JUDUL
Penerbitan dan pemasaran buku panduan praktis belajar aksara jawa melalui
metode belajar iqro . (suatu bentuk pembinaan budaya bangsa sekaligus menjadi
peluang usaha bagi mahasiswa di kabupaten karanganyar).
B.
menggunakan buku panduan ini, pada perolehan nilai post-test sangat jauh
berbeda bila dibandingkan dengan nilai pada waktu pre-test. Karena 98% dari
perolehan nilai post-test, murid-murid kelas 4 dan 5 di SD Negeri 02 Jombor, Kec.
Bendosari, Kab. Sukoharjo ini mendapatkan nilai mulai dari 7,40 sampai 9,80.
Bahkan ada 2 murid diantaranya yang mendapatkan nilai 10,0.
Berdasarkan data-data di atas, menunjukan bahwa buku panduan praktis belajar
aksara jawa ini telah terbukti mampu meningkatkan nilai pada sub materi aksara
jawa dan tentunya buku panduan ini sangat dibutuhkan oleh guru pengajar sebagai
buku pandamping maupun bagi para siswa untuk mempelajari materi aksara jawa.
Oleh karena itu, buku panduan praktis belajar aksara jawa ini sangat cocok
digunakan bahan untuk berwirausaha bagi mahasiswa dengan potensi pasar yang
sangat luas yaitu provinsi Jawa Tengah. Yang pastinya akan menjadi peluang
usaha yang sangat menjanjikan.
Karanganyar adalah salah satu kabupaten yang terletak di Jawa Tengah yang
terdiri dari 7 kecamatan dan mempunyai jumlah SD dan yang sederajat sebanyak
554 (Data kependidikan Jawa Tengah 2010). kabupaten ini sangat berpotensi
sekali untuk dijadikan obyek PKM-Kewirausahaan dan sebagai sasaran
pendistribusian buku panduan praktis belajar aksara jawa. Karena di kabupaten ini
sangat mengedepankan bahasa jawa, yang dibuktikan dengan adanya kebijakan
dari Bupati mengenai bahasa jawa yang menyatakan bahwa setiap hari rabu
seluruh lapisan masyarakat Kabupaten Karanganyar wajib menggunakan bahasa
jawa.
Disini terlihat bahwa kabupaten ini mempunyai program yang sangat bagus untuk
perkembangan pendidikan bahasa jawa. Begitu halnya dengan pembelajaran akara
jawa, karena aksara jawa itu sendiri bagian dari bahasa jawa yang tidak dapat
dipisahkan. Melihat program bahasa jawa di Kabupaten Karanganyar inilah, maka
untuk pemasaran buku panduan praktis belajar aksara jawa dilaksanakan untuk
yang pertama kalinya di kabupaten ini.
Rumusan Masalah
= Rp. 4.000.000,-
B. Biaya
1.
= Rp. 4.000.000
2.
Pemasaran
= Rp. 300.000
= Rp. 960.000
Rp. 5.760.000
C. Pendapatan
-
1.
Modal Investasi
PPC :
PPC :
= 1,78 x 5 bulan
Rp.2.240.000,= 8,9 bulan
Jadi modal investasi dapat kembali dalam waktu 8,9 bulan.
3.
B / C Rasio = Pendapatan
Biaya
= Rp. 8.000.000
Rp. 5.760.000
= 1,38
Jadi B / C rasio lebih layak dibandingkan dengan bunga bank yang saat ini
berkisar 5%.
3. Keberlanjutan Usaha
Setelah kegiatan PKM-K ini selesai dilaksanakan, maka untuk selanjutnya
akan memproduksi lebih banyak lagi yang akan dipasarkan di seluruh Solo Raya
yang meliputi Surakarta, Sukoharjo, Wonogiri dan Sragen. Selain itu pemasaran
juga akan dikembangkan di toko-toko buku yang diperuntukan untuk khalayak
umum, karena memang buku panduan ini cocok digunakan untuk siapa saja yang
ingin belajar aksara jawa seperti halnya belajar iqro.
