Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada umumnya masyarakat Indonesia telah mampu mengkonsumsi makanan
yang secara kuantitatif mencukupi, namun dari segi kualitatif masih cukup banyak
yang belum mampu mencukupi kebutuhan gizi minimumnya. Jika kebutuhan gizi
minimum ini tidak terpenuhi dalam waktu lama walaupun individunya tidak
merasakan lapar maka dapat menyebabkan gejala-gejala terganggunya kesehatan.
Kondisi ini yang disebut sebagai kelaparan tersembunyi (hidden hunger), kelaparan
gizi atau malnutrisi (JIPG, 2005). Masalahmalnutrisimerupakansalahsatumasalah
kesehatan masyarakat yang utama pada negaranegara berkembang dan kurang
berkembang yang dapat mempengaruhi kondisi bayi, anak balita dan wanita usia
produksi(UNICEF,2000).
BerdasarkanhasilRisetKesehatanDasar(RISKESDAS)padatahun2010,
masalah gizi merupakan masalah yang mendapatkan perhatian khusus, dari 33
provinsi di Indonesia 18 provinsi masih memiliki prevalensi berat kurang
(underweight) di atas angka prevalensi nasional sebesar 17,9%. Prevalensi berat
kurang(underweight) diProvinsiNusaTenggaraBaratcukuptinggiyaitusebesar
30,5%. Sedangkan prevalensi kependekan (stunting) secara nasional Tahun 2010
sebesar35,6%,sebanyak15provinsimemilikiprevalensikependekandiatasangka
prevalensi nasional.SalahsatunyaProvinsiNusaTenggaraBaratyangberadadi
posisi ke 3 (tiga) tertinggi, yaitu prevalensi kependekan sebesar 48,2%. Bila
dibandingkan dengan batas Non public health problem menurut WHO untuk
masalahkependekansebesar20%,makadarisemuaprovinsiyangada termasuk
Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) masih dalam kondisi bermasalah terhadap
kesehatanmasyarakat,terutamamasalahgizi(DepkesRI,2010).

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaiman tinjauan gizi buruk secara umum?
2. Bagaimana tahapan-tahapan mengenal masalah perilaku pada kasus gizi
buruk di Nusa Tenggara Barat (NTB)?
1.3 Tujuan dan Manfaat
1. Mengetahui dan memahami tinjauan gizi buruk secara umum.
2. Memahami tahapan-tahapan mengenal masalah perilaku pada kasus gizi
buruk di provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB).

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Tinjauan Umum Tentang Gizi Buruk
2.1.1 Definisi Gizi Buruk Secara Umum
Gizi buruk merupakan salah satu penyakit akibat gangguan gizi yang penting
bagi Indonesia maupun banyak negara yang sedang berkembang di Asia, Afrika,
Amerika Tengah, dan Amerika Selatan. Gizi buruk adalah suatu istilah teknis yang
umumnya dipakai oleh kalangan gizi, kesehatan dan kedokteran. Atau lebih dikenal
dengan istilah busung lapar, meskipun anak yang menderita gizi buruk belum tentu
kelaparan. Sebenarnya gizi buruk dapat disebut kelaparan tidak kentara (hidden
hunger), karena mereka hanya kenyang karbohidrat, tetapi lapar banyak zat gizi
lainnya. Gizi buruk adalah bentuk terparah (akut) dari proses terjadinya kekurangan
gizi. Anak balita dikatakan sehat atau kurang gizi dapat diketahui dari pertambahan
berat badannya tiap bulan sampai usia 2 tahun. Apabila pertambahan berat badan
sesuai dengan pertambahan umur sesuai standar WHO, maka dapat dikatakan bergizi
baik. Akibat kekurangan gizi dan protein dalam porsi yang bermacam-nacan,
timbullah masalah gizi dengan derajat yang sangat ringan sampai berat. Pada keadaan
yang sangat ringan tidak banyak ditemukan kelainan dan hanya pertumbuhan kurang.
Pada keadaan berat ditemukan dua tipe ialah:
a. Tipe Marasmus adalah bentuk malnutrisi kalori protein yang terutama akibat
kekurangan kalori yang berat dan kronis terutama terjadi selama tahun
pertama kehidupan dan mengurusnya lemak bawah kulit dan otot. Mempunyai
Individu dengan marasmus mempunyai penampilan yang sangat kurus
dengan tubuh yang kecil dan tidak terlihatnya lemak (Dorland, 1998:649).
Marasmus biasa menyerang siapa saja atau bisa menyerang semua usia.
b. Kwashiorkor adalah suatu keadaan kekurangan gizi (protein) yang merupakan
sindrom klinis yang diakibatkan defisiensi protein berat dan kalori yang tidak
adekuat. Walaupun sebab utama penyakit ini adalah defisiensi protein, tetapi
3

karena bahan makanan yang dimakan kurang mengandung nutrisi lainnya


ditambah dengan konsumsi setempat yang berlainan, maka akan terdapat
perbedaan gambaran kwashiorkor di berbagai negara.
2.1.2 Klasifikasi Gizi Buruk
Demi kepentingan praktis di klinik maupun di lapangan klasifikasi MEP
ditetapka dengan patokan perbadingan berat badan terhadap umur anak sebagai
berikut:
1.

Berat badan 60-80% standar tanpa edema: gizi kurang

2.

(MEP ringan).
Berat badan 60-80% standar dengan edema: kwashiorkor

3.
4.

(MEP berat).
Berat badan <60%: marasmus (MEP berat).
Berat badan <60%: marasmik kwashiorkor (MEP berat).

