PENDAHULUAN
Cystic fibrosis atau kista fibrosis merupakan penyakit genetik fatal yang
paling umum terjadi, tetapi dengan pemahaman mengenai penyakit dan pengobatan
agresif, pasien kista fibrosis yang dulu meninggal saat bayi dapat hidup dengan baik
hingga dewasa.1
Cystic fibrosis atau kista fibrosis adalah penyakit autosomal resesif, dihasilkan
dari mutasi gen pada saluran klorida spesifik bernama cystic fibrosis transmembrane
receptor (CFTR). Penyakit ini ditandai terutama oleh penyakit sinus-paru, tetapi
setiap organ dimana CFTR aktif akan dipengaruhi seperti pankreas, sistem bilier, dan
saluran pencernaan. Walaupun sebagian besar pasien dengan kista fibrosis
didiagnosis sebelum mereka mencapai usia 10 tahun, ada sekitar 10% pasien
didiagnosis selama masa remaja dan dewasa. Ada berbagai variasi fenotip pada
pasien kista fibrosis, meskipun memiliki mutasi genetik yang sama, misalnya
beberapa pasien mengalami gejala yang lebih dominan di sinus, sedangkan pasien
lainnya memiliki penyakit paru progresif atau penyakit saluran cerna.2
Penyakit sinus yang berhubungan dengan kista fibrosis memiliki fitur unik,
mengarahkan ke diagnosis. Pasien dengan sinusitis persisten atau berulang dan
disebabkan oleh bakteri yang tidak biasa harus dievaluasi untuk kista fibrosis. Ulasan
ini akan membahas gejala umum sinusitis terkait kista fibrosis, bagaimana membuat
diagnosis, dan pengobatan sinusitis terkait kista fibrosis.2
Sinusitis adalah komplikasi umum kista fibrosis, dan meskipun kejadian
sebenarnya tidak diketahui, pada sebagian besar pasien kista fibrosis akan
berkembang penyakit sinus pada suatu saat dalam kehidupan mereka. Gejala sinus
biasanya dimulai ketika usia 5-14 tahun. Karena kronisitas penyakit, pasien mungkin
1
beradaptasi dengan gejala yang ada. Dengan demikian, tidak adanya pelaporan gejala
pada hidung atau sinus tidak jarang terjadi. Sumbatan hidung merupakan keluhan
paling sering, terutama pada pasien lebih muda. Hal ini sering dikaitkan dengan
temuan polip hidung. Sakit kepala lebih sering dilaporkan pada pasien remaja dan
dewasa dan sering menjadi kronis. Gejala umum lainnya termasuk nyeri orbital,
postnasal drip dengan batuk di pagi hari, batuk semakin buruk dengan berbaring,
halitosis berat dan persisten, dan sering mendehem (throat clearing). Gejala gejala
ini berhubungan dengan temuan adanya penebalan mukosa dan penurunan aerasi
sinus. Hal ini dapat menjelaskan bahwa gejala sinusitis yang terkait kista fibrosis
tidak berbeda dari sinusitis kronis dengan etiologi apapun.2
BAB II
EMBRIOLOGI, ANATOMI DAN FISIOLOGI SINUS MAKSILA
nasal dan puncaknya ke arah apeks prosesus zigomatik os maksila. Sinus ini
merupakan sinus yang terbesar di antara sinus paranasal. Pada saat lahir volume sinus
maksila dan sekitarnya berukuran 6 8 ml dan penuh dengan cairan, sedangkan
volume sinus maksila orang dewasa kira kira 15 ml. Tidak ada perbedaan kapasitas
antara laki-laki dan perempuan.5
Ukuran sinus maksila kanan dan kiri tidak selalu sama, tetapi di antara sinus
paranasal yang lain, sinus maksila yang paling simetris antara kanan dan kiri serta
paling sedikit mengalami variasi dalam perkembangan. Besar kecilnya rongga sinus
maksila terutama tergantung pada tebal tipisnya dinding sinus. Ukuran rata rata
pada bayi baru lahir 7-8 x 4-6 mm dan pada dewasa 31-32 x 18-20 x 19-20 mm.5
Dinding medial atau dasar antrum dibentuk oleh lamina vertikal os palatum,
prosesus unsinatus, os etmoid, prosesus maksila, konka inferior, dan sebagian kecil os
lakrimal. Dinding superior dibentuk oleh dasar orbita yang memisahkan rongga sinus
dengan orbita. Dinding posterior-inferior atau dasarnya biasanya paling tebal dan
dibentuk oleh prosesus alveolar os maksila atas dan bagian luar palatum durum.
