Kelumpuhan wajah adalah gangguan yang memiliki dampak yang besar pada pasien.
Kelumpuhan saraf wajah mungkin karena bawaan atau neoplastik atau mungkin akibat dari
infeksi, trauma, eksposur beracun, atau penyebab iatrogenik. Penyebab paling umum dari
kelumpuhan wajah unilateral adalah Bells palsy, atau disebut kelumpuhan wajah idiopatik.
Bells palsy merupakan kekakuan akut unilateral, perifer, bersifat lower-motor-neuron yang
secara bertahap membaik pada 70-80% kasus.1
Bells palsy
mempengaruhi saraf kranial, dan merupakan penyebab paling umum kelumpuhan wajah di
seluruh dunia. Bells palsy diperkirakan menyumbang sekitar 60-75% dari kasus kelumpuhan
wajah akut unilateral. Bells palsy lebih sering terjadi pada orang dewasa, pada orang dengan
diabetes, dan pada wanita hamil. Penyebab Bells palsy masih belum diketahui, meskipun
banyak terdapat teori mengenai kemungkinan etiologinya antara lain : virus, inflamasi,
autoimun, dan iskemik.
Untuk menentukan apakah pada wajah yang terkena saraf kelumpuhan perifer atau
pusat adalah kunci dalam diagnosis. Sebuah lesi yang melibatkan upper motor neuron
mengakibatkan kelemahan wajah bagian bawah, berbeda dengan lesi di lower motor neuron.
Anamnesa yang cermat dan pemeriksaan yang teliti, termasuk pemeriksaan telinga, hidung,
tenggorokan, dan saraf kranial, harus dilakukan.Kriteria diagnostik minimal termasuk
kelumpuhan atau paresis dari semua kelompok otot di satu sisi wajah,secara akut dan tibatiba, setelah dipastikan tidak ada penyakit sistem saraf pusat. Perhatikan bahwa diagnosis
Bells palsy dibuat hanya setelah penyebab lain dari kelumpuhan perifer akut telah
disingkirkan.2
Jika temuan klinis meragukan atau jika kelumpuhan berlangsung lebih lama dari 6-8
minggu,perencanaan lebih lanjut, termasuk pencitraan gadolinium meningkatkan resonansi
magnetik dari tulang temporal dan pons, harus dipertimbangkan. Tes Electrodiagnostic
(misalnya, stapedius tes refleks, membangkitkan saraf wajah-elektromiografi [EMG],
audiography) dapat membantu meningkatkan ketepatan prognosis pada kasus yang sulit.3-5
Pengobatan Bells palsy harus konservatif dan dipandu oleh keparahan dan prognosis
kemungkinan dalam setiap kasus tertentu. Studi telah menunjukkan manfaat dosis tinggi
1
kortikosteroid untuk Bells palsy akut. Walaupun pengobatan antivirus telah digunakan dalam
beberapa tahun terakhir, bukti menunjukkan bahwa obat ini mungkin kurang bermanfaat.6
Terapi okular topikal berguna dalam banyak kasus, dengan pengecualian orang-orang
yang kondisinya parah atau berkepanjangan. Dalam kasus ini, manajemen operasi adalah
yang terbaik. Beberapa prosedur bertujuan untuk melindungi kornea dari paparan dan
mencapai kesimetrian wajah. Prosedur ini mengurangi kebutuhan penggunaan secara konstan
tetes atau salep pelumas, dapat meningkatkan nilai estetika, dan mungkin diperlukan untuk
menjaga penglihatan pada sisi mata yang terkena.7-8
STATUS PASIEN
I.
II.
Identitas
Nama
: Tn. M.
Jenis Kelamin
: Laki-Laki
Umur
: 59 tahun
Kebangsaan
: Indonesia
Pekerjaan
: Pensiunan
Agama
: Islam
Alamat
Tanggal masuk RS
: 31 Oktober 2014
Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesa dengan pasien pada 31 Oktober 2014
A. Keluhan Utama :
Mata kanan tidak dapat ditutup sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit (SMRS)
B. Keluhan Tambahan :
Wajah kanan terasa tebal
C. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan mata kanan tidak dapat ditutup sejak 1 hari SMRS.
