Anda di halaman 1dari 2

Standard Pelayanan Kefarmasian di Apotek

A. Pendahuluan
Dahulunya peranan apoteker masih belum optimal. Ini ditandai kebiasaan
apoteker yang cenderung masih berorientasi pada obat sesuai resep dokter (drug oriented
yaitu menyediakan obat yang bermutu dan aman bagi masyarakat). Pada masa itu
aktivitas peracikan obat sangat mendominasi. Karena formula produk yang dibuat
industri farmasi masih terbatas, apotek menyediakan berbagai bahan baku untuk
keperluan peracikan yang diresepkan
oleh dokter.
Kemajuan teknologi dan maraknya industri farmasi telah membuat produk-produk
obat baru bermunculan setiap tahunnya. Formula-formula resep yang dahulu harus
diracik, kini sudah banyak diproduksi oleh industri. Aktifitas peracikan di apotekpun
mulai berkurang. Ditambah dengan fenomena semakin banyaknya lulusan apoteker, maka
orientasi apotekpun berubah. Saat ini terjadi pergeseran paradigma kefarmasian dari
Drug Oriented menjadi Patient Oriented (pelayanan kefarmasian yang berorientasi
kepada pasien) merupakan sebuah hal yang mesti direspon positif oleh semua kalangan,
baik itu pemerintah, farmasis maupun masyarakat. Perubahan paradigma ini melahirkan
sebuah produk yang dinamakan dengan Pharmaceutical Care. Kegiatan pelayanan
kefarmasian yang semula hanya berfokus pada pengelolaan obat sebagai komoditi
menjadi pelayanan yang komprehensif yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas
hidup dari pasien.
Aspek-aspek yang dinilai penting dalam pelayanan kefarmasien berorientasi
pasien adalah ketepatan dalam pemilihan dan penyediaan obat, informasi obat, kepatuhan
pasien, monitoring efek samping obat, dan evaluasi penggunaan obat pada pasien
Komunikasi yang baik antara pasien dan apoteker sangat diperlukan. Karena
banyak case (kasus) pasien yang tidak memerlukan obat untuk penyembuhannya.
Contohnya pasien yang mengalami depresi, susah tidur, dan susah makan. Mereka tidak
butuh obat, tetapi dorongan dan motivasi untuk kesembuhannya.
Meskipun pelayanan kefarmasian saat ini telah berorientasi pada pasien (patient
oriented) tetap saja apoteker harus memberikan obat sesuai resep dokter (drug oriented).
Contohnya adalah adanya pasien yang hanya membeli setengah dari resep dokter dengan

alasan obat yang ditulis dalam resep mahal sehingga pasien tidak bisa membeli utuh.
Dalam case ini seharusnya apoteker memberikan rekomendasi atau pilihan obat lain
kepada pasien yang fungsi dan kegunaannya sama dengan harga yang lebih terjangkau.
Sebagai konsekuensi perubahan orientasi tersebut, apoteker dituntut untuk
meningkatkan pengetahuan, ketrampilan dan perilaku agar dapat melaksanakan interaksi
langsung dengan pasien. Bentuk interaksi tersebut antara lain adalah melaksanakan
pemberian informasi, monitoring penggunaan obat untuk mengetahui tujuan akhirnya
sesuai harapan dan terdokumerotasi dengan baik. Apoteker harus memahami dan
menyadari kemungkinan terjadinya kesalahan pengobatan (medication error) dalam
proses pelayanan. Oleh sebab itu apoteker dalam menjalankan praktik harus sesuai
standar. Apoteker harus mampu berkomunikasi dengan tenaga kesehatan lainnya dalam
menetapkan terapi untuk mendukung penggunaan obat yang rasional.

Anda mungkin juga menyukai