PATOFISIOLOGI
PATOFISIOLOGI
SYOK ANAFILAKTIK
PEMBIMBING :
dr. Mas Wishnuwardhana Sp.A
Penulis:
Farida Apriani
030.07.089
Rapid reaction/reaksi cepat, terjadi beberapa menit sampai 1 jam setelah terpapar dengan
alergen
2.
Moderate reaction/reaksi moderat terjadi antara 1-24 jam setelah terpapar dengan alergen
3.
Delayed rection/reaksi lambat terjadi >24 jam setelah terpapar dengan alergen.2,4
3 Etiologi
Atopi merupakan faktor resiko reaksi anafilaksis. Pada studi berbasis populasi di Olmsted
County, 53% dari pasien anafilaksis memiliki riwayat penyakit atopi. Cara dan waktu pemberian
berpengaruh terhadap terjadinya reaksi anafilaksis. Pemberian secara oral lebih sedikit
kemungkinannya menimbulkan reaksi dan kalaupun ada biasanya tidak berat. Selain itu, semakin
lama interval pajanan pertama dan kedua, semakin kecil kemungkinan reaksi anafilaksis akan
muncul kembali. Hal ini berhubungan dengan katabolisme dan penurunan sintesis dari IgE
spesifik seiring waktu.5,6
Asma merupakan faktor risiko yang fatal berakibat fatal. Lebih dari 90% kematian karena
anafilaksis makanan terjadi pada pasien asma. Penundaan pemberian adrenalin juga merupakan
faktor risiko yang berakibat fatal. 6
Faktor-faktor yang diduga dapat meningkatkan risiko anafilaksis adalah sifat alergen,
jalur pemberian obat, dan kesinambungan paparan alergen. Golongan alergen yang sering
menimbulkan reaksi anafilaksis adalah makanan, obat-obatan, sengatan serangga, dan lateks.
Udang, kepiting, kerang, ikan kacang-kacangan, biji-bijian, buah beri, putih telur, dan susu
adalah makanan yang biasanya menyebabkan suatu reaksi anafilaksis. Obat-obatan yang bisa
menyebabkan anafikasis seperti antibiotik khususnya penisilin, obat anestesi intravena, relaksan
otot, aspirin, NSAID, opioid, vitamin B1, asam folat, dan lain-lain. Media kontras intravena,
transfusi darah, latihan fisik, dan cuaca dingin juga bisa menyebabkan anafilaksis.6,7
Tabel 2.1 Mekanisme dan Obat Pencetus Anafilaksis
Anafilaksis (melalui IgE)
Antibiotik (penisilin, sefalosporin)
Ekstrak alergen (tawon, polen)
Obat (glukokortikoid, thiopental, suksinilkolin)
Enzim (kemopapain, tripsin)
Serum heterolog (antitoksin tetanus, globulin antilimfosit)
Protein manusia (insulin, vasopresin, serum)
Anafilaktoid (tidak melalui IgE)
Zat pelepas histamin secara langsung
Obat (opiat, vankomisin, kurare)
Cairan hipertonik (media radiokontras, manitol)
Obat lain (dekstran, fluoresens)
Aktivasi komplemen
Dan lain-lain
Hormon : Insulin, PTH, ACTH, Vaso-presin, Relaxin
Enzim
serangga
Lain-lain Lateks, Karet, Glikoprotein seminal fluid
2.4 Patofisiologi Syok Anafilaktik
Anafilaksis dikelompokkan dalam hipersensitivitas tipe I (immediate type reaction) oleh
Coombs dan Gell (1963), timbul segera setelah tubuh terpajan dengan alergen. Anafilaksis
diperantarai melalui interaksi antara antigen dengan IgE pada sel mast, yang menyebabkan
terjadinya pelepasan mediator inflamasi. Reaksi ini terjadi melalui 2 fase: 5,6
1. Fase sensitasi yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai diikatnya dengan
reseptor spesifik pada permukaan sel mast dan basofil.
2. Fase aktivasi yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan antigen yang sama
dan sel mast melepas isinya yang berisikan granul yang menimbulkan reaksi.
Alergen yang masuk lewat kulit, mukosa, saluran nafas atau saluran makan di tangkap
oleh Makrofag. Makrofag segera mempresentasikan antigen tersebut kepada Limfosit T, dimana
ia akan mensekresikan sitokin (IL4, IL13) yang menginduksi Limfosit B berproliferasi menjadi
sel Plasma (Plasmosit). Sel plasma memproduksi Ig E spesifik untuk antigen tersebut kemudian
terikat pada reseptor permukaan sel Mast (Mastosit) dan basofil. Aktivasi mastosit dan basofil
menyebabkan juga respon bifasik dari cAMP intraselluler. Terjadi kenaikan cAMP kemudian
penurunan drastis sejalan dengan pelepasan mediator dan granula kedalam cairan ekstraselluler.