Dinding anterior berhadapan dengan fosa kanina.5
Antrum mempunyai hubungan dengan infundibulum di meatus medius
melalui lubang kecil, yaitu ostium maksila yang terdapat di bagian anterior atas
dinding medial sinus.5
Dasar sinus maksila berdekatan dengan tempat tumbuhnya gigi premolar
kedua, gigi molar kesatu dan kedua, bahkan kadang kadang gigi tumbuh ke dalam
rongga sinus dan hanya tertutup oleh mukosa. Proses supuratif yang terjadi sekitar
gigi gigi ini dapat menjalar ke mukosa sinus melalui pembuluh darah atau limfe,
sedangkan pencabutan gigi ini dapat menimbulkan hubungan dengan rongga sinus
melalui fistel oroantral yang akan mengakibatkan sinusitis.5
Dari segi klinik yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah (1)
dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu premolar
(P1 dan P2), molar (M1 dan M2), dan kadang kadang juga gigi taring (C) dan gigi
molar M3, bahkan akar akar gigi tersebut dapat menonjol ke dalam sinus, sehingga
infeksi gigi geligi mudah naik ke atas menyebabkan sinusitis; (2) Sinusitis maksila
dapat menimbulkan komplikasi orbita; (3) Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi
dari dasar sinus, sehingga drenase hanya tergantung dari gerak silia. Drenase yang
harus melalui infundibulum yang sempit juga dapat menyebabkan sinusitis jika di
daerah tersebut mengalami inflamasi.4
maksila sebagai sinus besar tidak terletak di antara hidung dan organ yang
dilindunginya.
2.3.3. Membantu keseimbangan kepala
Fungsi membantu keseimbangan kepala, dimungkinkan karena terbentuknya
sinus akan mengurangi berat tulang muka. Akan tetapi bila udara sinus diganti dengan
tulang, hanya akan memberikan pertambahan berat sebesar 1% dari berat kepala,
sehingga teori ini dianggap tidak bermakna.
2.3.4. Membantu resonansi suara
Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan
mempengaruhi kualitas suara. Akan tetapi ada pendapat, posisi sinus dan ostiumnya
tidak memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonator suara yang efektif. Selain itu
tidak ditemukan korelasi antara resonansi suara dengan ukuran sinus pada hewan
hewan tingkat rendah.
2.3.5. Sebagai peredam perubahan tekanan udara
Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan besar dan mendadak, misalnya
pada waktu bersin atau membuang ingus.
2.3.6. Membantu produksi mukus
Sinus maksila menghasilkan jumlah mukus lebih kecil dibandingkan dengan
mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk membersihkan partikel yang turut
masuk dengan udara inspirasi.
BAB III
CYSTIC FIBROSIS OF THE MAXILLARY SINUS
Lapisan mukus tersebut terdiri dari air dan ion ion yang diatur oleh transpor
aktif epitel, sehingga menghasilkan perbedaan potensial listrik transepitelial. Lapisan
sol kaya akan protein dan dapat sebagai antimikroba. Lapisan gelatin tebal berfungsi
untuk menangkap partikel asing yang terhirup, diangkut sepanjang lapisan oleh silia
penangkap.1,6
Pasien dengan kista fibrosis mempunyai mutasi pada gen cystic fibrosis
transmembrane regulator (CFTR) di kromosom 7, mengkode transporter ion klorida.