H. METODE PELAKSANAAN
1. Teknik produksi
-
2. Teknik Pemasaran
Evaluasi Penjualan
Realisasi Penjualan
Koordinasi tentang pembelian buku dan akan mengirim buku 1 minggu setelah
pemesanan.
Membentuk agen pemasaran dari pihak sekolah tersebut.
sudah
belum
Semua SD sudah selesai ?
Sosialisasi tim PKM-K di pertemuan KKG Kecamatan
Sosialisasi tim PKM-K
Kepada Kepala Sekolah
I.
Kegiatan
Bulan ke
JADWAL PELAKSANAAN
Bulan 1
Bulan 2
Bulan 3
Bulan 4
Bulan 5
1.
penyempurnaan buku
2.
3. Pemasaran
1.
Kecamatan Colomadu
2.
Kecamatan Jaten
3.
Kecamatan Jumapolo
4. Penyusunan Laporan
5. Seminar
J. RANCANGAN BIAYA
1. Bahan Habis Pakai
No
Jenis Kebutuhan
Banyak
Harga Satuan
Jumlah
1
Produksi buku Panduan
1.000 buku
@ Rp. 4.000,Rp. 4.000.000,2
ATK :
Untuk pelaksana
a. Buku
3 buah
@Rp. 15.000,Rp. 45.000,-
b. Bolpoin
3 buah
@Rp. 3000,Rp. 9.000,-
c. Spidol
3 buah
@Rp. 7.500,Rp. 22.500,-
d. brosur
6 kelas x 96 SD
@Rp. 1.000,Rp. 576.000,3
Kerjasama dengan KKG Kecamatan
3 Kecamatan
@Rp. 100.000
Rp. 300.000,Jumlah
Rp. 4.952.500,2. Peralatan Penunjang PKM-M
Jenis Kebutuhan
Banyak
Harga Satuan
Jumlah
Sewa LCD dan layar
1 buah
@300.000,- x 3 bulan
Rp 900.000,Jumlah
Rp 900.000,3. Perjalanan
Macam perjalanan
Keperluan
Jumlah orang
Satuan
Harga satuan
Jumlah harga
Lokal Sukoharjo
Rapat intern
3 orang
4 x 5bulan
@Rp5.000
Rp. 300.000,-
karanganyar
Persiapan
3 orang
3 kali
@Rp5.000
Rp 45.000,Sosialisasi dan pemasaran
3 orang
96 kali
@Rp5.000,00
Rp 1.440.000,-
Jumlah
Rp 1.785.000,4. Lain-Lain
No
Jenis kegiatan
Satuan
Harga satuan
Jumlah harga
1
Pembuatan laporan
15 bended
Rp 15.000,00
Rp 225.000,2
Konsumsi Rapat
4 x 5 bulan
Rp 20.000,00
Rp 400.000,3
Seminar
1 kali
Rp 200.000,4
Publikasi
1 judul
Rp 150.000,00
Rp 150.000,Jumlah
Rp 975.000,-
Rp. 4.952.500,00
2.
Peralatan Penunjang
Rp.
3.
Perjalanan
Rp. 1.785.000,00
4.
Lain-lain
Rp. 975.000,00 +
Total
Rp.
900.000,00
8.612.500,00
Total biaya yaitu Delapan juta enam ratus dua belas ribu lima ratus rupiah.
K. LAMPIRAN - LAMPIRAN
Lampiran 1
Biodata Ketua, Anggota Pelaksana dan Dosen Pendamping
Ketua Pelaksana
1.
Nama Lengkap
: Bisri Nuryadi
2.
NIM
: 0750900341
3.
4.
Alamat Rumah
Alamat Kost
:-
6.
No. Telepon
a. Rumah
:-
b. HP
: 085647209938
7.
Jenis Kelamin
: Laki-laki
8.
Program Studi/Jurusan
9.
Perguruan tinggi
Sukoharjo
10. Waktu untuk kegiatan
: 8 jam/ minggu
2008-2009
3
Badan Eksekutif Mahasiswa Univet Bantara Sukoharjo
Deputi Dalam Negeri
2009-2010
4
HMP Pend. Bahasa dan Sastra Daerah Univet Bantara Sukoharjo
Staf HMP Seni dan Budaya
2009-2010
5
HMP Pend. Bahasa dan Sastra Daerah Univet Bantara Sukoharjo
Ketua Umum
2010 - 2011
6
Colomadu Traning Center
Perlengkapan
2010 - 2011
13.
