Anda di halaman 1dari 12

A.

DEFINISI
Pneumotoraks adalah keadaan dimana terdapat udara atau gas dalam rongga
pleura. Dalam keadaan normal rongga pleura tidak berisi udara, supaya paruparu leluasa mengembang terhadap rongga thoraks.
Pneumothorax adalah adanya udara dalam rongga pleura. Pneumothorax
dapat terjadi secara spontan atau karena trauma.

B. ETIOLOGI
Pneumothoraks terjadi karena adanya kebocoran dibagian paru yang berisi
udara melalui robekan atau pecahnya pleura. Robekan ini berhubungan
dengan bronkhus. Pelebaran alveoli dan pecahnya alveoli kemudian
membentuk suatu bula yang disebut granulomatus fibrosis. Granulomatous
fibrosis adalah salah satu penyebab tersaring terjadinya pneumothoraks,
karena bula tersebut berhubungan dengan adanya obstruksi empisema.
Pneumothorax disebabkan karena robekan pleura atau terbukanya dinding
dada. Dapat berupa pneumothorak yang tertutup dan terbuka atau
menegang(Tension Pneumothorak). Kurang lebih 75% trauma tusuk
pneumothorak disertai hemotorak.

C. MANIFESTASI KLINIS
Gejala yang utama adalah berupa rasa sakit yang tiba-tiba dan bersifat
unilateral serta diikuti sesak nafas. Kelainan ini ditemukan pada 80-90%
kasus. Gejala-gejala ini lebih mudah ditemukan bila penderita melakukan
aktivitas berat. Tetapi pada sebagian kasus, gejala-gejala masih gampang
ditemukan pada aktivitas biasa atau waktu istirahat.

Rasa sakit tidak selalu timbul. Rasa sakit ini bisa menghebat atau menetap
bila terjadi perlengketan antara pleura viseralis dan pleura parietalis. Suatu
waktu perlengketan ini bisa sobek pada tekanan kuat dari pneumotoraks,
sehingga terjadi perdarahan intrapleura (hemato- pneumotoraks).
Kadang-kadang

gejala

klinis

dapat

ditemukan

walaupun

kelainan

pneumotoraksnya sedikit, misalnya perkusi yang hipersonar, fremitus yang


melemah sampai menghilang, suara nafas yang melemah sampai menghilang
pada sisi yang sakit.
Pada lesi yang lebih besar atau pada tension pneumotoraks, trakea dan
mediastinum dapat terdorong ke sisi kontralateral. Diafragma tertekan ke
bawah, gerakan pernafasan tertinggal pada sisi yang sakit. Fungsi respirasi
menurun, terjadi hipoksemia arterial dan curah jantung menurun (1).
Kebanyakan pneumotoraks terjadi pada sisi kanan (53%), sedangkan sisi kiri
(45%) dan bilateral hanya 2%. Hampir 25% dari pneumotoraks spontan
berkembang menjadi hidropneumotoraks(1).
Disamping keluhan-keluhan dan gejala-gejala klinis tersebut di atas, diagnosis
lebih meyakinkan lagi dengan pemeriksaan sinar tembus dada.

D. PATOFISIOLOGI
Saat inspirasi, tekanan intrapleura lebih negative daripada tekanan intra
bronkhial, sehingga paru akan berkembang mengikuti dinding thoraks dan
udara dari luar yang tekanannya nol akan masuk ke bronchus sehingga
sampe ke alveoli. Saat ekspirasi, dinding dada menekan rongga dada
sehingga tekanan intrapleura akan lebih tinggi dari tekanan dialveolus ataupun
di bronchus, sehingga udara ditekan keluar melalui bronchus. Tekanan
intrabronkhial meningkat apabila ada tahanan jalan napas. Tekanan
intrabronkhial akan lebih meningkat lagi pada waktu batuk, bersin atau
mengejan, karena pada keadaan ini glotis tertutup. Apabila dibagian perifer

dari bronchus atau alveolus ada bagian yang lemah, bronkhus atau alveolus
itu akan pecah atau robek.
Secara singkat proses terjadinya pneumothoraks adalah sebagai berikut:
1. Alveoli disangga oleh kapiler yang lemah dan mudah robek dan udara
masuk ke arah jaringan peribronkhovaskuler. Apabila alveoli itu melebar,
tekanan dalam alveoli akan meningkat.
2. Apabila gerakan napas kuat, infeksi dan obstruksi endobronkhial adalah
faktor presipitasi yang memudahkan terjadinya robekan.
3. Selanjutnya udara yang terbebas dari alveoli dapat menggoyahkan jaringan
fibrosis di peribronkovaskular kearah hilus, masuk mediastinum, dan
menyebabkan pneumothoraks.