Oleh karena itu, gradien ion klorida terganggu dan sifat hidrasi dan viskoelastik
lapisan mukus terganggu.6
Pada kista fibrosis, mucociliary elevator terganggu meskipun sel sel epitel
memiliki struktur normal, ultrastruktur silia normal, dan frekuensi silia penangkap
normal. Sebaliknya, defek yang mendasari kista fibrosis dikaitkan dengan perubahan
cairan di permukaan saluran napas.1
Perubahan cairan permukaan saluran napas berkontribusi terhadap mukus
tebal, obstruktif, dan infeksi kronis menjadi ciri khas kista fibrosis. Gangguan
konduktansi klorida akibat mutasi CFTR menyebabkan gangguan fungsi lapisan sol
dan lapisan gelatin, dimana menyebabkan reologik mukus itu sendiri berubah. Hal ini
juga menyebabkan gangguan fungsi antimikroba endogen, mungkin oleh perubahan
kondisi osmotik dimana protein pertahanan tubuh bekerja. Beberapa ahli juga
menyatakan bahwa perubahan cairan permukaan saluran napas ini bersifat
proinflamasi.1
Hasil kekacauan pada cairan permukaan saluran napas menyebabkan
komponen utama patofisiologik kista fibrosis: obstruksi, inflamasi, dan infeksi.
Ketika pasien dengan kista fibrosis telah terinfeksi, siklus patologis terjadi kemudian
dimana mukus obstruktif akan memerangkap mikroorganisme bakteri, terjadi respon
11
cepat dari neutrofil, dan kematian mikroorganisme dan sel sel inflamasi
menyebabkan peningkatan lebih lanjut dalam viskositas mukus obstruktif. Hal ini
akan memerangkap mikroorganisme dan menarik neutrofil lebih lanjut.1
Pada tingkat anatomis, peristiwa mikroskopis tersebut menyebabkan obstruksi
saluran hidung dan ostium sinus. Polip sinonasal berkembang pada sebagian besar
pasien kista fibrosis. Mukus obstruktif, polip, dan inflamasi kronis dapat merusak
dinding lateral hidung, septum hidung, dan ostium sinus.1
Pada pasien dengan kista fibrosis akan mengalami penurunan klirens
mukosiliar bervariasi dari sedang hingga berat. Peradangan kronik lama diperkirakan
menghasilkan perubahan mukosa termasuk hiperplasia sel goblet, metaplasia sel
skuamosa, dan hilangnya sel sel bersilia. Selanjutnya fungsi mukosa terganggu. Di
samping itu, produk sampingan bakteri dapat langsung mengubah fungsi silia. Selain
fungsi mukosa terganggu, pasien dengan kista fibrosis memiliki obstruksi mekanik
pada ostium sinus karena viskositas mukus berubah. Ini menyebabkan infeksi dan
peradangan yang selanjutnya mengganggu drainase sinus.6
Polip sinonasal umum terjadi pada pasien dengan kista fibrosis dimana
dilaporkan angka kejadian berkisar 6 48%. Polip timbul pada populasi berumur
antara 5 20 tahun. Yang menarik, histopatologik polip kista fibrosis berbeda dengan
yang ditemukan pada pasien lain. Secara spesifik, polip kista fibrosis memiliki
membran basal tipis, musin bersifat asam, dan tidak adanya hialinisasi submukosa
dan eosinofilia. Kontras dengan polip atopik memiliki membran basal tebal, musin
netral, dan banyak sel eosinofil.6
Sinus maksila pada pasien dengan kista fibrosis dibedakan secara anatomi
dimana mereka mempunyai volume lebih kecil. Ini diperkirakan akibat dari
menurunnya pertumbuhan setelah lahir dan pneumatisasi sinus, disebabkan oleh
peradangan kronik. Hal ini diperkuat dengan adanya fakta bahwa pada pasien
pasien ini sering didapatkan tidak adanya sinus sfenoid dan frontal (dimana
12
13
3.4.1. Anamnesis
Pada dasarnya, pasien dengan kista fibrosis memiliki sinusitis kronis dan
bronkiektasis secara klinis dan radiografik. Banyak pasien kista fibrosis memiliki
gambaran radiografik sinusitis tetapi bebas gejala. Namun, ketika pasien datang
dengan gejala sinusitis, gejala ini sulit dibedakan dari etiologik sinusitis lainnya: rasa
