Anda di halaman 1dari 8

Makalah

Pola Pengembangan Tanaman Atsiri Pada Lahan Kritis Di


Sumatra Barat

Disusun oleh :
Nama

: Netty Dwi Ariska

NIM

:125040201111099

Kelas

:Q

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2014

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dengan semakin merosotnya kesuburan lahan dan juga banyaknya lahan mengalami
kerusakan berat karena gundul sehingga di dominasi oleh alang-alang, sehingga diperlukan
pe-nanganan yang serius untuk dijadikan lahan pertanian (Ahmad, 1991). Menurut Saragi
dan Tompubolon (1993) dalam (Kusuma, 2006), bahwa penggunaan teknologi pertanian
yang ku-rang tepat pada lahan kering, terutama pada lahan dengan kemiringan >15%
menyebabkan semakin luasnya lahan kritis dan sekarang lahan yang di-tumbuhi oleh alangalang telah men-capai 26 juta hektar. Diperkirakan setiap tahun tambahan lahan kritis sekitar
3,5%/ tahun (Anonim, 2007).
Tanaman atsiri diketahui kurang membutuhkan persyaratan jenis tanah yang baik
untuk pertumbuhannya seperti seraiwangi dan ylang-ylang, sehingga dapat digunakan sebgai
tanam-an konservasi pada lahan kritis. Dari hasil penelitian pada penanaman seraiwangi dan
ylang-ylang pada lahan kritis di Nagari kajai Kota Sawah Lunto, ternyata dapat menurunkan
laju erosi menjadi 31,1% dibandingkan kontrol 41,5% (Kusuma dan Masri, 2004). Disini
akan dibahas lebih lanjut mengenai peranan tanaman atsiri khususnya sariwangi dalam
konservasi lahan kritis.

1.2 Tujuan
Dari latar belakang diatas makalah ini bertujuan untuk mengungkapkan peranan
tanaman atsiri terutama seraiwangi sebagai tanaman konservasi sebagai komoditas potensial
yang dapat dikembangkan pada lahan kritis lainnya.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Morfologi dan Anatomi Tanaman Seraiwangi
Morfologi Seraiwangi
Akar tanaman serai memiliki akar yang besar. Akarnya merupakan jenis akar serabut
yang berimpang pendek. Sedangkan batang tanaman serai bergerombol dan berumbi, serta lunak
dan berongga. Isi batangnya merupakan pelepah umbi untuk pucuk dan berwarna putih
kekuningan. Tanaman serai memiliki batang yang berwarna putih. Namun ada juga yang
berwarna putih keunguan atau kemerahan. Selain itu, batang tanaman serai juga bersifat kaku
dan mudah patah. Batang tanaman ini tumbuh tegak lurus di atas tanah.
Daun tanaman serai berwarna hijau dan tidak bertangkai. Daunnya kesat, panjang, dan
runcing, hampir menyerupai daun lalang. Selain itu, daun tanaman ini memiliki bentuk seperti
pita yang makin ke ujung makin runcing dan. Daunnya juga memiliki tepi yang kasar dan tajam.
Tulang daun tanaman serai tersusun sejajar. Letak daun pada batang tersebar. Panjang daunnya
sekitar 50-100 cm, sedangkan lebarnya kira - kira 2 cm. Daging daun tipis, serta pada permukaan
dan bagian bawah daunnya berbulu halus. Bunga tanaman serai jarang sekali memiliki bunga.
Kalaupun ada, pada umumnya bunganya tidak memiliki mahkota dan mengandung bulir.
Buah tanaman serai jarang sekali atau bahkan tidak memiliki buah dan tanamannya juga
jarang sekali memiliki biji. Cara tanaman serai bereproduksi dapat dengan berbagai cara,
diantaranya dengan tunas (alami), dan pemisahan tunas (campur tangan manusia) sehingga
sering terlihat tumbuh berumpun. Untuk lokasi tumbuh tanaman serai tersebut ialah di Asia
Tenggara dan dikomersilkan di Sri Lanka, India, Myanmar, dan Indonesia. Tumbuhan ini tumbuh
merata di seluruh Indonesia (Faris, 2010).
Anatomi Seraiwangi
Susunan umum dari akar tumbuhan serai (Cymbopogon citratus) dari bagian luar ke
dalam adalah epidermis, korteks, selapis sel endodermis, dan stele akar, yang terdiri atas xilem
dan floem. Karena merupakan tumbuhan monokotil maka xilemnya tidak berkembang hingga ke
tengah - tengah lingkaran pusat akar sehingga pada lingkaran pusat dijumpai adanya parenkim
empulur. Selain itu, pada akar juga terdapat jaringan meristem apikal yang selalu membelah diri.

