Anda di halaman 1dari 7

Hubungan Gangguan Mental pada Penderita Infeksi HIV

Rienaldi*, Sandra M*, Natanael DA*, Mana DA* Sari DPTA*


Tania E**
Abstrak
Tujuan: Untuk meninjau gambaran klinis dan pengetahuan saat ini, hubungan antara pasien
dengan human immunodeficiency virus (HIV) dan gangguan mental, dan pengobatan gejala
kejiwaan. Metode: kami mencari buku-buku pelajaran dan database jurnal PubMed
menggabungkan HIV / AIDS dengan kata kunci yang berbeda untuk diagnosis dan gejala
psikiatri (misalnya depresi, mania, kecemasan, psikosis, demensia) dan untuk pengobatan
psychopharmacologi. Tahun-tahun yang dicakup oleh pencarian termasuk 2005 sampai 2015.
Hasil: Pasien dengan infeksi HIV berada pada peningkatan risiko penyakit psychiatri.
Pengenalan yang sangat aktif terapi anti-retroviral (ART) telah mengakibatkan penurunan
morbiditas dan mortalitas pasien yang terinfeksi HIV secara signifikan. Kesimpulan: Penyakit
kejiwaan adalah umum dalam individu yang terinfeksi HIV.
Kata Kunci: Kelainan neurokognitif-HIV, Demensia-HIV, Psikosis, HAART
Abstract
Objective: To review the clinical features and current knowledge of the correlation between
patient with human immunodeficiency virus (HIV) infection with mental disorders, and the
treatment of the psychiatric symptoms. Method: we searched textbooks and the PubMed
journal database combining HIV/AIDS with different keywords for psychiatrics diagnosis and
symptoms (e.g. depression, mania, anxiety, psychosis, dementia) and for
psychopharmacological treatment. The years covered by the searches included 2005 to 2015.
Result: Patients with HIC infection are at an increased risk of psychiatri illness. The
introduction of highly active anti-retroviral therapy (HAART) has resulted in significant
decreased in morbidity and mortality for HIV infected patient. Conclusion: Psychiatric illness
is common in HIV infected individual.
Keywords: HIV-associated neurocognitive disorders, HIV-associated dementia, Psychosis,
HAART

PENDAHULUAN
Human Immunodeficiency Virus (HIV)
adalah suatu virus dari genus
Lentivirus dari keluarga Retroviridae
yang memiliki struktur Ribonucleat
acid (RNA), yang merupakan agen
penyebab untuk penyakit Acquired
Immuno Deficiency Syndrome (AIDS).
HIV dikarakterisasikan dengan siklus
replikasi dimana RNA diubah menjadi
bentuk DNA yang diintegerasikan ke
genom sel inang.1 Retrovirus terdiri
dari dua salinan dari RNA
single stranded yang berfungsi
untuk menkode gen virus. RNA
terikat
secara
non-kovalen
*)

Mahasiswa Kepanitraan Dasar FK UKRIDA


Staf Pengajar Bagian Psikiatri FK UKRIDA

**)

kepada protein inti, yang


dikelilingi oleh envelope virus,
yang
memungkinkan
virus
untuk memasuki sel dengan
mengikat
reseptor
seluler
tertentu yang terletak di
permukaan
cluster
of
diferensiasi 4 (CD4) cells.
Beberapa
tahun
setelah
penemuan HIV-1, virus kedua,
HIV-2, ditemukan di Afrika
Barat. HIV-1 dan HIV-2 berbeda
genom, sehingga tingkat AIDS
lebih rendah di HIV-2.2 Setelah
terkena tubuh, antibodi virus
HIV mungkin terdeteksi setelah
muncul
keluhan
penyakit
1

