Anda di halaman 1dari 28

Golongan Putih

Untuk memenuhi Tugas Akhir


Mata Kuliah Pancasila
Dosen : khalis purwanto mm

Di Susun Oleh
Nama : Fabian bryan ramadhan
Nim
: 11.02.8083
Program : D3 (DIII)
Jurusan
: MI

STMIK AMIKOM YOGYAKARTA


2011

Kata Pengantar

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang


telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kami
sehingga kami berhasil menyelesaikan Makalah ini yang
alhamdulillah tepat pada waktunya yang berjudul
Makalah ini berisikan tentang informasi Pengertian atau
yang lebih khususnya membahas penerapan GOLPUT
karakteristik sertas perspektif GOLPUTdalam islam
Diharapkan Makalah ini dapat memberikan informasi
kepada kita semua tentang GOLPUT
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua
pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan
demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua
pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan
makalah ini dari awal sampai akhir.Semoga Allah SWT
senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin.

UCAPAN TERMA KASIH


Tidak lupa kami ucapkan terima kasih yang sedalamdalamnya kepada bapak khalis purwanto MM selaku
dosen STIMIK AMIKOM yang telah meluangkan waktu
Baik dalam waktu jam pelajaran maupun di luar jam
pelajaran dalam menyelesaikan tugas ini

Daftar isi
Judul
.1
Ucapan terima kasih
2
Daftar isi
Pendahuluan
2
2
Rumusan masalah
.3
Pembahasan
.3
Kesimpulan dan saran.4
Referensi
..4
Penutup .5

BAB I PENDAHULUAN

Partisipasi politik dalam negara demokrasi merupakan


indikator implementasi penyelenggaraan kekuasaaan
negara tertinggi yang absah oleh rakyat (kedaulatan
rakyat), yang dimanifestasikan keterlibatan mereka dalam
pesta
d e mo k r a s i ( P e m i l u ) . S e ma k i n t i
n g g i t i n g k a t p a r t is i p a s i
p o l it i k
mengindikasikan bahwa rakyat mengikuti dan memahami
serta melibatkan diri dalam kegiatan kenegaraan.
Sebaliknya tingkat partisipasi politik yang rendah pada
umumnya mengindikasikan bahwa rakyat kurang menaruh
apresiasi atau minat terhadap masalah atau kegiatan
kenegaraan.Rendahnya tingkat partisipasi politik rakyat
direfleksikan dalam sikap golongan putih (golput) dalam
pemilu.
Sebagai konsekuensi negara demokrasi, Indonesia telah
menyelenggarakan sepuluh kali pemilihan umum (Pemilu)
secara reguler, yaitu Tahun 1955, 1971, 1977, 1982,
1987, 1992, 1997, 1999, 2004 dan 2009 untuk pemilihan
calon legislatif (Pileg) dan pemilihan calon presiden dan
wakil presiden (Pilpres). Secara spesifik dunia
internasional memuji, bahwa Pemilu Tahun 1999 sebagai
Pemilu pertama di era Reformasi yang telah berlangsung
secara aman, tertib, jujur, dan adil dipandang memenuhi
standar demokrasi global dengan tingkat partisipasi politik
92,7%, sehingga Indonesia dinilai telah melakukan
lompatan de mo kr a s i.
Namun jika dilihat dari aspek partisipasi politik dalam
sejarah pesta demokrasi di Indonesia, Pemilu tahun 1999
merupakan awal dari penurunan tingkat partisipasi politik
pemilih, atau mulai meningkatnya golongan putih (golput),
dibandingkan dengan Pemilu sebelumnya dengan tingkat
partisipasi politik pemilih tertinggi 96,6% pada Pemilu
tahun 1971. Lebih-lebih jika dinilai

Rumusan masalah

dengan penyelenggaraan Pilkada (Pemilihan Kepala


Daerah) sebagai bagian dari Pemilu yang telah
berlangsung di beberapa daerah, terutama di wilayah
Jawa sebagai konsentrasi mayoritas penduduk Indonesia
juga menunjukkan potensi Golput yang besar berkisar
32% sampai 41,5%.
Realitas tersebut mengindikasikan bahwa telah terjadi
apatisme di kalangan pemilih, di saat arus demokratisasi
dan kebebasan berpolitik masyarakat sedang marakmaraknya.Fenomena tersebut sepertinya menguatkan
pernyataan Anthony Giddens (1999) dalam bukunya
Runaway World, How Globalisation is Reshaping Our
Lives.haruskah kita menerima lembaga-lembaga
demokrasi tersingkir dari titik di mana demokrasi sedang
marak. Tentunya potensi Golput dalam pesta demokrasi
nasional maupun lokal tersebut kiranya cukup
mengkhawatirkan bagi perkembangan demokrasi yang
berkualitas.Sebab potensi Golput yang menunjukkan
eskalasi peningkatan dapat berimplikasi melumpuhkan
demokrasi, karena merosotnya kredibilitas kinerja partai
politik sebagai mesin pembangkit partisipasi politik.
Partisipasi politik yang meluas merupakan ciri khas
modernisasi politik.Istilah partisipasi politik telah
digunakan dalam berbagai pengertian yang berkaitan
dengan perilaku, sikap dan persepsi yang merupakan
syarat mutlak bagi partisipasi politik. Huntington dan
Nelson dalam bukunya Partisipasi Politik di Negara
Berkembang memaknai partisipasi politik sebagai :
By political participation we mean activity by private
citizens designed to influence government decisionmaking. Participation may be individual or collective,
organized or spontaneous, sustained or sporadic,

peaceful or violent, legal or illegal, effective or ineffective.


