Anda di halaman 1dari 16

PATOFISIOLOGI

SYOK ANAFILAKTIK
PEMBIMBING :
dr. Mas Wishnuwardhana Sp.A
Penulis:
Farida Apriani
030.07.089

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak


Rumah Sakit Umum Daerah Bekasi
Periode 16 Maret 2015-23 Mei 2015
Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti
Jakarta
2015

Definisi Syok Anafilaktik


Secara harfiah, anafilaksis berasal dari kata ana yang berarti balik dan phylaxis yang
berarti perlindungan. Dalam hal ini respon imun yang seharusnya melindungi (prophylaxis)
tetapi justru merusak jaringan, dengan kata lain kebalikan dari pada melindungi (anti-phylaxis
atau anaphylaxis).1
Syok anafilaktik adalah suatu respons hipersensitivitas yang diperantarai oleh
Immunoglobulin E (hipersensitivitas tipe I) dan menghasilkan rilis mediator kimia seperti sel
mast dan basofil yang akan berpengaruh pada sistem kardiovaskuler yang ditandai dengan curah
jantung dan tekanan arteri yang menurun hebat, sistem pernapasan seperti depresi nafas, dan
sistem gastrointestinal.2,3
Syok anafilaktik disebabkan oleh adanya suatu reaksi antigen-antibodi yang timbul
segera setelah suatu antigen yang sensitif masuk dalam sirkulasi. Syok anafilaktik merupakan
salah satu manifestasi klinis dari anafilaksis yang merupakan syok distributif, ditandai oleh
adanya hipotensi yang nyata akibat vasodilatasi mendadak pada pembuluh darah dan disertai
kolaps pada sirkulasi darah yang dapat menyebabkan terjadinya kematian. Syok anafilaktik
merupakan kasus kegawatan, tetapi terlalu sempit untuk menggambarkan anafilaksis secara
keseluruhan, karena anafilaksis yang berat dapat terjadi tanpa adanya hipotensi, seperti pada
anafilaksis dengan gejala utama obstruksi saluran napas.2,3,4
Secara klinik terdapat 3 tipe dari reaksi anafilaktik yaitu:
1.

Rapid reaction/reaksi cepat, terjadi beberapa menit sampai 1 jam setelah terpapar dengan
alergen

2.

Moderate reaction/reaksi moderat terjadi antara 1-24 jam setelah terpapar dengan alergen

3.

Delayed rection/reaksi lambat terjadi >24 jam setelah terpapar dengan alergen.2,4

3 Etiologi
Atopi merupakan faktor resiko reaksi anafilaksis. Pada studi berbasis populasi di Olmsted
County, 53% dari pasien anafilaksis memiliki riwayat penyakit atopi. Cara dan waktu pemberian
berpengaruh terhadap terjadinya reaksi anafilaksis. Pemberian secara oral lebih sedikit
kemungkinannya menimbulkan reaksi dan kalaupun ada biasanya tidak berat. Selain itu, semakin
lama interval pajanan pertama dan kedua, semakin kecil kemungkinan reaksi anafilaksis akan

muncul kembali. Hal ini berhubungan dengan katabolisme dan penurunan sintesis dari IgE
spesifik seiring waktu.5,6
Asma merupakan faktor risiko yang fatal berakibat fatal. Lebih dari 90% kematian karena
anafilaksis makanan terjadi pada pasien asma. Penundaan pemberian adrenalin juga merupakan
faktor risiko yang berakibat fatal. 6
Faktor-faktor yang diduga dapat meningkatkan risiko anafilaksis adalah sifat alergen,
jalur pemberian obat, dan kesinambungan paparan alergen. Golongan alergen yang sering
menimbulkan reaksi anafilaksis adalah makanan, obat-obatan, sengatan serangga, dan lateks.
Udang, kepiting, kerang, ikan kacang-kacangan, biji-bijian, buah beri, putih telur, dan susu
adalah makanan yang biasanya menyebabkan suatu reaksi anafilaksis. Obat-obatan yang bisa
menyebabkan anafikasis seperti antibiotik khususnya penisilin, obat anestesi intravena, relaksan
otot, aspirin, NSAID, opioid, vitamin B1, asam folat, dan lain-lain. Media kontras intravena,
transfusi darah, latihan fisik, dan cuaca dingin juga bisa menyebabkan anafilaksis.6,7
Tabel 2.1 Mekanisme dan Obat Pencetus Anafilaksis
Anafilaksis (melalui IgE)
Antibiotik (penisilin, sefalosporin)
Ekstrak alergen (tawon, polen)
Obat (glukokortikoid, thiopental, suksinilkolin)
Enzim (kemopapain, tripsin)
Serum heterolog (antitoksin tetanus, globulin antilimfosit)
Protein manusia (insulin, vasopresin, serum)
Anafilaktoid (tidak melalui IgE)
Zat pelepas histamin secara langsung
Obat (opiat, vankomisin, kurare)
Cairan hipertonik (media radiokontras, manitol)
Obat lain (dekstran, fluoresens)
Aktivasi komplemen