Epidermis akar terdiri dari selapis sel yang tersusun rapat dan berdinding tipis serta memiliki
rambut akar yang berfungsi untuk memperluas bidang penyerapan. Korteks akar tersusun dari
beragam sel yang membentuk beberapa lapisan, berdinding tipis, dan mempunyai banyak ruang
antar sel untuk petukaran gas. Pada korteks terdapat parenkim, kolenkim, dan sklerenkim.
Lapisan endodermis akar berupa sebaris sel - sel yang tersusun rapat tanpa ruang antar sel dan
merupakan pemisah yang jelas antara korteks dan stele karena susunan dan bentuk selnya yang
khas, berbeda dengan lapisan lainnya. Pada stele terdapat berkas pengangkut, yaitu xilem dan
floem yang berselang - seling membentuk lingkaran.
Sedangkan susunan umum dari batang serai (Cymbopogon citratus) dari bagian luar ke
dalam adalah epidermis batang, jaringan korteks, berkas pengangkut, dan empulur batang.
Karena batangnya adalah batang monokotil (tidak berkayu), jaringan pengangkutnya tesusun
dalam berkas-berkas dan tersebar di seluruh permukaan batang. Di antara berkas-berkas
perngangkut tersebut dikelilingi oleh jaringan parenkim. Pada daerah parenkim korteks terdapat
sel dan kelenjar minyak yang bisa digunakan untuk produksi minyak, yaitu minyak atsiri.
Sebagian besar sel epidermis berasal dari sel - sel utama yang mengandung serat / fiber seperti
sel epidermis. Sel - sel epidermis ini tersusun teratur secara paralel. Jaringan epidermis batang
tersusun oleh selapis sel yang tersusun rapat, tanpa ruang antar sel. Korteks batang tersusun oleh
sel - sel parenkim yang berdinding tipis dan letaknya tidak teratur. Selain parenkim, juga terdapat
kolenkim dan sklerenkim. Di dalam stele terdapat sel parenkim dan berkas pengangkut berupa
xilem dan floem. Berkas pengangkut letaknya tersebar tidak teratur, di mana masing - masing
berkas pengangkut ini terbungkus oleh sarung berkas pengangkut.
Susunan umum dari daun (Cymbopogon citratus) dari atas ke bawah adalah epidermis
atas, mesofil, berkas pengangkut, dan epidermis bawah. Pada sayatan melintang melalui tulang
daun tampak epidermis atas terdiri dari satu lapis sel yang berbentuk agak bulat dengan ukuran
yang tidak selalu sama dan mempunyai rambut penutup. Epidermis bawah terdiri dari sel serupa
epidermis atas hanya lebih kecil. Stomata terdapat di kedua permukaan. Mesofil terdiri dari selsel parenkim yang tersusun renggang dan berisi tetes - tetes minyak. Sel - sel mesofil pada
berkas pengangkut lebih besar, kloroplasnya lebih sedikit, dan dindingnya lebih tebal. Berkas
pengangkut terdapat pada tulang daun. Tipe berkas pengangkut ini sama dengan tipe berkas
pengangkut pada batang. Jaringan kolenkim tersebar di antara parenkim, selanjutnya terdapat
xilem dan floem dari berkas pembuluh tipe kolateral. Tumbuhan serai (Cymbopogon citratus)

sangat jarang berbunga sehingga juga sangat jarang menghasilkan buah, bahkan biji. Karena itu,
struktur anatomi dari bunga, buah, dan bijinya ini juga tidak diketahui. Karena sangat jarang
berbunga dan menghasilkan biji maka tanaman ini pada umumnya direproduksi dengan akar,
tidak dengan biji (Dalimartha, 1999).