(partisipasi politik adalah kegiatan warga Negara yang
bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang dimaksud untuk
mempengaruhi pembuatan keputusan oleh Pemerintah.
Partisipasi bisa bersifat individual atau kolektif, terorganisir
atau spontan, mantap atau sporadik, secara damai atau
dengan kekerasan, legal atau illegal, efektif atau tidak
efektif.1
Dalam definisi tersebut partisipasi politik lebih berfokus
pada kegiatan politik rakyat secara pribadi dalam proses
politik, seperti memberikan hak suara
1 Samuel P Huntington dan Joan Nelson, Partisipasi
Politik di Negara Berkembang, Jakarta : Rineka Cipta,
1994, hal. 4
atau kegiatan politik lain yang dipandang dapat
mempengaruhi pembuatan kebijakan politik oleh
Pemerintah dalam konteks berperan serta dalam
penyelenggaraan pemerintahan. Dengan demikian
partisipasi politik tidak mencakup kegiatan pejabat-pejabat
birokrasi, pejabat partai, dan lobbyist professional yang
bertindak dalam konteks jabatan yang diembannya.
Dalam perspektif lain McClosky dalam International
Encyclopedia of the Social Science menyatakan bahwa :2
The term political participation will refer to those
voluntary activities by which members of a society share
in the selection of rulers and, directly or indirectly, in the
formation of public policy (partisipasi politik adalah
kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui
makna mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan
penguasa dan secara langsung atau tidak langsung,
dalam proses pembentukan kebijakan umum.
Dalam perspektif pengertian yang generik, Budiardjo
memaknai partisipasi politik adalah:
Kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta
secara aktif dalam kehidupan politik, yaitu dengan jalan
memilih pimpinan Negara dan secara langsung atau tidak
langsung, mempengaruhi kebijakan Pemerintah (public

policy). Kegiatan ini mencakup tindakan seperti


memberikan suara dalam pemilihan umum menghadiri
rapat umum, menjadi anggota suatu partai atau kelompok
kepentingan, mengadakan hubungan (contacting) dengan
pejabat Pemerintah atau anggota parlemen, dan
sebagainya.3
Berbagai definisi partisipasi politik dari para pakar ilmu
politik tersebut diatas, secara eksplisit mereka memaknai
partisipasi politik bersubstansi core political activity yang
bersifat personal dari setiap warga negara secara
sukarela untuk berperan serta dalam proses pemilihan
umum untuk memilih para pejabat publik, baik secara
langsung maupun tidak langsung dalam proses
penetapan kebijakan publik.
Merujuk pemikiran politik tersebut dalam konteks sejarah
penyelenggaraan pemilihan umum sebagai pesta
demokrasi, secara empirik dapat dicermati tingkat
partisipasi politik dan perkembangan golput di Indonesia.
Salah satu yang terjadi dari Pemilihan Umum hingga saat
ini adalah tingginya angka
2 McClosky, Political Participation, International
Encyclopedia of The Social Science, (2nd ed.).

Miriam, Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta


pemilih yang tidak ikut dalam pemilihan. Tingkat
partisipasi politik pada Pemilu rezim Orde Lama (1955),
rezim Orde Baru (1971-1997) dan Orde Reformasi
(periode awal 1999) cukup tinggi, yaitu rata-rata diatas
90%, diiringi dengan tingkat Golput yang relatif rendah,
yaitu dibawah 10% (masih dalam batas kewajaran).
Tingkat partisipasi poitik pemilih dalam Pemilu di
Indonesia pada Pemilu tahun 1955 mencapai 91,4 % dan
jumlah Golput mencapai 8,6%, pada Pemilu 1971 tingkat
partisipasi politik pemilih 96,6% dan jumlah Golput
mencapai 3,4 %, Pemilu 1977 dan Pemilu 1982 tingkat

partisipasi politik pemilih 96,5% dan jumlah Golput


mencapai 3,5%, pada Pemilu 1987 tingkat partisipasi
politik pemilih mencapai 96,4% dan jumlah Golput 3,6%,
pada Pemilu 1992 tingkat partisipasi politik pemilih
mencapai 95,1% dan jumlah Golput mencapai 4,9%, pada
Pemilu 1997 tingkat partisipasi politik pemilih mencapai
93,6% dan jumlah Golput mencapai 6,4%, pada Pemilu
1999 tingkat partisipasi politik pemilih mencapai 92,6%
dan jumlah Golput 7,3%, pada Pemilu Legislatif tahun
2004 tingkat partisipasi politik pemilih mencapai 84,1%
dan jumlah Golput 15,9%, pada Pilpres putaran pertama
tingkat partisipasi politik pemilih mencapai 78,2% dan
jumlah Golput 21,8%, sedangkan pada Pilpres putaran
kedua tingkat partisipasi politik pemilih mencapai 76,6%
dan jumlah Golput 23,4%. Pada Pemilu Legislatif tahun
2009 tingkat partisipasi politik pemilih semakin menurun
yaitu hanya mencapai 70,9% dan jumlah Golput semakin
meningkat yaitu 29,1% dan pada Pilpres 2009 tingkat
partisipasi politik pemilih mencapai 71,7% dan jumlah
Golput mencapai 28,3%.
Selanjutnya secara eksplisit, Huntington dan Nelson
membedakan partisipasi politik kedalam dua karakter,
yaitu:
a. Partisipasi yang demokratis dan otonom adalah
bentuk partisipasi politik yang sukarela;
b. Partisipasi yang dimanipulasi, diarahkan, dan
disponsori oleh Pemerintah adalah bentuk partisipasi yang
dimobilisasikan;4
Di era Orde Baru partisipasi politik yang dimobilisasikan
merupakan kontribusi hasil mobilisasi politik yang
dilakukan oleh jaringan aparat birokrasi pemerintahan
Orde Baru, bersinergi dengan dukungan pengaruh para

pembahasan
tokoh-tokoh masyarakat karismatik sebagai panutan yang
telah dikooptasi oleh birokrasi pemerintahan sebagai
wasit, namun ikut bermain politik sebagai orang Golkar.
Kinerja kolaboratif tersebut membuktikan mampu
menekan presentase tingkat Golput.
Secara prediktif jika kondisi politik dan ekonomi kurang
kondusif, maka penyelenggaraan Pileg dan Pilpres 2009
nampaknya juga akan menghadapi realitas kondisional,
yaitu di satu sisi penurunan partisipasi politik pemilih, dan
di sisi lain meningkatnya jumlah Golput, sehingga akan
timbul apatisme politik, seperti dikemukakan oleh
McClosky bahwa:
Ada yang tidak ikut pemilihan karena sikap acuh tak acuh
dan tidak tertarik oleh, atau kurang paham mengenai,
masalah politik. Ada juga karena tidak yakin bahwa usaha
untuk mempengaruhi kebijakan Pemerintah akan berhasil
dan ada juga yang sengaja tidak memanfaatkan
kesempatan memilih karena kebetulan berada dalam
lingkungan dimana ketidaksertaan merupakan hal yang
terpuji.5
Banyak pandangan tentang pilihan Golput tersebut dan
semakin banyaknya masyarakat yang tidak menggunakan
hak pilihnya dalam pemilu atau biasa disebut sebagai
kelompok golput.Setidak-tidaknya ada beberapa hal
penting tentang kenapa harus menggunaan hak pilihnya
dengan baik.Pertama, pilihan untuk tidak memilih (golput)
merupakan bentuk pemborosan terhadap anggaran
belanja Negara (untuk pemilu) dan APB daerah (untuk
pilkada). Padahal, dalam momentum pemilu maupun
pilkada, tidak sedikit dana yang dikeluarkan. Kedua,
golput juga akan menguntungkan calon yang belum tentu
berkualitas atau disukai. Artinya, calon bisa menang
hanya dengan perolehan suara rendah atau hanya
mempunyai basis massa sedikit karena lebih banyak