Keluhan mulai dirasakan ketika pasien bangun dari tidur. Sehabis bangun tidur, pasien
merasakan mata kanannya perih, berair dan sulit untuk menutupinya. Selain itu,
pasien juga mengeluhkan tidak dapat mengerutkan dahi dan bibir bagian kanan jatuh.
Air yang diminumnya seakan-akan tidak masuk ke dalam mulutnya. Pasien juga
mengeluh wajah kanan terasa tebal dan kurang terasa bila dipegang. Pasien mengaku
dirinya baru pulang dari perjalanan jauh dengan menggunakan mobil dan AC-nya
diarahkan ke muka selama perjalanan. Keluhan ini baru pertama kali dirasakan.
Riwayat trauma disangkal. Keluhan lain seperti mual (-), muntah (-), kejang (-),
gangguan penglihatan (-),gangguan pengecapan(-), penglihatan ganda (-), gangguan
pendengaran (-), bunyi berdenging (-), bicara pelo (-), dan kelemahan tubuh sesisi (-).
Pemeriksaan Umum
A. Keadaan Umum
-
Kesadaran
Kesan sakit
: Sakit sedang
Tanda Vital
Tekanan Darah
: 90/70 mmHg
Nadi
: 80 kali/menit
Suhu
: 36,50
Pernapasan
: 20 kali/menit
B. Keadaan Lokal
Trauma Stigmata
: (-)
Pulsasi Aa.Carotis
: CRT <2
Columna Vertebralis
: lurus di tengah
Thorax
Jantung
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Paru
Inspeksi : Bentuk dada dan gerak nafas simetris saat statis dan dinamis.
Palpasi
: NT (-), massa (-), gerak nafas teraba simetris saat statis dan
dinamis, vokal fremitus normal
Perkusi
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
: Timpani
Ekstrimitas atas
Ektremitas bawah
:-
B. Saraf-Saraf Kranialis
N. I
: normosmia
N. II
Kanan
Kiri
Acies visus
6/60
6/60
Campus visus
baik
baik
Melihat warna
baik
baik
Funduskopi
tidak dilakukan
N. III, N. IV, N. VI
Kedudukan bola mata
Kanan
Kiri
ortoforia
ortoforia
baik
baik
Ke Temporal
baik
baik
Ke Nasal Atas
baik
baik
Ke Temporal Atas
baik
baik
Ke Temporal Bawah
baik
baik
Eksopthalmus
(-)
(-)
Ptosis
(-)
(-)
Bentuk
bulat
bulat
Ukuran
2mm
2mm
Isokor/Anisokor
isokor
isokor
(+)
(+)
(+)
Pupil
N.V
Kanan
Kiri
baik
baik
Opthalmik
kurang
baik
Maxilla
kurang
baik
Mandibularis
kurang
baik
N. VII
Kanan
Kiri
Sulit
baik
Kembungkan pipi
baik
Menyeringai
Angkat alis
Sulit diangkat
baik
Kerutan dahi
Dahi tidak
baik
Cabang Motorik
Cabang Sensorik
mengerut
Sudut mulut
Hilang
baik
Lagophtalmus
(+)
(-)
1mm
2mm
kornea
N.VIII
Vestibuler
Vertigo
: (-)
6
Nistagmus
: (-)
Cochlear
Tuli Konduktif
: (-)
Tuli Perseptif
: (-)
N. IX, X
Motorik
: baik
Sensorik
: baik
N. XI
Mengangkat bahu : baik / baik
Menoleh
: baik / baik
N.XII
Pergerakan lidah : simetris
Tremor
: (-)
Atrofi
: (-)
Fasikulasi
: (-)
C. Sistem Motorik
Ekstremitas Atas Proksimal-Distal
5555
5555
5555
5555
Gerakan Involunter
D. Refleks-refleks Fisiologis
Kornea
Berbangkis
Pharing
Bisep
Trisep
Radius
Dinding Perut
Otot Perut
Lutut
Tumit
Sfingter Ani
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
Kanan
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
tidak dilakukan
Kiri
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
E. Refleks-refleks Patologis
Hoffman Trommer
Babinsky
Chaddock
Gordon
Gonda
Schaeffer
Klonus Lutut
Klonus Tumit
V.
Kiri
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
Pemeriksaan Laboratorium
Kimia Darah
GDP
Lemak
Kolesterol
Kolesterol LDL
Fungsi Ginjal
Asam urat
Creatinine
VI.
