Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

Cystic fibrosis atau kista fibrosis merupakan penyakit genetik fatal yang
paling umum terjadi, tetapi dengan pemahaman mengenai penyakit dan pengobatan
agresif, pasien kista fibrosis yang dulu meninggal saat bayi dapat hidup dengan baik
hingga dewasa.1
Cystic fibrosis atau kista fibrosis adalah penyakit autosomal resesif, dihasilkan
dari mutasi gen pada saluran klorida spesifik bernama cystic fibrosis transmembrane
receptor (CFTR). Penyakit ini ditandai terutama oleh penyakit sinus-paru, tetapi
setiap organ dimana CFTR aktif akan dipengaruhi seperti pankreas, sistem bilier, dan
saluran pencernaan. Walaupun sebagian besar pasien dengan kista fibrosis
didiagnosis sebelum mereka mencapai usia 10 tahun, ada sekitar 10% pasien
didiagnosis selama masa remaja dan dewasa. Ada berbagai variasi fenotip pada
pasien kista fibrosis, meskipun memiliki mutasi genetik yang sama, misalnya
beberapa pasien mengalami gejala yang lebih dominan di sinus, sedangkan pasien
lainnya memiliki penyakit paru progresif atau penyakit saluran cerna.2
Penyakit sinus yang berhubungan dengan kista fibrosis memiliki fitur unik,
mengarahkan ke diagnosis. Pasien dengan sinusitis persisten atau berulang dan
disebabkan oleh bakteri yang tidak biasa harus dievaluasi untuk kista fibrosis. Ulasan
ini akan membahas gejala umum sinusitis terkait kista fibrosis, bagaimana membuat
diagnosis, dan pengobatan sinusitis terkait kista fibrosis.2
Sinusitis adalah komplikasi umum kista fibrosis, dan meskipun kejadian
sebenarnya tidak diketahui, pada sebagian besar pasien kista fibrosis akan
berkembang penyakit sinus pada suatu saat dalam kehidupan mereka. Gejala sinus
biasanya dimulai ketika usia 5-14 tahun. Karena kronisitas penyakit, pasien mungkin
1

beradaptasi dengan gejala yang ada. Dengan demikian, tidak adanya pelaporan gejala
pada hidung atau sinus tidak jarang terjadi. Sumbatan hidung merupakan keluhan
paling sering, terutama pada pasien lebih muda. Hal ini sering dikaitkan dengan
temuan polip hidung. Sakit kepala lebih sering dilaporkan pada pasien remaja dan
dewasa dan sering menjadi kronis. Gejala umum lainnya termasuk nyeri orbital,
postnasal drip dengan batuk di pagi hari, batuk semakin buruk dengan berbaring,
halitosis berat dan persisten, dan sering mendehem (throat clearing). Gejala gejala
ini berhubungan dengan temuan adanya penebalan mukosa dan penurunan aerasi
sinus. Hal ini dapat menjelaskan bahwa gejala sinusitis yang terkait kista fibrosis
tidak berbeda dari sinusitis kronis dengan etiologi apapun.2

BAB II
EMBRIOLOGI, ANATOMI DAN FISIOLOGI SINUS MAKSILA

2.1. Embriologi sinus maksila


Sinus maksila merupakan sinus pertama yang muncul (7-10 minggu masa
janin).3 Sinus maksila adalah sinus paranasal yang terbesar dan bervolume 6-8 ml saat
lahir.4 Proses terbentuknya sinus maksila berasal dari ekspansi infundibulum etmoid
ke dalam maksila hingga membuat suatu massa. Proses ekspansi tersebut
menghasilkan suatu rongga kecil pada saat lahir yang berukuran 7 x 4 x 4 mm.
Pertumbuhan dan perkembangannya terus berlanjut pada masa anak-anak kira-kira 2
mm secara vertikal dan 3 mm anteroposterior. Proses perkembangan tersebut mulai
menurun pada usia 7 tahun, diikuti fase pertumbuhan kedua berikutnya. Pada usia 12
tahun, pneumatisasi mencapai bagian lateral, yaitu di bawah bagian lateral dinding
orbita pada sisipan prosesus zigomatik, secara inferior ke bagian dasar hidung dan
setelah pertumbuhan gigi (dentisi) ke dua di bawah dasar hidung. Setelah proses
dentisi, sinus hanya akan membesar secara perlahan-lahan dan mencapai ukuran
maksimum pada usia 17 hingga 18 tahun. Ukuran standar volume sinus maksila pada
orang dewasa adalah sekitar 15 cm2 dan secara kasar bentuknya menyerupai piramid.
Dasar piramid dibentuk oleh dinding medial sinus maksila dengan sisi apeks piramid
ke arah resesus zigomatik.3

2.2. Anatomi sinus maksila


2.2.1. Anatomi sinus maksila
Sinus maksila atau sering disebut the antrum of Highmore adalah suatu rongga
pneumatik berbentuk piramid yang tak teratur dengan dasarnya menghadap ke fosa
3