masyarakat yang golput. Ini mengakibatkan legitimasi


kekuasaan calon terpilih akan berkurang. Dalam
pemilihan secara langsung seperti saat ini, maka calon
yang terpilih akan merasa bahwa ia pilihan rakyat dan
bebas melakukan apa yang dikehendakinya. Justru hal ini
menjadi bumerang bagi golput.
Sehingga, hal yang perlu dilakukan agar dapat mencegah
golput yaitu : yang penting adalah melakukan gerakan
kultural untuk mengembalikan semangat memilih,
menggunakan hak pilih dalam pemilu maupun pilkada
untuk melawan budaya golput. Bisa dilakukan kampanye
besar-besaran, melibatkan semua kelompok dalam
masyarakat.Dan perlunya adanya pendidikan dan
sosialisasi politik kepada pemilih, khususnya bagi pemula
untuk tidak menjadi golput dan memahami arti pentingnya
partisipasi masyarakat dalam Pemilu.
Di Indonesia orang-orang yang tidak ikut memilih disebut
dengan istilah golput (golongan putih).Istilah ini muncul
tahun 1970-an, mengacu pada sikap dan tindakan politik
untuk tidak berpartisipasi dalam pemilu orde baru karena
dinilai tidak demokratis. Menurut Arbi Sanit, fenomena
golput ini memiliki keterkaitan terhadap legitimasi
penguasa dan legitimasi sistem politik.6
Pada Pemilu 1971, misalnya, Golput diproklamasikan
sebagai cara protes terhadap penguasa Orde Baru yang
cenderung memusatkan kekuasaan sehingga
menghambat pengembangan demokrasi. Di mata para
pemprotes, Pemilu 1971 tidak lebih sebagai ajang
pemberian legitimasi kepada penguasa. Demikian juga
pada Pemilu 1977 sampai 1987 yang difungsikan untuk
menghimpun legitimasi bagi keutuhan format politik Orde
Baru, yang terkonsentrasi pada satu pusat kekuasaan. Di
samping itu, mereka memprotes pemilu yang tidak lebih
Cuma bertujuan mencari legitimasi bagi pembangunan
yang ditandai oleh pertumbuhan ekonomi dan melebarnya
ketimpangan sosial.
6 Tim Litbang Kompas, Geliat Golongan Putih Makin

Tampak Dari Masa ke Masa,


Pada masa reformasi sekarang ini pemaknaan istilah
golput telah mengalami pergeseran.Hal itu tidak terlepas
adanya perubahan paradigma bahwa memilih bukanlah
seperti yang terjadi pada masa orde baru melainkan hak
pemilih untuk ikut atau tidak dalam pemilu/pilkada.Seirimg
dengan perubahan paradigma tersebut istilah golput pada
saat ini merupakan penyebutan untuk orang-orang yang
tidak ikut dalam pemilu atau pilkada.Dengan hanya
melihat hasil pemilu atau pilkada maka golput tidak
mungkin terdeteksi dengan baik.Sebab hasil pemilu tidak
pernah disertai informasi alasan mengapa pemilih ikut
memilih, tidak ikut memilih, atau memilih secara salah.
Meskipun tingginya angka golput menjadi gejala umum
dalam Pemilu Legislatif di banyak wilayah dan
kemungkinan fenomena Golput ini juga akan menjadi
gejala umum Pemilu Presiden di masa mendatang hingga
saat ini belum ada penjelasan yang memadai apa yang
menyebabkan seorang pemilih memilih tidak
menggunakan hak pilihnya. Berbagai penjelasan
mengenai golput di Indonesia hingga saat ini masih
didasarkan pada asumsi dan belum didasarkan pada riset
yang kokoh.Pengamat dan penyelenggara Pemilu
memang kerap melontarkan pendapat tentang penyebab
rendahnya tingkat partisipasi pemilih.Tetapi berbagai
penjelasan itu didasarkan pada pengamatan dan bukan
berdasarkan hasil riset.
Hingga saat ini, ada sejumlah penjelasan yang
dikemukakan oleh para pengamat atau penyelenggara
Pemilu tentang penyebab adanya Golput.Pertama,
administratif.Seorang pemilih tidak ikut memilih karena
terbentur dengan prosedur administrasi seperti tidak
mempunyai kartu pemilih, tidak terdaftar dalam daftar
pemilih dan sebagainya.Kedua, teknis. Seseorang
memutuskan tidak ikut memilih karena tidak ada waktu
untuk memilih seperti harus bekerja di hari pemilihan,
sedang ada keperluan, harus ke luar kota di saat hari

pemilihan dan sebagainya. Ketiga, rendahnya keterlibatan


atau ketertarikan pada politik (political
engagement).Seseorang tidak memilih karena tidak
merasa tertarik dengan politik, acuh dan tidak
memandang Pemilu atau Pilkada sebagai hal yang
penting.Keempat, kalkulasi rasional. Pemilih memutuskan
tidak menggunakan hak
pilihnya karena secara sadar memang memutuskan untuk
tidak memilih. Pemilu legislatif dipandang tidak ada
gunanya, tidak akan membawa perubahan berarti. Atau
tidak ada calon kepala daerah yang disukai dan
sebagainya.7
Maka dari penjelasan di atas, masyarakat golongan putih
(golput) terbagi atas dua bagian, yaitu masyarakat yang
tidak terdaftar sebagai pemilih pada pemilihan dan
masyarakat yang terdaftar sebagai pemilih tetapi tidak
menggunakan hak pilihnya pada pemilihan. Dalam hal ini
penulis akan meneliti masyarakat golongan putih yang
telah terdaftar sebagai pemilih tetapi tidak menggunakan
hak pilihnya pada pemilu legislatif. Faktor-faktor apa yang
mempengaruhi masyarakat tersebut sehingga tidak
menggunakan hak pilihnya pada pemilu legislatif.
Mana penjelasan yang lebih cocok untuk fenomena ini,
hal ini menjadi latar belakang peneliti untuk fenomena
golput sehingga dapat mengetahui apa yang
menyebabkan pemilih tidak menggunakan hak pilihnya.
Faktor-faktor apa sajakah yang menimbulkan perilaku ini
yang akan menjadi fokus dalam penelitian ini.
Pemilu legislatif secara langsung pada tanggal 09 April
2009 berlangsung serentak di seluruh wilayah Indonesia
termasuk di Kecamatan Medan Amplas. Kecamatan
Medan Amplas yang merupakan salah satu kecamatan di
kota Medan juga melaksanakan pemilu legislatif secara
bersamaan. Dalam hasil pemilihan, ternyata masih
didapati jumlah masyarakat yang terdaftar sebagai pemilih
tetapi tidak menggunakan hak pilihnya pada pemilihan
umum legislatif yaitu sekitar 51.83 %.Padahal jumlah