| Page

seperti flu akut, dan kemudian


mulai
menginfeksi
sel-sel
tertentu dari sistem kekebalan
tubuh
selama
periode
asimtomatik
yang
dapat
berlangsung selama bertahuntahun. Untuk masuk kedalam
sel, HIV harus mengikat CD4,
biasanya
ditemukan
pada
limfosit T, monosit darah,
makrofag dan beberapa sel
dendrit,
dan
kemungkinan
kemokin co-reseptor, biasanya
CCR5 dan CXCR4. Tahap
infeksi
HIV-AIDS,
dimulai
setelah HIV telah bereplikasi ke
dalam sel T4 helper dalam
sistem limfatik, dari waktu ke
waktu menyebabkan sistem
kekebalan
tubuh
sangat
terpengaruh.
Tahap
ini
ditandai dengan limfadenopati
generalisata dan AIDS related
complex
(ARC),
yang
menyebabkan
tahap
imunosupresi
dengan
manifestasi berbagai infeksi
oportunistik
termasuk
cytomegalovirus
(CMV),
Epstein-Barr
virus
(EBV),
herpes simplex virus, JohnCunningham
virus
(JC),
kriptokokosis,
Pneumocystis
carinii, toksoplasmosis dan
tuberculosis. Selain itu, pada
pasien
dapat
berkembang
tumor yang sebelumnya tidak
pernah terjadi pada pasien,
yang paling umum adalah
limfoma
non-Hodgkin
dan
Kaposi's
sarcoma.3
Dalam
makrofag/monosit
dan
sel
mikroglia, HIV menetapkan
infeksi
produktif
yang
merupakan sumber penularan
di CNS, sedangkan pada sel
lain seperti astrosit, HIV hanya
menetapkan infeksi persisten
dibandingkan infeksi produktif.

HIV tampaknya menembus ke


dalam SSP segera setelah awal
infeksi sistemik dalam perifer.
Selama
periode
immunodeficiency, yaitu AIDS,
replikasi virus di SSP adalah
cukup kuat. Asal usul populasi
virus ini masih belum jelas,
mungkin
muncul
sebagai
akibat
dari
gelombang
neuroinvasion selama masa
infeksi, atau bisa juga akibat
dari
rendahnya
tingkat
replikasi
dalam
reservoir
microglia. Karena infeksi HIV
dalam
sel-sel
saraf
tidak
pernah
meyakinkan
mekanisme tidak langsung
tampaknya
menjelaskan
kerusakan
saraf
di
HAD.
Dengan aktivasi atau infeksi
mikroglia,
makrofag
dan
astrosit,
HIV menginduksi
aktivasi mediator inflamasi,
sitokin,
kemokin
reseptor,
matriksextracellular
degrading
enzyme,
dan
glutamat
reseptor-mediated
excitotoxicity.
Selain
itu,
protein
HIV,
termasuk
envelope HIV glikoprotein 160
(Gp160), yang dibelah menjadi
dua
produk
non-kovalen
(gp120 dan gp41), dan protein
transaktivator HIV.4

METODE
Metode yang kami pakai adalah
tinjauan
pustaka
yaitu
dengan
meninjau kembali segala kepustakaan
yang berkaitan dengan infeksi HIV dan
gangguan mental, serta kombinasi
gangguan mental dengan infeksi HIV.
Kepustakaan yang digunakan berupa
buku ajar dan jurnal. Kepustakaan
diambil dari rentang tahun 2005-2015
atau sepuluh tahun.
2|

Page

HASIL
Berdasarkan
data
analisis
sekunder
pada
HIV-associated
neurocognitive disorders (HAND)
pada tahun 2007,5 membagi HAND
menjadi tiga kategori:
1. HIV-associated
asymptomatic
neurocognitive impairment (ANI)
didefinisikan
sebagai
1)
pelemahan fungsi kognitif didapat
yang mencakup setidaknya dua
komampuan setidak-tidaknya 1.0
standart deviasi dibawah rata-rata
(kemampuan yang di survey
sebagai berikut: verbal/bahasa,
memori,
kecepatan
untuk
memproses informasi, sensorik,
dan kemampuan motorik). 2)
Pelemahan kognitif
tidak
mempengaruhi aktivitas seharihari. 3) Pelemahan kognitif tidak
termasuk kriteria delirium atau
demensia.5
2. HIV-1-associated
mild
neurocognitive disorder (MND).
Dikategorikan
sebagai:
1)
pelemahan fungsi kognitif didapat
yang mencakup setidaknya dua
komampuan setidak-tidaknya 1.0
standart deviasi dibawah rata-rata
dan
setidaknya
dua
dari
kemampuan
yang
dinilai
(kemampuan yang di survey
sebagai berikut: verbal/bahasa,
memori,
kecepatan
untuk
memproses informasi, sensorik,
dan kemampuan motorik). 2)
Pelemahan
kognitif
mempengaruhi aktivitas seharihari dalam kategori ringan. 3)
Pelemahan kognitif tidak termasuk
kriteria delirium atau demensia.5
3. HIV-1-associated
dementia
(HAD). Dikategorikan sebagai: 1)
pelemahan fungsi kognitif didapat
yang mencakup setidaknya dua