nasal dan puncaknya ke arah apeks prosesus zigomatik os maksila. Sinus ini
merupakan sinus yang terbesar di antara sinus paranasal. Pada saat lahir volume sinus
maksila dan sekitarnya berukuran 6 8 ml dan penuh dengan cairan, sedangkan
volume sinus maksila orang dewasa kira kira 15 ml. Tidak ada perbedaan kapasitas
antara laki-laki dan perempuan.5
Ukuran sinus maksila kanan dan kiri tidak selalu sama, tetapi di antara sinus
paranasal yang lain, sinus maksila yang paling simetris antara kanan dan kiri serta
paling sedikit mengalami variasi dalam perkembangan. Besar kecilnya rongga sinus
maksila terutama tergantung pada tebal tipisnya dinding sinus. Ukuran rata rata
pada bayi baru lahir 7-8 x 4-6 mm dan pada dewasa 31-32 x 18-20 x 19-20 mm.5
Dinding medial atau dasar antrum dibentuk oleh lamina vertikal os palatum,
prosesus unsinatus, os etmoid, prosesus maksila, konka inferior, dan sebagian kecil os
lakrimal. Dinding superior dibentuk oleh dasar orbita yang memisahkan rongga sinus
dengan orbita. Dinding posterior-inferior atau dasarnya biasanya paling tebal dan
dibentuk oleh prosesus alveolar os maksila atas dan bagian luar palatum durum.
Dinding anterior berhadapan dengan fosa kanina.5
Antrum mempunyai hubungan dengan infundibulum di meatus medius
melalui lubang kecil, yaitu ostium maksila yang terdapat di bagian anterior atas
dinding medial sinus.5
Dasar sinus maksila berdekatan dengan tempat tumbuhnya gigi premolar
kedua, gigi molar kesatu dan kedua, bahkan kadang kadang gigi tumbuh ke dalam
rongga sinus dan hanya tertutup oleh mukosa. Proses supuratif yang terjadi sekitar
gigi gigi ini dapat menjalar ke mukosa sinus melalui pembuluh darah atau limfe,
sedangkan pencabutan gigi ini dapat menimbulkan hubungan dengan rongga sinus
melalui fistel oroantral yang akan mengakibatkan sinusitis.5

Dari segi klinik yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah (1)
dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu premolar
(P1 dan P2), molar (M1 dan M2), dan kadang kadang juga gigi taring (C) dan gigi
molar M3, bahkan akar akar gigi tersebut dapat menonjol ke dalam sinus, sehingga
infeksi gigi geligi mudah naik ke atas menyebabkan sinusitis; (2) Sinusitis maksila
dapat menimbulkan komplikasi orbita; (3) Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi
dari dasar sinus, sehingga drenase hanya tergantung dari gerak silia. Drenase yang
harus melalui infundibulum yang sempit juga dapat menyebabkan sinusitis jika di
daerah tersebut mengalami inflamasi.4

Gambar 2.1. Proyeksi sinus paranasal pada permukaan kranial 7

Gambar 2.2. Alur drainase sinus 8

Gambar 2.3. Anatomi kompleks osteomeatal 7

2.2.2. Vaskularisasi sinus maksila


Sinus maksila mendapat pendarahan dari arteri infra orbital, cabang lateral
arteri sfenopalatina, arteri palatina mayor, dan arteri alveolar. Darah dari sinus
maksila bagian anterior dialirkan ke vena fasial, sedangkan bagian posterior dialirkan
ke vena maksila, dimana berhubungan dengan pleksus venosus pterigoid.5,6

2.2.3. Sistem limfe sinus maksila


Mukosa sinus maksila memiliki jaringan kapiler limfatik longitudinal yang
superfisial dan dalam, yang berorientasi pada ostium sinus maksila. Densitas limfatik
meningkat dari kranial ke kaudal, dan dari dorsal ke ventral, mencapai densitas
maksimumnya pada ostium. Pada titik ini, jaringan limfatik terhubung langsung ke
pembuluh darah hidung dan berjalan ke nasofaring. Selain drainase limfatik rute
ostial, terdapat hubungan limfatik atas pleksus pterigopalatina ke tuba Eustachius dan
nasofaring. Daerah aliran limfatik utama dari sinus paranasal adalah kelenjar getah
bening servikal lateral dan retrofaring.6

2.2.4. Persarafan sinus maksila


Nervus alveolar superior posterior menyuplai sebagian besar sensasi di sinus
maksila. Nervus alveolar superior anterior mempersarafi bagian anterior dari sinus
maksila dan nervus alveolar superior media berkontribusi sebagai persarafan
sekunder pada mukosa. Ostium sinus maksila mendapat persarafan melalui nervus
palatina mayor; infundibulum dipersarafi oleh nervus V1 cabang etmoid anterior.
Pola berbagai percabangan nervus alveolar superior anterior dan superior media ada
di sepanjang permukaan anterior maksila.6

Serat sekretomotor dari nervus fasial berasal dari nervus intermedius,


bersinaps di ganglion pterigopalatina, dan dibawa ke mukosa sinus melalui cabang
sensorik nervus trigeminal. Cabang untuk vasokonstriktor berasal dari simpatis
pleksus karotis.6

2.3. Fisiologi sinus maksila 3


Sampai saat ini belum diketahui dengan pasti fisiologi sinus maksila.
Beberapa teori yang dikemukakan mengenai fungsi sinus maksila antara lain: 1.
sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning); 2. sebagai penahan suhu; 3.
membantu keseimbangan kepala; 4. membantu resonansi suara; 5. peredam
perubahan tekanan udara; dan 6. membantu produksi mukus untuk membersihkan
rongga hidung.
2.3.1. Sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning)
Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan mengatur
kelembaban udara inspirasi. Keberatan terhadap teori ini ialah karena ternyata tidak
didapati pertukaran udara yang definitif antara sinus dan rongga hidung.
Volume pertukaran udara dalam ventilasi sinus kurang lebih 1/1000 volume
sinus pada setiap kali bernapas, sehingga diperlukan waktu cukup lama untuk
pertukaran udara total dalam sinus. Selain itu, sinus maksila hanya mampu
melembabkan 1,5 % dari seluruh udara pernapasan yang dilembabkan oleh saluran
napas bagian atas. Selain itu, mukosa sinus tipis dan tidak mempunyai pembuluh
darah sebanyak mukosa hidung.
2.3.2. Sebagai penahan suhu (thermal insulators)
Sinus dapat dianggap sebagai penahan (buffer) panas, melindungi orbita dan
fosa serebri dari perubahan suhu rongga hidung. Akan tetapi kenyataannya sinus
8

maksila sebagai sinus besar tidak terletak di antara hidung dan organ yang
dilindunginya.
2.3.3. Membantu keseimbangan kepala
Fungsi membantu keseimbangan kepala, dimungkinkan karena terbentuknya
sinus akan mengurangi berat tulang muka. Akan tetapi bila udara sinus diganti dengan
tulang, hanya akan memberikan pertambahan berat sebesar 1% dari berat kepala,
sehingga teori ini dianggap tidak bermakna.
2.3.4. Membantu resonansi suara
Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan
mempengaruhi kualitas suara. Akan tetapi ada pendapat, posisi sinus dan ostiumnya
tidak memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonator suara yang efektif. Selain itu
tidak ditemukan korelasi antara resonansi suara dengan ukuran sinus pada hewan
hewan tingkat rendah.
2.3.5. Sebagai peredam perubahan tekanan udara
Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan besar dan mendadak, misalnya
pada waktu bersin atau membuang ingus.
2.3.6. Membantu produksi mukus
Sinus maksila menghasilkan jumlah mukus lebih kecil dibandingkan dengan
mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk membersihkan partikel yang turut
masuk dengan udara inspirasi.