:
:
:
:
:
:
:
:
Kanan
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
: 284 mg/dl ()
: 200
: 150
: 4,08
:1
Kolesterol HDL
Trigliserida
Ureum
: 50
: 40
: 45,4
Pemeriksaan Radiologik
Tidak dilakukan
VII.
Resume
Pasien laki-laki, 59 tahun datang dengan keluhan mata kanan tidak dapat ditutup
sejak 1 hari SMRS. Selain itu, pasien merasakan mata kanan perih, berair, dan
sulit untuk menutupinya, tidak dapat mengerutkan dahi, dan bibir bagian kanan
jatuh. Pasien juga mengeluhkan wajah kanan terasa tebal dan kurang terasa bila
dipegang Pasien sehabis perjalanan jauh dengan mobil dan AC mobil diarahkan ke
wajahnya. Keluhan ini baru pertama kali dirasakan. Keluhan neurologis lain(-).
Pada pemeriksaan fisik di dapatkan keadaan umum : tampak sakit sedang,
kesadaran compos mentis. Tanda Vital : tensi 90/70 ,suhu 36,50, nadi 80x/menit,
pernapasan 20x/menit. Pada pemeriksaan neurologis,didapatkan pada pemeriksaan
N kranialis V,cabang motorik normal tapi cabang sensorik sisi kanan NV1,NV2
dan NV3 berkurang. Pada pemeriksaan N VII kanan
menutup mata kanan, FOS Oculi dextra 1mm, sulit menggembungkan pipi kanan,
bila menyeringai mulut mencong ke kiri, alis kanannya sulit diangkat, kerutan
8
dahi kanan dan sudut mulut kanan menghilang. Pada laboratorium darah
didapatkan peningkatan kadar gula darah puasa.
VIII.
Diagnosis Kerja
Neurologis:
Diagnosa Klinis
Diagnosa Etiologi
: Tidak diketahui
Diagnosa Topikal
Anjuran pemeriksaan:
Konsul ke dokter spesialis penyakit dalam karena gula darah puasa meningkat
X.
Penatalaksanaan
Medikamentosa
-
IVFD NS 20 tpm
Dexketoprofen 50 mg 3x1
Non-Medikamentosa
Mata kanan ditutup dengan plester
X.
Prognosis
Ad Vitam
: ad bonam
Ad Fungsionam
: dubia
Ad Sanationam
: dubia
FOLLOW UP
01 November 2014
S
02 November 2014
Tidur (+)
TTV:
TTV:
N: 90 x/menit.
N: 88 x/menit.
S: 36.6 oC.
S: 36 oC.
RR: 24 x/menit.
RR: 22 x/menit.
10
Bells Palsy
Bells Palsy
IVFD NS 20 tpm
IVFD NS 20 tpm
Injeksi :
Injeksi :
- Dexketoprofen 50 mg - 3x1
- Dexketoprofen 50 mg - 3x1
Oral :
Oral :
03 November 2014
Mata kanan hampir dapat menutup dengan sempurna, mata berair (-)
Tidur (+)
TINJAUAN PUSTAKA
Pendahuluan
Bells palsy merupakan kelemahan wajah dengan tipe lower motor neuron yang
disebabkan oleh keterlibatan saraf fasialis idiopatik di luar sistem saraf pusat, tanpa adanya
penyakit neurologik lainnya. Sindrom ini pertama sekali dideskripsikan pada tahun 1821 oleh
seorang anatomis dan dokter bedah bernama Sir Charles Bell.