Keterangan

Gizi Baik(%)

Gizi Kurang(%)

Gizi Buruk(%)

BB/U

80=100

60-80

<65

TB/U

95-100

89-95

<85

BB/TB

90-100

70-90

<70

LLA//U

85-100

70-85

<70

LLA/TB

85-100

75-85

<75

2.2 Tahapan-tahapan Mengenal Masalah Perilaku


2.2.1 Mengenal Masalah Kesehatan
Mengenal masalah di suatu wilayah, maka diperlukan data dalam garis
besarnya data yang diperlukan antara lain:
a. Data Umum,

misalnya

keadaan

geografis, kepadatan

penduduk,

penyebaran penduduk, pertumbuhan penduduk, tingkat pendidikan, status


sosial ekonomi dsb.
b. Data kesehatan, antara lain angka kesakitan, angka kecacatan, angka
kematian, angka kelahiran, keadaan status gizi, dan jenis-jenis penyakit
tertentu.
c. Data perilaku, misalnya tingkat kunjungan ke Puskesmas, pola
komunikasi, pola kepemimpinan, jumlah kader kesehatan, pola makan,
kebiasaan BAB dll.
Data tersebut dapat diperoleh dari Kantor BPS setempat, pusat data kabupaten
(Kabupaten

dalam

angka),

laporan-laporan,

observasi-observasi

terhadap

kepercayaan, pengetahuan, sikap dan praktek berbagai masyarakat. Upaya


pengumpulan data tersebut, akan diketahui beberapa masalah kesehatan. Misalnya
banyaknya diare, DBD, masalah gizi, sanitasi dll. Contoh masalah kesehatan yang
akan kita bahas dalam makalah ini adalah tentang gizi buruk.
Gizi buruk adalah suatu kondisi di mana seseorang dinyatakan kekurangan
nutrisi, atau dengan ungkapan lain status nutrisinya berada di bawah standar rata-rata.
Nutrisi yang dimaksud bisa berupa protein, karbohidrat dan kalori. Di Indonesia,
kasus KEP (Kurang Energi Protein) adalah salah satu masalah gizi utama yang
banyak dijumpai pada balita.
Menurut UNICEF saat ini ada sekitar 40% anak Indonesia di bawah usia lima
tahun menderita gizi buruk. Gizi buruk akut atau busung lapar menurut sensus WHO
menunjukkan 49% dari 10,4 juta kematian yang terjadi pada anak dibawah lima tahun
di negara berkembang. Kasus kekurangan gizi tercatat sebanyak 50% anak-anak di
Asia, 30% anak-anak Afrika, dan 20% anak-anak di Amerika Latin.
5

Kasus gizi buruk di provinsi NTB umumnya menimpa balita karena masalah
ekonomi atau kurangnya pengetahuan, penyakit penyerta seperti infeksi saluran
pernapasan, kelainan jantung, dan diare berat. Ekonomi yang lemah memungkinkan
bahwa balita akan sulit mendapatkan asupan gizi yang cukup, karena orang tua sulit
untuk

mendapatkannya

lantaran

kurangnya

biaaya.

Sedangkan

kurangnya

pengetahuan tentang pentingnya gizi bagi balita juga akan membuat masalah gizi
buruk meluas. Faktor alam seperti keadaan geografis juga mempengaruhi terjadinya
gizi buruk. Misalnya masyarakat di NTB yang tinggal di daerah terpencil, dataran
tinggi, wilayah pesisir dengan curah hujan cukup tinggi dan jauh dari keramaian serta
penyebaran penduduk yang meluas akan sulit untuk mengakses berita kesehatan
ataupun sekedar untuk memeriksakan anaknya ke Puskesmas atau Posyandu terkait
dengan gizi yang dibutuhkan oleh sang balita.
Berdasarkan laporan Riskesdas tahun 2010, menyatakan bahwa NTB
merupakan salah satu provinsi yang mempunyai angka wasting (penurunan berat
badan) tertinggi yaitu 17,7%, dimana pravalensi kekurusan pada anak laki-laki lebih
tinggi yaitu 13,2% daripada anak perempuan yaitu 11,2%. Faktor yang menyebabkan
terjadinya kekurusan antara lain asupan energi dan zat gizi termasuk protein, seng,
Fe, dan Vitamin A.
Data Susenas menunjukkan bahwa prevalensi gizi kurang menurun dari 37,5
% (1989) menjadi 24,6 % (2000). Namun kondisi tersebut tidak diikuti dengan
penurunan prevalensi gizi buruk bahkan prevalensi gizi buruk cenderung meningkat.
2.2.2 Mengenal Penyebab Masalah
Masalah gizi yang akan dikembangkan dari segi penyuluhannya sudah
ditentukan, maka haruslah diketahui dengan jelas apakah penyebab masalah gizi
tersebut. Hal ini penting agar dalam penyuluhan nanti agar dapat dikemukakan
dengan jelas penyebab-penyebab tersebut, hingga akan bisa menghilangkan
kepercayaan-kepercayaan yang keliru tentang penyebab masalah gizi buruk tersebut.