BAB III
CYSTIC FIBROSIS OF THE MAXILLARY SINUS

3.1. Etiologi cystic fibrosis of the maxillary sinus


Cystic fibrosis atau kista fibrosis adalah penyakit autosomal resesif, dihasilkan
dari mutasi gen pada saluran klorida spesifik bernama cystic fibrosis transmembrane
receptor (CFTR). Penyakit ini ditandai terutama oleh penyakit sinus-paru, tetapi
setiap organ dimana CFTR aktif akan dipengaruhi seperti pankreas, sistem bilier, dan
saluran pencernaan.2

3.2. Patofisiologi cystic fibrosis of the maxillary sinus


Sistem respirasi kavum nasi dan sinus hingga bronkiolus bagian distal dilapisi
oleh epitel berlapis semu bersilia yang berfungsi sebagai sawar yang efektif dalam
melawan partikel asing, iritan, dan mikroorganisme. Kunci kesuksesan fungsi efektif
mucociliary elevator adalah gerakan menangkap silia terkoordinasi. Untuk itu,
lapisan mukus pelapisnya harus optimal. Hipotesis klasik menyatakan bahwa lapisan
mukus sebenarnya terdiri dari dua lapisan, yaitu lapisan dalam (lapisan sol) berupa
cairan dengan viskositas rendah menggenangi silia dan lapisan luar berupa lapisan
gelatin kental.6

Gambar 3.1. Transport mukosilia 7


10

Lapisan mukus tersebut terdiri dari air dan ion ion yang diatur oleh transpor
aktif epitel, sehingga menghasilkan perbedaan potensial listrik transepitelial. Lapisan
sol kaya akan protein dan dapat sebagai antimikroba. Lapisan gelatin tebal berfungsi
untuk menangkap partikel asing yang terhirup, diangkut sepanjang lapisan oleh silia
penangkap.1,6
Pasien dengan kista fibrosis mempunyai mutasi pada gen cystic fibrosis
transmembrane regulator (CFTR) di kromosom 7, mengkode transporter ion klorida.
Oleh karena itu, gradien ion klorida terganggu dan sifat hidrasi dan viskoelastik
lapisan mukus terganggu.6
Pada kista fibrosis, mucociliary elevator terganggu meskipun sel sel epitel
memiliki struktur normal, ultrastruktur silia normal, dan frekuensi silia penangkap
normal. Sebaliknya, defek yang mendasari kista fibrosis dikaitkan dengan perubahan
cairan di permukaan saluran napas.1
Perubahan cairan permukaan saluran napas berkontribusi terhadap mukus
tebal, obstruktif, dan infeksi kronis menjadi ciri khas kista fibrosis. Gangguan
konduktansi klorida akibat mutasi CFTR menyebabkan gangguan fungsi lapisan sol
dan lapisan gelatin, dimana menyebabkan reologik mukus itu sendiri berubah. Hal ini
juga menyebabkan gangguan fungsi antimikroba endogen, mungkin oleh perubahan
kondisi osmotik dimana protein pertahanan tubuh bekerja. Beberapa ahli juga
menyatakan bahwa perubahan cairan permukaan saluran napas ini bersifat
proinflamasi.1
Hasil kekacauan pada cairan permukaan saluran napas menyebabkan
komponen utama patofisiologik kista fibrosis: obstruksi, inflamasi, dan infeksi.
Ketika pasien dengan kista fibrosis telah terinfeksi, siklus patologis terjadi kemudian
dimana mukus obstruktif akan memerangkap mikroorganisme bakteri, terjadi respon

11

cepat dari neutrofil, dan kematian mikroorganisme dan sel sel inflamasi
menyebabkan peningkatan lebih lanjut dalam viskositas mukus obstruktif. Hal ini
akan memerangkap mikroorganisme dan menarik neutrofil lebih lanjut.1
Pada tingkat anatomis, peristiwa mikroskopis tersebut menyebabkan obstruksi
saluran hidung dan ostium sinus. Polip sinonasal berkembang pada sebagian besar
pasien kista fibrosis. Mukus obstruktif, polip, dan inflamasi kronis dapat merusak
dinding lateral hidung, septum hidung, dan ostium sinus.1
Pada pasien dengan kista fibrosis akan mengalami penurunan klirens
mukosiliar bervariasi dari sedang hingga berat. Peradangan kronik lama diperkirakan
menghasilkan perubahan mukosa termasuk hiperplasia sel goblet, metaplasia sel
skuamosa, dan hilangnya sel sel bersilia. Selanjutnya fungsi mukosa terganggu. Di
samping itu, produk sampingan bakteri dapat langsung mengubah fungsi silia. Selain
fungsi mukosa terganggu, pasien dengan kista fibrosis memiliki obstruksi mekanik
pada ostium sinus karena viskositas mukus berubah. Ini menyebabkan infeksi dan
peradangan yang selanjutnya mengganggu drainase sinus.6
Polip sinonasal umum terjadi pada pasien dengan kista fibrosis dimana
dilaporkan angka kejadian berkisar 6 48%. Polip timbul pada populasi berumur
antara 5 20 tahun. Yang menarik, histopatologik polip kista fibrosis berbeda dengan
yang ditemukan pada pasien lain. Secara spesifik, polip kista fibrosis memiliki
membran basal tipis, musin bersifat asam, dan tidak adanya hialinisasi submukosa
dan eosinofilia. Kontras dengan polip atopik memiliki membran basal tebal, musin
netral, dan banyak sel eosinofil.6
Sinus maksila pada pasien dengan kista fibrosis dibedakan secara anatomi
dimana mereka mempunyai volume lebih kecil. Ini diperkirakan akibat dari
menurunnya pertumbuhan setelah lahir dan pneumatisasi sinus, disebabkan oleh
peradangan kronik. Hal ini diperkuat dengan adanya fakta bahwa pada pasien
pasien ini sering didapatkan tidak adanya sinus sfenoid dan frontal (dimana
12