Sebaliknya penurunan cGMP justru menghambat pelepasan mediator. Obat-obatan yang
mencegah penurunan cAMP intraselluler ternyata dapat menghilangkan gejala anafilaksis. Obatobatan ini antara lain adalah katekolamin (meningktakan sintesis cAMP) dan methyl xanthine
misalnya aminofilin (menghambat degradasi cAMP). Pada tahap selanjutnya mediator-mediator
ini menyebabkan pula rangkaian reaksi maupun sekresi mediator sekunder dari netrofil,eosinofil
dan trombosit,mediator primer dan sekunder menimbulkan berbagai perubahan patologis pada
vaskuler dan hemostasis, sebaliknya obat-obat yang dapat meningkatkan cGMP (misalnya obat
cholinergik) dapat memperburuk keadaan karena dapat merangsang terlepasnya mediator.5,7,8
Mastosit dan basofil melepaskan isinya yang berupa granula yang menimbulkan reaksi
pada paparan ulang. Pada kesempatan lain masuk alergen yang sama ke dalam tubuh. Alergen
yang sama tadi akan diikat oleh Ig E spesifik dan memicu terjadinya reaksi segera yaitu
pelepasan mediator vasoaktif antara lain histamin, serotonin, bradikinin dan beberapa bahan
vasoaktif lain dari granula yang di sebut dengan istilah preformed mediators.8,9
Ikatan antigen-antibodi merangsang degradasi asam arakidonat dari membran sel yang
akan menghasilkan leukotrien (LT) dan prostaglandin (PG) yang terjadi beberapa waktu setelah
degranulasi yang disebut newly formed mediators. Fase efektor adalah waktu terjadinya respon
yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek mediator yang dilepas mastosit atau basofil dengan
aktivitas farmakologik pada organ organ tertentu. Histamin memberikan efek bronkokonstriksi,
meningkatkan permeabilitas kapiler yang nantinya menyebabkan edema, sekresi mucus, dan
vasodilatasi. Serotonin meningkatkan permeabilitas vaskuler dan bradikinin menyebabkan
kontraksi otot polos. Platelet activating factor (PAF) berefek bronkospasme dan meningkatkan
permeabilitas vaskuler, agregasi dan aktivasi trombosit. Beberapa faktor kemotaktik menarik
eosinofil
dan
neutrofil.
bronkokonstriksi.9,10
Prostaglandin
leukotrien
yang
dihasilkan
menyebabkan
Kram perut karena kontraksi dan spasme otot polos intestinal. Mual, muntah, sakit perut,
diare.
d. Kulit
Pruritus, urtikaria, angioedema, eritema.
e. Mata
Gatal, lakrimasi, merah, bengkak.
f. Susunan saraf pusat
Disorientasi, halusinasi, rasa logam, kejang, koma.
g. Sistem saluran kencing
Produksi urin berkurang. 10,11
Kematian dapat disebabkan oleh gagal napas, aritmia ventrikel atau renjatan yang
ireversibel. Selain beberapa gangguan pada beberapa sistem organ, Manifestasi klinik syok
Anafilaksis masih dibagi dalam derajat berat ringannya, yaitu sebagai berikut:
a. Ringan
1.
2.
3.
b. Sedang
1.
Dapat mencakup semua gejala-gejala ringan ditambah bronkospasme dan edema jalan
nafas atau laring dengan dispnea, batuk dan mengi.
2.
3.
c.
Berat/parah
1.
Awitan yang sangat mendadak dengan tanda-tanda dan gejala-gejala yang sama seperti
yang telah disebutkan diatas disertai kemajuan yang pesat ke arah bronkospame, edema
laring, dispnea berat dan sianosis.
2.
3.
Posisikan pasien
2.
3.
Pemberian epinefrin
Administrasi langsung dengan dosis epinefrin yang memadai sangat penting untuk
mengurangi morbiditas dan mortalitas pasien. Meskipun epinefrin memiliki indeks terapeutik
yang sempit (rasio risiko-manfaat), epinefrin mempunyai efek a1, b1, b2 agonis yang penting
dalam membalikan gejala anafilaksis. Efek agonis a1 penting terhadap resistensi pembuluh
darah perifer meningkat, yaitu dengan menciptakan vasokonstriksi dan mengurangi edema
mukosa. Peningkatan inotropi dan kronotropi merupakan efek agonis b1. Stimulasi dari
reseptor b2 menyebabkan bronkodilatasi dan penurunan pelepasan mediator sel mast dan
basofil.7,12
Secara historis, rute administrasi epinefrin subkutan administrasi disarankan. Namun,
penelitian telah menyimpulkan bahwa, baik anak-anak dan orang dewasa, rute intramuskular
lebih unggul dibandingkan rute subkutan dalam mencapai kadar konsentrasi plasma puncak,
lebih cepat dan kadarnya lebih tinggi. Hal ini mungkin akibat penurunan perfusi kulit dalam
upaya untuk mempertahankan tekanan darah sistemik selama proses anafilaksis. Epinefrin
konsentrasi 1:1000 digunakan untuk pemberian secara intramuskular dengan dosis 0,01 mg /
kg (0,01 ml / kg), dengan dosis maksimum 0,3 mg sekitar (0,3 ml). Jika dosis awal tidak
efektif, mungkin harus diulang pada interval 5 hingga 15 menit. Dosis dewasa dapat
diberikan langsung 0,3-0,5 mg. Solusi 1:1000 tidak diindikasikan untuk penggunaan
intravena. 7,12
Beberapa penulis menganjurkan pemberian infus kontinyu adrenalin 24 ug/menit.