Motto Hidup
2009
-
Bisri Nuryadi
Pelaksana II
16. Nama Lengkap
17. NIM
: 0750900088
:-
a. Rumah
:-
b. HP
: 085728527015
: Laki-laki
: 8 jam/ minggu
- SD N Ngambarsari I
2009-2010
4
HMP Pend. Bahasa dan Sastra Daerah Univet Bantara Sukoharjo
Humas
2009-2010
5
HMP Pend. Bahasa dan Sastra Daerah Univet Bantara Sukoharjo
perlengkapan
2010 - 2011
28.
Motto Hidup
Pelaksana III
31. Nama Lengkap
: Rohkhayati
32. NIM
: 0950900029
:-
a. Rumah
:-
b. HP
: 087758435464
: Perempuan
: 8 jam/ minggu
- SMP N 2 Nawangan
- SMA N I Nawangan
- S1 Univet Bantara Sukoharjo
42. Riwayat Organisasi
No
Pengalaman Organisasi
Jabatan
Periode
1
OSIS SMA
Humas
2005-2006
2
Forum Komunikasi Remaja Masjid
Bendahara
2008-2009
3
Karang Taruna
Seksi Sinoman
2009-2010
4
HMP Pend. Bahasa dan Sastra Daerah Univet Bantara Sukoharjo
Humas
2009-2010
5
HMP Pend. Bahasa dan Sastra Daerah Univet Bantara Sukoharjo
perlengkapan
2010 - 2011
43.
Motto Hidup
Rohkhayati
Data Pribadi
Nama Lengkap
Golongan Pangkat/NIPY
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Alamat Rumah
: Ilmu Peternakan
Jabatan Fungsional
: Lektor Kepala
Jurusan / Fakultas
Instansi
Alamat Kantor
Pendidikan
UNIVERSITAS/INSTITUT
DAN LOKASI
GELAR
MASA STUDI
BIDANG STUDI
S3, UGM, Yogyakarta
PENELITIAN/PENGABDIAN
JABATAN
PERIODE
Wisnu Tri Husodo dan Ali Mursyid Wahyu Mulyono. 2005. Perbaikan Produksi
Telur pada Ayam Petelur Afkir dengan Teknologi Force Molting. Program
Penerapan IPTEKS Ditjen Dikti.
Anggota
2005
Ali Mursyid Wahyu Mulyono, Sri Hartati, Ahimsa Kandi Sariri, dan Engkus Ainul
Yakin. 2009. Produksi Telur dari Ayam Petelur Afkir Menggunakan Teknologi
Force Molting bagi Kurban Pemutusan Hubungan Kerja (Implementasi di Desa
2002 2009
6. Riwayat Pekerjaan
Tahun 2010 - sekarang
Univet Bantara.
Tahun 1994 Sekarang Dosen Tetap Univet Bantara
Tahun 2002 2004
Lampiran 2
Dalam praktik yang paling banyak dijumpai adalah penggabungan antara tugas
pembinaan teknis bagi pengelola dan pedagang pasar dengan penghimpunan
retribusi sebagai PAD yang ditangani oleh satu SKPD yang sering disebut dengan
Dinas Pengelolaan Pasar (DPP). Penggabungan kedua tugas ini tampaknya
merupakan jalan tengah, antara di satu sisi ekstrim yaitu meletakkan peran pasar
tradisional sebagai penyumbang PAD semata dengan di sisi lain yaitu meletakkan
peran pasar tradisional untuk menyediakan tempat bagi masyarakat pedagang dan
kalangan masyarakat konsumen dalam bertransaksi jual beli. Kebijakan
pembinaan dengan mengambil jalan tengah yang menggabungkan kedua tugas
seperti ini memang tidak sebaik jika fokus pembinaan pasar tradisional diserahkan
kepada salah satu SKPD yang memang memiliki kompetensi inti pembinaan pasar
dan pedagang.