perkembangannya dimulai setelah lahir). Pada pasien kista fibrosis, prosesus


unsinatus mengalami demineralisasi dan pergeseran ke medial dinding lateral hidung.
Di samping itu, ketika pasien juga memiliki polip hidung, erosi atau destruksi dinding
lateral hidung umum terjadi. Ini diduga akibat dari tekanan fisik mukus dan polip
pada tulang tipis atau osteitis pada tulang itu sendiri. Perubahan ini umumnya terkait
dengan pembentukan mukokel sinus maksila, dimana sangat jarang terjadi pada anak
dan harus dicurigai kista fibrosis.6

3.3. Mikrobiologi cystic fibrosis of the maxillary sinus


Bakteriologik pada kultur sinus pasien dengan kista fibrosis bervariasi
berdasarkan umur. Pada pasien yang lebih muda, penyebab paling sering adalah
Staphylococcus aureus dan Haemophilus influenzae. Pada anak yang lebih tua dan
dewasa, Pseudomonas aeruginosa mendominasi.6
Patogen nonbakterial juga sering terisolasi dari sinus pasien dengan kista
fibrosis. Pada 40% pasien kista fibrosis dewasa, Aspergillus spp. sering ditemukan
pada aspirasi transantral. Adanya Aspergillus lebih menggambarkan kolonisasi
daripada penyakit invasif. Kolonisasi jamur menjadi semakin meningkat seiring
dengan penggunaan rutin antibakteri sebagai profilaksis termasuk agen inhalasi.
Meskipun terjadi penurunan klirens alami sinus pada pasien kista fibrosis, mereka
tidak lebih rentan terhadap infeksi virus pada pernapasan atas daripada orang tanpa
kista fibrosis.2

3.4. Diagnosis cystic fibrosis of the maxillary sinus


Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan kombinasi antara anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.

13

3.4.1. Anamnesis
Pada dasarnya, pasien dengan kista fibrosis memiliki sinusitis kronis dan
bronkiektasis secara klinis dan radiografik. Banyak pasien kista fibrosis memiliki
gambaran radiografik sinusitis tetapi bebas gejala. Namun, ketika pasien datang
dengan gejala sinusitis, gejala ini sulit dibedakan dari etiologik sinusitis lainnya: rasa
sakit dan adanya tekanan di dahi atau di daerah sinus maksila, nyeri orbita, sakit
kepala kronis, sakit gigi, rasa tidak nyaman pada telinga, postnasal drip, batuk
semakin buruk dengan berbaring, sering mendehem (throat clearing), suara serak,
dan napas berbau tak sedap. Banyak pasien mengalami perubahan sensasi pengecapan
dan penghidu, dan beberapa memiliki anosmia. Pasien kista fibrosis yang terinfeksi
secara kronis, sering didapatkan beberapa patogen. Mereka mengalami infeksi yang
eksaserbasi secara periodik di saluran pernapasan atas dan bawah. Seringkali, istilah
sinusitis akut atau kronis digunakan untuk membedakan dasar gejala sinusitis. Infeksi
eksaserbasi dapat bermanifestasi sebagai peningkatan rasa lelah dan malaise, bukan
sebagai peningkatan jumlah gejala sinus atau gejala paru seperti peningkatan batuk
atau nasal discharge. Demam dapat terjadi, tetapi sering tidak muncul pada
eksaserbasi akut saluran pernapasan.1
Angka kejadian sinusitis terkait kista fibrosis sebenarnya tidak diketahui,
namun data saat ini menunjukkan bahwa sebagian besar pasien kista fibrosis
mengalami penyakit sinus pada suatu saat dalam kehidupan mereka. Gejala sinus
biasanya dimulai antara usia 5 dan 14 tahun, meskipun banyak pasien lebih tua
dengan penyakit sinus tidak terdiagnosis atau diobati. Pasien sering beradaptasi
dengan gejala mereka atau membawa diagnosis alternatif seperti sakit kepala migrain.
Polip hidung merupakan manifestasi paling umum penyakit sinus pada pasien lebih
muda, sedangkan sakit kepala kronis lebih sering terjadi pada populasi pasien kista
fibrosis yang lebih tua.1

14

3.4.2. Pemeriksaan fisik


Pemeriksaan fisik perlu dilakukan pada daerah hidung dan sinus paranasal
untuk mengetahui kondisi tak terpantau lain yang mungkin menyebabkan
kekambuhan penyakit sinus paranasal antara lain: (1) Evaluasi daerah wajah untuk
mengetahui perluasan polip di daerah hidung, terkadang polip dapat ke luar dari
rongga hidung; (2) Dengan pemeriksaan rinoskopi anterior, pembesaran konka,
discharge purulen dan polip hidung mungkin dapat terlihat; (3) Evaluasi endoskopi
mungkin menunjukkan terjadinya obstruksi saluran napas dan ostium sinus karena
polip; (4) Discharge purulen dan penonjolan prosesus unsinatus mungkin juga terlihat
saat endoskopi yang menyebabkan obstruksi saluran napas; (5) Pemeriksaan
nasofaring juga harus dilakukan, hipertrofi adenoid mungkin terdapat pada pasien
anak yang menyebabkan sumbatan hidung.1

Gambar 3.2. Tampilan dari sinus maksila dengan discharge purulen dari ostium
(panah) dan polip (P) yang besar dan obstruktif. 9