Protein manusia (imunoglobulin dan produk darah


lainnya)
Bahan dialisis
Modulasi metabolisme asam arakidonat
Asam asetilsalisilat
NSAIDs
Sumber : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi ke-5, Jilid 1, Balai Penerbit
Ilmu Penyakit Dalam FK UI, Jakarta.
Penyebab anafilaksis sangat beragam, diantaranya adalah antibiotik, ekstrak alergen,
serum kuda, zat diagnostik, bisa (venom), produk darah, anestetikum lokal, makanan, enzim,
hormon, dan lain-lain. Antibiotik dapat berupa penisilin dan derivatnya, basitrasin, neomisin,
terasiklin, streptomisin, sulfonamid, dan lain-lain. Ekstrak alergen biasanya berupa rumputrumputan atau jamur, atau serum ATS, ADS dan anti bisa ular.7

Gambar 2.1 Sengatan lebah merupakan penyebab anafilaktik 7


Beberapa bahan yang sering dipergunakan untuk prosedur diagnosis dan dapat
menimbulkan anafilaksis misalnya adalah zat radioopak, bromsulfalein, benzilpenisiloil-polilisin.
Demikian pula dengan anestetikum lokal seperti prokain atau lidokain. Bisa yang dapat
menimbulkan anafilasik misalnya bisa ular, semut, dan sengatan lebah. Darah lengkap atau
produk darah seperti gamaglobulin dan kriopresipitat dapat pula menyebabkan anafilaksis.
Makanan yang telah dikenal sebagai penyebab anafilaksis seperti misalnya susu sapi, kerang,
kacang-kacangan, ikan, telur dan udang.7,8

Tabel 2.2 Faktor Penyebab Anafilaktik 6,7,8


Alergen Penyebab Anafilaksis
Makanan Krustasea:Lobster, udang dan kepiting
Moluska : kerang
Ikan
Kacang-kacangan dan biji-bijian
Buah beri
Putih telur
Susu
Obat

Dan lain-lain
Hormon : Insulin, PTH, ACTH, Vaso-presin, Relaxin
Enzim

: Tripsin,Chymotripsin, Penicillinase, As-paraginase

Vaksin dan Darah


Toxoid : ATS, ADS, SABUA
Ekstrak alergen untuk uji kulit
Dextran
Antibiotika:
Penicillin,Streptomisin,Cephalosporin,Tetrasiklin,Ciprofloxacin,Amph
otericin B, Nitrofurantoin.
Agen diagnostik-kontras
Vitamin B1, Asam folat
Agent anestesi: Lidocain, Procain,
Lain-lain: Barbiturat, Diazepam, Phenitoin, Protamine, Aminopyrine,
Bisa

Acetil cystein , Codein, Morfin, Asam salisilat dan HCT


Lebah Madu, Jaket kuning, Semut api Tawon (Wasp)

serangga
Lain-lain Lateks, Karet, Glikoprotein seminal fluid
2.4 Patofisiologi Syok Anafilaktik
Anafilaksis dikelompokkan dalam hipersensitivitas tipe I (immediate type reaction) oleh
Coombs dan Gell (1963), timbul segera setelah tubuh terpajan dengan alergen. Anafilaksis

diperantarai melalui interaksi antara antigen dengan IgE pada sel mast, yang menyebabkan
terjadinya pelepasan mediator inflamasi. Reaksi ini terjadi melalui 2 fase: 5,6
1. Fase sensitasi yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai diikatnya dengan
reseptor spesifik pada permukaan sel mast dan basofil.
2. Fase aktivasi yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan antigen yang sama
dan sel mast melepas isinya yang berisikan granul yang menimbulkan reaksi.

