelah makan pagi. Bila setelah 4
minggu pengobatan steroid dosis penuh, tidak terjadi remisi, pasien
dinyatakan sebagai resisten steroid(4)

Komplikasi (4)
1. Infeksi
2. Syok hipovolemik
3. Gagal ginjal
4. Trombosis
5. Tetani/kejang karena hipokalemia
6. Hipertensi

DAFTAR PUSTAKA

1. SA Prince, LM Wilson. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.


Ed.6. Jakarta : EGC ; 2006. (patof oedem)
2. Prodjosudjadi W. Sindroma Nefrotik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ; 2006.
3. Mansjoer A, Triyanti K, Savitri R, Wardhani WI, Setiowulan W. Sindrom
Nefrotik. Kapita Selekta Kedokteran. Ed.3. Jakarta ; 2009.
4. Sindrom

nefrotik

pada

anak.

Available

from:

http://idai.or.id/wp-

content/uploads/2013/02/TATA-LAKSANA-SINDROM-NEFROTIKIDIOPATIK-PADA-ANAK.pdf. Accessed from11 January 2015.


5. Sindrom

nefrotik.

Available

from:

http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/103/jtptunimus-gdl-rachmiinsa-5118-2bab2.pdf. Accessed from 10 January 2015.


6. Niaudet P,Boyer O. Idiopathic Nephrotic Syndrome In Children: Clinical Aspects.
Pediatric Nephrology. 6th Ed. USA:Springer;2009.

Anda mungkin juga menyukai