suara yang tidak ikut memilih cukup besar dan sangat


berpengaruh pada hasil pemilihan umum legislatif
tersebut.Sedangkan rakyat telah diberikan hak untuk
memilih secara langsung calon anggota legislatif periode
20092014.
7 Eriyanto, Golput Dalam Pilkada, Kajian Bulanan LSI
Edisi 05 September 2007, dikutip dari www.lsi.co.id
Tingginya angka golput di Kecamatan Medan Amplas
disebabkan oleh menurunnya tingkat kepercayaan kepada
penyelenggaraan pemilu dan peserta pemilu.Sehingga
masyarakat di Medan Amplas beranggapan ikut atau tidak
dalam Pemilu tidak memberikan perubahan yang berarti
bagi kehidupan keluarga.Dengan alasan inilah yang
menjadi salah satu alasan penulis memilih Kecamatan
Medan Amplas sebagai lokasi penelitian.
2. Perumusan Masalah
Perumusan masalah merupakan bagian pokok dari
kegiatan penelitian, sehingga perumusannya perlu tegas
dan jelas agar proses penelitian bisa benar- benar terarah
dan terfokus ke permasalahn yang jelas. Perumusan
masalah juga diperlukan untuk mempermudah
menginterpretasikan data dan fakta yang diperlukan
dalam suatu penelitian.8
Dari latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas
maka penulis membuat perumusan masalah sebagai
berikut:
Faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi
Munculnya Golongan Putih di Kecamatan Medan
Amplas pada Pemilu Legislatif 2009.
3. Tujuan dan Manfaat Penelitian 3.1. Tujuan
Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah adalah sebagai
berikut:
Untuk mengetahui dan menganalisis faktor-faktor apa
sajakah yang mempengaruhi Munculnya Golput di
Kecamatan Medan Amplas dalam Pemilihan Umum
Legislatif 2009.

8 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu


Pendekatan Praktis, Jakarta :
3.2. Manfaat Penelitian
Sedangkan manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Bagi penulis, untuk mengembangkan kemampuan
berpikir penulis melalui karya ilmiah dan sebagai
penerapan dari berbagai teori yang penulis dapatkan
selama dalam masa perkuliahan.
2. Berfungsi sebagai referensi tambahan bagi
Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Sumatera Utara dan sebagai aplikasi
teori perwakilan politik.
3. Memberikan bahan masukan kepada pengambil
kebijakan Pemerintah dalam hal ini Komisi Pemilihan
Umum, Departemen Dalam Negeri dan Pemerintahan
Daerah dalam kaitannya dengan perilaku pemilih
4. Untuk menambah referensi mengenai Golongan Putih.
4. Kerangka Teori
Unsur penelitian yang paling besar peranannya dalam
penelitian adalah teori karena dengan unsur inilah peneliti
mencoba menerangkan fenomena sosial atau fenomena
alami yang menjadi pusat perhatiannya. Teori adalah
serangkaian asumsi, konsep, konstrak, defenisi, dan
proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial
secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan
antar konsep.9
Oleh karena itu, dalam kerangka teori ini penulis akan
memaparkan teori- teori yang merupakan landasan
berpikir dalam menggambarkan masalah penelitian yang
sedang disoroti. Teori-teori yang relevan dengan masalah
penelitian ini antara lain:
9 Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, Metode
Penelitian Survai, Jakarta :
4.1. Partisipasi Politik
Partisipasi merupakan salah satu aspek penting
demokrasi.Partisipasi merupakan taraf partisipasi politik
warga masyarakat dalam kegiatan-kegiatan politik baik

yang bersifat aktif maupun pasif dan bersifat langsung


maupun yang bersifat tidak langsung guna mempengaruhi
kebijakan pemerintah.
Wahyudi Kumorotomo mengatakan,
Partisipasi adalah berbagai corak tindakan massa
maupun individual yang memperlihatkan adanya
hubungan timbale balik antara pemerintah dan
warganya.10
Lebih jauh dia mengingatkan bahwa secara umum corak
partisipasi warga negara dibedakan menjadi empat
macam, yaitu : pertama, partisipasi dalam pemilihan
(electoral participation), kedua, partisipasi kelompok
(group participation), ketiga, kontak antara warga negara
dengan warga pemerintah (citizen government contacting)
dan keempat, partisipasi warga negara secara langsung.
Menurut Samuel P. Hutington dan Joan Nelson dalam No
Easy Choice :
Political participation in developing :
Partisipasi adalah kegiatan warga yang bertindak sebagai
pribadi-pribadi, yang dimaksud untuk mempengaruhi
pembuatan keputusan oleh pemerintah, partisipasi bisa
bersifat pribadi-pribadi atau kolektif, terorganisir atau
spontan, mantap atau sporadis, secara damai atau
dengan kekerasan, legal atau illegal, efektif atau tidak
efektif.11
Sedangkan Ramlan Surbakti mendefinisikan, partisipasi
politik adalah kegiatan warga negara biasa dalam
mempengaruhi pembuatan dan pelaksanaan kebijakan
umum dan dalam ikut menentukan pemimpin
pemerintah.12
10 Wahyudi Kumorotomo, Etika Administrasi Negara,
Jakarta : Miriam Budi ar jo.
Dengan demikian, pengertian Hutington dan Nelson
dibatasi beberapa hal, yaitu : pertama, Hutington dan
Nelson mengartikan partisipasi politik hanyalah mencakup
kegiatan-kegiatan dan bukan sikap-sikap. Dalam hal ini,
mereka tidak memasukkan komponen-komponen subjektif