PERSAINGAN PASAR TRADISIONAL DENGAN PKL
Pembinaan pasar tradisional yang paling memerlukan upaya paling besar adalah
pembinaan pedagang yang berjualan di pasar tersebut. Dalam pembinaan
pedagang pasar tradisional perlu juga memperhatikan pedagang lain yang berada
di sekitar pasar tradisional, terutama pedagang kaki lima (PKL).
Berdasarkan pengalaman empiris dan penelitian yang dilakukan oleh Lembaga
Penelitian SMERU (2007) terhadap para pedagang di pasar-pasar tradisional di
Bandung dan Jakarta, Bogor, Tangerang, Depok dan Bekasi (JABODETABEK)
diperoleh informasi bahwa salah satu pesaing utama para pedagang di pasar-pasar
tradisional adalah para PKL. Sehingga keberadaan PKL di sekitar pasar
hendaknya diperhatikan benar agar tidak menyaingi para pedagang pasar, karena
mereka banyak yang berjualan menutupi bagian depan dan jalan masuk ke pasar
yang ini menjadikan bagian luar pasar-pasar tradisional tampak kumuh dan
semrawut. Di kebanyakan pasar tradisional, kondisi seperti ini dibiarkan terus
terjadi tanpa solusi, akibatnya para pembeli tidak perlu masuk ke dalam pasar
sehingga memancing para pedagang yang berjualan di dalam pasar berpindah ke
luar meninggalkan lapaknya yang pada akhirnya keadaan di dalam pasar kosong,
sebaliknya di luar pasar keadaannya padat seperti layaknya pasar tumpah.
Untuk menghindari persaingan antara pedagang pasar dengan PKL, maka perlu
dilakukan penataan dengan menempatkan PKL ke lokasi yang ditentukan, di mana
di tempat yang baru PKL tidak lagi menyebabkan kekumuhan baru dan tidak
menyaingi pedagang pasar tradisional. Untuk menghindari kesulitan dalam hal
koordinasi, maka penanganan permasalahan (penataan dan pembinaan) pedagang
pasar tradisional dan PKL sudah seyogyanya dilakukan di bawah satu atap (satu
SKPD). Di kebanyakan Pemerintah Kabupaten/Kota, SKPD yang menangani
pembinaan pedagang pasar tradisional dan PKL adalah Dinas Perindustrian,
Perdagangan, Koperasi dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) (dan
Pasar). Mengingat SKPD ini tidak saja bertugas membina pedagang, tetapi juga
membina para pelaku di sektor industri industri terutama yang berskala usaha
mikro, kecil dan menengah serta sektor koperasi, maka pembinaan pasar
tradisional, pedagang pasar dan PKL hanya ditangani oleh pejabat setingkat
Eselon III (Kepala Bidang), bahkan dengan lingkup masing-masing yang lebih
sempit hanya ditangani oleh pejabat setingkat Eselon IV. Di sini kewenangan
pejabat tersebut terbatas, mengingat dalam praktik, pengelolaan pasar tradisional
banyak melibatkan kewenangan SKPD/instansi lain, seperti di bidang perparkiran,
kebersihan, keamanan dan ketertiban, kesehatan, lingkungan hidup, perlindungan
konsumen, dan kemetrologian (tertib ukur). Demikian juga, banyak pihak yang
terlibat dalam penataan dan pembinaan PKL, seperti yang berkaitan dengan
penataan wilayah/kota, keamanan dan ketertiban, kebersihan, serta perdagangan
eceran.
Penanganan permasalahan Pedagang Pasar Tradisional dan PKL yang dirasakan
paling ideal apabila ditangani oleh Dinas Pengelolaan Pasar atau Dinas Pasar
(DPP) dimana di dalam struktur SKPD ini terdapat Bidang yang menangani Pasar
Tradisional termasuk pedagang tradisional di dalamnya dan Bidang yang khusus
menangani PKL. Di sini Kepala Bidang yang menangani Pasar Tradisional dan
Kepala Bidang yang menangani PKL dapat saling berkoordinasi dalam menangani
kedua kelompok pedagang ini di bawah kendali Kepala DPP sebagai koordinator,
sehingga kedua pedagang pasar tradisional tidak diganggu oleh keberadaan PKL
dan kemudian PKL sedikit demi sedikit diarahkan menjadi pedagang pasar
tradisional.