sakit dan adanya tekanan di dahi atau di daerah sinus maksila, nyeri orbita, sakit
kepala kronis, sakit gigi, rasa tidak nyaman pada telinga, postnasal drip, batuk
semakin buruk dengan berbaring, sering mendehem (throat clearing), suara serak,
dan napas berbau tak sedap. Banyak pasien mengalami perubahan sensasi pengecapan
dan penghidu, dan beberapa memiliki anosmia. Pasien kista fibrosis yang terinfeksi
secara kronis, sering didapatkan beberapa patogen. Mereka mengalami infeksi yang
eksaserbasi secara periodik di saluran pernapasan atas dan bawah. Seringkali, istilah
sinusitis akut atau kronis digunakan untuk membedakan dasar gejala sinusitis. Infeksi
eksaserbasi dapat bermanifestasi sebagai peningkatan rasa lelah dan malaise, bukan
sebagai peningkatan jumlah gejala sinus atau gejala paru seperti peningkatan batuk
atau nasal discharge. Demam dapat terjadi, tetapi sering tidak muncul pada
eksaserbasi akut saluran pernapasan.1
Angka kejadian sinusitis terkait kista fibrosis sebenarnya tidak diketahui,
namun data saat ini menunjukkan bahwa sebagian besar pasien kista fibrosis
mengalami penyakit sinus pada suatu saat dalam kehidupan mereka. Gejala sinus
biasanya dimulai antara usia 5 dan 14 tahun, meskipun banyak pasien lebih tua
dengan penyakit sinus tidak terdiagnosis atau diobati. Pasien sering beradaptasi
dengan gejala mereka atau membawa diagnosis alternatif seperti sakit kepala migrain.
Polip hidung merupakan manifestasi paling umum penyakit sinus pada pasien lebih
muda, sedangkan sakit kepala kronis lebih sering terjadi pada populasi pasien kista
fibrosis yang lebih tua.1
14
Gambar 3.2. Tampilan dari sinus maksila dengan discharge purulen dari ostium
(panah) dan polip (P) yang besar dan obstruktif. 9
15
16
Tabel 3.1. Varian sinus paranasal yang sering ditemukan pada pasien kista fibrosis 1
17
Gambar 3.4. Potongan koronal CT sinus pada pasien dengan kista fibrosis,
menunjukkan agenesis sinus frontal dan kekeruhan dari sinus maksiloetmoid 2
18
20
mukolitik
dornase
alfa
(rekombinan
deoksiribonuklease)
direkomendasikan untuk semua pasien kista fibrosis. Tidak diketahui efeknya secara
jelas, jika ada, efek pada sekret hidung.1
21
Inhalasi
dornase
alfa
merupakan
solusi
murni
berisi
rekombinan
22
Antibiotik diberikan secara sistemik atau secara lokal melalui inhalasi atau
irigasi maksila. Antibiotik sistemik lebih disukai karena eksaserbasi penyakit saluran
napas atas dan bawah terjadi secara bersamaan. Aminoglikosida nebulasi diberikan
tiga kali seminggu terbukti menurunkan kolonisasi bakteri dan mengurangi
peradangan pada pasien sinusitis tanpa kista fibrosis. Pengobatan yang dianjurkan
untuk pasien kista fibrosis yang terinfeksi P. aeruginosa secara kronis adalah inhalasi
larutan tobramisin (TOBI) dua kali sehari. Hal ini diyakini bahwa bila digunakan
dengan nebulizer jet seperti yang ditentukan, TOBI dapat menembus sinus maksila.
Dengan demikian, melalui program perawatan kista fibrosis secara rutin,
pengurangan patogen dalam sinus maksila dapat terjadi.1
Penggunaan tobramisin topikal pada pasien rinosinusitis dengan kista fibrosis
dijelaskan dalam literatur, khususnya pada periode perioperatif sekitar transplantasi
paru. Sinus diperkirakan sebagai reservoir untuk Pseudomonas aeruginosa pada
pasien ini, yaitu mikroorganisme penyebab beberapa komplikasi perioperatif yang
serius. Dalam sebuah studi, pasien menjalani FESS dengan penempatan kateter irigasi
sinus maksila pada akhir kasus ini. Tobramisin diberikan selama 10 hari pasca
operasi. Pemberian setiap minggu dilakukan dengan anestesi lokal hingga 3 minggu.
