Anda di halaman 1dari 11

2.1.4.

Peraturan dan Perundangan yang Terkait


Berikut ini adalah beberapa peraturan dan perundang-undangan di farmasi
industri terkait dengan:
1.

Pekerjaan Kefarmasian di Industri Farmasi


Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009

Tentang Pekerjaan Kefarmasian, yang termasuk pekerjaan kefarmasian adalah


pembuatan

termasuk

pengendalian

mutu

sediaan

farmasi,

pengamanan,

pengadaan, penyimpanan dan pendistribusi atau penyaluranan obat, pengelolaan


obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta
pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional.
Sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 9 ayat (1) bahwa Industri
farmasi harus memiliki 3 (tiga) orang Apoteker sebagai penanggung jawab
masing-masing pada bidang pemastian mutu, produksi, dan pengawasan mutu
setiap produksi sediaan farmasi. Pasal 9 ayat (2) juga menyebutkan bahwa
Industri obat tradisional dan pabrik kosmetika harus memiliki sekurangkurangnya 1 (satu) orang Apoteker sebagai penanggung jawab.
2.

Izin Industri Farmasi dan Pedagang Besar Farmasi


Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

1799/MENKES/PER/XII/2010, Industri farmasi memiliki fungsi pembuatan obat


dan atau bahan obat, pendidikan dan pelatihan, serta penelitian dan
pengembangan. Industri farmasi yang memproduksi obat dapat mendistribusikan
atau menyalurkan hasil produksinya langsung kepada pedagang besar farmasi,
apotek, instalasi farmasi rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, klinik, dan toko
obat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sedangkan industri

farmasi yang menghasilkan bahan obat dapat mendistribusikan atau menyalurkan


hasil produksinya langsung kepada pedagang besar bahan baku farmasi dan
instalasi farmasi rumah sakit sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
Industri farmasi dapat melakukan kegiatan proses pembuatan obat dan atau
bahan obat untuk semua tahapan dan atau sebagian tahapan. Sebagaimana yang
tercantum dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Tahun Nomor
1799/Menkes/Per/XII/2010 Tentang Industri Farmasi Pasal 4 ayat (1) dan (2),
setiap pendirian industri farmasi wajib memperoleh izin industri farmasi dari
Direktur Jendral Pembinaan Kefarmasian dan Alat Kesehatan Menteri Kesehatan
RI. Pada Pasal 9 ayat (1) dan (2) dijelaskan bahwa untuk memperoleh izin
industri farmasi diperlukan persetujuan prinsip. Persetujuan prinsip diberikan oleh
Direktur Jenderal setelah pemohon memperoleh persetujuan Rencana Induk
Pembangunan (RIP) dari Kepala Bagian. Adapun persyaratan untuk mendapatkan
izin tersebut, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 5 ayat (1) dan (2) adalah:
1.
2.
3.
4.

Berbadan usaha berupa perseroan terbatas


Memiliki rencana investasi dan kegiatan pembuatan obat
Memiliki NPWP
Memiliki secara tetap paling sedikit 3 (tiga) orang Apoteker Warga Negara
Indonesia, masing-masing sebagai penanggung jawab pemastian mutu,

produksi, dan pengawasan mutu


5. Komisaris dan direksi tidak pernah terlibat, baik langsung atau tidak langsung
dalam pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang kefarmasian.
Selain persyaratan di atas, industri farmasi juga wajib memenuhi
persyaratan CPOB yang dibuktikan dengan sertifikat CPOB. Sertifikat CPOB