E. KLASFIKASI
Masuknya udara ke dalam rongga pleura dibedakan atas :
1. Pneumotoraks spontan: Timbul sobekan subpleura dari bulla sehingga
udara dalam rongga pleura melalui suatu lubang robekan atau katup.
Keadaan ini dapat terjadi berulang kali dan sering menjadi keadaan yang
kronis. Penyebab lain ialah suatu trauma tertutup terhadap dinding dan
fistula bronkopleural akibat neoplasma atau inflamasi.
2. Udara lingkungan luar masuk ke dalam rongga pleura melalui luka tusuk
atau

pneumotoraks

disengaja

(artificial)

dengan

terapi

dalam

hal

pengeluaran atau pengecilan kavitas proses spesifik yang sekarang tidak


dilakukan lagi. Tujuan pneumotoraks sengaja lainnya ialah diagnostik untuk
membedakan massa apakah berasal dari pleura atau jaringan paru.
Penyebab-penyebab lain ialah akibat tindakan biopsi paru dan pengeluaran
cairan rongga pleura.
3. Masuknya udara melalui mediastinum yang biasanya disebabkan trauma
pada trakea atau esophagus akibat tindakan pemeriksaan dengan alat-alat
(endoskopi) atau benda asing tajam yang tertelan. Keganasan dalam

mediastinum dapat pula mengakibatkan udara dalam rongga pleura melalui


fistula antara saluran nafas proksimal dengan rongga pleura.
4. Udara berasal dari subdiafragma dengan robekan lambung akibat suatu
trauma atau abses subdiafragma dengan kuman pembentuk gas.
Pneumotoraks dapat juga dibagi 4 yaitu :
1. Pneumotoraks Terbuka: Gangguan pada dinding dada berupa hubungan
langsung antara ruang pleura dan lingkungan atau terbentuk saluran
terbuka yang dapat menyebabkan udara dapat keluar masuk dengan bebas
ke rongga pleura selama proses respirasi.
2. Pneumotoraks Tertutup: Misal terdapat robekan pada pleura viseralis dan
paru atau jalan nafas atau esofagus, sehingga masuk vakum pleura karena
tekanan vakum pleura negatif.
3. Pneumotoraks Valvular: Jika udara dapat masuk ke dalam paru pada
proses inspirasi tetapi tidak dapat keluar paru ketika proses ekspirasi.
Akibat hal ini dapat terjadi peningkatan tekanan intrapleural. Karena
tekanan intrapleural meningkat maka dapat terjadi tension pneumotoraks.

F. KOMPLIKASI
1. Tension Pneumothoraks atau Pneumothoraks Ventiel : komplikasi ini terjadi
karena tekanan dalam rongga pleura meningkat sehingga paru mengempis
lebih hebat, mediastinum tergeser kesisi lain dan mempengaruhi aliran
darah vena ke atrium kanan. Pada foto sinar tembus dada terlihat
mediastinum terdorong kearah kontralateral dan diafragma tertekan
kebawah

sehingga

menimbulkan

rasa

sakit.

Keadaan

ini

dapat

mengakibatkan fungsi pernafasan sangat terganggu yang harus segera


ditangani kalau tidak akan berakibat fatal.

2. Pio-pneumothoraks : terdapatnya pneumothoraks disertai empiema secara


bersamaan pada satu sisi paru. Infeksinya berasal dari mikro-organisme
yang membentuk gas atau dari robekan septik jaringan paru atau esofagus
kearah rongga pleura.
3. Hidro-pneumothoraks/hemo-pneumothoraks:

pada

kurang

lebih

25%

penderita pneumothoraks ditemukan juga sedikit cairan dalam pleuranya.