2.2.2.1 Faktor-Faktor Penyebab Gizi Buruk Secara Umum


Menurut UNICEF (1988) telah mengembangkan kerangka konsep makro
sebagai salah satu strategi untuk menanggulangi masalah kurang gizi. Kerangka
tersebut ditunjukkan bahwa masalah gizi buruk dapat disebabkan oleh:
1. Penyebab Langsung
Makanan dan penyakit dapat secara langsung menyebabkan gizi buruk.
Timbulnya gizi buruk tidak hanya dikarenakan asupan makanan yang
kurang, tetapi juga penyakit. Anak yang mendapat cukup banyak makanan
tetapi sering menderita sakit, pada akhirnya dapat menderita gizi buruk.
Demikian pula dengan anak yang tidak memperoleh cukup makanan, maka
daya tahan tubuhnya akan melemah dan akan mudah terserang penyakit.
2. Penyebab tidak langsung
Ada tiga penyebab tidak langsung yang menyebabkan masalah gizi buruk
yaitu:
1. Ketahanan pangan keluarga yang kurang memadai. Setiap keluarga
diharapkan mampu untuk memenuhi kebutuhan pangan seluruh
anggota keluarganya dalam jumlah maupun mutu gizinya.
2. Pola pengasuhan anak kurang memadai. Setiap keluarga dan
masyarakat diharapkan dapat menyediakan waktu, perhatian dan
dukungan terhadap anak agar dapat tumbuh dan berkembang dengan
baik, baik fisik, mental dan sosial.
3. Pelayanan kesehatan dan lingkungan kurang memadai. Sistem
pelayanan

kesehatan

yang

ada

diharapkan

dapat

menjamin

penyediaan air bersih dan sarana kesehatan dasar (Posyandu) yang


terjangkau oleh setiap keluarga yang membutuhkan (Supariasa, 2002).
Menurut Pudjiadi (2003) juga mengemukakan pendapatnya bahwa, gizi buruk
disebabkan oleh lima faktor utama yaitu:
a. Faktor diet
7

Menurut konsep klasik, yang mengandung cukup energi tetapi kurang


protein akan menyebabkan anak menjadi kwashiorkor. Sedangkan diet yang
kurang energi walaupun zat-zat esensialnya seimbang akam menyebabkan
anak menderita marasmus.
b. Faktor sosial
Pantangan untuk menggunakan makanan tertentu yang sudah turuntemurun dapat mempengaruhi terjadinya gizi buruk. Ada kalanya pentangan
tersebut didasarkan pada keagamaan tetapi ada pula yang merupakan tradisi
yang turun-temurun.
b. Faktor kepadatan penduduk
Dalam Word Food Conference di Roma pada tahun 1974 (Pudjiadi
2003) telah dikemukakan bahwa meningkatnya penduduk secara cepat tanpa
adanya bertambahnya bahan makanan setempat yang memadai merupakan
sebab utama krisis pangan.
c. Faktor infeksi
Masalah malnutrisi meskipun ringan tetapi, mempunyai pengaruh
negatif pada daya tahan tubuh terhadap infeksi.
d. Faktor kemiskinan
Gizi buruk merupakan masalah-masalah negara miskin dan merupakan
masalah bagi golongan termiskin dalam masyarakat negara tersebut. Dalam
penelitian WHO tentang malnutrition menunjukkan bahwa kemiskinan
memiliki peranan yang cukup besar. Hal ini lebih banyak terjadi pada negaranegara berkembang dan terbelakang yang tidak jarang terjadi bahwa petani
miskin harus menjual tanah miliknya untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Kasus gizi buruk di Nusa Tenggara Barat (NTB) merupakan masalah serius
karena sampai menyebabkan kematian 21 balita pada tahun 2013. Kasus gizi buruk di
NTB memang cenderung lebih tinggi bila dibandingkan dengan wilayah lain di
Indonesia yang telah menyebabkan kematian. Berdasarkan data Kemenkes, penyebab
meninggalnya 21 balita tersebut ialah penyakit penyerta, seperti infeksi saluran
penapasan, kelainan jantung, dan diare berat. Kasus gizi buruk di NTB juga
8

disebabkan oleh sebaran jumlah penduduk yang cukup luas sehingga berpengaruh
terhadap akses pelayanan kesehatan. Selain itu daya tahan tubuh masyarakat yang
sangat lemah sehingga tidak memiliki sistem pertahanan yang baik ketika kuman
masuk.
2.2.3 Mengenal Sifat Masalah
a. Besarnya Masalah
Masalah kesehatan masyarakat dianggap serius bila prevalensi gizi
buruk-kurang antara 20,0- 29,0 persen dan dianggap prevalensi sangat tinggi
bila 30% (WHO, 2010). Pada tahun 2013, Provinsi NTB memiliki prevalensi
gizi buruk-kurang pada anak balita sebesar 25,7 %, terdiri dari 6,3 % gizi
buruk dan 19,4 % gizi kurang (Riskesdas, 2013). Hal tersebut berarti masalah
gizi buruk-kurang di Provinsi NTB masih merupakan masalah kesehatan
masyarakat yang termasuk prevalensi tinggi bahkan mendekati prevalensi
sangat tinggi. Dampak gizi buruk tidak hanya menimbulkan hambatan
pertumbuhan fisik dan mental bahkan kematian, gizi buruk juga berdampak
pada keadaan sosial-ekonomi penderita pada masa kehidupan berikutnya. Gizi
buruk dalam lingkup luas akan berakibat pada kelangsungan generasi bangsa
Indonesia. Berat masalah dan dampaknya harus disampaikan kepada sasaran
penyuluh dengan tidak melebih-lebihkan dan menganggap remeh masalah
tersebut sehingga sasaran penyuluh termotivasi untuk mengatasi masalah
tersebut.
b. Luasnya Masalah
Menurut Profil Dinas Kesehatan Provinsi NTB tahun 2013 terdapat
masalah gizi buruk di seluruh kabupaten/kota di Provinsi NTB. Berdasarkan
klasifikasi WHO tentang masalah gizi sebagai masalah kesehatan masyarakat,
seluruh kabupaten/kota di Provinsi NTB termasuk dalam klasifikasi kurang
hingga buruk. Perlu peran orang tua dan pengasuh untuk menyelesaikan
9