Gambar 2.2 Patofisiologi Reaksi Anfilaksis 7

Alergen yang masuk lewat kulit, mukosa, saluran nafas atau saluran makan di tangkap
oleh Makrofag. Makrofag segera mempresentasikan antigen tersebut kepada Limfosit T, dimana
ia akan mensekresikan sitokin (IL4, IL13) yang menginduksi Limfosit B berproliferasi menjadi
sel Plasma (Plasmosit). Sel plasma memproduksi Ig E spesifik untuk antigen tersebut kemudian
terikat pada reseptor permukaan sel Mast (Mastosit) dan basofil. Aktivasi mastosit dan basofil
menyebabkan juga respon bifasik dari cAMP intraselluler. Terjadi kenaikan cAMP kemudian
penurunan drastis sejalan dengan pelepasan mediator dan granula kedalam cairan ekstraselluler.
Sebaliknya penurunan cGMP justru menghambat pelepasan mediator. Obat-obatan yang
mencegah penurunan cAMP intraselluler ternyata dapat menghilangkan gejala anafilaksis. Obatobatan ini antara lain adalah katekolamin (meningktakan sintesis cAMP) dan methyl xanthine
misalnya aminofilin (menghambat degradasi cAMP). Pada tahap selanjutnya mediator-mediator
ini menyebabkan pula rangkaian reaksi maupun sekresi mediator sekunder dari netrofil,eosinofil
dan trombosit,mediator primer dan sekunder menimbulkan berbagai perubahan patologis pada
vaskuler dan hemostasis, sebaliknya obat-obat yang dapat meningkatkan cGMP (misalnya obat
cholinergik) dapat memperburuk keadaan karena dapat merangsang terlepasnya mediator.5,7,8
Mastosit dan basofil melepaskan isinya yang berupa granula yang menimbulkan reaksi
pada paparan ulang. Pada kesempatan lain masuk alergen yang sama ke dalam tubuh. Alergen
yang sama tadi akan diikat oleh Ig E spesifik dan memicu terjadinya reaksi segera yaitu
pelepasan mediator vasoaktif antara lain histamin, serotonin, bradikinin dan beberapa bahan
vasoaktif lain dari granula yang di sebut dengan istilah preformed mediators.8,9
Ikatan antigen-antibodi merangsang degradasi asam arakidonat dari membran sel yang
akan menghasilkan leukotrien (LT) dan prostaglandin (PG) yang terjadi beberapa waktu setelah
degranulasi yang disebut newly formed mediators. Fase efektor adalah waktu terjadinya respon
yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek mediator yang dilepas mastosit atau basofil dengan
aktivitas farmakologik pada organ organ tertentu. Histamin memberikan efek bronkokonstriksi,
meningkatkan permeabilitas kapiler yang nantinya menyebabkan edema, sekresi mucus, dan
vasodilatasi. Serotonin meningkatkan permeabilitas vaskuler dan bradikinin menyebabkan
kontraksi otot polos. Platelet activating factor (PAF) berefek bronkospasme dan meningkatkan
permeabilitas vaskuler, agregasi dan aktivasi trombosit. Beberapa faktor kemotaktik menarik
eosinofil

dan

neutrofil.

bronkokonstriksi.9,10

Prostaglandin

leukotrien

yang

dihasilkan

menyebabkan

Vasodilatasi pembuluh darah yang terjadi mendadak menyebabkan terjadinya fenomena