Ada pula daerah yang tidak menjadikan PKL sebagai para pedagang yang harus
dibina, sehingga dapat diaktakan bahawa keberadaannya sama sekali tidak
dikehendaki oleh Pemerintah Daerah yang bersangkutan. Di sini Satuan Polisi
Pamong Praja (SATPOL PP) diwajibkan menertibkan PKL dan sekaligus
melakukan pembinaan dalam hubungannya dengan kemudahan untuk penertiban,
bukan pembinaan yang berkaitan dengan pembinaan kegiatan usaha di lokasi
tetap. Di sini PKL selalu dianggap menjadi masalah tanpa memperhatikan bahwa
keberadaannya selain dibutuhkan masyarakat konsumen juga menjadi tempat
penampungan pekerja informal, karena keterbatasan daya tampung lapangan kerja
formal di daerah yang bersangkutan. Sudah barang tentu, pengerahan SATPOL PP
dalam penertiban PKL tidak serta merta persaingan antara Pasar Tradisional
dengan PKL dapat terselesaikan, karena proses penertiban hanya menghasilkan
ketertiban PKL yang semu (melarang PKL berdagang di suatu tempat) dan
berjangka pendek, di lain pihak umumnya jumlah PKL akan bertambah terus dan
membutuhkan tempat berdagang yang semakin luas.
PEMBINAAN PASAR TRADISIONAL
Pemahaman tentang aktivitas pengelolaan pasar dan perdagangan eceran (ritel)
mutlak harus dimiliki oleh aparatur dinas yang ditugasi membinan pasar
tradisional termasuk di dalamnya pedagang pasar. Dalam merancang kebijakan
pemerintah kabupaten/kota yang diterbitkan dalam Peraturan Daerah (PERDA)
serta peraturan dan pedoman pelaksanaan harus didasarkan atas pemahaman
tentang pengelolaan (manajemen) pasar dan perdagangan eceran (ritel).
Selanjutnya dalam pelaksanaan peraturan dan pedoman pelaksanaan tersebut
seyogyanya para aparatur pelaksana mulai di tingkat SKPD (dinas yang
membidangi pasar) hingga di tingkat pengelola pasar seyogyanya juga memahami
hal-hal yang mendasar tentang pengelolaan pasar dan perdagangan eceran.
Tentunya tingkat pemahaman yang seyogyanya harus dimiliki oleh masing-
masing aparatur tersebut berbeda-beda tergantung pada posisi dan sifat tugas
aparatur yang bersangkutan.
Agar para aparatur dapat melaksanakan peraturan dan pedoman tersebut dengan
baik, maka sebelumnya kepada mereka diberikan pelatihan secara berjenjang
tentang pengelolaan pasar dan perdagangan eceran. Selanjutnya kepada para
aparatur yang telah dilatih, kepada mereka diberikan kesempatan untuk bekerja di
bidang-bidang sesuai dengan pengetahuan yang telah diperolehnya sampai waktu
yang dirasakan cukup untuk dapat menerapkan pengetahuan tersebut dan
diharapkan pengelolaan pasar dan pedagang pasar dapat beraktivitas mengikuti
peraturan dan pedoman dengan tertib dan konsisten serta berkesinambungan.
Perdagangan eceran (ritel) merupakan salah satu bagian dari disiplin ilmu
pemasaran yang seringkali kurang dipahami oleh aparatur dari SKPD yang
membidangi perdagangan dan pasar, termasuk di dalamnya pasar moderen dan
pasar tradisional serta perdagangan eceran. Dalam praktik banyak dijumpai dalam
praktik para aparatur yang bekerja di bidang ini tidak memahami tentang
pengetahuan dasar pemasaran yang sebenarnya sangat diperlukan ketika mereka
bekerja. Sehingga banyak kebijakan, peraturan pelaksanaan, pedoman, petunjuk
operasi sebagai upaya pembinaan pasar tradisional serta pedagang pasar dan PKL
di mana para aparatur tersebut terlibat penyiapan dan pelaksanaannya, tidak dapat
dilaksanakan dengan optimal. Akibatnya, banyak pasar-pasar tradisional
berstigma negatif seperti kumuh, kotor, semrawut, bau, sampah berceceran di
mana-mana dan seterusnya.