masalah gizi buruk pada balita. Selain itu, diperlukan peranan dokter dan
tenaga medis. Peranan tokoh masyarakat juga diperlukan agar penyuluhan
lebih mengena ke masyarakat.
c. Musiman
Secara umum masalah gizi buruk dapat terjadi sepanjang tahun.
Masalah gizi buruk di Provinsi NTB dapat dipengaruhi oleh musim terutama
musim kemarau. Kemarau dapat menyebabkan terjadinya kerawanan pangan
yang mengakibatkan masalah gizi buruk. Hal tersebut menunjukan perlunya
dilakukan promosi kesehatan secara intensif terutama sebelum datangnya
musim kemarau.
d. Prioritas masalah
Menurut Rencana Kerja Pembinaan Gizi Masyarakat tahun 2013
dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 20102014, perbaikan status gizi masyarakat merupakan salah satu prioritas dengan
menurunkan prevalensi balita gizi kurang menjadi 15% dan prevalensi balita
pendek menjadi 32% pada tahun 2014. Demi mencapai sasaran tersebut
diatas,

Rencana

Strategis

Kementerian

Kesehatan

2010-2014

telah

menetapkan 2 indikator keluaran pembinaan gizi yang harus dicapai yaitu


persentase balita ditimbang berat badannya dan persentase balita gizi buruk
yang mendapat perawatan. Hal tersebut menjelaskan bahwa pemerintah
memberikan prioritas yang tinggi terhadap masalah gizi buruk. Masalah gizi
buruk bukan menjadi prioritas yang tinggi bagi masyarakat. Masyarakat
memandang

kemiskinan

sebagai

prioritas

yang

tinggi.

Masyarakat

mengganggap kemiskinan membatasi akses akan makanan layak dan bergizi.


Masalah sosial ekonomi dan pola asuh yang tidak memadai juga menjadi
prioritas yang tinggi.

10

2.2.4

Mengenal Perkembangan Masalah


Perkembangan masalah adalah bagaimana runtutan kejadian sampai

munculnya suatu masalah. Masalah gizi buruk di Provinsi Nusa Tenggara Barat yang
munculnya dapat melalui berbagai macam perkembangan yaitu:
a. Kasus gizi buruk di provinsi NTB cukup memprihatinkan. Berdasarkan data
dinas kesehatan NTB selama 2 tahun terakhir ini terdapat 507 kasus gizi
buruk.
b. Masalah gizi buruk di provinsi NTB disertai juga dengan masalah penyakit
penyertanya seperti TB, infeksi, bahkan komplikasi. Hal tersebut merupakan
pemicu kematian pasien gizi buruk.
c. Anak-anak yang menderita gizi buruk di Provinsi NTB juga terjadi karena
faktor seperti pola asuh orangtua, pengaruh lingkungan dan asupan gizinya
yang kurang memenuhi standart.
d. Anak-anak yang menderita gizi buruk di Provinsi NTB permasalahannya
tidak hanya dari faktor kelaparan semata tetapi faktor penyakit lain yang
mendukungnya seperti diare akut dan juga penyakit jantung kronik.
e. Kurangnya daya tahan tubuh pada anak-anak di Provinsi NTB menyebabkan
mereka tidak memiliki sistem pertahanan yang baik ketika kuman masuk.
f. Kasus gizi buruk di NTB disebabkan sebaran jumlah penduduk yang cukup
luas sehingga berpengaruh terhadap akses pelayanan kesehatan.
g. Faktor ekonomi bukan merupakan faktor yang mengakibatkan terjadinya
gizi buruk belakangan ini yang terjadi di

NTB tetapi lebih pada faktor

kelainan orang tua.


h. Mobilitas penduduk yang sangat tinggi dikarenakan adanya pendatang atau
tingginya angka urbanisasi dan banyaknya penduduk musiman (pindah dari
kontrakan yang satu ke yang lainnya atau tidak tinggal menetap).
i.

Banyaknya balita non program (tinggal di wilayah ilegal atau atau non
program atau tidak melaporkan status gizi pada dinas kesehatan).

11

j.

Anak kurang sehat dan kebutuhan akan asupan makanan yang kaya akan
protein meningkat, sehingga protein yang terdapat kurang terpenuhi

2.2.5 Mengenal Kebiasaan


Setelah mengenal dan mengetahui perkembangan masalah, maka tahap
selanjutnya yang akan dipelajari adalah mengenal kebiasaan-kebiasaan yang ada di
masyarakat. Melihat kebiasaan yang ada di masyarakat, kita bisa kaitkan hal tersebut
dengan perkembangan masalah. Melihat perkembangan masalah sebelumnya dengan
kebiasaan yang ada di masyarakat, maka bisa ditemukan kebiasaan-kebiasaan yang
sekiranya dapat memicu munculnya suatu masalah. Kebiasaan-kebiasaan itu dapat
diteliti dan ditelaah manakah kebiasaan yang sekiranya dapat memicu munculnya
suatu masalah.
Menurut Kepala Bidang Bina Kesehatan Masyarakat (Kabid Binkesmas)
Dinkes NTB Khaerul Anwar, bahwa sebagian besar kebiasaan masyarakat di provinsi
NTB yang menyebabkan terjadinya kasus gizi buruk yang tinggi adalah pola asuhnya
tidak

baik.