Cairan ini biasanya bersifat serosa, serosanguinea atau kemerahan
(berdarah). Hidrothorak dapat timbul dengan cepat setelah terjadinya
pneumothoraks pada kasus-kasus trauma/perdarahan intrapleura atau
perfosari esofagus (cairan lambung masuk kedalam rongga pleura).
4. Pneumomediastinum dan emfisema subkutan : Pneumomediastinum dapat
ditegakkan dengan pemeriksaan foto dada. Insidennya adalah 15 dari
seluruh pneumothoraks. Kelainan ini dimulai robeknya alveoli kedalam
jaringan interstitium paru dan kemungkinan diikuti oleh pergerakan udara
yang progresif ke arah mediastinum (menimbulkan pneumomediastinum)
dan kearah lapisan fasia otot-otot leher (menimbulkan emfisema subkutan).
5. Pneumothoraks simultan bilateral: Pneumothoraks yang terjadi pada kedua
paru secara serentak ini terdapat pada 2% dari seluruh pneumothoraks.
Keadaan ini timbul sebagai lanjutan pneumomediastinum yang secara
sekunder berasal dari emfisem jaringan enterstitiel paru. Sebab lain bisa
juga dari emfisem mediastinum yang berasal dari perforasi esofagus.
6. Pneumothoraks kronik: Menetap selama lebih dari 3 bulan. Terjadi bila
fistula bronko-pleura tetap membuka. Insidensi pneumothoraks kronik
dengan fistula bronkopleura ini adalah 5 % dari seluruh pneumothoraks.
Faktor

penyebab

antara

lain

adanya

perlengketan

pleura

yang

menyebabkan robekan paru tetap terbuka, adanya fistula bronkopelura


yang melalui bulla atau kista, adanya fistula bronko-pleura yang melalui lesi
penyakit seperti nodul reumatoid atau tuberkuloma.

G. PEMERIKSAAN PENUNJANG :
1. Pemeriksaan penunjang
2. X-foto thoraks 2 arah (PA/AP dan lateral)
3. Diagnosis fisik : Bila pneumotoraks <> Bila pneumotoraks > 30% atau
hematotorax sedang (300cc) drainase cavum pleura dengan WSD,
dainjurkan untuk melakukan drainase dengan continues suction unit. Pada
keadaan

pneumotoraks

yang

residif

lebih

dari

dua

kali

harus

dipertimbangkan thorakotomi Pada hematotoraks yang massif (terdapat


perdarahan melalui drain lebih dari 800 cc segera thorakotomi.

H. PENATALAKSANAAN
1. Tindakan medis
Tindakan observasi, yaitu dengan mengukur tekanan intra pleura
menghisap udara dan mengembangkan paru. Tindakan ini terutama
ditunjukan pada pneumothoraks tertutup atau terbuka,sedangkan untuk
pneumothoraks ventil tindakan utama yang harus dilakukan dekompresi
tehadap tekanan intra pleura yang tinggi tersebut yaitu dengan membuat
hubungan udara ke luar.
2. Tindakan dekompresi
Membuat hubungan rongga pleura dengan dunia luar dengan cara :
Menusukan jarum melalui dinding dada terus masuk ke rongga pleura
dengan demikian tekanan udara yang positif dirongga pleura akan berubah
menjadi negatif kerena udara yang positif dorongga pleura akan berubah
menjadi negatif karena udara yang keluar melalui jarum tersebut. Membuat
hubungan dengan udara luar melalui kontra ven il (Dapat memakai infus
set, Jarum abbocath, Pipa WSD /Water Sealed Drainage). Pipa khusus
(thoraks kateter) steril, dimasukan kerongga pleura dengan perantara