berlaku selama 5 (lima) tahun sepanjang memenuhi persyaratan. Industri farmasi


juga

diharuskan

melakukan

farmakovigilans

(seluruh

kegiatan

tentang

pendeteksian, penilaian (assessment), pemahaman, dan pencegahan efek samping


atau masalah lainnya terkait dengan penggunaan obat). Apabila dalam proses
farmakovigilans tersebut industri farmasi menemukan obat dan atau bahan obat
hasil produksinya yang tidak memenuhi standard dan atau persyaratan keamanan,
khasiat / kemanfaatan, dan mutu, industri farmasi wajib melaporkan hal tersebut
kepada Kepala BPOM.
Industri farmasi dapat membuat obat secara kontrak kepada industri
farmasi lain yang telah menerapkan CPOB. Industri farmasi pemberi kontrak
wajib memiliki izin industri farmasi dan paling sedikit memiliki 1 (satu) fasilitas
produksi sediaan yang telah memenuhi persyaratan CPOB. Industri farmasi
pemberi kontrak dan industri farmasi penerima kontrak bertanggung jawab
terhadap keamanan, khasiat/kemanfaatan, dan mutu obat.
Industri farmasi wajib menyampaikan laporan industri secara berkala
kepada Direktur Jenderal Pembinaan Kefarmasian dan Alat Kesehatan
Kementrian Kesehatan tetang jumlah dan nilai produksi setiap obat dan atau
bahan obat yang dihasilkan.
Industri Farmasi yang melakukan pelanggaran peraturan dapat dikenai
sanksi, sebagaimana yang tertera pada Pasal 26, berupa:
1. Peringatan secara tertulis
2. Larangan mengedarkan untuk sementara waktu dan atau perintah untuk
penarikan kembali obat dan atau bahan obat dari peredaran bagi obat dan atau

bahan obat yang tidak memenuhi standar dan persyaratan keamanan,


khasiat/kemanfaatan, dan mutu
3. Perintah pemusnahan obat dan atau bahan obat jika terbukti tidak memenuhi
persyaratan keamanan, khasiat/kemanfaatan, atau mutu
4. Penghentian sementara kegiatan
5. Pembekuan izin industri farmasi
6. Pencabutan izin industri farmasi.

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor


1148/Menkes/Per/VI/2011 Tentang Pedagang Besar Farmasi, menyatakan bahwa
masyarakat perlu dilindungi dari peredaran obat dan bahan obat yang tidak
memenuhi persyartan mutu, keamanan dan khasiat atau manfaat. Dalam Pasal 1,
pedagang Besar Farmasi (PBF) adalah perusahaan berbentuk badan hukum yang
memiliki izin untuk pengadaan, penyimpanan, penyaluran obat dan/atau bahan
obat dalam jumlah besar sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Persyaratan pedagang besar farmasi untuk memperoleh izin sebagaimana
tercantum pada Pasal 4, sebagai berikut:
1. Berbadan hukum berupa perseroan terbatas atau koperasi;
2. Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);
3. Memiliki secara tetap apoteker Warga Negara Indonesia sebagai penanggung
jawab;
4. Komisaris/dewan pengawas dan direksi/pengurus tidak pernah terlibat, baik
langsung atau tidak langsung dalam pelanggaran peraturan perundangundangan di bidang farmasi;

5. Menguasai bangunan dan sarana yang memadai untuk dapat melaksanakan


pengadaan, penyimpanan dan penyaluran obat serta dapat menjamin
kelancaran pelaksanaan tugas dan fungsi PBF;
6. Menguasai gudang sebagai tempat penyimpanan dengan perlengkapan yang
dapat menjamin mutu serta keamanan obat yang disimpan; dan
7. Memiliki ruang penyimpanan obat yang terpisah dari ruangan lain sesuai
CDOB.
Pedagang Besar Farmasi wajib memenuhi CDOP atau Cara Distribusi
Obat Yang Baik, dimana CDOP adalah cara distribusi atau penyaluran obat
dan/atau bahan obat yang bertujuan untuk memastikan mutu sepanjang jalur
distribusi atau penyaluran sesuai persyaratan dan tujuan penggunaannya.
Dalam Pasal 7 dinyatakan bahwa untuk memperoleh izin pedagang besar
farmasi pemohon harus mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal
dengan tembusan kepada kepala Badan , Kepala Dinas Kesehatan Provinsi dan
Kepala Balai POM.
Untuk penyelenggaraan pedagang besar farmasi, dalam Pasal 13
dinyatakan bahwa:

1. PBF dan PBF Cabang hanya dapat mengadakan, menyimpan dan


menyalurkan obat dan/atau bahan obat yang memenuhi persyaratan mutu
yang ditetapkan oleh Menteri.
2. PBF hanya dapat melaksanakan pengadaan obat dari industri farmasi dan/atau
sesama PBF.
3. PBF hanya dapat melaksanakan pengadaan bahan obat dari industri farmasi,
sesama PBF dan/atau melalui importasi.
4. Pengadaan bahan obat melalui importasi dilaksanakan sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan.
5. PBF Cabang hanya dapat melaksanakan pengadaan obat dan/atau bahan obat
dari PBF pusat.