Terkadang

ibu

hamil

kurang

memperhatikan

makanan

yang

dikonsumsinya, bukan tidak mungkin hal ini dapat membuat janin yang dikandung
kurang mendapatkan asupan gizi. Saat sudah lahir, pola asuh dan perhatian orang tua
yang hanya memberi makanan seadanya kepada sang balita adalah hal yang umum
terjadi pada masyarakat yang termasuk dalam kategori ekonomi rendah. Sehingga,
dari makanan yang seadanya tersebut asupan yang didapatkannya menjadi kurang
atau belum memenuhi standartnya. Misalnya, balita yang seharusnya mendapatkan
nasi dengan lauk pauk yang lengkap dan mengandung tinggi protein hanya
mendapatkan nasi dan lauk seadanya saja. Tentu hal ini akan mengurangi asupan gizi
yang diperoleh balita, padahal protein hewani dan nabati, serta vitamin yang berasal
dari buah-buahan dibutuhkan oleh balita untuk menambah asupan gizinya.
Adanya kebiasaan, mitos ataupun kepercayaan atau adat istiadat masyarakat
tertentu yang tidak benar dalam pemberian makan akan sangat merugikan anak .
Misalnya kebiasaan memberi minum bayi hanya dengan air putih, memberikan
12

makanan padat terlalu dini, berpantang pada makanan tertentu (misalnya tidak
memberikan anak-anak daging, telur, santan dll). Hal ini menghilangkan kesempatan
anak untuk mendapat asupan lemak, protein maupun kalori yang cukup.
Walaupun masalah gizi buruk terjadi akibat beberapa faktor penyebab yang
kompleks namun faktor budaya turut berperan dalam masalah ini. Kepercayaan dan
pengetahuan adalah bagian penting dari kebudayaan. Kebudayaan mengacu kepada
sistem pengetahuan dan kepercayaan yang disusun sebagai pedoman manusia dalam
mengatur pengalaman dan persepsi, menentukan tindakan dan memilih diantara
alternatif yang ada. Kepercayaan masyarakat ini akan melahirkan larangan atau tabu.
Menurut Sarwono (1993:14) masyarakat menerima pernyataan atau pendirian
kepercayaan tentang sesuatu tanpa menunjukan sikap pro atau anti. Kepercayaan itu
diteladani tanpa banyak dipertanyakan. Kepercayaan dan kebiasaan masyarakat
termasuk pengetahuan mereka tentang gizi, harus dipertimbangkan sebagai bagian
dari faktor penyebab yang berpengaruh terhadap masalah gizi buruk pada balita.
Sehubungan dengan hal tersebut, diperlukan kajian lebih mendalam tentang masalah
pengetahuan, kepercayaan dan kebiasaan masyarakat tentang makanan dalam
kaitannya dengan pantangan atau tabu makanan.
2.2.6 Mengenal Sebab Kebiasaan
Setelah melihat kebiasaan-kebiasaan yang terkait dengan masalah gizi buruk,
maka selanjutnya perlu diketahui mengapa individu, kelompok, atau masyarakat
memiliki kebiasaan tersebut. Untuk itu, penyebab dari kebiasaan itu bisa dilihat dari
tiga sumber yaitu:
1. Pihak provider, yaitu sektor-sektor yang memberi pelayanan. Misalnya
perilaku dan kebiasaan yang menjadi masalah ialah ibu-ibu tidak
menimbangkan dan memantau pertumbuhan anaknya secara teratur ke
Posyandu. Padahal selama ini, Posyandu memberikan fasilitas pemantauan
pertumbuhan terhadap anak dengan menggunakan KMS (Kartu Menuju
Sehat) sebagai alat pantau pertumbuhan yang sudah cukup baik yang disini
13

diperlukan kesamaan pemahaman pola tumbuh anak. Setelah diteliti dan


dipelajari dengan seksama, bukan karena ibu-ibu tidak tahu pentingnya
kesehatan bagi pertumbuhan anaknya tetapi karena pelayanan Posyandu
kurang ramah dan kurang memberikan informasi yang jelas tentang adanya
KMS tersebut sehingga membuat para ibu tersebut tidak berantusias pergi ke
Posyandu. Sehingga sebaiknya petugas pelayanan kesehatan perlu diberikan
penyuluhan

yang

berkaitan

dengan

pelayanan

kesehatan

dan

cara

berkomunikasi yang baik dan benar.


2. Masyarakat itu sendiri juga bisa menjadi penyebab. Berdasarkan hal itu, kita
perlu melihat aspek-aspek perilaku yang ada di masyarakat. Bisa dilihat dari
aspek pengetahuan, sikap, dan prakteknya yang diaplikasikan pada kehidupan
sehari-hari. Misalnya karena termasuk dalam kategori yang rendah, kurangnya
pengetahuan ibu hamil mengenai pemberian asupan gizi yang diberikan
kepada anaknya sehingga dalam pertumbuhan anak tersebut belum memenuhi
standart
3. Selain dua hal di atas, kemungkinan penyebab lain juga bisa yaitu adanya
kebiasaan, mitos ataupun kepercayaan (adat-istiadat). Misalnya kebiasaan
memberi minum bayi hanya dengan air putih, memberikan makanan padat
terlalu dini, berpantang pada makanan tertentu (misalnya tidak memberikan
anak-anak daging, telur, santan dll). Pada dinding usus bayi masih terdapat
sedikit enzim sehingga jonjotnya belum sempurna. Hasilnya, makanan padat
yang masuk tidak diolah, hanya memberikan rasa kenyang tetapi tidak
diserap, karena enzim yang bertugas mencerna masih kurang. Kebiasaan ini
juga dapat menghilangkan kesempatan anak untuk mendapat asupan lemak,
protein maupun kalori yang cukup.
2.2.7