seperti pengetahuan tentang politik, keefektifan politik,


tetapi yang lebih ditekankan adalah bagaimana berbagai
sikap dan perasaan tersebut berkaitan dengan bentuk
tindakan politik.Kedua, yang dimaksud dengan partisipasi
politik adalah warga negara biasa, bukan pejabatpejabatpemerintah.Hal ini didasarkan pada pejabatpejabat yang mempunyai pekerjaan professional di bidang
itu, padahal justru kajian ini pada warga negar
biasa.Ketiga, kegiatan politik adalah kegiatan yang
dimaksud untuk mempengaruhi keputusan
pemerintah.Kegiatan yang dimaksudkan misalnya
membujuk atau menekan pejabat pemerintah untuk
bertindak dengan cara-cara tertentu untuk menggagalkan
keputusan, bahkan dengan cara mengubah aspek- aspek
sistem politik.Dengan itu protes-protes, demonstrasi,
kekerasan bahkan bentuk kekerasan pembrontak untuk
mempengaruhi kebijakan pemerintah dapat disebut
sebagai partisipasi politik.Keempat, partisipasi juga
mencakup semua kegiatan yang mempengaruhi
pemerintah, terlepas tindakan itu efektif atau tidak,
berhasil atau gagal.Kelima, partisipasi politik dilakukan
langsung atau tidak langsung, artinya langsung oleh
pelakunya sendiri tanpa menggunakan perantara, tetapi
ada pula yang tidak langsung melalui orang-orang yang
dianggap dapat menyalurkan ke pemerintah.
Perilaku politik seseorang dapat dilihat dari bentuk
partisipasi politik yang dilakukannya. Bentuk partisipasi
politik dilihat dari segi kegiatan dibagi menjadi dua, yaitu:
a. Partisipasi aktif, bentuk partisipasi ini berorientasi
kepada segi masukan dan keluaran suatu sistem politik.
Misalnya, kegiatan warga negara mengajukan usul
mengenai suatu kebijakana umum, mengajukan alternatif
kebijakan umum yang berbeda dengan kebijakan
pemerintah, mengajukan kritik dan saran perbaikan untuk
meluruskan kebijaksanaan, membayar pajak, dan ikut srta
dalam kegiatan pemilihan pimpinan pemerintahan.
b. Partisipasi pasif, bentuk partisipasi ini berorientasi

kepada segi keluaran suatu sistem po litik. Misalnya,


kegiatan mentaati peraturan/perintah, menerima,
dan melaksanakan begitu saja setiap keputusan
pemerintah.13
Selain kedua bentuk partisipasi diatas tetapi ada
sekelompok orang yang menganggap masyarakat dan
sistem politik yang ada dinilai telah menyinggung dari apa
yang dicita-citakan sehingga tidak ikut serta dalam politik.
Orang-orang yang tidak ikut dalam politik mendapat
beberapa julukan, seperti apatis, sinisme, alienasi, dan
anomie.
1. Apatis (masa bodoh) dapat diartikan sebagai tidak
punya minat atau tidak punya perhatian terhadap orang
lain, situasi, atau gejala-gejala.
2. Sinisme menurut Agger diartikan sebagai kecurigaan
yang busuk dari manusia, dalam hal ini dia melihat
bahwa politik adalah urusan yang kotor, tidak dapat
dipercaya, dan menganggap partisipasi politik dalam
bentuk apa pun sia-sia dan tidak ada hasilnya.
3. Alienasi menurut Lane sebagai perasaan keterasingan
seseorang dari politik dan pemerintahan masyarakat dan
kecenderungan berpikir mengenai pemerintahan dan
politik bangsa yang dilakukan oleh orang lain untuk
oranng lain tidak adil
4. Anomie, yang oleh Lane diungkapkan sebagai suatu
perasaan kehidupan nilai dan ketiadaan awal dengan
kondisi seorang individu mengalami perasaan
ketidakefektifan dan bahwa para penguasa bersikap tidak
peduli yang mengakibatkan devaluasi dari tujuan-tujuan
dan hilangnya urgensi untuk bertindak.14
Menurut Rosenberg ada 3 alasan mengapa orang enggan
sekali berpartisipasi politik
Pertama bahwa individu memandang aktivitas politik
merupakan ancaman terhadap beberapa aspek
kehidupannya.Ia beranggapan bahwa mengikuti kegiatan
politik dapat merusak hubungan sosial, dengan lawannya
dan dengan pekerjaannya karena kedekatannya dengan

partai-partai politik tertentu.Kedua, bahwa konsekuensi


yang ditanggung dari suatu aktivitas politik mereka
sebagai pekerjaan sia-sia.Mungkin disini individu merasa
adanya jurang pemisah antara cita-citanya dengan
realitas politik.Karena jurang pemisah begitu besarnya
sehingga dianggap tiada lagi aktifitas politik yang kiranya
dapat menjembatani.Ketiga, beranggapan bahwa
memacu diri untuk tidak terlibat atau sebagai perangsang
politik adalah sebagai faktor yang sangat penting untuk
mendorong aktifitas politik.Maka dengan tidak adanya
perangsang politik yang sedemikian, hal itu membuat atau
mendorong kearah perasaan yang semakin besar bagi
dorongan apati.Disini individu merasa bahwa kegiatan
bidang politik diterima sebagai yang bersifat pribadi sekali
daripada sifat politiknya.Dan dalam hubungan ini, individu
merasa bahwa kegiatan-kegiatan politik tidak dirasakan
secara langsung menyajikan kepuasan yang relative kecil.
Dengan demikian partisipasi politik diterima sebagai suatu
hal yang sama sekali tidak dapat dianggap sebagai suatu
yang dapat memenuhi kebutuhan pribadi dan kebutuhan
material individu itu.
4.2. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Munculnya
Golput
1. Faktor Sosial Ekonomi
Menempatkan variabel status sosial-ekonomi sebagai
variabel penjelasan perilaku non-voting selalu
mengandung makna ganda.Pada satu sisi, variabel status
sosial ekonomi memang dapat diletakkan sebagai variabel
independen untuk menjelaskan perilaku non-voting
tersebut.Namun, pada sisi lain, variabel tersebut juga
dapat digunakan sebagai indikator untuk mengukur
karakteristik pemilih non-voting itu sendiri.Setidaknya ada
empat indikator yang bisa digunakan mengukur variabel
status sosial ekonomi, yaitu tingkat pendidikan, tingkat
pendapatan, pekerjaan dan pengaruh keluarga.Lazimnya,
variabel status sosial-ekonomi digunakan untuk
menjelaskan perilaku memilih. Namun dengan