3.

Kualitas dan Keamanan Produk (Registrasi Obat)


Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan,

menyatakan bahwa semua produsen farmasi, importir, dan distributor di Indonesia


harus memiliki lisensi.
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1010/Menkes/Per/XI/2008

Tentang

Registrasi

Obat

Jadi,

dalam

rangka

melindungi masyarakat dari peredaran obat yang tidak memenuhi persyaratan,


keamanan, mutu dan kemanfaatan perlu dilakukan penilaian melalui mekanisme
registrasi obat
Sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 1 ayat (1) bahwa izin edar
adalah bentuk persetujuan registrasi obat jadi untuk dapat diedarkan di wilayah

Indonesia. Selain itu, Pasal 2 ayat (1) juga disebutkan bahwa obat jadi yang
diedarkan di wilayah Indonesia, sebelumnya harus dilakukan registrasi untuk
memperoleh izin edar.
Berdasarkan Pasal 4, obat yang memiliki izin edar harus memenuhi
kriteria berikut:
1. Khasiat yang meyakinkan dan keamanan yang memadai dibuktikan melalui
percobaan hewan dan uji klinis atau bukti-bukti lain sesuai dengan status
perkembangan ilmu pengetahuan yang bersangkutan
2. Mutu yang memenuhi syarat yang dinilai dari proses produksi sesuai Cara
Pembuatan Obat Yang Baik (CPOB), spesifikasi dan metoda pengujian
terhadap semua bahan yang digunakan serta produk jadi dengan bukti yang
sahih
3. Penandaan berisi informasi yang lengkap dan obyektif yang dapat menjamin
penggunaan obat secara tepat, rasional dan aman
4. Sesuai dengan kebutuhan nyata masyarakat
5. Kriteria lain adalah khusus untuk psikotropika harus memiliki keunggulan
kemanfaatan dan keamanan dibandingkan dengan obat standar dan obat yang
telah disetujui beredar di Indonesia untuk indikasi yang diklaim
6. Khusus kontrasepsi untuk program nasional dan obat program lainnya yang
akan ditentukan kemudian, harus dilakukan uji klinik di Indonesia.
Persyaratan registrasi obat diatur pada BAB III, dimana registrasi obat
meliputi registrasi obat produksi dalam negeri (Pasal 6), obat narkotika (Pasal 7),
obat kontrak (Pasal 8), obat impor (Pasal 9 dan 10), obat khusus ekspor (Pasal 11),
dan obat yang dilindungi paten (Pasal 12 dan 13).
Persyaratan registrasi obat produksi dalam negeri (Pasal 6) meliputi:
1. Registrasi obat produksi dalam negeri hanya dilakukan oleh industri farmasi
yang memiliki izin industri farmasi yang dikeluarkan oleh Menteri
2. Industri farmasi wajib memenuhi persyaratan CPOB

3. Pemenuhan persyaratan CPOB dibuktikan dengan sertifikat CPOB yang


dikeluarkan oleh Kepala Badan
Persyaratan registrasi obat narkotikan (Pasal 7) meliputi:
1. Khusus untuk registrasi obat narkotika hanya dapat dilakukan oleh industri
farmasi yang memiliki izin khusus untuk memproduksi narkotika dari
Menteri.
2. Industri farmasi wajib memenuhi persyaratan CPOB.
3. Pemenuhan persyaratan CPOB dibuktikan dengan sertifikat CPOB yang
dikeluarkan oleh Kepala Badan.
Persyaratan registrasi obat kontrak (Pasal 8) meliputi:
1. Registrasi obat kontrak hanya dapat dilakukan oleh pemberi kontrak, dengan
melampirkan dokumen kontrak;
2. Pemberi kontrak adalah industri farmasi;
3. Industri farmasi pemberi kontrak sebagaimana wajib memiliki izin industri
farmasi dan sekurang-kurangnya memiliki 1 (satu) fasilitas produksi sediaan
lain yang telah memenuhi persyaratan CPOB
4. Industri farmasi pemberi kontrak bertanggung jawab atas mutu obat jadi yang
diproduksi berdasarkan kontrak
5. Penerima kontrak adalah industri farmasi dalam negeri yang wajib memiliki
izin industri farmasi dan telah menerapkan CPOB untuk sediaan yang
dikontrakkan.
Persyaratan registrasi obat impor (Pasal 9 dan 10) meliputi:
1. Obat Impor diutamakan untuk obat program kesehatan masyarakat, obat
penemuan baru dan obat yang dibutuhkan tapi tidak dapat diproduksi di
dalam negeri.
2. Registrasi Obat Impor dilakukan oleh industri farmasi dalam negeri yang
mendapat persetujuan tertulis dari industri farmasi di luar negeri.