Dalam merancang kebijakan pembinaan pedagang tradisional dan PKL dalam
bentuk penguatan daya saing di satu sisi dan menghambat beroperasinya pasar
moderen sampai pada suatu saat pasar tradisional mampu bersaing di sisi lain,
diperlukan pemahaman tentang ilmu pemasaran (marketing) merupakan hal
mutlak di samping ilmu sosial lain yang terkait.
Pertimbangan lokasi pasar dan kawasan penempatan PKL misalnya, perlu didasari
oleh kebijakan tentang pengaturan pendirian pasar moderen serta kebijakan
tentang revitalisasi pasar tradisional dan relokasi PKL ke lokasi yang ditetapkan.
lokasi adalah salah satu unsur "P" (Place) dalam "bauran pemasaran" (marketing
mix) yang dikenal dengan "Empat P" (Product, Place, Price dan Promotion).
Para pedagang perlu mengetahui ilmu tentang dasar-dasar promosi khususnya
mendisplai barang dagangan agar mereka mampu menata dagangan yang menarik
calon pembeli, seperti menempatkan produk-produk tertentu sedemikian rupa agar
Perlu diketahui bahwa kebanyakan para pengunjung pasar, ketika membeli barang
terutama barang-barang sekunder, seperti pakaian dan tas, untuk berbagai camilan
untuk makanan, seringkali dipengaruhi oleh emosinya (impuls buying). Sehingga
penataan (displai) barang yang menarik, seringkali membangkitkan emosi untuk
membeli, sekalipun pembelian ini tidak direncanakan ketika akan berangkat ke
pasar. Diakui bahwa terjadinya pembelian yang tidak terencana ini juga sangat
dipengaruhi oleh daya beli para pengunjung pasar sebagai konsumen. Semakin
kuat daya beli konsumen, maka kemungkinan terjadinya pembelian yang tidak
terencana sebelumnya semakin kuat. Oleh karenanya, para pedagang setidaknya
sepintas perlu memahami karakter dan kemampuan untuk membeli yang dimiliki
oleh para pengunjung pasar yang menjadi pelanggannya.
Para pedagang terbiasa menyimpam/menimbun barang dagangan yang bersifat
tahan lama melebihi kemampuan menjual selama periode tertentu. Kebanyakan
pedagang cenderung banyak membeli (kulakan) barang dagangan tahan lama pada
saat harga murah dan persediaan berlimpah, kemudian disimpan entah sampai
kapan. Kemudian, mereka merasa kegiatan usahanya akan lebih aman apabila
memiliki barang dagangan dibanding memegang uang kontan, karena persediaan
barang dagangan yang berlimpah diperlukan untuk berjaga-jaga jika seandainya
ada pembeli secara tiba-tiba membutuhkannya dalam jumlah besar yang
sebenarnya berdasar pengalaman jarang terjadi. Di satu sisi hal ini mengakibatkan
ada barang dagangan yang menjadi kedaluwarsa akibat prinsip First in First out
(FIFO) sulit dijalankan karena penimbunan persediaan/stock barang yang
hal ini, maka setiap peralihan hak milik kios atau lapak harus sepengetahuan pihak
pengelola pasar. Apabila jenis dagangan dari pedagang yang bertindak sebagai
pembeli kios atau lapak berbeda dengan jenis barang dagangan yang ditetapkan
untuk zona yang bersangkutan, maka perpindahan tangah sebaiknya tidak
diteruskan.
Di banyak kabupaten dan kota, kepemilikan lapak atau kios pasar tradisional yang
telah direnovasi atau dibangun kembali oleh seseorang dapat lebih dari satu lapak
atau kios, sekalipun sebenarnya ia hanya membutuhkan satu lapak atau kios.