thoakar atau dengan bantuan klem penjepit (pean). Pemasukan pipa


plastic (thoraks kateter) dapat juga dilakukan melalui celah yang telah
dibuat dengan insisi kulit dari sela iga ke 4 pada baris aksila tengah atau
pada garis aksila belakang. Swelain itu data pula melalui sela iga ke 2 dari
garis klavikula tengah. Selanjutnya ujung sela plastik didada dan pipa kaca
WSD dihubungkan melalui pipa plastik lainya,posisi ujung pipa kaca yang
berada dibotol sebaiknya berada 2 cm dibawahpermukaan air supaya
gelembung udara dapat dengan mudah keluar melalui tekanan tersebut.
Penghisapan terus menerus (continous suction). Penghisapan dilakukan
terus menerus apabila tekanan intra pleura tetap positif, penghisapan ini
dilakukan dengan memberi tekanan negatif sebesar 1020 cm H2O dengan
tujuan agar paru cepat mengembang dan segera teryjadi perlekatan antara
pleura viseralis dan pleura parentalis. Apabila paru telah mengembang
maksimal dan tekanan intrapleura sudah negative lagi, drain drain dapat
dicabut, sebelum dicabut drain ditutup dengan cara dijepit atau ditekuk
selama 24 jam. Apabila paru tetap mengembang penuh, maka drain
dicabut.
3. Tindakan bedah
a) Dengan pembukaan dinding thoraks melalui operasi, dan dicari lubang
yang menyebabkan pneumothoraks dan dijahit.
b) Pada pembedahan, apabila dijumpai adanya penebalan pleura yang
menyebabkan

paru

tidak

dapat

mengembang,

maka

dilakukan

pengelupasan atau dekortisasi.


c) Dilakukan reseksi bila ada bagian paru yang mengalami robekan atau
ada fistel dari paru yang rusak, sehingga paru tersebut tidak berfungsi
dan tidak dapat dipertahankan kembali.

I. PENATALAKSANAAN KEPERAWATAN

Klien terdapat penyakit paru, bila ditemukan adanya kelainan pada paru yang
meningkat maka mungkin terdapat riwayat merokok. Penyakit yang sering
ditemukan adalah pneumotoraks, hemotoraks, pleural effusion atau empiema.
Klien bisa juga ditemukan adanya riwayat trauma dada yang mendadak yang
memerlukan tindakan pembedahan.
1. Pada Pemeriksaan :
Adanya respirasi ireguler, takhipnea, pergeseran mediastinum, ekspansi
dada asimetris. Adanya ronchi atau rales, suara nafas yang menurun,
perkursi dada redup menunjukan adanya pleural effusion, sering ditemui
sianosis perifer atau sentral, takikardia, hipotensi,dan nyeri dada pleural.
2. Faktor perkembangan/psikososial :
Klien mengalami kecemasan, ketakutan terhadap nyeri, prosedur atau
kematian, karena penyakit atau tindakan. Persepsi dan pengalaman
lampau klien terhadap tindakan ini atau hospitalisasi akan mempengaruhi
keadan psikososial klien.
3. Pengetahuan klien dan keluarga :
Pengkajian diarahkan pada pengertian klien tentang tindakan WSD, tanda
atau gejala yang menimbulkan kondisi ini, tingkat pengetahuan, kesiapan
dan kemauan untuk belajar.
Diagnosa yang mungkin muncul :
1. Ketidakefektifan pola pernapasan berhubungan dengan ekpansi paru yang
tidak maksimal karena akumulasi udara/cairan.
2. Inefektif bersihan jalan napas berhubungan dengan peningkatan sekresi
sekret dan penurunan batuk sekunder akibat nyeri dan keletihan.
3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidak seimbangan antara suplai
dan kebutuhan oksigen.

Diagnosa

Keperawatan

NOC

NIC
Intervensi : Berikan posisi yang

Ketidakefektifan

Pola

pernapasan

pola pernapasan efektive.

nyaman, biasanya dnegan


peninggian kepala tempat tidur.

berhubungan

Balik ke sisi yang sakit.


Kriteria hasil :

dengan ekpansi
paru yang tidak

Memperlihatkan

maksimal karena

frekuensi

pernapasan

akumulasi

Mengalami

udara/cairan

gas-gas

yang

efektive.

perbaikan
pada

pertukaran

paru.

Adaptive

mengatasi faktor-faktor penyebab.

Inefektif bersihan
jalan

napas

berhubungan
dengan
peningkatan
sekresi
dan
batuk

sekret

penurunan
sekunder

Menunjukkan
pembersihan

jalan

jalan

memindahkan

nafas yang , efektif

napas dengan

dan

sebuah

dibuktikan

dengan

status

pernapasan

pertukaran gas dan


ventilasi

berbahaya
akibat nyeri dan Menunjukkan
keletihan.