Rumuskan Perilaku yang Diharapkan


Setelah mengenal perilaku yang ada dengan latar belakang (penyebab) maka

kita dapat merumuskan perilaku yang diharapkan yakni perilaku yang sehat, dalam
14

rumusan perilaku yang diharapakan ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan
antara lain:
a. Apakah kebiasaan yang diharapkan itu bisa dilaksanakan oleh individu atau
masyarakat, artinya apakah sarana yang diperlukan ada, dan apakah tidak
kompleks?
b. Apakah kebiasaan itu dapat diterima oleh masyarakat, dalam arti tidak
bertentangan dengan norma setempat?
c. Apakah kebiasaan/perilaku yang diharapkan tersebut benar-benar mengurangi
masalah?
Petugas Posyandu diharapkan mengetahui dan menerapkan komunikasi
kesehatan yang tepat kepada masyarakat. Petugas juga diharapkan menerapkan
budaya 5S (Senyum, Salam, Sapa, Sopan, dan Santun). Hal tersebut dilakukan agar
masyarakat berinisiatif untuk datang ke Posyandu.
Salah satu penyebab masalah gizi buruk di NTB adalah orang tua yang
bekerja sebagai TKI. Orang tua yang bekerja sebagai TKI cenderung menitipkan
anaknya kepada kerabat, kakek, atau nenek. Padahal, tingkat pendidikan di suatu
keluarga berbeda-beda. Tingkat pendidikan yang berbeda menghasilkan pengetahuan
tentang gizi yang berbeda. Pengetahuan gizi yang buruk dari seorang pengasuh balita
akan menimbulkan gizi buruk. Maka, orang tua anak sebaiknya menitipkan anaknya
kepada pengasuh yang tepat yaitu seseorang yang memiliki pengetahuan gizi baik
sehingga anaknya terhindar dari gizi buruk.
Masalah gizi buruk juga dipengaruhi oleh mitos, maka dibutuhkan pendekatan
terhadap tokoh masyarakat. Pendekatan terhadap tokoh masyarakat harus dilakukan
secara menerus agar menyamakan persepsi bahwa mitos tersebut tidak sesuai fakta.
Kemudian, tokoh masyarakat dan penyuluh akan menjelaskan fakta tersebut kepada
masyarakat agar pengetahuan, sikap, dan perilaku masyarakat berubah
2.2.8

Mengenal Hambatan

15

Setelah mengenal kebiasaan yang menyebabkan masalah, dan sesudah


merumuskan kebiasaan atau perilaku yang diharapkan akan dapat mengurangi
masalah, maka dalam mengenal perubahan perilaku kita harus mengenal hambatanhambatannya. Hambatan merupakan hal-hal yang dapat menghambat tujuan yang
diharapkan. Hambatan-hambatan yang mungkin dilalui dalam perubahan perilaku
yang ada menjadi perilaku yang sehat bersal dari diri sendiri, lingkungan, dan
pelayanan kesehatan. Hambatan yang berasal dari diri sendiri (individu) yakni
kurangnya pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai, dan sebagainya
Masalah yang dihadapi dalam kasus penangan gizi buruk sebenarnya diawali
dari faktor ekonomi dan sosial yang masih terdapat kesenjangan sosial yang terjadi di
masyarakat dalam mendapatkan kesempatan pelayanan kesehatan yang baik dan juga
bermutu. Masalah kompleks dari penangan gizi buruk yang terjadi di kalangan
masyarakat sebenarnya terjadi dari rendahnya tingkat kesadaran masyarakat terhadap
pentingnya asupan makanan yang bergizi dan memenuhi mutu kesehatan. Hambatan
dalam masalah gizi buruk juga terjadi karena kurang peduli nya pemerintah dalam
mengalami kasus gizi buruk, selama ini fakta yang terjadi di masyarakat pemerintah
masih setengah-setengah dalam menangani masalah ini. Pemerintah lebih dominan
menyelesaikan masalah dengan hanya menanganinya pada tingkat cangkupan
beberapa tempat saja tetapi pemerintah tidak langsung pada kebutuhan-kebutuhan
masyarakat yang terdampak masalah gizi buruk. Berikut ini beberapa faktor
penghambat penanganan gizi buruk:
a. Tingkat kesadaran masyarakat masih rendah akan kesehatan sehingga
masyarakat mempunyai spekulasi bahwa penangan masalah kesehatan
saat ini cenderung menakutkan dan menghawatirkan.
b.

Beberapa daerah di Provinsi NTB masih banyak yang terisolir atau


masih berada pada kawasan desa yang terpencil dan jauh dari
jangkauan dalam penanganan masalah kesehatan.

16

Contoh program dalam hal ini adalah Positive Deviance. Positive Deviance
(PD) atau penyimpangan positif adalah sebuah program baru di dalam dunia
kesehatan, yang bertujuan untuk menangani kasus gizi buruk atau gizi kurang bagi
anak-anak dan balita yang ada di seluruh Indonesia. Penyimpangan positif yang
terjadi karena anak-anak penderita gizi buruk yang berada di satu lingkungan bisa
mencontoh perilaku hidup sehat anak-anak yang tidak menderita gizi buruk.
Berdasarkan hal tersebut pemerintah dinas kesehatan sudah melakukan upaya ini
tetapi masyarakat di NTB masih belum sepenuhnya setuju terhadap program ini,
hanya beberapa masyarakat saja yang sudah paham dan setuju dengan program ini.
Pemerintah dalam program ini menjamin sepenuhnya tentang jaminan kesehatan
masyarakat dan berupaya secara optimal dalam penanganan program ini. Pemerintah
dinas kesehatan NTB berupaya secara penuh dan optimal agar program ini dapat
terlaksana dengan baik. Mereka berupaya mengajak para masyarakat pedesaan NTB
dengan upaya pendekatan secara menyeluruh dengan mengadakan penyuluhanpenyuluhan secara umum serta memberikan penyuluhan yang bersifat edukatif dan
menarik agar mudah dipahami oleh masyarakat desa. Pemeritah juga memberikan
gambaran-gambran singkat tentang program ini pada tiap-tiap puskesmas desa serta
klinik-klinik pelayanan yang tersedia dan pemerintah dinas kesehatan juga melakukan
penyuluhan sesuai dengan apa yang biasanya dilakukan masyarakat desa dan
kebiasaan itu bisa diubah menjadi lebih baik dan program ini bisa mendapatkan hasil
yang maksimum serta efisiensi dalam peningkatan taraf kesehatan serta dalam
mengurangi kasus gizi buruk yang semakin tinggi di Indonesia khususnya di Provinsi
NTB.
2.2.9 Mengenal Hal-hal yang Mendorong
Selain hambatan-hambatan yang mungkin akan dihadapi, perlu diketahui pula
hal-hal yang mungkin dapat membantu mempermudah terjadinya perubahan perilaku
atau kebiasaan tersebut.