menggunakan proporsi yang berlawanan, pada saat yang


sama variabel tersebut sebenarnya juga dapat digunakan
untuk menjelaskan perilaku non-voting. Artinya, jika tinggi
tingkat pendidikan berhubungan dengan kehadiran
memilih, itu berarti rendahnya tingkat pendidikan
berhubungan dengan ketidakhadiran pemilih.
Ada beberapa alasan mengapa tingkat status sosialekonomi berkorelasi dengan kehadiran atau
ketidakhadiran pemilih, yaitu :
a. Pekerjaan-pekerjaan tertentu lebih mengahargai
partisipasi warga. Para pemilih yang bekerja di lembagalembaga sektor-sektor yang berkaitan langsung dengan
kebijakan pemerintah cenderung lebih tinggi tingkat
kehadiran dalam pemilu dibanding para pemilih yang
bekerja pada lembaga-lembaga atau sektor-sektor yang
tidak mempunyai kaitan langsung dengan kebijakankebijakan pemerintah. Para pegawai negeri atau
pensiunan, menunjukkan tingkat kehadiran memilih lebih
tinggi dibanding dengan yang lain. Sebab, mereka sering
terkena langsung dengan kebijakan pemerintah, seperti
misalnya kenaikan gaji, pemutusan hubungan kerja, dan
sebagainya.Begitu pula para pensiunan yang sangat
berkepentingan langsung dengan berbagai kebijakan
pemerintah, khususnya tentang besarnya tunjangan
pensiun kesehatan, kesejahteraan atau tunjangantunjangan lainnya.
b. Tingkat pendidikan
Tingkat pendidikan dapat dikatakan turut mempengaruhi
perilaku pemilih masyarakat di Kecamatan Medan
Amplas. Faktor pendidikan merupakan hal yang sangat
penting untuk diperhatikan, sebab pendidikan sebagai
suatu kegiatan yang dapat meningkatkan kemampuan
seseorang dalam menganalisa teori serta mampu untuk
menentukan keputusan dalam persoalan-persoalan untuk
mencapai tujuan menjadi faktor yang penting bagi
masyarakat sebagai pelaku partisipasi aktif dalam
pemilihan. Karena semakin tinggi pendidikan seseorang,

maka ketajaman dalam menganalisa informasi tentang


politik dan persoalan-persoalan sosial yang
diterima semakin meningkat dan menciptakan minat dan
kemampuannya dalam berpolitik.
c. Pengaruh Keluarga
Keluarga juga memberikan pengaruh yang cukup besar
pada masyarakat Kecamatan Medan Amplas dalam hal
tidak ikut memilih pada Pemilu Legislatif, kuatnya
pengaruh pimpinan keluarga (ayah) dalam menentukan
pilihan politik keluarga. Secara umum apabila kepala
keluarga (ayah) tidak ikut memilih akan memberikan
pengaruh kepada anggota keluarga lainnya untuk tidak
ikut memilih.
2. Faktor Psikologis
Penjelasan nonvoting dari faktor psikologis pada dasarnya
dikelompokkan dalam dua kategori. Pertama, berkaitan
Kesimpulan dan saran

dengan ciri-ciri kepribadian seseorang. Kedua, berkaitan


dengan orientasi kepribadian. Penjelasan pertama melihat
bahwa perilaku nonvoting disebabkan oleh kepribadian
yang tidak toleran, otoriter, tak acuh, perasaan tidak
aman, perasaan khawatir, kurang mempunyai tanggung
jawab secara pribadi, dan semacamnya. Orang yang
mempunyai kepribadian yang tidak toleran atau tak acuh
cenderung untuk tidak memilih. Sebab, apa yang
diperjuangkan kandidat atau partai politik tidak selalu
sejalan dengan kepentingan peroragan secara langsung,
betapapun mungkin hal itu menyangkut kepentingan
umum yang lebih luas.
Dalam konteks semacam ini, para pemilih yang
mempunyai kepribadian tidak toleran atau tak acuh
cenderung menarik diri dari percaturan politik langsung,
karena tidak berhubungan dengan kepentingannya.
Ciri-ciri kepribadian ini umumnya diperoleh sejak lahir
bahkan lebih bersifat keturunan dan muncul secara

konsisten dalam setiap perilaku. Faktor lain yang dapat


digunakan untuk menandai ciri kepribadian ini
adalah kefektifan personal (personal effectiveness), yaitu
kemampuan atau ketidakmampuan seseorang untuk
memimpin lingkungan di sekitarnya. Misalnya, seberapa
jauh seseorang merasa mampu memimpin teman- teman
sepermainan, organisasi-organisasi sosial, profesi atau
okupasi di mana mereka bekerja, dan sebagainya.
Sementara itu, penjelasan kedua lebih menitikberatkan
faktor orientasi kepribadian. Penjelasan kedua ini melihat
bahwa perilaku nonvoting disebakan oleh orientasi
kepribadian pemilih, yang secara konseptual
menunjukkan karakteristik apatis, anomi, dan alienasi.16
Secara teoritis, perasaan apatis sebenarnya merupakan
jelmaan atau pengembangan lebih jauh dari kepribadian
otoriter, yang secara sederhana ditandai dengan tiadanya
minat terhadap persoalan-persoalan politik.Hal ini bisa
disebabkan oleh rendahnya sosialisasi atau rangsangan
(stimulus) politik, atau adanya perasaan (anggapan)
bahwa aktivitas politik tidak menyebabkan perasaan
kepuasan atau hasil secara langsung.Anomi merujuk
pada perasaan tidak berguna.Mereka melihat bahwa
aktivitas politik sebagai sesuatu yang sia-sia, karena
mereka merasa tidak mungkin mampu mempengaruhi
peristiwa atau kebijaksanaan politik.Bagi para pemilih
semacam ini, memilih atau tidak memilih tidak mempunyai
pengaruh apa-apa, karena keputusan-keputusan politik
seringkali berada diluar kontrol para pemilih.Sebab, para
terpilih biasanya menggunakan logika-logikanya sendiri
dalam mengambil berbagai keputusan politik, dan dalam
banyak hal mereka berada jauh di luar jangkauan para
pemilih.Perasaan powerlessness inilah yang disebut
sebagai anomi.Sedangkan alienasi berada di luar apatis
dan anomi.Alienasi merupakan perasaan keterasingan
secara aktif.Seseorang merasa dirinya tidak terlibat dalam
banyak urusan politik.Pemerintah dianggap tidak
mempunyai pengaruh terutama pengaruh baik terhadap