maldistribusi dari volume dan aliran darah. Hal ini menyebabkan penurunan aliran darah balik
sehingga curah jantung menurun yang diikuti dengan penurunan tekanan darah. Kemudian
terjadi penurunan tekanan perfusi yang berlanjut pada hipoksia ataupun anoksia jaringan yang
berimplikasi pada keaadan syok yang membahayakan penderita.9
2.5 Gambaran Klinis Syok Anafilaktik
Gambaran klinis anafilaksis sangat bervariasi baik cepat dan lamanya reaksi maupun luas
dan beratnya reaksi. Reaksi dapat mulai dalam beberapa detik atau menit sesudah terpajan
alergen dan gejala ringan dapat menetap sampai 24 jam meskipun diobati. Gejala dapat dimulai
dengan gejala prodormal baru menjadi berat, tetapi kadang-kadang langsung berat. Gejala dapat
terjadi segera setelah terpapar dengan antigen, yang dapat terjadi pada satu atau lebih organ
target, antara lain kardiovaskuler, respirasi, gastrointestinal, kulit, mata, susunan saaraf pusat dan
sistem saluran kencing. Keluhan yang sering dijumpai pada fase permulaan ialah rasa takut,
perih dalam mulut, gatal pada mata dan kulit, panas dan kesemutan pada tungkai, sesak, serak,
mual, pusing, lemas dan sakit perut.10,11
Gejala yang timbul pada organ ialah:
a. Kardiovaskuler
Dapat terjadi sentral maupun perifer. Gangguan pada sirkulasi perifer dapat dilihat dari pucat
dan ekstremitas dingin. Selain itu kurangnya pengisian vena perifer lebih bermakna
dibandingkan penurunan tekanan darah. Dapat pula terjadi tekanan darah rendah, vena
perifer kolaps, CVP rendah, palpitasi, takikardi, hipotensi, aritmia, penurunan volume efektif
plasma, nadi cepat dan halus sampai tidak teraba, renjatan, pingsan, pada EKG dapat
ditemukan aritmia, T mendatar atau terbalik, irama nodal, fibrilasi ventrikel sampai asistol.
b. Respirasi
Dapat terjadi pernapasan cepat dan dangkal, rhinitis, bersin, gatal dihidung, batuk, sesak,
mengi, stridor, suara serak, gawat napas, takipnea sampai apnea, kongesti hidung, edema dan
hiperemi mukosa, obstuksi jalan napas, bronkospasme, hipersekresi mukus, wheezing
dispnea, dan kegagalan pernafasan.
c. Gastrointestinal

Kram perut karena kontraksi dan spasme otot polos intestinal. Mual, muntah, sakit perut,
diare.
d. Kulit
Pruritus, urtikaria, angioedema, eritema.
e. Mata
Gatal, lakrimasi, merah, bengkak.
f. Susunan saraf pusat
Disorientasi, halusinasi, rasa logam, kejang, koma.
g. Sistem saluran kencing
Produksi urin berkurang. 10,11
Kematian dapat disebabkan oleh gagal napas, aritmia ventrikel atau renjatan yang
ireversibel. Selain beberapa gangguan pada beberapa sistem organ, Manifestasi klinik syok
Anafilaksis masih dibagi dalam derajat berat ringannya, yaitu sebagai berikut:
a. Ringan
1.

Kesemutan perifer, sensasi hangat, rasa sesak dimulut dan tenggorok.

2.

Kongesti hidung, pembengkakan periorbital, pruritus, bersin-bersin, mata berair.

3.

Awitan gejala-gejala dimulai dalam 2 jam pertama setelah pemajanan.5

b. Sedang
1.

Dapat mencakup semua gejala-gejala ringan ditambah bronkospasme dan edema jalan
nafas atau laring dengan dispnea, batuk dan mengi.

2.

Wajah kemerahan, hangat, ansietas dan gatal-gatal.

3.

Awitan gejala-gejala sama dengan reaksi ringan.5,6

c.

Berat/parah
1.

Awitan yang sangat mendadak dengan tanda-tanda dan gejala-gejala yang sama seperti
yang telah disebutkan diatas disertai kemajuan yang pesat ke arah bronkospame, edema
laring, dispnea berat dan sianosis.

2.

Disfagia, keram pada abdomen, muntah, diare dan kejang-kejang.

3.

Henti jantung dan koma jarang terjadi.5,6

Gambar 2.3 Gambaran klinis anafilaktik 5

Penatalaksanaan Syok Anafilaktik


Upaya penatalaksanaan syok anafilaktik dilakukan dengan beberapa tahap, yaitu :
1.

Posisikan pasien

2.

Penilaian A, B, C dari tahapan resusitasi jantung paru, yaitu:


A. Airway (membuka jalan napas)
B. Breathing support
C. Circulation support

3.

Pemberian epinefrin
Administrasi langsung dengan dosis epinefrin yang memadai sangat penting untuk
mengurangi morbiditas dan mortalitas pasien. Meskipun epinefrin memiliki indeks terapeutik
yang sempit (rasio risiko-manfaat), epinefrin mempunyai efek a1, b1, b2 agonis yang penting
dalam membalikan gejala anafilaksis. Efek agonis a1 penting terhadap resistensi pembuluh
darah perifer meningkat, yaitu dengan menciptakan vasokonstriksi dan mengurangi edema
mukosa. Peningkatan inotropi dan kronotropi merupakan efek agonis b1. Stimulasi dari
reseptor b2 menyebabkan bronkodilatasi dan penurunan pelepasan mediator sel mast dan
basofil.7,12
Secara historis, rute administrasi epinefrin subkutan administrasi disarankan. Namun,
penelitian telah menyimpulkan bahwa, baik anak-anak dan orang dewasa, rute intramuskular