17

Adanya kasus kematian 21 bayi akibat kekurangan gizi atau bisa dikatakan
dalam kategori gizi buruk, para ibu yang mempunyai anak terutama yang masih balita
akan semakin peduli dan memperhatikan asupan gizi yang dibutuhkan oleh anaknya.
Selain itu, pemerintah juga akan semakin memperhatikan kondisi masyarakata yang
kurang mampu terkait pemenuhan gizi terhadap anak usia balita khusunya
a. Revitalisasi Posyandu
Revitalisasi Posyandu bertujuan untuk meningkatkan fungsi dan kinerja
Posyandu terutama dalam pemantauan pertumbuhan balita yang menderita gizi buruk.
Pokok kegiatan revitalisasi Posyandu meliputi:
1. Pelatihan/orientasi petugas Puskesmas, petugas sektor lain dan kader
yang berasal dari masyarakat.
2. Pelatihan ulang petugas dan kader.
3. Pembinaan dan pendampingan kader.
4. Penyediaan sarana terutama dacin, KMS/Buku KIA, panduan
Posyandu, media KIE, sarana pencatatan.
5. Penyediaan biaya operasional.
6.

Penyediaan modal usaha kader melalui Usaha Kecil Menengah


(UKM) dan mendorong partisipasi swasta.

b. Revitalisasi Puskesmas
Revitalisasi Puskesmas bertujuan meningkatkan fungsi dan kinerja Puskesmas
terutama dalam pengelolaan kegiatan gizi di Puskesmas, baik penyelenggaraan upaya
kesehatan perorangan maupun upaya kesehatan masyarakat. Pokok kegiatan
revitalisasi Puskesmas meliputi:
1. Pelatihan manajemen program gizi di puskesmas bagi pimpinan
dan petugas puskesmas dan jaringannya.
2. Penyediaan biaya operasional Puskesmas untuk pembinaan
posyandu, pelacakan kasus, kerjasama LS tingkat kecamatan,
dll.
18

3. Pemenuhan sarana antropometri dan KIE bagi puskesmas dan


jaringannya.
4. Pelatihan tatalaksana gizi buruk bagi petugas rumah sakit dan
puskesmas perawatan.
c. Intervensi Gizi dan Kesehatan
Intervensi gizi dan kesehatan bertujuan memberikan pelayanan langsung
kepada balita. Ada dua bentuk pelayanan gizi dan kesehatan, yaitu pelayanan
perorangan dalam rangka menyembuhkan dan memulihkan anak dari kondisi gizi
buruk, dan pelayanan masyarakat yaitu dalam rangka mencegah timbulnya gizi buruk
di masyarakat. Pokok kegiatan intervensi gizi dan kesehatan adalah sebagai berikut;
1. Perawatan/pengobatan gratis di Rumah Sakit dan Puskesmas
balita gizi buruk dari keluarga miskin dengan menggunakan
kartu JAMKESMAS, BPJS dan sebagainya.
2. Pemberian Makanan Tambahan (PMT) berupa MP-ASI bagi
anak 6-23 bulan dan PMT pemulihan pada anak 24-59 bulan
kepada balita gizi kurang dari keluarga miskin
3. Pemberian suplementasi gizi (kapsul vitamin A, tablet/sirup Fe)
d. Promosi Keluarga Sadar Gizi
Promosi keluarga sadar gizi bertujuan dipraktikannya norma keluarga sadar
gizi bagi seluruh keluarga di Indonesia, untuk mencegah terjadinya masalah kurang
gizi, khususnya gizi buruk. Kegiatan promosi keluarga sadar gizi dilakukan dengan
memperhatikan aspek-aspek sosial budaya (lokal spesifik). Pokok kegiatan promosi
keluarga sadar gizi meliputi:
1. Menyusun strategi (pedoman) promosi keluarga sadar gizi.
2. Mengembangkan,
materi

promosi

menyediakan
pada

dan

menyebarluaskan

masyarakat,

organisasi

19

kemasyarakatan, institusi pendidikan, tempat kerja, dan


tempat-tempat umum.
3. Melakukan

kampanye

secara

bertahap,

tematik

menggunakan media efektif terpilih.