Insidens sindrom ini sekitar 23 kasus per 100 000 orang setiap tahun. Manifestasi
klinisnya terkadang dianggap sebagai suatu serangan stroke atau gambaran tumor yang
menyebabkan separuh tubuh lumpuh atau tampilan distorsi wajah yang akan bersifat
permanen. Oleh karena itu, perlu diketahui mengenai Bells palsy oleh dokter pelayanan
primer agar tatalaksana yang tepat dapat diberikan tanpa melupakan diagnosis banding yang
mungkin didapatkan.1,2
Anatomi
Saraf fasialis atau saraf kranialis ketujuh mempunyai komponen motorik yang
mempersarafi semua otot ekspresi wajah pada salah satu sisi, komponen sensorik kecil
(nervus intermedius
Wrisberg) yang menerima sensasi rasa dari 2/3 depan lidah, dan
12
Saraf fasialis keluar dari otak di sudut serebello-pontin memasuki meatus akustikus
internus. Saraf selanjutnya berada di dalam kanalis fasialis memberikan cabang untuk
ganglion pterygopalatina sedangkan cabang kecilnya ke Gambar 1. Skema dari Saraf
Kranialis Ketujuh (fasialis). Cabang motorik ditandai dengan garis warna biru, cabang
parasimpatis ditandai dengan garis warna jingga, dan cabang aferen viseral spesial
(pengecapan) ditandai dengan garis putus-putus dan titik. muskulus stapedius dan bergabung
dengan korda timpani. Pada bagian awal dari kanalis fasialis, segmen labirin merupakan
bagian yang tersempit yang dilewati saraf fasialis; foramen meatal pada segmen ini hanya
memiliki diameter sebesar 0,66 mm.4
13
Epidemiologi
Di Indonesia belum ada data mengenai angka kejadian Bells Palsy, penelitian
Supartono G pada tahun 1989 menemukan 115 penderita parese N. Fasialis perifer di poli
saraf RSHS selama 1 tahun. Wanita dan pria memiliki resiko yang sama,tapi angka kejadian
lebih tinggi sekitar 4,5 kali pada wanita hamil dan penderita Diabetes Mellitus. Semua
kelompok umur dapat terkena terutama pada kelompok 15-45 tahun. Tidak ada predileksi sisi
wajah tertentu yang sering terkena. Tidak didapati perbedaan insiden antara iklim panas
maupun dingin, tetapi pada beberapa penderita didapatkan adanya riwayat terpapar udara
dingin atau angin berlebihan.3
Diagnosis
Diagnosis Bells palsy ditegakkan secara per ekskluasionam karena penyebab Bells
palsy masih dianggap idiopatik. Diagnosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan fisik berupa
kelemahan otot fasialis unilateral akut yang tidak diketahui penyebabnya.
14
15
Kelainan perifer yang ditemukan dapat merupakan suatu otitis media supuratif dan
mastoiditis apabila terjadi reaksi radang dalam kavum timpani dan foto mastoid menunjukkan
suatu gambaran infeksi; herpes zoster otikus bila ditemukan adanya tuli perseptif, tampak
vesikel yang terasa amat nyeri di pinna dan/atau pemeriksaan darah menunjukkan kenaikan
titer antibodi virus varicella-zoster; sindroma Guillain-Barre saat ditemukan adanya paresis
bilateral dan akut; kelainan miastenia gravis jika terdapat tanda patognomonik berupa
gangguan gerak mata kompleks dan kelemahan otot orbikularis okuli bilateral; tumor
serebello-pontin (tersering) apabila disertai kelainan nervus kranialis V dan VIII; tumor
kelenjar parotis bila ditemukan massa di wajah (angulus mandibula); dan sarcoidosis saat
ditemukan tanda-tanda febris, perembesan kelenjar limfe hilus, uveitis, parotitis, eritema
nodosa, dan kadang hiperkalsemia.1,3
Pemeriksaan Penunjang
Bells palsy merupakan diagnosis klinis sehingga pemeriksaan penunjang perlu
dilakukan untuk menyingkirkan etiologi sekunder dari paralisis saraf kranialis. Pemeriksaan
radiologis dengan CT-scan atau radiografi polos dapat dilakukan untuk menyingkirkan
fraktur, metastasis tulang, dan keterlibatan sistem saraf pusat (SSP). Pemeriksaan MRI
dilakukan pada pasien yang dicurigai neoplasma di tulang temporal, otak, glandula parotis,
atau untuk mengevaluasi sklerosis multipel. Selain itu, MRI dapat memvisualisasi perjalanan
dan penyengatan kontras saraf fasialis.
Pemeriksaan neurofisiologi pada
sebagai prediktor kesembuhan, bahkan dahulu sebagai acuan pada penentuan kandidat
tindakan dekompresi intrakanikular . Grosheva
et al melaporkan pemeriksaan
elektromiografi (EMG) mempunyai nilai prognostik yang lebih baik dibandingkan elektroneurografi (ENG). Pemeriksaan serial EMG pada penelitian tersebut setelah hari ke-15
mempunyai positive-predictive-value(PPV) 100% dan negative-predictive-value(NPV) 96%.