Sedangkan sisa lapak atau kios yang sudah dimiliknya disewakan atau dijual
kembali. Di sini pedagang tersebut seolah-olah bertindak sebagai investor yang
kebetulan memiliki dana berlebih dan atau memiliki hak istimewa (privilige).
Berdasarkan pengalaman empiris di lapangan, hal ini seringkali menjadi salah satu
penyebab banyaknya jumlah kios yang tidak beroperasi di pasar-pasar tradisional
yang telah selesai direnovasi atau dibangun kembali dan mulai beroperasi
kembali.
Sebagaian dari pemilki kios baru kemungkinan sebelumnya adalah pemilik lapak
di los pasar atau pemilik warung di luar pasar (di rumah-rumah penduduk di
sekitar pasar) atau ex PKL di sekitar pasar. Bagi para ex PKL, perpindahan
operasi ke lapak pasar seringkali menimbulkan masalah pada pasar tradisional,
terutama dalam hal kebersihan pasar dan ketidakterarturan penataan barang
dagangan. Mereka harus menyesuaikan diri dengan peraturan tentang ketertiban
dan kebersihan pasar. Mereka harus mengikuti jam operasi pasar yang sudah
ditentukan. Dalam mendisplai barang dagangannya mereka harus mengikuti
aturan tidak boleh menjorok jauh ke depan, sehingga mengurangi lebar gang atau
lorong tempat pengunjung berjalan dan tidak boleh terlalu banyak menimbun
barang dagangan (stock) yang melebihi daya tampung lapaknya.
Sebaiknya, . untuk menhindari kegagalan program revitalisasi pasar tradisional,
maka pada saat peerencanaan pembangunan perlu dipikirkan kapasitas pasar yang
akan dibangun harus sesuai dengan jumlah pedagang yang sekarang ada,
kemungkinan penambahan jumlah pedagang yang sekarang ada, serta jumlah dan
segmen konsumen yang akan berbelanja di pasar tersebut. Seringkali dijumpai
banyak keluhan dari pedagang yang sudah berdagang sejak di psar lama, ketika
berpindah ke pasar yang sudah direnovasi ukuran kios dan lapak yang
diperolehnya menjadi berkurang atau lebih kecil dengan alasan bahwa banyak
pedagang baru yang harus ditampung. Kondisi ini menjadi alasan para pedagang
untuk menata barang dagangannya melonjak ke luar lapak atau kios melonjak dari
batas yang diperkenankan. Akibatnya gang/lorong di los-los pasar menjadi sempit
dan tidak nyaman untuk para pembeli berlalu lalang di pasar.
Selanjutnya, juga perlu dipikirkan persiapan calon pengelola pasar (manajemen
pasar) yang akan ditugasi mengelola pasar yang baru. Sebaiknya kepada mereka
sejak awal diberikan pelatihan tentang manajemen pasar dan diwajibkan
menyusun sendiri serangkaian prosedur kerja dan pengawasan pekerjaan di bawah
bimbingan pihak yang berkompeten dalam manajemen pasar. Pelatihan dan
penyusunan prosedur kerja dan pengawasan pekerjaan ini dilakukan pada saat
aktivitas renovasi atau pembangunan pasar yang baru sedang berlangsung.
Pengetahuan yang telah diperoleh serta prosedur kerj dan pengawasan pekerjaan
yang telah dibuat, hendaknya dipratikan di lingkungan pasar di penempatan
sementara selama bangunan pasar sedang direnovasi atau dibangun kembali, agar
mereka terbiasa bekerja dengan menggunakan sistem.
Kepada para pedagang yang mendiami lokasi pasar sementara, diperkenalkan
pengetahuan sederhana tentang perdagangan eceran mencakup merchandising
seperti merencanakan pembelian (kulakan) barang dan persedian (merencanakan
stock), sortasi dan pengemasan, penataan dan penyimpanan barang secara
sistematis sesuai dengan prinsip FIFO serta pengetahuan tentang manajemen
keuangan sederhana. Sama halnya dengan pelatihan bagi calon pengelola pasar,
kegiatan bagi para pedagang tersebut juga dilakukan pada saat renovasi atau
pembangunan pasar yang baru sedang berlangsung.