Hasil studi klinis tidak jelas, tetapi mereka menunjukkan kultur sinus untuk
Pseudomonas aeruginosa negatif pada akhir pengobatan. Studi lain menggunakan
protokol yang sama dan menemukan penurunan secara drastis tingkat kebutuhan
untuk operasi revisi dan kekambuhan penyakit, tetapi tidak ada perbedaan dalam
kolonisasi Pseudomonas aeruginosa di sinus.6
terbukti bermanfaat, tetapi agen agen spesifik ini dibatasi oleh toksisitas. Steroid
nasal terbukti efektif mengurangi inflamasi pada sinusitis kronis tanpa kista fibrosis,
dan memiliki hasil yang bervariasi dalam populasi kista fibrosis. Penggunaan rutin
steroid nasal terbukti mengurangi ukuran polip hidung. Penggunaan steroid nasal
pasca polipektomi ditujukan untuk mencegah pembentukan berulang polip hidung.
Meskipun tidak ada data jelas untuk mendukung terapi, penggunaan inhalasi steroid
nasal dianggap sebagai pengobatan lini pertama untuk sinusitis terkait kista fibrosis.1
Hanya ada satu percobaan klinis mengenai penggunaan steroid inhalasi pada
pasien kista fibrosis dimuat di literatur. Studi ini menunjukkan perbaikan gejala
signifikan dan ukuran polip mengecil pada pasien yang mendapat 100g betametason
dua kali sehari selama 6 minggu, walaupun studi tersebut dilakukan pada pasien
dewasa dan follow-up terbatas.6
Menargetkan leukotrien telah menjadi pendekatan lain dalam mengurangi
inflamasi pada kista fibrosis. Pasien dengan kista fibrosis dikenal memiliki tingkat
leukotrien sirkulasi tinggi (LTB4 tinggi), serta leukotrien cysteinyl tinggi. Antagonis
reseptor leukotrien adalah sekelompok agen anti-inflamasi, terbukti mengurangi
gejala rinitis alergi pada pasien tanpa kista fibrosis. Agen ini umumnya digunakan
pada pasien dengan kista fibrosis, terutama mereka dengan gejala seperti asma atau
rinitis alergi.1
Antibiotik golongan makrolid terbukti memiliki sifat anti-inflamasi, berbeda
dari sifat antimikroba mereka. Penggunaan azitromisin secara rutin pada pasien kista
fibrosis ditujukan untuk meningkatkan fungsi paru dan mengurangi jumlah
eksaserbasi paru pada kista fibrosis. Pada populasi tanpa kista fibrosis, terapi
antibiotik makrolid terbukti dapat mengecilkan polip hidung dan mengurangi
konsentrasi interleukin-8 pada bilas hidung.1
24
25
orang dewasa penderita kista fibrosis, 11 orang telah menjalani operasi sinus saat
masa kanak kanak dan 5 pasien diantaranya memerlukan operasi tambahan saat
dewasa. Dari 27 pasien belum pernah menjalani operasi, hanya 3 memerlukan operasi
saat dewasa, hal ini menunjukkan bahwa operasi tidak melindungi terhadap gejala
sinusitis lebih lanjut dan pasien dengan penyakit sinus ringan cenderung selalu
memiliki penyakit sinus ringan. Pemikiran saat ini adalah bahwa pasien kista fibrosis
dengan gejala minimal tidak harus menjalani operasi sinus profilaksis. Dengan
demikian, operasi sinus saja belum terbukti meningkatkan fungsi paru, meningkatkan
gambaran radiografik, atau mencegah komplikasi sinus lebih lanjut pada pasien kista
fibrosis dan harus disediakan perawatan medis lebih lanjut untuk menghilangkan
gejala spesifik sinus.2
3.5.4.1. FESS (Functional Endoscopic Sinus Surgery). Beberapa studi telah
menunjukkan FESS sebagai prosedur aman untuk mereka dengan kista fibrosis
dengan rendahnya tingkat komplikasi seperti perdarahan. Pendekatan bedah mirip
dengan pasien bukan kista fibrosis, meskipun beberapa studi telah menunjukkan skor
gejala lebih baik dan tingkat kekambuhan lebih rendah dengan operasi lebih luas.6