Spektrum abnormalitas yang didapatkan berupa penurunan amplitudo Compound Motor
Action Potential(CMAP), pemanjangan latensi saraf fasialis, serta pada pemeriksaan blink
reflex didapatkan pemanjangan gelombang R1 ipsilateral. Pemeriksaan blink reflex ini
sangat bermanfaat karena 96% kasus didapatkan abnormalitas hingga minggu kelima, meski
demikian sensitivitas pemeriksaan ini rendah. Abnormalitas gelombang R2 hanya ditemukan
pada 15,6% kasus.4,8
Tata Laksana
16
Peran dokter umum sebagai lini terdepan pelayanan primer berupa identifikasi dini
dan merujuk ke spesialis saraf (jika tersedia) apabila terdapat kelainan lain pada pemeriksaan
neurologis yang mengarah pada penyakit yang menjadi diagnosis banding Bells palsy. Jika
tidak tersedia, dokter umum dapat menentukan terapi selanjutnya setelah menyingkirkan
diagnosis banding lain. Terapi yang diberikan dokter umum dapat berupa kombinasi nonfarmakologis dan farmakologis seperti dijelaskan di bawah ini.5
Terapi Non-farmakologis
Kornea mata memiliki risiko mengering dan terpapar benda asing. Proteksinya dapat
dilakukan dengan penggunaan air mata buatan (artificial tears), pelumas (saat tidur), kaca
mata, plester mata, penjahitan kelopak mata atas, atau tarsorafi lateral (penjahitan bagian
lateral kelopak mata atas dan bawah).
Masase dari otot yang lemah dapat dikerjakan secara halus dengan mengangkat wajah
ke atas dan membuat gerakan melingkar. Tidak terdapat bukti adanya efektivitas dekompresi
melalui pembedahan saraf fasialis, namun tindakan ini kadang dilakukan pada kasus yang
berat dalam 14 hari onset.
Rehabilitasi fasial secara komprehensif yang dilakukan dalam empat bulan setelah
onset terbukti memperbaiki fungsi pasien dengan paralisis fasialis. Namun, diketahui pula
bahwa 95% pasien sembuh dengan pengobatan prednisone dan valasiklovir tanpa terapi fisik.
Rehabilitasi fasial meliputi edukasi, pelatihan neuro-muskular, masase, meditasi-relaksasi,
dan program pelatihan di rumah. Terdapat empat kategori terapi yang dirancang sesuai
dengan keparahan penyakit, yaitu kategori inisiasi, fasilitasi, kontrol gerakan, dan relaksasi.
Kategori inisiasi ditujukan pada pasien dengan asimetri wajah sedang-berat saat
istirahat dan tidak dapat memulai gerakan pada sisi yang lumpuh. Strategi yang digunakan
berupa masase superfisial disertai latihan gerak yang dibantu secara aktif sebanyak 10 kali
yang dilakukan 1-2 set per hari dan menghindari gerakan wajah berlebih.
Sementara itu, kategori fasilitasi ditujukan pada pasien dengan asimetri wajah ringansedang saat istirahat, mampu menginisiasi sedikit gerakan dan tidak terdapat sinkinesis.
Strategi yang digunakan berupa mobilisasi jaringan lunak otot wajah yang lebih agresif dan
reedukasi neuromuscular di depan kaca (feedbackvisual) dengan melakukan gerakan ekspresi
wajah yang lambat, terkontrol, dan bertahap untuk membentuk gerakan wajah yang simetris.
Latihan ini dilakukan sebanyak minimal 20-40 kali dengan 2-4 set per hari.
17
Berikutnya adalah kategori kontrol gerakan yang ditujukan pada pasien dengan
simetri wajah ringan-sedang saat istirahat, masih mampu menginisiasi sedikit gerakan, dan
terdapat sinkinesis. Strategi yang digunakan berupa mobilisasi jaringan lunak dalam otot
wajah dengan agresif, reedukasi neuromuskular di depan kaca seperti kategori fasilitasi,
namun secara simultan mengontrol gerakan sinkinesis pada bagian wajah lainnya, dan
disertai inisiasi strategi meditasi-relaksasi.