15

Gambar 3.3. Grup polip di sinus maksila, dilihat melalui endoskop 2

3.4.3. Pemeriksaan penunjang


Pemeriksaan penunjang yang dapat dikerjakan untuk menegakkan diagnosis
kista fibrosis antara lain pemeriksaan radiologis dan pemeriksaan laboratorium.
3.4.3.1. Pemeriksaan radiologis. Studi pencitraan seperti foto polos, computed
tomography (CT) dan magnetic resonance imaging (MRI) sinus dapat menunjukkan
ciri khas yang membantu diagnosis sinusitis terkait kista fibrosis. Foto polos dapat
mengidentifikasi agenesis atau hipoplasia sinus frontal dengan mudah. Computed
tomography (CT) scan sinus juga menunjukkan penemuan sinus tidak normal pada
hampir semua pasien kista fibrosis, bahkan mereka yang tidak menunjukkan gejala.
Agenesis sinus frontal dan kekeruhan sinus maksiloetmoid lebih dari 75% dianggap
patognomonik untuk kista fibrosis. Demikian pula, penonjolan dinding lateral hidung
dekat meatus media ke medial dan resorpsi prosesus unsinatus sangat sugestif untuk
kista fibrosis. Akhir akhir ini, sistem skoring CT sinus telah diusulkan, yang
membedakan antara sinusitis terkait kista fibrosis dengan penyakit sinus tidak terkait
kista fibrosis. Ada sembilan kriteria kelainan sinus yang paling khas pada pasien kista

16

fibrosis, yang dikelompokkan sebagai varian sinus paranasal sinus, varian


pneumatisasi, dan pola inflamasi (Tabel 1). Magnetic resonance imaging (MRI)
berguna untuk diagnosis dan untuk mengetahui perkembangan penyakit sinus pada
pasien kista fibrosis. MRI dianggap lebih sensitif dari CT untuk memvisualisasikan
dan membedakan massa jaringan lunak di sinus paranasal.1

Tabel 3.1. Varian sinus paranasal yang sering ditemukan pada pasien kista fibrosis 1

17

Gambar 3.4. Potongan koronal CT sinus pada pasien dengan kista fibrosis,
menunjukkan agenesis sinus frontal dan kekeruhan dari sinus maksiloetmoid 2

3.4.3.2. Pemeriksaan laboratorium. Jika dicurigai kista fibrosis pada pasien


dengan sinusitis kronis dan atau polip hidung, pasien harus dirujuk untuk
pemeriksaan diagnostik. Standar emas untuk membuat diagnosis kista fibrosis adalah
quantitative pilocarpine iontophoresis, atau tes keringat. Hasil konsentrasi klorida
>60 mmol/L bernilai diagnostik, sedangkan hasil antara 40-59 mmol/L dianggap
belum tentu tetapi ada kemungkinan kista fibrosis. Tes keringat harus dilakukan di
fasilitas pengujian terakreditasi dimana tes sering dilakukan.1
Tes diagnostik lain yang umum digunakan untuk kista fibrosis adalah
genotyping. Tes mutasi sangat spesifik untuk kista fibrosis, tetapi tidak sesensitif tes
keringat. Saat ini ada lebih dari 1.300 mutasi diidentifikasi pada gen CFTR. Sekitar
80-85% dari alel kista fibrosis terdeteksi menggunakan tes standar mutasi gen kista

18

fibrosis. Laboratorium penguji dapat mengidentifikasi 25-29 mutasi paling umum


pada populasi lokal mereka untuk skrining standar. Ada sejumlah laboratorium
nasional melakukan analisis mutasi gen kista fibrosis diperluas atau urutan gen pasien
yang diduga menderita kista fibrosis. Peningkatan jumlah gen yang disaring
meningkatkan sensitifitas untuk membuat diagnosis kista fibrosis. Skrining mutasi
kurang sensitif untuk populasi Asia dan non-Kaukasia dimana tingginya prevalensi
mutasi langka.1
Nasal potential differences (NPD) adalah tes diagnostik ketiga yang diterima
untuk kista fibrosis. Tes ini terutama digunakan dalam penelitian, dan hanya
tersedia di sejumlah situs terakreditasi. NPD dapat diukur secara langsung dari konka
nasal media. Ada tiga karakteristik utama dari NPD terkait dengan kista fibrosis: (1)
tegangan basal naik, mencerminkan peningkatan transportasi natrium di seluruh
sawar yang relatif impermeable terhadap klorida; (2) dengan menggunakan infus
amilorid, suatu natrium-channel blocker, terjadi penghambatan yang lebih besar pada
NPD, mencerminkan penghambatan transportasi natrium dipercepat; (3) tidak seperti
orang normal, tidak terdapat perubahan tegangan dalam respon terhadap perfusi
larutan bebas klorida (isoproterenol), mencerminkan tidak adanya CFTR yang
memediasi konduktansi klorida.1

3.5. Tata laksana cystic fibrosis of the maxillary sinus


Pengobatan sinusitis terkait kista fibrosis tidak berbeda dari pengobatan
sinusitis akut dan kronis pada umumnya. Pengobatan sinusitis terkait kista fibrosis
harus menargetkan obstruksi, infeksi, dan inflamasi yang menjadi ciri khas
patofisiologik penyakit ini. Pada sinusitis kronis sering dilakukan pembersihan
saluran napas bagian atas dan penggunaan agen anti inflamasi. Sinusitis kronis
eksaserbasi akut diobati dengan antibiotik sistemik dan pembersihan saluran napas
bagian atas yang lebih agresif, termasuk debridemen jika diperlukan.1
19