lebih unggul dibandingkan rute subkutan dalam mencapai kadar konsentrasi plasma puncak,
lebih cepat dan kadarnya lebih tinggi. Hal ini mungkin akibat penurunan perfusi kulit dalam
upaya untuk mempertahankan tekanan darah sistemik selama proses anafilaksis. Epinefrin
konsentrasi 1:1000 digunakan untuk pemberian secara intramuskular dengan dosis 0,01 mg /
kg (0,01 ml / kg), dengan dosis maksimum 0,3 mg sekitar (0,3 ml). Jika dosis awal tidak
efektif, mungkin harus diulang pada interval 5 hingga 15 menit. Dosis dewasa dapat
diberikan langsung 0,3-0,5 mg. Solusi 1:1000 tidak diindikasikan untuk penggunaan
intravena. 7,12
Beberapa penulis menganjurkan pemberian infus kontinyu adrenalin 24 ug/menit.
Paha

anterolateral

adalah

tempat

yang

direkomendasikan

untuk dilakukannya injeksi. 7,12


Epinefrin

inhalasi

sebaiknya

tidak

diberikan

sebagai

pengganti

epinefrin

intramuskular dalam manajemen akut anafilaksis pada anak-anak. Peneliti menetapkan


bahwa anak-anak tidak efektif pada menghirup jumlah yang cukup dari epinefrin
menggunakan inhaler dosis terukur meskipun pelatihan ahli. Sebagai alternatif untuk injeksi
intramuskular, rute sublingual administrasi epinefrin-baru ini telah diselidiki dengan
menggunakan model kelinci. Meskipun hasil yang menjanjikan, ada data yang cukup untuk
merekomendasikan penggunaan rutin dalam pengobatan anafilaksis pada manusia. 7,12
Tabel 2.3 Dosis Adrenalin 12
Usia
Dewasa
Anak lebih dari 12 tahun
Anak 6-12 tahun
Anak kurang dari 6 tahun

Dosis Adrenalin
500 mikrogram im (0,5 ml)
500 mikrogram im (0,5 ml)
300 mikrogram im (0,3 ml)
150
krogram im (0,15 ml)

Tabel 2.1. Dosis Adrenalin Intramuskular untuk Anak-anak

Jika hipotensi berlanjut, meskipun diberikan epinefrin, resusitasi cairan agresif, maka
epinefrin intravena harus diberikan. Pemberiannya adalah dengan solusi epinefrin 1:10.000
dengan dosis 0,01 mg / kg (0,1 ml / kg), dengan dosis maksimal 1 mg. Sebuah infus epinefrin
terus menerus mungkin diperlukan untuk mempertahankan tekanan darah. Jika hipotensi
terus meskipun disebutkan di atas intervensi, vasopresin atau vasopressor potensial lainnya
(agonis a1) mungkin lebih efektif. 7,12
4.

Obat tambahan
Pilihan kedua dari epinefrin atau terapi tambahan diantaranya adalah termasuk
antihistamin H1 dan H2 dan kortikosteroid. Adalah penting untuk menyadari bahwa
antihistamin memiliki onset yang lambat dan tidak dapat memblokir peristiwa yang terjadi
setelah pengikatan reseptor histamin. Administrasi antihistamin H1 dan H2 dalam kombinasi
telah dilaporkan lebih efektif dalam memperbaiki beberapa manifestasi anafilaksis daripada
antihistamin H1 saja. Diphenhydramine, antihistamin H1 generasi pertama, dapat diberikan
parenteral dan paling sering digunakan dalam pengelolaan anafilaksis. 7,12

Tabel 2.4 Dosis Klorfenamin 12


Usia
Dewasa atau >12 tahun
6-12 tahun
6 bulan hingga 6 tahun
< 6 bulan

Dosis
10 mg im atau iv pelan
5 mg im atau iv pelan
2,5 mg im atau iv pelan
250 mikrogram/kg im atau iv pelan

Tabel 2.5 Dosis Steroid 12


Usia
Dewasa atau >12 tahun

Dosis
200 mg im atau iv pelan

6-12 tahun
6 bulan hingga 6 tahun
< 6 bulan

100 mg im atau iv pelan


50 mg im atau iv pelan
25 mg im atau iv pelan

Dalam hal terjadi spasme bronkus di mana pemberian adrenalin kurang memberi
respons, dapat ditambahkan aminofilin 56 mg/kgBB intravena dosis awal yang diteruskan
0.40.9 mg/kgBB/menit dalam cairan infus.12