Kategori terakhir adalah relaksasi yang ditujukan pada pasien dengan kekencangan
seluruh wajah yang parah karena sinkinesis dan hipertonisitas. Strategi yang digunakan
berupa mobilisasi jaringan lunak dalam otot wajah dengan agresif, reedukasi neuromuskular
di depan kaca, dan fokus pada strategi meditasi-relaksasi yaitu meditasi dengan gambar
visual atau audio difokuskan untuk melepaskan ketegangan pada otot yang sinkinesis.
Latihan ini cukup dilakukan 1-2 kali per hari.
Bila setelah menjalani 16 minggu latihan otot tidak mengalami perbaikan, pasien
dengan asimetri dan sinkinesis perlu dipertimbangkan untuk menjalani kemodenervasi untuk
memperbaiki kualitas hidupnya, baik gerakan, fungsi sosial, dan ekspresi emosi wajah. Pada
keadaan demikian perlu dikonsultasikan ke bagian kulit atau bedah plastik.
Konsultasi ke bagian lain, seperti Telinga Hidung Tenggorok dan kardiologi perlu
dipertimbangkan apabila terdapat kelainan pemeriksaan otoskop atau pembengkakan
glandula parotis dan hipertensi secara berurutan pada pasien.6
Terapi Farmakologis
Inflamasi dan edema saraf fasialis merupakan penyebab paling mungkin dalam
patogenesis
paralisis permanen dari pembengkakan pada saraf di kanalis fasialis yang sempit. Dosis
kortikosteroid 1mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis selama 6 hari dan diturunkan secara bertahap
berhenti 10 hari. Steroid, terutama prednisolon yang dimulai dalam 72 jam dari onset, harus
dipertimbangkan untuk optimalisasi hasil pengobatan. Salah satunya adalah metilprednisolon
dosis 4-48mg/hari kemudian diturunkan dosis secara bertahap ke hingga dosis yang paling
minimal efektif. Mecobalamin sebagai neuroprotektor dan memperbaiki serabut mielin,
dosisnya tablet 1500mcg dibagi 3 dosis selama 2 bulan.
18
Efek toksik dan hal yang perlu diperhatikan pada penggunaan steroid jangka panjang
(lebih dari 2 minggu) berupa retensi cairan, hipertensi, diabetes, ulkus peptikum,
osteoporosis, supresi kekebalan tubuh (rentan terhadap infeksi), dan Cushing syndrome.
Ditemukannya genom virus di sekitar saraf ketujuh menyebabkan preparat antivirus
digunakan dalam penanganan Bells palsy. Namun, beberapa percobaan kecil menunjukkan
bahwa penggunaan asiklovir tunggal tidak lebih efektif dibandingkan kortikosteroid.
Penelitian retrospektif Hato et al mengindikasikan bahwa hasil yang lebih baik didapatkan
pada pasien yang diterapi dengan asiklovir/ valasiklovir dan prednisolon dibandingkan yang
hanya diterapi dengan prednisolon.
Axelsson et al juga menemukan bahwa terapi dengan valasiklovir dan prednison
memiliki hasil yang lebih baik. De Almeida et al menemukan bahwa kombinasi antivirus dan
kortikosteroid berhubungan dengan penurunan risiko batas signifikan yang lebih besar
dibandingkan kortikosteroid saja. Data-data ini mendukung kombinasi terapi antiviral dan
steroid pada 48-72 jam pertama setelah onset.
Namun, hasil analisis Cochrane 2009 pada 1987 pasien dan Quant et al dengan 1145
pasien menunjukkan tidak adanya keuntungan signifikan penggunaan antiviral dibandingkan
plasebo dalam hal angka penyembuhan inkomplit dan tidak adanya keuntungan yang lebih
baik dengan penggunaan kortikosteroid ditambah antivirus dibandingkan kortikosteroid saja.
Studi lebih lanjut diperlukan untuk menentukan keuntungan penggunaan terapi kombinasi.
Dosis pemberian asiklovir untuk usia >2 tahun adalah 80 mg per kg per hari melalui
oral dibagi dalam empat kali pemberian selama 10 hari. Sementara untuk dewasa diberikan
dengan dosis oral 2000-4000 mg per hari yang dibagi dalam lima kali pemberian selama 7-10
hari.
Sedangkan dosis pemberian valasiklovir (kadar dalam darah 3-5 kali lebih tinggi)
untuk dewasa adalah 1000-3000 mg per hari secara oral dibagi 2-3 kali selama lima hari.