3.5.1. Pembersihan saluran napas bagian atas


Pembersihan saluran napas penting bagi kedua saluran pernapasan atas dan
bawah. Perhatian lebih besar telah difokuskan pada pembersihan jalan napas dari paru
dibandingkan dengan sinus. Namun, tujuan akhir tetap sama, yaitu untuk
menghilangkan mukus penghambat. Saluran napas bagian atas dapat dicapai dengan
irigasi atau bilas salin, dekongestan dan mukolitik, dan intervensi bedah.1
Pembilasan saluran hidung dan sinus menggunakan salin pada pasien dengan
antrostomi dapat diajarkan ke pasien dan dilakukan secara teratur, sesering mungkin
setiap hari. Pada sinusitis terkait kista fibrosis maupun tidak, gejala akan membaik
jika mukus penghambat telah dibersihkan. Bilas salin juga dapat menurunkan aliran
darah hidung, menghasilkan efek dekongestan. Pembilasan sinus maksila melalui
kateter yang ditempatkan saat antrostomi merupakan pendekatan yang diterima untuk
membersihkan sumbatan pada kista fibrosis. Dalam studi tidak terkontrol terhadap 11
pasien kista fibrosis setelah transplantasi paru, sinus maksila yang diirigasi dengan
tobramisin terbukti efektif mengurangi kontaminasi paru yang ditransplantasi. Irigasi
sinus secara rutin (biasanya setiap bulan) dengan tobramisin kini juga dilakukan pada
pasien kista fibrosis bukan penerima transplantasi. Hal ini telah terbukti mengurangi
jumlah eksaserbasi paru dan jumlah operasi sinus. Selain itu, hal ini juga terbukti
meningkatkan aerasi sinus yang dapat dinilai melalui MRI.1

20

Gambar 3.5. Gambar skematik yang menunjukkan antrostomi unilateral dan


penempatan kateter pada sinus maksila sinistra untuk pembilasan kavitas dengan salin
atau antibiotik. Pada kenyataannya, antrostomi dan penempatan kateter hampir selalu
bilateral. 2

Penggunaan dekongestan pada kista fibrosis belum pernah diteliti, namun


kedua dekongestan oral dan topikal digunakan dalam populasi kista fibrosis.
Penggunaan dekongestan diminimalkan karena khawatir akan rinitis medikamentosa.
Mukolitik seperti guaifenesin sering digunakan untuk mengurangi gejala dan
dianggap tidak merugikan. Secara klinis, guaifenesin lebih efektif untuk
mengencerkan sekret hidung daripada sekret paru. Penggunaan sehari hari dengan
nebulisasi

mukolitik

dornase

alfa

(rekombinan

deoksiribonuklease)

direkomendasikan untuk semua pasien kista fibrosis. Tidak diketahui efeknya secara
jelas, jika ada, efek pada sekret hidung.1

21

Inhalasi

dornase

alfa

merupakan

solusi

murni

berisi

rekombinan

deoksiribonuklease manusia, telah digunakan sebagai mukolitik pada pasien kista


fibrosis. Sebuah percobaan membandingkan 24 pasien kista fibrosis yang menjalani
FESS (Functional Endoscopic Sinus Surgery) dan kemudian diacak untuk mendapat
pengobatan satu tahun dengan dornase alfa atau plasebo. Kelompok dengan
pengobatan menunjukkan perbaikan pada gejala, tampilan CT, dan nilai uji
endoskopik.6
Antihistamin, hal terpenting dalam rinitis diinduksi alergi dan pengobatan
sinusitis, dulunya diyakini sebagai kontraindikasi pada pasien dengan kista fibrosis
karena antihistamin diyakini lebih memperparah sekret yang sudah tebal. Secara
klinis, hal ini belum diamati dan pasien kista fibrosis yang juga menderita rinitis
alergi merespon pemberian antihistamin. Kromolin intranasal digunakan oleh
beberapa praktisi, meskipun tidak ada data yang mendukung penggunaannya pada
sinusitis terkait kista fibrosis.1

3.5.2. Terapi antimikroba


Antibiotik merupakan dasar pegobatan sinusitis infektif, terutama sinusitis
terkait kista fibrosis. Swab nasal, aspirasi transantral, dan kultur dahak dapat
mengidentifikasi patogen penyebab. Karena patogen tidak pernah dibasmi pada kista
fibrosis, kultur diambil beberapa bulan dan bahkan bertahun-tahun sebelumnya
sangat berguna dalam pemilihan antibiotik. Demikian pula, uji sensitifitas in vitro
dengan panel antibiotik harus dilakukan. Antibiotik sistemik harus diberikan dengan
dosis tinggi untuk meningkatkan konsentrasi antibiotik dalam hidung, sinus, dan
saluran napas dimana patogen hidup. Penggunaan antibiotik jangka pendek sering
menyebabkan kegagalan terapi. Durasi terapi ideal tidak diketahui, namun para ahli
menyarankan terapi selama 3 6 minggu.1,6

22

Antibiotik diberikan secara sistemik atau secara lokal melalui inhalasi atau
irigasi maksila. Antibiotik sistemik lebih disukai karena eksaserbasi penyakit saluran
napas atas dan bawah terjadi secara bersamaan. Aminoglikosida nebulasi diberikan
tiga kali seminggu terbukti menurunkan kolonisasi bakteri dan mengurangi
peradangan pada pasien sinusitis tanpa kista fibrosis. Pengobatan yang dianjurkan
untuk pasien kista fibrosis yang terinfeksi P. aeruginosa secara kronis adalah inhalasi
larutan tobramisin (TOBI) dua kali sehari. Hal ini diyakini bahwa bila digunakan
dengan nebulizer jet seperti yang ditentukan, TOBI dapat menembus sinus maksila.
Dengan demikian, melalui program perawatan kista fibrosis secara rutin,
pengurangan patogen dalam sinus maksila dapat terjadi.1
Penggunaan tobramisin topikal pada pasien rinosinusitis dengan kista fibrosis
dijelaskan dalam literatur, khususnya pada periode perioperatif sekitar transplantasi
paru. Sinus diperkirakan sebagai reservoir untuk Pseudomonas aeruginosa pada
pasien ini, yaitu mikroorganisme penyebab beberapa komplikasi perioperatif yang
serius. Dalam sebuah studi, pasien menjalani FESS dengan penempatan kateter irigasi
sinus maksila pada akhir kasus ini. Tobramisin diberikan selama 10 hari pasca
operasi. Pemberian setiap minggu dilakukan dengan anestesi lokal hingga 3 minggu.
Hasil studi klinis tidak jelas, tetapi mereka menunjukkan kultur sinus untuk
Pseudomonas aeruginosa negatif pada akhir pengobatan. Studi lain menggunakan
protokol yang sama dan menemukan penurunan secara drastis tingkat kebutuhan
untuk operasi revisi dan kekambuhan penyakit, tetapi tidak ada perbedaan dalam
kolonisasi Pseudomonas aeruginosa di sinus.6