kehidupan seseorang. Bahkan pemerintah


16 Arnold K. Sherman dan Aliza Kolker, The Social Bases
of Politics , California
dianggap sebagai sesuatu yang mempunyai konsekuensi
jahat terhadap kehidupan manusia. Jika perasaan alienasi
ini memuncak, mungkin akan mengambil bentuk alternatif
aksi politik, seperti melalui kerusuhan, kekacauan,
demonstrasi dan semacamnya.
3. Faktor Pilihan Rasional
Faktor pilihan rasional melihat kegiatan memilih sebagai
produk kalkulasi untung dan rugi.Yang dipertimbangkan
tidak hanya ongkos memilih dan kemungkinan suaranya
dapat mempengaruhi hasil yang diharapkan, tetapi juga
perbedaan dari alternatif berupa pilihan yang
ada.Pertimbangan ini digunakan pemilih dan kandidat
yang hendak mencalonkan diri untuk terpilih sebagai wakil
rakyat atau pejabat pemerintah.Bagi pemilih,
pertimbangan untung dan rugi digunakan untuk membuat
keputusan tentang partai dan kandidat yang dipilih,
terutama untuk membuat keputusan apakah ikut memilih
atau tidak ikut memilih.
Pada kenyataannya, ada sebagian pemilih yang
mengubah pilihan politiknya dari satu pemilu ke pemilu
lainnya.Ini disebabkan oleh ketergantungan pada
peristiwa-peristiwa politik tertentu yang bisa saja
mengubah preferensi pilihan politik seseorang. Hal ini
berarti ada variabel- variabel lain yang ikut menentukan
dalam mempengaruhi perilaku politik seseorang. Ada
faktor-faktor situasional yang ikut berperan dalam
mempengaruhi pilihan politik seseorang dalam
pemilu.Dengan begitu, pemilih bukan hanya pasif
melainkan juga individu yang aktif.Ia tidak terbelenggu
oleh karakteristik sosiologis, melainkan bebas
bertindak.Faktor-faktor situasional, bisa berupa isu-isu
politik atau kandidat yang dicalonkan, seperti
ketidakpercayaan dengan pemilihan yang bisa membawa
perubahan yang lebih baik. Atau ketidakpercayaan

masalah akan bisa diselesaikan jika pemimpin baru


terpilih, dan sebagainya. Pemilih yang tidak percaya
dengan pemilihan akan menciptakan keadaan lebih baik,
cenderung untuk tidak ikut memilih.
Berdasarkan pendekatan ini Him Helwit mendefinisikan
perilaku pemilih sebagai pengambilan keputusan yang
bersifat instant, tergantung pada situasi sosial politik
tertentu, tidak berbeda dengan pengambilan keputusan
lain. Jadi tidak tertutup kemungkinan adanya pengaruh
dari faktor tertentu dalam mempengaruhi
keputusannya.17
4.3. Partai Politik 4.3.1. Defenisi Partai Politik
Secara umum Miriam Budiardjo mengatakan bahwa:
Partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisir
yang anggota- anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai
dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini adalah
untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut
kedudukan politik (biasanya) dengan cara konstitusional
untuk melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan
mereka.18
Sedangkan menurut Carl J. Friedrich, seperti yang dikutip
oleh Miriam Budiardjo mengatakan bahwa:
Partai politik adalah sekelompok manusia yang
terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau
mempertahankan penguasaan terhadap pemerintahan
bagi pimpinan partainya dan, berdasarkan penguasaan ini
memberikan kepada anggota partainya kemanfaatan yang
bersifat idiil maupun materiil.19
Berdasarkan defenisi di atas dapat diambil kesimpulan,
bahwa tujuan utama dari partai politik adalah merebut
ataupun mempertahankan kekuasaan guna mewujudkan
kebijakan-kebijakan yang sesuai dengan cita-cita partai
politik tersebut.Hal tersebut dapat dicapai oleh partai
politik melalui keikutsertaan mereka dalam pemilihan
umum dengan jalan merebut dukungan rakyat untuk
menempatkan wakil-wakilnya dalam dewan perwakilan
rakyat.

17 Muhammad, Asfar, Presiden Golput, Jakarta :


4.3.2. Fungsi Partai Politik
Dalam bukunya Partai Politik dan Agenda Transisi
Demokrasi, Koirudin menuliskan beberapa fungsi dari
partai politik yaitu :20
1. Fungsi Artikulasi Kepentingan
Artikulasi kepentingan adalah suatu proses penginputan
berbagai kebutuhan, tuntutan dan kepentingan melalui
wakil-wakil partai politik yang masuk dalam lembaga
legislatif, agar kepentingan, tuntutan dan kebutuhan
kelompoknya dapat terwakili dan terlindungi dalam
pembuatan kebijakan publik. Dengan fungsi artikulasi
kepentingan ini partai politik melalui wakil-wakilnya di
parlemen dapat meningkatkan pengeluaran kebijakankebijakan yang menolong masyarakat dan meminimalisir
kebijakan-kebijakan yang menyulitkan rakyat.
2. Fungsi Agregasi Kepentingan
Agregasi kepentingan merupakan cara bagaimana
tuntutan-tuntutan yang dilancarkan oleh kelompokkelompok yang berbeda, digabungkan menjadi alternatifalternatif pembuatan kebijakan publik.Agregasi
kepentingan dari partai politik dapat dilihat juga ketika
partai menawarkan program politik dan menyampaikan
usul-usul pada badan legislatif, dan calon-calon yang
diajukan untuk jabatan-jabatan pemerintahan
mengadakan tawar-menawar (bargaining) pemenuhan
kepentingan mereka kalau kelompok kepentingan tersebut
mendukung calon yang diajukan.
3. Fungsi Sosialisai Politik
Sosialisasi politik merupakan suatu caraa untuk
memperkenalkan nilai- nilai politik, sikap-sikap dan etika
politik yang berlaku atau yang dianut oleh suatu
negara.Dalam usaha menguasai pemerintahan melalui
kemenangan dalam pemilihan umum, partai harus
memperoleh dukungan seluas mungkin. Untuk itu partai
politik akan berusaha menciptakan citra bahwa ia
memperjuangkan