Efek samping jarang ditemukan pada penggunaan preparat antivirus, namun kadang dapat
ditemukan keluhan berupa adalah mual, diare, dan sakit kepala.5,8
Komplikasi
Sekitar 5% pasien setelah menderita Bells palsy mengalami sekuele berat yang tidak
dapat diterima. Beberapa komplikasi yang sering terjadi akibat Bells palsy, adalah (1)
19
regenerasi motor inkomplit yaitu regenerasi suboptimal yang menyebabkan paresis seluruh
atau beberapa muskulus fasialis, (2) regenerasi sensorik inkomplit yang menyebabkan
disgeusia (gangguan pengecapan), ageusia (hilang pengecapan), dan disestesia (gangguan
sensasi atau sensasi yang tidak sama dengan stimuli normal), dan (3) reinervasi yang salah
dari saraf fasialis.
Reinervasi yang salah dari saraf fasialis dapat menyebabkan (1) sinkinesis yaitu
gerakan involunter yang mengikuti gerakan volunter, contohnya timbul gerakan elevasi
involunter dari sudut mata, kontraksi platysma, atau pengerutan dahi saat memejamkan mata,
(2) crocodile tear phenomenon, yang timbul beberapa bulan setelah paresis akibat regenerasi
yang salah dari serabut otonom, contohnya air mata pasien keluar pada saat mengkonsumsi
makanan, dan (3) clonic facial spasm (hemifacial spasm), yaitu timbul kedutan secara tibatiba (shock-like)pada wajah yang dapat terjadi pada satu sisi wajah saja pada stadium awal,
kemudian mengenai sisi lainnya (lesi bilateral tidak terjadi bersamaan).3,5
Prognosis
Perjalanan alamiah Bells palsy bervariasi dari perbaikan komplit dini sampai cedera
saraf substansial dengan sekuele permanen. Sekitar 80-90% pasien dengan Bells palsy
sembuh total dalam 6 bulan, bahkan pada 50-60% kasus membaik dalam 3 minggu. Sekitar
10% mengalami asimetri muskulus fasialis persisten, dan 5% mengalami sekuele yang berat,
serta 8% kasus dapat rekuren.
Faktor yang dapat mengarah ke prognosis buruk adalah palsi komplit (risiko sekuele
berat), riwayat rekurensi, diabetes, adanya nyeri hebat post-aurikular, gangguan pengecapan,
refleks stapedius, wanita hamil dengan Bells palsy, bukti denervasi mulai setelah 10 hari
(penyembuhan lambat), dan kasus dengan penyengatan kontras yang jelas.
Faktor yang dapat mendukung ke prognosis baik adalah paralisis parsial inkomplit
pada fase akut (penyembuhan total), pemberian kortikosteroid dini, penyembuhan awal dan
atau perbaikan fungsi pengecapan dalam minggu pertama. Kimura et al menggunakan blink
reflex sebagai prediktor kesembuhan yang dilakukan dalam 14 hari onset, gelombang R1
yang kembali terlihat pada minggu kedua menandakan prognosis perbaikan klinis yang
positif.3
20
Kesimpulan
Bells Palsy merupakan sindrom klinis gangguan saraf fasialis yang bersifat perifer .
Keterlibatan virus Herpes Simplex tipe 1 banyak dilaporkan sebagai penyebab kerusakan
saraf tersebut, meski penggunaan preparat antivirus masih menjadi perdebatan dalam tata
laksana. Peranan dokter di pelayanan primer yang diharapkan adalah dapat menegakkan
diagnosis Bells palsy, menyingkirkan diagnosis banding yang ada, serta mengobati dengan
tepat.
Daftar Pustaka.
1. Aminoff MJ, Greenberg DA, Simon RP . Disorders of peripheral nerves: Bell palsy. In:
Aminoff MJ, Greenberg DA, Simon RP , editors. Clinical Neurology . 6th Ed. USA: The
McGraw-Hill Com-panies, Inc; 2005. p. 182.
2. Lo B. Emergency medicine-neurology: Bells palsy . Eastern Vir-ginia: Medscape. 2010.
3. Hauser WA, Karnes WE, Annis J, Kurland LT. Incidence and prognosis of Bells palsy in
the population of Rochester, Minne-sota. Mayo Clin Proc. 1971;46:258.