3.5.3. Agen anti-inflamasi


Menargetkan inflamasi pada kista fibrosis telah terbukti meningkatkan fungsi
paru dan menurunkan tingkat penurunan volume ekspirasi paksa dalam satu detik di
paru. Sampai saat ini, agen sistemik seperti prednison dan ibuprofen dosis tinggi telah
23

terbukti bermanfaat, tetapi agen agen spesifik ini dibatasi oleh toksisitas. Steroid
nasal terbukti efektif mengurangi inflamasi pada sinusitis kronis tanpa kista fibrosis,
dan memiliki hasil yang bervariasi dalam populasi kista fibrosis. Penggunaan rutin
steroid nasal terbukti mengurangi ukuran polip hidung. Penggunaan steroid nasal
pasca polipektomi ditujukan untuk mencegah pembentukan berulang polip hidung.
Meskipun tidak ada data jelas untuk mendukung terapi, penggunaan inhalasi steroid
nasal dianggap sebagai pengobatan lini pertama untuk sinusitis terkait kista fibrosis.1
Hanya ada satu percobaan klinis mengenai penggunaan steroid inhalasi pada
pasien kista fibrosis dimuat di literatur. Studi ini menunjukkan perbaikan gejala
signifikan dan ukuran polip mengecil pada pasien yang mendapat 100g betametason
dua kali sehari selama 6 minggu, walaupun studi tersebut dilakukan pada pasien
dewasa dan follow-up terbatas.6
Menargetkan leukotrien telah menjadi pendekatan lain dalam mengurangi
inflamasi pada kista fibrosis. Pasien dengan kista fibrosis dikenal memiliki tingkat
leukotrien sirkulasi tinggi (LTB4 tinggi), serta leukotrien cysteinyl tinggi. Antagonis
reseptor leukotrien adalah sekelompok agen anti-inflamasi, terbukti mengurangi
gejala rinitis alergi pada pasien tanpa kista fibrosis. Agen ini umumnya digunakan
pada pasien dengan kista fibrosis, terutama mereka dengan gejala seperti asma atau
rinitis alergi.1
Antibiotik golongan makrolid terbukti memiliki sifat anti-inflamasi, berbeda
dari sifat antimikroba mereka. Penggunaan azitromisin secara rutin pada pasien kista
fibrosis ditujukan untuk meningkatkan fungsi paru dan mengurangi jumlah
eksaserbasi paru pada kista fibrosis. Pada populasi tanpa kista fibrosis, terapi
antibiotik makrolid terbukti dapat mengecilkan polip hidung dan mengurangi
konsentrasi interleukin-8 pada bilas hidung.1

24

3.5.4. Intervensi bedah


Pembedahan pada penyakit sinus harus dipertimbangkan pada pasien dengan
gejala hidung persisten, sakit kepala terus menerus, infeksi persisten, dan mereka
yang akan transplantasi paru. Etmoidektomi endoskopik dan operasi antrostomi
terbukti menjadi terapi tambahan terhadap antibiotik dan irigasi salin pada pasien
gagal dalam manajemen medis. Teknik ini memberikan akses langsung ke rongga
sinus maksila melalui kateter. Dalam sebuah studi tidak terkontrol, ada 37 subjek
dengan kista fibrosis menjalani operasi sinus endoskopik diikuti oleh pembilasan
dengan salin dan antibiotik. Semua subjek melaporkan perbaikan klinis pada gejala
hidung dan juga rasa peningkatan kesejahteraan. Pembilasan dengan antimikroba
topikal ditambah dengan bedah sinus endoskopik dapat mengurangi kebutuhan untuk
re-operasi dan mengembalikan patensi sinus secara radiologis untuk waktu lama.2
Polipektomi nasal endoskopik adalah terapi pilihan untuk polip hidung
obstruktif. Dalam era pra-endoskopik, tingkat kekambuhan setelah prosedur sangat
tinggi. Pengalaman lebih baru telah menunjukkan tingkat kekambuhan jauh lebih
rendah dengan menggunakan teknik bedah endoskopik. Dalam sebuah studi tidak
terkontrol, dari 46 pasien kista fibrosis menjalani operasi sinus endoskopik untuk
rinosinusitis kronis dan polypoid, hanya 19 pasien memerlukan lebih dari satu kali
operasi. Intervensi bedah dilaporkan mengurangi sumbatan hidung, mengurangi
discharge purulen hidung, meningkatkan tingkat aktifitas, dan mengembalikan fungsi
penghidu.2
Meskipun operasi sinus telah terbukti mengurangi gejala spesifik sinus,
operasi tanpa perawatan medis lebih lanjut tidak berguna. Dalam sebuah penelitian
retrospektif pada 15 pasien kista fibrosis menjalani etmoidektomi endoskopik dan
antrostomi, 14 dari 15 pasien tidak ada perbaikan dalam tes fungsi paru pasca operasi.
Demikian pula, operasi endoskopik dilaporkan hanya memiliki dampak minimal
terhadap sinus pada temuan CT pasien kista fibrosis. Dalam sebuah studi dari 38