Saat manajemen medis dan adenoidektomi gagal dalam mengontrol
rinosinusitis kronis atau ketika pasien memiliki indikasi anatomi atau patologik
(seperti mukokel), bedah sinus endoskopik fungsional (FESS) adalah terapi yang
aman dan efektif. Indikasi lainnya termasuk adanya komplikasi supuratif, polip
hidung, neoplasma, dan gangguan penyakit sistemik oleh adanya sinusitis (seperti
kista fibrosis). Salah satu kesulitannya adalah bahwa saat ini tidak ada studi dalam
literatur menggunakan pengukur hasil yang tervalidasi untuk menilai hasil. Sebagian
besar penulis setuju bahwa konsep "kurang lebih" berlaku khusus untuk anak-anak
yang menjalani FESS. Dua tujuan operasi adalah untuk: (1) mengembalikan
komunikasi fisiologis paten antara sinus sakit dan rongga hidung, dan (2)
mempertahankan anatomi normal.6
26
27
BAB IV
RESUME
Dalam 60 tahun terakhir, kista fibrosis telah berkembang dari suatu penyakit
pankreas tidak khas menewaskan bayi menjadi penyakit dapat dijelaskan dengan baik
dan pasien dapat bertahan hidup hingga dewasa. Pencapaian luar biasa ini merupakan
hasil dari ilmu multidisiplin, serta dari perawatan klinis multidisiplin. Para ahli THTKL harus siap akan peningkatan jumlah pasien kista fibrosis di tahun tahun
mendatang seiring meningkatnya populasi dan pengobatan penyakit sinus sebagai lini
terdepan.1
Kelainan sinus sering ditemukan pada pasien dengan kista fibrosis. Gejala
seperti hidung tersumbat, hilangnya sensasi pengecapan, dan sakit kepala kronis
umum terjadi dan seringkali sulit untuk diobati. Ketika mengevaluasi pasien dengan
sinusitis kronis, temuan polip hidung tidak eosinofilik, organisme bakteri tidak biasa,
atau gambaran radiologis spesifik mengarahkan diagnosis kista fibrosis. Kista fibrosis
harus dicari walaupun tanpa adanya gejala paru atau gastrointestinal. Terapi medis
dan bedah dapat mengurangi angka morbiditas pada pasien kista fibrosis, meskipun
masih banyak yang belum diketahui tentang manajemen terapi ideal.2
28
DAFTAR PUSTAKA
1. Henig NR. Cystic Fibrosis and Sinusitis. Dalam : Brook I. Sinusitis, From
Microbiology to Management. Taylor & Francis Group. 2006: 357-68.
2. Mak GK, Henig NR. Sinus Disease in Cystic Fibrosis. In : Clinical Reviews in
Allergy and Immunology 21. Humana Press Inc. 2001: 51- 63.
3. Stammberger H, Lund VJ. Anatomy of the Nose and Paranasal Sinuses. In : ScottBrowns Otorhinolaryngology, Head and Neck Surgery volume 2. 7 th edition.
Hodder Arnold. 2008: 1316-41.
4. Soetjipto D, Mangunkusumo E. Sinus Paranasal. Dalam : Soepardi EA, Iskandar
N, et al. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan
Leher. Edisi 6. Jakarta: FKUI. 2010: 145-9.
5. Ballenger JJ. Anatomy and Physiology of the Nose and Paranasal Sinuses. In :
Snow JB, Ballenger JJ. Ballengers Otorhinolaryngology, Head and Neck
Surgery. 16th edition. BC Decker. 2003: 547-60.
6. Whitley W, Sargi Z, Younis RT. Special Considerations for Pediatric Maxillary
Sinusitis. In : Duncavage JA, Becker SS. The Maxillary Sinus, Medical and
Surgical Management. Thieme. 2011: 62-4.
7. Probst R, Grevers G, Iro H. Anatomy, Physiology, and Immunology of the Nose,
Paranasal Sinuses, and Face. In : Basic Otorhinolaryngology, A Step-by-Step
Learning Guide. Thieme. 2005: 4-11.
8. Patel PM, Jones JR. Paranasal Sinus Diseases and Infections. In : Ludman H,
Bradley PJ. ABC of Ear, Nose, Throat. 5th edition. Blackwell. 2007: 38.
9. Henig N. Sinusitis and Cystic Fibrosis. In : Stanford Medicine. Available at :
http://cfcenter.stanford.edu/facts/CFNews-Sinusitis.html
29