Gambar 2.4 Algoritma penanganan syok anafilaktik 12


5. Resusitasi Jantung Paru
RJP dilakukan apabila terdapat tanda-tanda kagagalan sirkulasi dan pernafasan.
Untuk itu tidakan RJP yang dilakukan sama seperti pada umumnya. 7,12
Bilamana penderita akan dirujuk ke rumah sakit lain yang lebih baik fasilitasnya,
maka sebaiknya penderita dalam keadaan stabil terlebih dahulu. Sangatlah tidak bijaksana
mengirim penderita syok anafilaksis yang belum stabil penderita akan dengan mudah jatuh
ke keadaan yang lebih buruk bahkan fatal. Saat evakuasi, sebaiknya penderita dikawal oleh
dokter dan perawat yang menguasai penanganan kasus gawat darurat. 7,12
Penderita yang tertolong dan telah stabil jangan terlalu cepat dipulangkan karena
kemungkinan terjadinya reaksi lambat anafilaksis. Sebaiknya penderita tetap dimonitor

paling tidak untuk 12-24 jam. Untuk keperluan monitoring yang kektat dan kontinyu ini
sebaiknya penderita dirawat di Unit Perawatan Intensif. 7,12
6. Pengamatan
Sebuah periode pengamatan diindikasikan bagi semua pasien yang mengalami reaksi
anafilaksis. Reaksi laten dapat terjadi pada 20% pasien dan jarang dapat terjadi pada 72 jam
akhir setelah reaksi awal. Lamanya waktu untuk observasi harus didasarkan pada keparahan
dari reaksi awal, kecukupan pengawasan, ketahanan pasien, dan kemudahan akses ke
perawatan medis. Banyak penulis menyarankan waktu pengamatan dari 6 sampai 8 jam,
namun waktu pengamatan hingga 24 jam dapat dibenarkan untuk beberapa pasien. 7,12

DAFTAR PUSTAKA
1. Steven E. 2000. The American Heritage Dictionary of the English Language, Fourth Edition.
copyright by Houghton Mifflin Company.
2. Nelson, Richard.E, et all.2002.Nelson Text Book of Pediatric.Philadelphia: W.B Saunders
Company. Page 797-799.
3. Simon, Ledit R, et all.2011.World Allergy Organization anaphylaxis guidelines.J Allergy Clin
Immunol.p ; 587-593
4. Mangku, G.2007. Diktat Kuliah: Syok, Bagian Anestesiologi dan Reanimasi FK UNUD/RS
Sanglah, Denpasar.Denpasar: FK UNUD.
5. Koury SI, Herfel LU . (2000) Anaphylaxis and acute allergic reactions. In :International
edition Emergency Medicine.Eds :Tintinalli,Kellen,Stapczynski 5th ed McGrraw-Hill New
York-Toronto.pp 242-6
6. Neugut AI, Ghatak AT, Miller RL. 2001. Anaphylaxis in the United States, An Investigation
Into Its Epidemiology. Arch Intern Med. Page 161:15-21.
7. Johnson RF, Peebles RS. 2011. Anaphylactic Syok: Pathophysiology, Recognition, and
Treatment.

Medscape.

Available

from

URL:

http://www.medscape.com/viewarticle/497498_2 [1 April 2013]


8. Ewan, PW. 1998. Anaphylaxis. ABC of Allergies; BMJ. Vol 316. Hal 1442-1445
9. Suryana K. 2003. Diktat Kuliah. Clinical Allergy Immunology. Divisi Alergi Imunologi
Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD/RS Sanglah, Denpasar.
10. Rengganis Rengganis I. Rejatan Anafilaktik. Dalam : Sudoyo A ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. 4th Ed. Jilid I. 2007. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam, p:
190-193
11. Baratawidjaja KG, Rengganis I. 2009. Imunologi Dasar. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Interna Publising, Jakarta.

12. Muraro, A., G.Roberts, A.Clark, A.Eigenmann, S.Halken, G.Lack. et al. The Management of
anaphylaxis in childhood : Position paper of the European academy of allergology and
clinical immunology. Allergy. 2007;62:857-71

Anda mungkin juga menyukai