kepentingan umum. Di samping menanamkan solidaritas


dengan partai, partai politik juga mendidik anggotaanggotanya menjadi manusia yang sadar akan
tanggungjawabnya sebagai warga Negara dan
menempatkan kepentingan sendiri di bawah kepentingan
nasional. Di setiap Negara-negara, partai-partai politik
selalu berperan untuk memupuk identitas nasional dan
integrasi nasional.
4. Fungsi Rekruitmen Politik
Rekruitmen politik adalah suatu proses seleksi atau
rekruitmen anggota- anggota kelompok untuk mewakili
kelompoknya dalam jabatan-jabatan administratif maupun
politik. Setiap partai politik memiliki pola rekruitmen yang
berbeda.Anggota partai politik yang direkrut atau diseleksi
adalah yang memiliki suatu kemampuan atau bakat yang
sangat dibutuhkan untuk suatu jabatan atau fungsi politik.
5. Fungsi Komunikasi Politik
Komunikasi politik adalah salah satu fungsi yang
dijalankan oleh partai politik dengan segala struktur yang
tersedia, mengadakan komunikasi informasi, isu dan
gagasan politik.Partai politik menjalankan fungsi sebagai
alat komunikasi politik agar anggota partai dapat
mengetahui pandangan dan prinsip-prinsip partai,
program kerja partai, gagasan partai, dan sebagainya.
4.4. Perilaku Golongan Putih (Golput)
Istilah golput muncul pertama kali menjelang pemilu
pertama zaman Orde Baru tahun 1971. Pemrakarsa sikap
untuk tidak memilih itu, antara lain Arief Budiman, Julius
Usman dan almarhum Imam Malujo Sumali. Langkah
mereka didasari pada pandangan bahwa aturan main
berdemokrasi tidak ditegakkan, cenderung diinjak-injak.21
Bukan hanya memproklamasikan diri sebagai kelompok
putih yang tidak memilih, mereka bahkan mengajukan
tanda gambar segilima hitam dengan dasar
21 Fadillah
putih. Namun pemilu 1971 menurut versi pemerintahan,
diikuti oleh 95 persen pemilih. Satu hal yang mencuat dari

kemunculan fenomena golput adalah merebaknya protes


atau ketidakpuasan kelompok masyarakat tertentu
terhadap tidak tegaknya prinsip-prinsip demokrasi atau
referensi
penentangan langsung terhadap eksistensi rezim Orde
Baru pimpinan Soeharto.
Menjelang Pemilu 1992, golput marak lagi sehingga
bayangan kekuatannya diidentikkan sebagai partai
keempat, di samping PPP, Golkar dan PDI. Namunn
jumlah pemilih pada Pemilu 1992, kembali menurut versi
pemerintah, di atas 90 persen, persisnya 91 persen.
Sepekan menjelang Pemilu 29 Mei 1997, Ketua Umum
Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan Megawati Soekarnoputri, selaku pribadi,
mengumumkan untuk tidak menggunakan hak politiknya
untuk memilih. Pernyataannya ini lalu dianggap sebagai
kampanye terselubung kepada massa pendukungnya
untuk memboikot pemilu, meski hal itu dibantah Megawati.
Meski ada aksi PDI Perjuangan itu, jumlah pemilih pada
Pemilu 1997 dilaporkan mencapai 90,58 persen.22
Angka 90 persen itu memang diakui merupakan angka
semu.Karena pemilu-pemilu zaman Soeharto-disebut
banyak pihak-identik dengan kecurangan demi untuk
memenangkan Golkar.Angka adalah bagian dari rekayasa
yang sangat menentukan.
Sikap orang-orang golput, menurut Arbi Sanit dalam
memilih memang berbeda dengan kelompok pemilih lain
atas dasar cara penggunaan hak pilih. Apabila pemilih
umumnya menggunakan hak pilih sesuai peraturan yang
berlaku atau tidak menggunakan hak pilih karena
berhalangan di luar kontrolnya, kaum golput
menggunakan hak pilih dengan tiga
kemungkinan.Pertama, menusuk lebih dari satu gambar
partai.Kedua ,menusuk bagian putih dari kartu suara.
Ketiga, tidak mendatangi kotak suara dengan kesadaran
untuk tidak menggunakan hak pilih.Bagi mereka, memilih

dalam pemilu sepenuhnya adalah hak. Kewajiban mereka


dalam kaitan dengan hak pilih ialah menggunakannya
secara
penutup

bertanggungjawab dengan menekankan kaitan


penyerahan suara kepada tujuan pemilu, tidak hanya
membatasi pada penyerahan suara kepada salah satu
kontestan pemilu.23
Jadi berdasarkan hal di atas, golput adalah mereka yang
dengan sengaja dan dengan suatu maksud dan tujuan
yang jelas menolak memberikan suara dalam pemilu.
Dengan demikian, orang-orang yang berhalangan hadir di
Tempat Pemilihan Suara (TPS) hanya karena alasan
teknis, seperti jauhnya TPS atau terluput dari pendaftaran,
otomatis dikeluarkan dari kategori golput. Begitu pula
persyaratan yang diperlukan untuk menjadi golput bukan
lagi sekedar memiliki rasa enggan atau malas ke TPS
tanpa maksud yang jelas. Pengecualian kedua golongan
ini dari istilah golput tidak hanya memurnikan wawasan
mengenai kelompok itu, melainkan juga sekaligus
memperkecil kemungkinan terjadinya pengaburan makna,
baik di sengaja maupun tidak.

Pustaka Pelajar, 2003, hal. 104


: A Division of Wodsworth Inc, 1987, hal. 208-209
:15
13 Sudijono, Sastroadmojo, Perilaku Politik, IKIP
Semarang Press, 1995, hal. 74 14 Michael Rush dan
Althoff, Pengantar Sosiologi Politik, Jakarta : PT Rajawali,
1989, hal. 131 15 ibid
2 McClosky, Political Participation, International

Encyclopedia of The Social Science, (2nd ed.). New York :


The Macmilan Company and Free Press. 1972, hal. 20 3
Miriam, Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta : PT
Gramedia Pustaka Utama, 1998, Hal. 183
10 Wahyudi Kumorotomo, Etika Administrasi Negara,
Jakarta : Rajawali Press, 1999, hal. 112 11 Samuel P.
Huntington dan Joan M. Nelson, No Easy Choice :
Political Participation In Developing Countries Cambridge,
mass : Harvard University Press 1997, Hal. 3, dalam
Miriam Budi ar jo.
12 Arifin Rahmat, Sistem Politik IndonesiPenerbit SIC,
1998, hal. 128
9 Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, Metode
Penelitian Survai, Jakarta : LP3ES 1989, hal. 37
1 Samuel P Huntington dan Joan Nelson, Partisipasi
Politik di Negara Berkembang, Jakarta : Rineka Cipta,
1994, hal. 4
Jawa Pos Press, 2004, hal. 35-51 18 Miriam Budiardjo,
Op. Cit., hal. 160-161 19 Ibid., hal. 161
20 Koirudin, Partai Politik dan Agenda Transisi
Demokrasi, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004, hal. 86103
Putra, Partai politik dan kebijakan publik, Yogyakarta :a,
Surabaya

Anda mungkin juga menyukai