4. Menyelenggarakan

diskusi

kelompok

terarah

melalui

dasawisma dengan dukungan petugas.


e. Pemberdayaan Keluarga
Pemberdayaan keluarga bertujuan meningkatkan kemampuan keluarga untuk
mengetahui potensi ekonomi keluarga dan mengembangkannya untuk memenuhi
kebutuhan gizi seluruh anggota keluarga. Keluarga miskin yang anaknya menderita
kekurangan gizi perlu diprioritaskan sebagai sasaran penanggulangan kemiskinan.
Pokok kegiatan pemberdayaan keluarga adalah sebagai berikut;
1. Pemberdayaan di bidang ekonomi
a. Modal usaha, industri kecil
b. Upaya Peningkatan Pendapatan Keluarga (UPPK)
c. Peningkatan Pendapatan Petani Kecil
2. Pemberdayaan di bidang pendidikan
a. Bea siswa
b. Kelompok belajar
c. Pendidikan anak dini usia
3. Pemberdayaan di bidang kesehatan
a. Penyelenggaraan pos gizi/Pos Pemulihan Gizi Berbasis Masyarakat
b. Kader keluarga
c. Penyediaan percontohan sarana air minum dan jamban keluarga.
4. Pemberdayaan di bidang ketahanan pangan
a. Pemanfaatan pekarangan dan lahan tidur
b. Lumbung pangan
c. Padat karya untuk pangan
20

d. Beras untuk keluarga miskin.

21

f. Advokasi dan Pendampingan


Ada 2 tujuan dari kegiatan advokasi dan pendampingan yaitu:
1. Meningkatkan komitmen para penentu kebijakan, termasuk
legislatif, tokoh masyarakat, tokoh agama, pemuka adat dan media
massa agar peduli dan bertindak nyata di lingkungannya untuk
memperbaiki status gizi anak.
2. Meningkatkan kemampuan teknis petugas dalam pengelolaan
program Gizi.
g. Revitalisasi Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG)
Revitalisasi SKPG bertujuan meningkatkan kemampuan masyarakat dan
pemerintah daerah melakukan pemantauan yang terus menerus terhadap situasi
pangan dan keadaan gizi masyarakat setempat, untuk dapat melakukan tindakan
dengan cepat dan tepat untuk mencegah timbulnya bahaya kelaparan dan kurang gizi,
khususnya gizi buruk pada tingkat desa, kecamatan dan kabupaten. Memfungsikan
sistem isyarat dini dan intervensi, serta pencegahan KLB dengan:
1. Memfungsikan sistem pelaporan, diseminasi informasi dan pemanfaatannya.
2. Penyediaan data gizi secara reguler (pemantauan status gizi, untuk semua
kelompok umur, pemantauan konsumsi gizi, analisis data Susenas.
2.2.10 Mengenal Hasil-hasil Sampingan
Selain hal-hal yang menghambat dan mendorong terjadinya perubahan
perilaku, perlu pula dipikirkan dan diketahui hal-hal yang mungkin terjadi sebagai
akibat atau konsekuensi perubahan perilakuyang dianjurkan. Sering kali terjadi,
bahwa dalam terjadinya suatu perubahan perilaku, timbul masalah baru sebagai akibat
dari perubahan tersebut. Misalnya, dengan adanya kematian 21 balita yang sebagian
besar diakibatkan gizi buruk, para orang tua dianjurkan untuk lebih memperhatikan
asupan gizi sang anak. Mereka akan berlomba-lomba memenuhi kebutuhan gizi
anaknya hingga asupan yang diperoleh dalam kategori cukup. Masyarakat yang
tergolong dalam masyrakat ekonomi rendah akan melakukan segala sesuatu agar
22

kebutuhan tersebut terpenuhi. Mereka bisa saja melakukan hal-hal nekat, seperti
mencuri bahkan merampok. Disini lah peran pemerintah sangat diharapkan, supaya
hal yang demikian tidak akan pernah terjadi

23

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Fenomena gizi buruk yang menimpa masyarakat di Provinsi Nusa Tenggara
Barat menjadi indikasi bahwa proses pembinaan kesehatan bangsa selama ini belum
berhasil. Disadari sepenuhnya bahwa permasalahan gizi buruk adalah kompleks
sifatnya, dengan demikian perlu adanya kerjasama dalam mencegah dan
menaggulangi gizi buruk. Tahapan-tahapan mengenal masalah perilaku disini
diupayakan untuk mengenal masalah kesehatan gizi buruk yang terjadi, mengenal
penyebab masalah itu terjadi, mengenal sifat masalah yang terjadi, mengenal
perkembangan masalah yang terjadi, mengenal kebiasaan yang memicu terjadinya
masalah tersebut, mengenal sebab dari kebiasaan tersebut, merumuskan perilaku yang
diharapkan meminimalisir masalah tersebut, mengenal hambatannya, mengenal halhal yang mendorong, mengenal hal-hal sampingan.
3.2 Saran
Setelah membaca pembahasan diatas maka kita dapat mengetahui tahapantahapan mengenal masalah. Selain itu kita juga mengetahui bahwa ternyata di
Indonesia masih banyak kasus gizi buruk salah satunya di provinsi Nusa Tenggara
Barat. Penulis menyarankan supaya orang tua lebih memperhatikan asupan gizi yang
diperoleh anaknya (balita), sehingga tidak akan terjadi lagi kasus gizi buruk. Selain
itu pemerintah juga harus memperhatikan dan peduli kepada masyarakat kurang
mampu.

24

DAFTAR PUSTAKA
Luthviatin Novia, dkk. 2012.Dasar-Dasar Promosi Kesehatan Dan Ilmu
Perilaku.Jember: Jember University Press
http://digilib.esaunggul.ac.id/public/UEU-Undergraduate-2389-BAB1.pdf

http://anc4.files.wordpress.com/2009/07/gangguan-kesehatan-giziburuk.docx.
http://gizi.depkes.go.id/21-balita-meninggal-akibat-gizi-buruk-di-ntb
http://etd.ugm.ac.id/index.php?
mod=download&sub=DownloadFile&act=view&typ=html&file=322021
.pdf&ftyp=potongan&tahun=2013&potongan=S2-2013-322021chapter1.pdf

25

Anda mungkin juga menyukai