komampuan setidak-tidaknya 2.0


standart deviasi dibawah rata-rata ,
setidaknya pada dua kategori yang
dinilai (kemampuan yang di
survey
sebagai
berikut:
verbal/bahasa, memori, kecepatan
untuk
memproses
informasi,
sensorik,
dan
kemampuan
motorik). 2) Pelemahan kognitif
mempengaruhi aktivitas seharihari. 3) Pelemahan kognitif tidak
termasuk kriteria delirium.5

Manifestasi psikiatrik pada infeksi


HIV
Penilaian biopsikososial pada
penderita
infeksi
HIV
sangat
kompleks. Diagnosis yang hati-hati
dan penanganan medis pada pasien
psikiatri dengan HIV positif sangan
penting karena pada pasien psikiatri
manifestasi dapat berakibat serius jika
tidak teridentifikasi.6,7
Depresi
Major depressive disorder (MDD)
merupakan kelainan yang paling
banyak
ditemui
pada
individu
penderita infeksi HIV dengan estimasi
2% sampai 30% dan bahkan sampai
50%. Pasien dengan HIV 2-7 kali lebih
mudah ditemui kriteria MDD. Pada
pengambilan sampel terhadap 93 HIVpositif dan 62 HIV-negatif pasien
perempuan, angka MDD terlihat sangat
signifikan
tinggi
pada
pasien
perempuan
HIV-positif
(19.4%)
7
daripada pasien kontol negatif.
Tabel 1. Distribusi Tingkat Keparahan Depresi
Pasien yang Mengunjungi Poli RSUP DR. M.
Djamil periode Januari-September 2013.8

3|
Page

terendah adalah faktor resiko lain-lain


sebanyak 4.2%.

Berdasarkan tabel 1. didapatkan pasien


HIV-AIDS yang mengunjungi poli
VCT RSUP DR. M. Djamil Padang
periode
Januari-September
2013
terbanyak mengalami depresi ringan
45.8% dan depresi berat 25%.
Tabel 2. Distribusi Frekuensi Gangguan
Depresi Berdasarkan Usia Pasien HIV-AIDS
yang Mengunjungi Poli VCT RSUP DR. M.
Djamil Periode Januari-September 2013.8

Berdasarkan tabel 2. didapatkan umur


pasien HIV-AIDS yang mengalami
gangguan depresi terbanyak adalah
pada usia 30-39 tahun yaitu sebanyak
58.3%. Sedangkan untuk presentase
yang terendah ditemukan pada usia
<20 tahun yaitu sebanyak 4.2%.
Tabel 3. Distribusi Frekuensi Gangguan
Depresi Berdasarkan Faktor Resiko Pasien
HIV-AIDS yang Mengunjungi Poli VCT RSUP
DR. M. Djamil Periode Januari-September
2013.8

Berdasarkan tabel 3. didapatkan faktor


resiko
pasien
HIV-AIDS
yang
mengalami depresi terbanyak adalah
karena seks bebas 62.5% dan yang

Sindrom
ansietas,
kelainan
penyesuaian, dan posttraumatic
stress disorder (PTSD)
Sindrom ansietas sangat umum
diantara individu HIV-positif dan
sering
diasosiasikan
dengan
manifestasi dari HIV. Prevalensi dari
generalized anxiety disorder (GAD)
meningkat pada pasien HIV-positif
dibandingkan pada individu HIVnegatif.
Kelainan
penyesuaian
ditemukan pada 1/3 dari pasien dalam
satu studi. pada studi di Afrika Selatan,
prevalensi penderita PTSD adalah
30.6% pada sampel dari pasien yang
mengunjungi klinik, PTSD secara
signifikan
diasosiasikan
dengan
HAND dan efek yang ditimbulkan
bergantung pada tingkat edukasi. Di
Amerika benzodiazepin 60% obat yang
diresepkan dari antara golongan
anxiolitik.
Interaksi
antara
benzodiazepin dan antiretroviral telah
dilaporkan dikarenakan efek inhibisi
pada isoenzim CYP3, efek rendah
ritonavir meningkatkan efek clearence
dari alprazolam.7