3. Industri farmasi di luar negeri wajib memenuhi persyaratan CPOB


4. Pemenuhan persyaratan CPOB bagi industri farmasi dibuktikan dengan
dokumen yang sesuai atau jika diperlukan dilakukan pemeriksaan setempat
oleh petugas yang berwenang
5. Dokumen harus dilengkapi dengan data inspeksi terakhir paling lama 2 (dua)
tahun yang dikeluarkan oleh pejabat berwenang setempat.
Persyaratan registrasi obat khusus ekspor (Pasal 11) meliputi:
1. Registrasi obat khusus untuk ekspor hanya dilakukan oleh industri farmasi
2. Obat khusus untuk ekspor harus memenuhi kriteria untuk izin edar
Persyaratan registrasi obat yang dilindungi paten (Pasal 12 dan 13)
meliputi:
1. Registrasi obat dengan zat berkhasiat yang dilindungi paten di Indonesia
hanya dilakukan oleh industri farmasi dalam negeri pemegang hak paten, atau
industri farmasi lain yang ditunjuk oleh pemegang hak paten.
2. Hak paten harus dibuktikan dengan sertifikatpaten.
3. Registrasi obat dengan zat berkhasiat yang dilindungi paten di Indonesia
dapat dilakukan oleh industri farmasi dalam negeri bukan pemegang hak
paten.
4. Registrasi dapat diajukan mulai 2 (dua) tahun sebelum berakhirnya
perlindungan hak paten.
5. Dalam hal registrasi disetujui, obat yang bersangkutan hanya boleh diedarkan
setelah habis masa perlindungan paten obat inovator.
Dalam Pasal 20 mengenai masa Berlaku Izin Edar dinyatakan bahwa izin
edar berlaku 5 tahun dan dapat diperpanjang selama memenuhi ketentuan yang
berlaku.
Menurut Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor
HK.00.05.3.00914 Tahun 2002 Tentang Pemasukan Obat Jalur Khusus, bahwa

untuk keadaan tertentu, diperlukan obat untuk penggunaan terapi khusus yang
pemasukannya mempergunakan jalur khusus tanpa mengurangi jaminan atas
khasiat, keamanan dan mutu obat bagi pengguna. Dalam Pasal 10 dinyatakan
bahwa permohonan izin pemasukan obat untuk penggunaan terapi khusus dapat
diajukan oleh importir (industri farmasi atau pedagang besar farmasi) atas
permintaan dokter penanggung jawab atau pusat rujukan obat nasional. Apabila
ada efek samping yang terjadi atau yang diduga maka dokter penanggung jawab
harus melakukan pelaporan kepada Kepala Badan (Pasal 11).

DAFTAR PUSTAKA

Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor HK.00.05.3.00914


Tahun 2002 Tentang Pemasukan Obat Jalur Khusus
Peraturan

Menteri

Kesehatan

Republik

Indonesia

Nomor

Indonesia

Nomor

1010/Menkes/Per/XI/2008 Tentang Registrasi Obat.


Peraturan

Menteri

Kesehatan

Republik

1148/Menkes/Per/VI/2011 Tentang Pedagang Besar Farmasi


Peraturan

Menteri

Kesehatan

Republik

Indonesia

Tahun

Nomor

1799/Menkes/Per/XII/2010 Tentang Industri Farmasi.


Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 Tentang
Pekerjaan Kefarmasian.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan

Anda mungkin juga menyukai