BAB III
PEMBAHASAN

Sstem konservasi yang dilakukan pada lahan berupa sistem usahatani konservasi, dimana
sistem usahatani konservasi pada prinsipnya mengutamakan keberhasilan budidaya secara
berkelanjutan antara lain dengan 1) mengusahakan agar tanah tertutup tanaman sepanjang tahun
guna melindungi tanah dari erosi dan pencucian, 2) mengembalikan sisa-sisa tanaman dalam
bentuk kompos dan pupuk kandang kedalam tanah guna memperbaiki/mempertahankan bahan
organik tanah. Mengusahakan budidaya tanaman sepanjang tahun merupakan tindakan
konservasi vegetatif yang baik. Tindakan tersebut akan lebih baik lagi jika sisa-sisa tanaman juga
dikem-balikan ke tanah. Bahan organik yang tinggi tidak hanya akan menambah nutrisi tanah
setelah melapuk tetapi juga dapat berperan sebagai penyanggah dari pupuk yang di berikan.
Tumbuhan menghambat aliran permukaan selain oleh intersepsi daya hempas hujan, juga oleh
rongga-rongga tanah yang terbentuk di lapisan permukaan. Intersepsi tajuk semakin banyak
dengan meningkatnya luas daun. Peningkatan luas daun, disatu sisi mengurangi erosi akibat
pengurangan energi kinetik hujan pada permukaan tanah, sebaliknya intersepsi hujan dan
evaporasi transpirasi akan meningkat (Yustika et al., 1996).
Dalam penerapan teknik konservasi ada 3 faktor yang harus di pertimbangkan pada suatu
lahan, yaitu 1) kondisi lahan/tanah, 2) kondisi iklim dimana lahan itu berada, dan 3) kemampuan
petani pemilik atau pengelola lahan tersebut. Faktor kondisi lahan menyangkut masalah topografi
dan vegetasi yang ada pada lahan tersebut. Sedangkan faktor iklim lebih menyangkut kepada
jumlah dan intensitas curah hujan. Faktor yang paling menentukan dalam keberhasilan usaha
konservasi adalah faktor petani.
Salah satu teknik konservasi yang murah dan mudah untuk dilaksanakan oleh petani
adalah sistem budidaya lorong (Alley cropping). Sistem ini pada dasarnya adalah menanam
tanaman semusim dan tahunan di suatu hamparan. Tanaman tahunan yang bertajuk lebih besar
ditanam dengan jarak tanam yang rapat di dalam barisan dan renggang antar barisan. Sehingga
akan terbentuk lorong untuk penanaman tanaman semusim. Dengan ini sistem terasering akan
terbentuk dengan sendirinya sehingga akan mengurangi tingkat erosi dan akan menciptakan

kondisi iklim mikro yang lebih baik. Di samping itu juga akan dapat meredam kegoncangan
harga produksi, sehingga selalu menopang kehidupan petani (Wahid et al., 1996).
Kriteria yang dipakai sebagai dasar pertimbangan dalam sistem budidaya lorong adalah
kemiringan lahan, kedalaman solum, dan kepekaan tanah terhadap erosi. Dengan menggunakan
patokan konservasi bahwa, Penetapan ukuran lebar lorong pada kemiringan lahan <15% untuk
tanaman semusim (tegakan rendah) yaitu relatif besar presentasenya 70-75%, sedangkan untuk
tanaman tahunan lebih kurang 20-25% (Yustika et al., 1989). Dari hasil pengamatan selama
setahun dengan penanaman tanaman seraiwangi dan ylangylang pada kemiring-an lahan 2540% dengan curah hujan 2500 mm/tahun dengan sistem budidaya lorong terlihat jumlah tanah
yang dihanyutkan hujan hanya 30,1 m3/ha/th dibanding dengan kontrol 41,5 m3/ha/ th, sehingga
tanaman seraiwangi juga dapat berfungsi sebagai tanaman konservasi (Kusuma dan Masri,
2004).
Melihat kondisi lingkungan/lahan dan beberapa faktor pendukungnya maka model
potensial untuk pengembangan ylang-ylang dan seraiwangi dengan berwawasan konservasi yang
diterapkan berdasarkan teknologi budidaya lorong dengan model slop cropping dengan arah
kontour. Proporsi tanaman ylang-ylang dan seraiwangi diatur berdasarkan tingkat kemiringan
lahan dengan memperhitungkan kanopi tanaman pada saat pertumbuhan optimal. Lorong seraiwangi sesuai kontour berselang seling dengan lorong ylang-ylang. Lebar lorong seraiwangi
adalah 7 meter dan ylang-ylang 8 meter, sehingga komposisinya adalah 40% lahan Serai-wangi
dan 60% lahan ylang-ylang
Dari hasil pengamatan selama setahun dengan penanaman seraiwangi dan ylang-ylang
pada kemiringan lahan 25-40% dan tingkat curah hujan 2500 mm/tahun dengan teknik budidaya
lorong terlihat jumlah tanah yang dihanyutkan hujan hanya 30,1 m3/ha/tahun dibandingkan
dengan kontrol 41,5 m3/ ha/tahun. Hasil yang sama dilaporkan Kartasaputra et al. (1985),
penggunaan seraiwangi sebagai tanaman penguat teras dimana tanah yang dihanyutkan oleh
erosi air hujan 12,04 ton/ha dibandingkan dengan tanah terbuka yang dicangkul sedalam 20 cm
sebesar 42,28 ton/ha dalam periode 3-4 bulan. Sehingga tanaman seraiwangi dan ylang-ylang
dapat dijadikan sebagai alternatif dalam konservasi lahan kritis.

DAFTAR PUSTAKA
Daswir. Tanpa Tahun. Pola Pengembangan Tanaman Atsiri Pada Lahan Kritis Di Sumatra
Barat. Jurnal. Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik

Anda mungkin juga menyukai