Mania
Prevalensi
mania
tinggi
diantara individu dengan HIV-AIDS,
terlebih dengan progresi dari infeksi
HIV. Perilaku hipomanik atau manik,
termasuk
meningkatnya
aktivitas
seksual dan penggunaan NAPZA yang
menjadi faktor resiko transmisi HIV.
Mania pada pasien HIV-AIDS muncul
sebagai coexist dari gangguan bipolar
atau merupakan efek sekunder dari
infeksi
HIV
pada
CNS,
4|

Page

penatalaksanaan infeksi HIV, atau


HIV-related secondary infection of the
brain. Pada studi pasien dengan manik
sekunder (tanpa riwayat pribada dan
keluarga) dan terkena HIV lebih
memungkinkan untuk terkena AIDS,
nilai hitung CD4 yang rendah dan
memiliki
kemungkinan
untuk
menderita demensia. Pada studi selama
17 bulan melaporkan bahwa tingkat
prevalensi mania pada populasi HIV+
sebanyak 1.4% dan pada pasien dengan
AIDS sebanyak 8%. Penelitian lain
selama 29 bulan menunjukan sebanyak
1.2% pada HIV+ dan 4.3% pada pasien
AIDS. Kebanyakan pasien pada studi
adalah laki-laki. Pada penelitian lebih
besar di Uganda, 64 pasien HIVdengan mania primer dibandingkan
dengan 61 pasien mania sekunder yang
berhubungan dengan HIV.7,9 Penelitian
menunjukan pasien dengan mania
sekunder memiliki manifestasi yang
lebih banyak seperti lebih agresif, lebih
banyak
berbicara,
lebih
tidak
membutuhkan tidur, dan memiliki nilai
tinggi pada simptom psikotik, seperti
delusi paranoid (92% dibandingkan
80%), halusinasi visual (93% : 16%),
halusinasi auditorik (67% : 16%),
penurunan kognitif (84% : 45%).
Mood stabilizer seperti lithium dan
asam valproat telah dipelajari sebagai
terapi adjuvan untuk ART.7-10

sebagai komorbid infeksi HIV karena


kontrol impuls yang buruk, dan
perilaku seksual yang tinggi. HIV
memiliki prevalensi mortalitas dan
morbiditas tinggi pada pada penderita
skizofrenia. Hal ini ditunjukan pada
studi pasien dengan onset baru psikosis
berjumlah 0.2-15%. Pada studi yang
dilakukan terhadap 20 pasien laki-laki
HIV+ dengan gejala psikosis onset
baru, seluruhnya terdapat delusi, 12
dengan gangguan auditorik dan 9
dengan halusinasi visual, gangguan
mood terdapat pada 13 pasien.10
Beberapa hipotesis ditujukan untuk
menjelaskan patogenesis dari psikosis
onset baru pada penderita HIV, seperti
subcortikal neurodegeneration yang
disebabkan oleh HIV itu sendiri,
kerusakan otak oleh karena infeksi
oportunistik,
atau
demensia.
Pengunaan HAART pada pasien
infeksi
HIV
diharapkan
dapat
menurunkan resiko psikosis onset baru.
Pasien HIV+ dengan neuro-AIDS lebih
sensitif dikarenakan efek samping dari
antipsikotik agent, terutama efek
samping dari extrapyramidal sidaeffects (EPS) yang disebabkan
berkurangnya neuron dopaminergik.
Antipsikotik modern (risperidone,
quetiapine, sertindole, olanzapine)
lebih diutamakan daripada generasi
pertama,
hal
ini
dikarenakan
6,7
berkurangnya efek EPS.

Psikosis
Psikosis dapat diklasifikasi
menjadi primer (skizofrenia, kelainan
skizoafektif), dan sekunder (psikosis
yang disebabkan karena kondisi medis
seperti infeksi HIV) berdasarkan
nosologi DSM-IV. Pasien dengan
skizofrenia memiliki resiko tinggi

Terapi antiretroviral: HAART


Manifestasi klinik pada pasien
AIDS dan HAD memiliki prognosis
yang buruk. Pengenalan highly afctive
antiretroviral therapy (HAART) pada
tahun 1996-1997 memiliki efek
dramatik pada penderita HIV dan
miningkatkan angka harapan hidup
5|