4. Ropper AH, Adams RD, Victor M, Brown RH. Disease of spinal cord, peripheral nerve,
and muscle. In: Ropper AH, Brown RH, editors. Adam and Victor s Principles of
Neurology. 8th Ed. USA: The McGraw-Hill Companies, Inc.; 2005. p. 1180-2.
5. Sabirin J. Bells palsy . In: Hadinoto HS, Noerjanto M, Jenie MN, Wirawan RB, Husni A,
Soetedjo, editors. Gangguan gerak. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro. 1996.
p. 163-72.
6. Burgess RC, Michaels L, Bale JF Jr., Smith RJ. Polymerase chain reaction amplification of
Herpes Simplex Viral DNAfrom the geniculate ganglion of a patient with Bells palsy . Ann
Otol Rhinol Laryngol. 1994;103:775.
21
ANALISA KASUS
Seorang laki-laki berusia 59 tahun berobat ke poli dengan diagnosa Bells palsy. Pada
pasien ini didiagnosis Bells palsy karena didapatkan dari :
Anamnesis: Pasien datang dengan keluhan mata kanan tidak dapat ditutup, perih, dan
berair. Pasien juga tidak dapat mengerutkan dahi, bibir bagian kanan jatuh, dan
merasa baal di kulit wajah sisi kanan. Pasien sehabis perjalanan jauh dengan mobil
dan AC mobil diarahkan ke wajahnya. Keluhan neurologis lain (-).
Pemeriksaan fisik : Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit
sedang, kesadaran compos mentis, GCS 15 karena paralisis saraf pada Bells palsy
tidak mengenai pusat kesadaran di sentral, hanya melibatkan saraf VII perifer. Pada
pemeriksaan tanda vital, didapatkan hasil normal. Pada pemeriksaan nervus VII,
didapatkan
menutup sempurna, FOS OD 1mm, normal palpebral atas menutup kornea sebanyak
1,5mm, kerutan dahi kanan pasien ini menghilang karena terdapat kelumpuhan otototot dahi kanan yang dipersarafi oleh nervus VII, bila disuruh menggembung pipi,
kemudian ditekan dengan jari, penggembungan mudah untuk mengempes karena hal
yang sama, disuruh menyeringai, terlihat mulut mencong ke kiri, sudut mulut kanan
22
menghilang dan bila disuruh angkat kedua alis, yang sisi kanannya tidak terangkat.
Pada pemeriksaan nervus V cabang sensorik,yaitu V1,V2 dan V3,didapatkan sensasi
raba halus dan kasar berkurang di sisi kanan.
Pada pemeriksaan neurologis yang lain didapatkan:
- Tanda Rangsangan Meningeal: (-)
-Pada pemeriksaan nervus kranialis yang lain dalam batas normal
-Motorik: kesan baik,normal ,kekuatan 5 di semua ekstrimitas
- Refleks Patologis: -,reflex fisiologis: Normal pada keempat ekstrimitas
Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium : terdapat peningkatan kadar gula darah puasa yang menandakan pasien
menderita Diabetes Mellitus, sedangkan pemeriksaan lainnya masih dalam batas
normal.
Anjuran pemeriksaan
Pasien juga dikonsul ke spesialis penyakit dalam karena peningkatan kadar gula darah
puasa untuk memastikan diagnosis dan supaya pasien mendapat pengobatan yang
sesuai untuk penyakitnya yang secara tidak langsung berkemungkinan dapat
mencegah rekurensi penyakit Bells palsy dan komplikasi lanjut darinya.
Diagnosa yang ditegakkan adalah Bells palsy kanan sesuai dengan definisi Bells
palsy yaitu kelumpuhan atau kelemahan otot pada satu sisi wajah akibat kerusakan NVII satu
sisi yang mengendalikan otot-otot wajah di sisi tersebut dan menyebabkan wajah terasa baal
dan berat. Sesuai dengan keluhan pasien, maka diagnosis topikalnya terletak di saraf motorik
NVII perifer dengan paralisis motorik dan prosessus stylomastoideus.
Diagnosa non-neurologis adalah Diabetes Mellitus karena terdapat peningkatan kadar
gula darah puasa pada pasien 126.
Penatalaksanaan
23
24