25

orang dewasa penderita kista fibrosis, 11 orang telah menjalani operasi sinus saat
masa kanak kanak dan 5 pasien diantaranya memerlukan operasi tambahan saat
dewasa. Dari 27 pasien belum pernah menjalani operasi, hanya 3 memerlukan operasi
saat dewasa, hal ini menunjukkan bahwa operasi tidak melindungi terhadap gejala
sinusitis lebih lanjut dan pasien dengan penyakit sinus ringan cenderung selalu
memiliki penyakit sinus ringan. Pemikiran saat ini adalah bahwa pasien kista fibrosis
dengan gejala minimal tidak harus menjalani operasi sinus profilaksis. Dengan
demikian, operasi sinus saja belum terbukti meningkatkan fungsi paru, meningkatkan
gambaran radiografik, atau mencegah komplikasi sinus lebih lanjut pada pasien kista
fibrosis dan harus disediakan perawatan medis lebih lanjut untuk menghilangkan
gejala spesifik sinus.2
3.5.4.1. FESS (Functional Endoscopic Sinus Surgery). Beberapa studi telah
menunjukkan FESS sebagai prosedur aman untuk mereka dengan kista fibrosis
dengan rendahnya tingkat komplikasi seperti perdarahan. Pendekatan bedah mirip
dengan pasien bukan kista fibrosis, meskipun beberapa studi telah menunjukkan skor
gejala lebih baik dan tingkat kekambuhan lebih rendah dengan operasi lebih luas.6
Saat manajemen medis dan adenoidektomi gagal dalam mengontrol
rinosinusitis kronis atau ketika pasien memiliki indikasi anatomi atau patologik
(seperti mukokel), bedah sinus endoskopik fungsional (FESS) adalah terapi yang
aman dan efektif. Indikasi lainnya termasuk adanya komplikasi supuratif, polip
hidung, neoplasma, dan gangguan penyakit sistemik oleh adanya sinusitis (seperti
kista fibrosis). Salah satu kesulitannya adalah bahwa saat ini tidak ada studi dalam
literatur menggunakan pengukur hasil yang tervalidasi untuk menilai hasil. Sebagian
besar penulis setuju bahwa konsep "kurang lebih" berlaku khusus untuk anak-anak
yang menjalani FESS. Dua tujuan operasi adalah untuk: (1) mengembalikan
komunikasi fisiologis paten antara sinus sakit dan rongga hidung, dan (2)
mempertahankan anatomi normal.6

26

3.6. Prognosis cystic fibrosis of the maxillary sinus


Cystic fibrosis atau kista fibrosis merupakan penyakit genetik fatal yang
paling umum terjadi, tetapi dengan pemahaman mengenai penyakit dan pengobatan
agresif, pasien kista fibrosis yang dulu meninggal saat bayi dapat hidup dengan baik
hingga dewasa.1

27

BAB IV
RESUME

Dalam 60 tahun terakhir, kista fibrosis telah berkembang dari suatu penyakit
pankreas tidak khas menewaskan bayi menjadi penyakit dapat dijelaskan dengan baik
dan pasien dapat bertahan hidup hingga dewasa. Pencapaian luar biasa ini merupakan
hasil dari ilmu multidisiplin, serta dari perawatan klinis multidisiplin. Para ahli THTKL harus siap akan peningkatan jumlah pasien kista fibrosis di tahun tahun
mendatang seiring meningkatnya populasi dan pengobatan penyakit sinus sebagai lini
terdepan.1
Kelainan sinus sering ditemukan pada pasien dengan kista fibrosis. Gejala
seperti hidung tersumbat, hilangnya sensasi pengecapan, dan sakit kepala kronis
umum terjadi dan seringkali sulit untuk diobati. Ketika mengevaluasi pasien dengan
sinusitis kronis, temuan polip hidung tidak eosinofilik, organisme bakteri tidak biasa,
atau gambaran radiologis spesifik mengarahkan diagnosis kista fibrosis. Kista fibrosis
harus dicari walaupun tanpa adanya gejala paru atau gastrointestinal. Terapi medis
dan bedah dapat mengurangi angka morbiditas pada pasien kista fibrosis, meskipun
masih banyak yang belum diketahui tentang manajemen terapi ideal.2

28

DAFTAR PUSTAKA

1. Henig NR. Cystic Fibrosis and Sinusitis. Dalam : Brook I. Sinusitis, From
Microbiology to Management. Taylor & Francis Group. 2006: 357-68.
2. Mak GK, Henig NR. Sinus Disease in Cystic Fibrosis. In : Clinical Reviews in
Allergy and Immunology 21. Humana Press Inc. 2001: 51- 63.
3. Stammberger H, Lund VJ. Anatomy of the Nose and Paranasal Sinuses. In : ScottBrowns Otorhinolaryngology, Head and Neck Surgery volume 2. 7 th edition.
Hodder Arnold. 2008: 1316-41.
4. Soetjipto D, Mangunkusumo E. Sinus Paranasal. Dalam : Soepardi EA, Iskandar
N, et al. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan
Leher. Edisi 6. Jakarta: FKUI. 2010: 145-9.
5. Ballenger JJ. Anatomy and Physiology of the Nose and Paranasal Sinuses. In :
Snow JB, Ballenger JJ. Ballengers Otorhinolaryngology, Head and Neck
Surgery. 16th edition. BC Decker. 2003: 547-60.
6. Whitley W, Sargi Z, Younis RT. Special Considerations for Pediatric Maxillary
Sinusitis. In : Duncavage JA, Becker SS. The Maxillary Sinus, Medical and
Surgical Management. Thieme. 2011: 62-4.
7. Probst R, Grevers G, Iro H. Anatomy, Physiology, and Immunology of the Nose,
Paranasal Sinuses, and Face. In : Basic Otorhinolaryngology, A Step-by-Step
Learning Guide. Thieme. 2005: 4-11.
8. Patel PM, Jones JR. Paranasal Sinus Diseases and Infections. In : Ludman H,
Bradley PJ. ABC of Ear, Nose, Throat. 5th edition. Blackwell. 2007: 38.
9. Henig N. Sinusitis and Cystic Fibrosis. In : Stanford Medicine. Available at :
http://cfcenter.stanford.edu/facts/CFNews-Sinusitis.html

29

Anda mungkin juga menyukai