Page

pada pasien HIV. Sekarang HAART


diberikan sebagai kombinasi dari tiga
atau empat obat antiretroviral dari
setidaknya dua golongan obat yang
berbeda. Ada lebih dari antiretroviral
yang telah diterima, distribusi dalam
empat
antiretroviral
berbeda:
nucleoside/nucleotide
analogue
reverse
transcriptase
inhibitors
(NRTIs;
abacavir,
emtricitabine,
lamivudine,
stavudine,
tenofovir,
zidovudine), non nucleoside analogue
reverse
transcriptase
inhibitor
(NNRTIs;
efavirenz,
nevirapine),
protease
inhibitor
(lopinavir,
ritonavir), dan fusion inhibitor
(enfuvirtide).
WHO
merekomendasikan pasien infeksi HIV
dewasa dan balita harus memulai terapi
ART ketika terdapat penyakit HIV
kelas IV berdasarkan klasifikasi WHO,
hitung sel CD4 yang rendah. Pada era
HAART nilai insiden HAD menurun
15-50%, HAART dapat meningkatkan
kemampuan kognitif pada beberapa
pasien
dengan
gangguan
yang
berhubungan dengan infeksi HIV,
namun HAART gagal menghasilkan
proteksi komplit terhadap HAD.6-7,11

memiliki efek positif terhadap efek


kognitif penderita gangguan mental
dengan HIV+ seperti menuruknan
tingat HAD. Tetapi pengertian terhadap
patogenesis dari HAD juga diperlukan
untuk mengidentifikasi strategi terapi
terapeutik lainnya untuk mengatasi
kelainan neurodegeneratif tersebut.
PENUTUPAN
Dengan ini tinjauan pustaka
kami buat, kita mengucapkan terima
kasih terhadap pihak - pihak yang ikut
serta atas pembuatan tinjauan pustaka
ini. Ada kalanya suatu saat, tinjauan
pustaka ini dapat berguna bagi pihak
lain yang membutuhkan.

DISKUSI
HIV
adalah
penyakit
mematikan yang menyerang sistem
imun tubuh penderita sehingga dapat
terjadi infeksi oportunis yang salah
satunya dapat menyerang otak. Pada
pasien HIV+ banyak ditemukan
gangguan mental seperti depresi,
psikosis.
Penggunaan
HAART

6|
Page

REFERENSI
1. Scaravilli F, Bazille C, Gray F. Neuropathologic contributions to understandning
AIDS and the central nervous system. Brain Pathol 2007;17(2):197-208.
2. Reeves JD, Doms RW. Human immunodeficiency virus type 2. J Gen Virol
2005;83(Pt 6):1253-65.
3. Anthony IC, Bell JE. The Neuropathology of HIV/AIDS. Int RevPsychiatry
2008;20(1):15-24.
4. Kaul M, Lipton SA. Mechanisms of neuroimmunity and neurodegeneration
associated

with

HIV-1

infection

and AIDS.

Neuroimmune

Pharmacol

2006;1(2):138-51.
5. Antinori A, Arendt G, Becker JT, Brew BJ, Byrd DA, Cherner M, et al. Updated
research nosology for HIV-associated neurocognitive

disorders. Neurology

2007;69(18):1789-99.
6. Dub B, Benton T, Cruess DG, Evans DL. Neuropsychiatric manifestations of HIV
infection and AIDS. J Psychiatry Neurosci 2005;30(4):237-46.

7. Larsson BO, Sall L, Salamon E, Allgulander C. Afr J Psychiatry 2009;12:115128


8. Yaunin Y, Afriant R, Hidayat NM. Jurnal Kesehatan Andalas. 2014; 3(2)
9. Nakimuli-Mpungu E, Musisi S, Mpungu SK, Katabira E. Primary mania versus HIVrelated secondary mania in Uganda. Am J Psychiatry 2006;163(8):1349-54.
10. Letendre SL, Woods SP, Ellis RJ, Atkinson JH, Masliah E, van den Brande G, et al.
Lithium

improves

HIV-associated

neurocognitive

impairment.

AIDS

2006;20(14):1885-8.
11. Robertson J, Meier M, Wall J, Ying J, Fichtenbaum CJ. Immune reconstitution
syndrome in HIV: validating a case definition and identifying clinical predictors in
persons initiating antiretroviral therapy. Clin Infect Dis 2006;42(11):1639-46.

Anda mungkin juga menyukai