Paha
anterolateral
adalah
tempat
yang
direkomendasikan
inhalasi
sebaiknya
tidak
diberikan
sebagai
pengganti
epinefrin
Dosis Adrenalin
500 mikrogram im (0,5 ml)
500 mikrogram im (0,5 ml)
300 mikrogram im (0,3 ml)
150
krogram im (0,15 ml)
Jika hipotensi berlanjut, meskipun diberikan epinefrin, resusitasi cairan agresif, maka
epinefrin intravena harus diberikan. Pemberiannya adalah dengan solusi epinefrin 1:10.000
dengan dosis 0,01 mg / kg (0,1 ml / kg), dengan dosis maksimal 1 mg. Sebuah infus epinefrin
terus menerus mungkin diperlukan untuk mempertahankan tekanan darah. Jika hipotensi
terus meskipun disebutkan di atas intervensi, vasopresin atau vasopressor potensial lainnya
(agonis a1) mungkin lebih efektif. 7,12
4.
Obat tambahan
Pilihan kedua dari epinefrin atau terapi tambahan diantaranya adalah termasuk
antihistamin H1 dan H2 dan kortikosteroid. Adalah penting untuk menyadari bahwa
antihistamin memiliki onset yang lambat dan tidak dapat memblokir peristiwa yang terjadi
setelah pengikatan reseptor histamin. Administrasi antihistamin H1 dan H2 dalam kombinasi
telah dilaporkan lebih efektif dalam memperbaiki beberapa manifestasi anafilaksis daripada
antihistamin H1 saja. Diphenhydramine, antihistamin H1 generasi pertama, dapat diberikan
parenteral dan paling sering digunakan dalam pengelolaan anafilaksis. 7,12
Dosis
10 mg im atau iv pelan
5 mg im atau iv pelan
2,5 mg im atau iv pelan
250 mikrogram/kg im atau iv pelan
Dosis
200 mg im atau iv pelan
6-12 tahun
6 bulan hingga 6 tahun
< 6 bulan
Dalam hal terjadi spasme bronkus di mana pemberian adrenalin kurang memberi
respons, dapat ditambahkan aminofilin 56 mg/kgBB intravena dosis awal yang diteruskan
0.40.9 mg/kgBB/menit dalam cairan infus.12
paling tidak untuk 12-24 jam. Untuk keperluan monitoring yang kektat dan kontinyu ini
sebaiknya penderita dirawat di Unit Perawatan Intensif. 7,12
6. Pengamatan
Sebuah periode pengamatan diindikasikan bagi semua pasien yang mengalami reaksi
anafilaksis. Reaksi laten dapat terjadi pada 20% pasien dan jarang dapat terjadi pada 72 jam
akhir setelah reaksi awal. Lamanya waktu untuk observasi harus didasarkan pada keparahan
dari reaksi awal, kecukupan pengawasan, ketahanan pasien, dan kemudahan akses ke
perawatan medis. Banyak penulis menyarankan waktu pengamatan dari 6 sampai 8 jam,
namun waktu pengamatan hingga 24 jam dapat dibenarkan untuk beberapa pasien. 7,12
DAFTAR PUSTAKA
1. Steven E. 2000. The American Heritage Dictionary of the English Language, Fourth Edition.
copyright by Houghton Mifflin Company.
2. Nelson, Richard.E, et all.2002.Nelson Text Book of Pediatric.Philadelphia: W.B Saunders
Company. Page 797-799.
3. Simon, Ledit R, et all.2011.World Allergy Organization anaphylaxis guidelines.J Allergy Clin
Immunol.p ; 587-593
4. Mangku, G.2007. Diktat Kuliah: Syok, Bagian Anestesiologi dan Reanimasi FK UNUD/RS
Sanglah, Denpasar.Denpasar: FK UNUD.
5. Koury SI, Herfel LU . (2000) Anaphylaxis and acute allergic reactions. In :International
edition Emergency Medicine.Eds :Tintinalli,Kellen,Stapczynski 5th ed McGrraw-Hill New
York-Toronto.pp 242-6
6. Neugut AI, Ghatak AT, Miller RL. 2001. Anaphylaxis in the United States, An Investigation
Into Its Epidemiology. Arch Intern Med. Page 161:15-21.
7. Johnson RF, Peebles RS. 2011. Anaphylactic Syok: Pathophysiology, Recognition, and
Treatment.
Medscape.
Available
from
URL:
12. Muraro, A., G.Roberts, A.Clark, A.Eigenmann, S.Halken, G.Lack. et al. The Management of
anaphylaxis in childhood : Position paper of the European academy of allergology and
clinical immunology. Allergy. 2007;62:857-71