Pengisapan

pernapasan
pertukaran
ditandai

napas

sekresi

jalan

memasukan

kateter

pengisap

kedalam jalan napas oral dan


/atau trakea

tidak

Aktivitas Keperawatan :
Pengkajian :
1. Auskultasi bagian dada anterior

status

dan posterior untuk mengetahui

adanya penurunan atau tidak

gas,

adanya ventilasi dan adanya

dengan

indicator gangguan
sebagai

berikut

(dengan

ketentuan

bunyi tambahan
2. Berikan udara/oksigen
telah

dihumidifikasi

yang
sesuai

dengan kebijakan institusi


3. Konsultasikan dengan dokter

1-5: ekstrem, berat,

tentang

kebutuhan

untuk

sedang, ringan)

perkusi dan / atau peralatan


pendukung

Pasien

akan

mempunyai

jalan Anjurkan

napas yang paten

Intoleransi
3

Daya

aktivitas

fisik

untuk

meningkatkan pergerakan.

: Terapi aktivitas : saran tentang

tahan

aktivitas

tingkat

energy

dan bantuan dalam aktivitas fisik,

berhubungan

yang memampuan

kognitif, social dan spiritual yang

dengan ketidak

seseorang

spesifik

seimbangan

beraktivitas
Penghematan

antara suplai

dan kebutuhan

energi

oksigen.

pengelolaan

untuk

untuk

meningkatkan

rentang, frekuensi atau durasi


aktivitas

tingkat

individu

atau

kelompok)
Pengelolaan energy : pengaturan

energy aktif untuk

penggunaan

memulai

merawat

dan

energy
atau

untuk

mencegah

memilihara

kelelahan dan mengoptimalkan

aktivitas
Pasien

fungsi
akan

Aktivitas Keperawatan :
Pengkajian :
1.
Pantau
respon
oksigen
aktivitas dan/ atau
pasien( misalnya, nadi, irama
situasi
yang
jantung,dan frekuensi respirasi)
menimbulkan
mengidentifikasi

kecemasan

yang

berkontribusi pada
intoleransi
aktivitas
Berpartisipasi dalam
aktivitas fisik yang
dibutuhkan
dengan
peningkatan yang

terhadap aktivitas
2. Pantau asupan nutrisi
memastikan

untuk

keadekuatan

sumber-sumber energy
3. Kolaborasi dengan ahli terapi
okupasi, fisik dan / atau rekreasi
untuk

merencanakan

memantau

program

dan

aktivitas,

sesuai dengan kebutuhan

memadai
denyut

pada Rujuk

pada

ahli

jantung, merencanakan

frekuensi

meningkatkan

respirasi,

gizi

untuk

makanan

untuk

asupan

makanan

dan yang tinggi energi

tekanan darah dan


pola
dipantau

yang
dalam

batas normal.

DAFTAR PUSTAKA
Asril Bahar, 1999, Penyakit-penyakit Pleura, Buku Ajar Penyakit Dalam, Jilid II,
Balai Penerbit FKUI, Jakarta.
Kahar Kusumawidjaja, 2000, Pleura dan Mediastinum, Radiologi diagnositik,
Balai Penerbit FKUI, Jakarta.
Joten H.J., Andrew B.C., 1993, Essentials of Radiologic Imaging, Ed. 6, Paul
and Juhl, Clippincott-Raven, Philadelphia.

David Sutton, 1987, A Textbook of Radiology and Imaging, Ed. 4, Churchill


Livingstone, Edinburgh, london, Melbourne and New York.
Peter Amstrong, Martin L.W., 1986, X-Ray Diagnosis, Economy Edition, PG
Asian.
Carpenito, L.J. (1997). Diagnosa Keperawatan. Jakarta : EGC.
Depkes. RI. (1989). Perawatan Pasien Yang Merupakan Kasus-Kasus Bedah.
Jakarta : Pusdiknakes.
Doegoes, L.M. (1999). Perencanaan Keperawatan dan Dokumentasian
keperawatan. Jakarta : EGC.
Hudak, C.M. (1999) Keperawatan Kritis. Jakarta : EGC. Pusponegoro, A.D.
(1995). Ilmu Bedah. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai