OLEH :
GLADEVA YUGI ANTARI
DEWI HINDRAYATI
1320332009
1320332034
DOSEN PEMBIMBING
dr. Desmiwarti, SpOG (K)
menyerang janin pada kehamilan, antara lain adalah arthritis rheumatoid, lupus
eritematosus sistemik (SLE), idiopatik trombositopenia purpura (ITP), Trombositopenia
isoimune, penyakit graves, dan miastenia gravis. Janin akan terkena bila antibody IgG
dihasilkan untuk melawan suatu organ vital.
1.2 Tujuan
1.
2.
3.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
virus sitolitik yag dilepaskan dari sel pejamu yang baru dibunuhnya. Antibody sendiri
pada umumnya tidak cukup untuk mengontrol virus yang dilepas dari permukaan sel
terinfeksi, oleh karena dapat menyebar ke sel bersebelahan tanpa terpajan antibody
(Baratawidjaja & Rengganis, 2012)
infeksi sel penjamu oleh virus adalah virus memasuki sel penjamu setelah menempel
pada sel tersebut melalui berbagai cara :
1)
2)
3)
4)
sitoplasma
Fusi membran, isi genom virus dimasukkan ke dalam sitoplasma sel penjamu
Endositosis yang diatur oleh reseptor permukaan yang mengikat dan transpor
melalui klatrin, kadang menimbulkan fusi ke dalam endosom intraselular.
lingkungan anti viral. IFN dan IFN mencegah replikasi virus dalam sel yang
terinfeksi.
Sel NK membunuh sel yang terinfeksi oleh berbagai jenis virus dan
merupakan efektor imunitas penting terhadap infeksi dini virus, sebelum respon
imun spesifik bekerja. Sel NK mengenal sel terinfeksi yang tidak mengekresikan
MHC-I. Untuk membunuh virus, sel NK tidak memerlukan bantuan molekul MHC-I.
b) Imunitas Spesifik
1) Imunitas Spesifik Humoral
Respon imun terhadap virus tergantung dari lokasi virus dalam penjamu.
Antibodi merupakan efektor dalam imunitas spesifik humoralterhadap infeksi
virus. Antibodi diproduksi dan hanya efektif terhadap virus dalam fase
ekstraselular. Virus dapat ditemukan ekstraseluler pada saat awal infeksi sebelum
virus masuk kedalam sel atau bila dilepas oleh sel terinfeksi yang dihancurkan
(khusus untuk virus sitopatik). Antibodi dapat menetralkan virus, mencegah virus
menempel pada sel dan masuk kedalam sel penjamu.
Antibodi dapat berperan sebagai opsonin yang meningkatkan eliminasi
partikel virus oleh fagosit. Aktivitas komplemen juga ikut berperan dalam
meningkatkan fagositosis dan menghancurkan virus dengan envelop lipid secara
langsung. IgA yang disekresi di mukosa berperan terhadap virus yang masuk
tubuh melalui mukosa saluran napas dan cerna. Imunisasi oral terhadap virus
polio bekerja untuk menginduksi imunitas mukosa tersebut.
2) Imunitas Spesifik Selular
Virus yang berhasil masuk kedalam sel, tidak lagi rentan terhadap efek
antibodi. Respon imun terhadap virus intraselular terutama tergantung dari sel
CD8+/CTL (Cytotoxic T Lymphocyyte) yang membunuh sel terinfeksi. Fungsi
fisiologik utama CTL ialah pemantauan terhadap infeksi virus. Kebanyakan CTL
yang spesifik untuk virus mengenal antigen virus yang sudah dicerna dalam
sitosol, biasanya disintesis endogen yang berhubungan dengan MHC-I dalam
setiap sel yang bernukleus. Untuk diferensiasi penuh, CD8 + memerlukan sitokin
yang diproduksi sel CD4+ Th dan kostimulator yang diekspresikan pada sel
terinfeksi. Bila sel terinfeksi adalah sel jaringan dan bukan APC, sel terinfeksi
dapat dimakan oleh APC profesional seperti sel dendritik yang selnjutnya
memproses antigen virus dan mempresentasikannya bersama molekul MHC-I ke
sel CD8+ naif di kelenjar getah bening. Sel yang akhir akan berproliferasi secara
masif yang kebanyakan merupakan sel spesifik untuk beberapa peptida virus. Sel
CD8+ naif yang diaktifkan berdiferensiasi menjadi sel CTL efektor yang dapat
membunuh setiap sel bernukleus yang terinfeksi. Efek antivirus utama CTL
adalah membunuh sel terinfeksi.
Patologi yang diindikasi virus merupakan efek direk yang menimbulkan
kematian sel penjamu dan kerusakan jaringan. Hampir semua virus tanpa envelop
menimbulkan infeksi akut dan kerusakan. Lisis sel terjadi selama replikasi dan
penyebaran virus ke sel sekitar. Kerusakan patologi sebetulnya sering lebih
merupakan akibat respon imun aktif terhadap antigen virus dan epitopnya pada
permukaan sel terinfeksi.
Tabel 1: Mekanisme Respons Imun Humoral dan Selular
Jenis
Respons
Humoral
Selular
Aktivitas
Antibodi IgM
Komplemen
yang
diaktifkan oleh antibodi
IgG atau IgM
atau Tc
CTL
(Cytotoxic
Lymphocyyte)
Sel NK dan makrofag
terinfeksi
virus
terdahulu, misalnya pandemi influenza. Juga ditemukan sejumlah besar epitop virus
rino sehingga tidak memungkinkan untuk melakukan vaksinasi spesifik terhadap
virus tersebut. HIV-I yang merupakan penyebab AIDS juga menunjukkan sejumlah
variasi antigen.
2) Beberapa virus menghambat presentasi antigen protein sitosolik yang berhubungan
dengan molekul MHC-I. Akibatnya, sel terinfeksi virus tidak dapat dikenal dan
dibunuh CD8+/CTL. Sel NK mungkin masih akan membunuh sel terinfeksi dengan
virus teradaptasi tersebut, mengingat sel NK dapat diaktifkan tanpa bantuan molekul
MHC-I
3) Beberapa jenis virus diproduksi molekul yang mencegah imunitas nonspesifik dan
spesifik. Virus pox menyandi molekul yang dapat mengikat beberapa sitokin seperti
IFN-, TNF, IL-1 dan IL-18 dan kemokin dan molekul-molekul tersebut dilepas oleh
sel terinfeksi. Protein-protein yang mengikat sitokin-sitokin yang dilepas berfungsi
sebagai antigonis sitokin. Virus sitomegalo memproduksi molekul yang homolog
dengan protein MHC-I dan dapat berfungsi kompetitif untuk mengikat dan
mempresentasikan antigen peptida.
4) Virus dapat menginfeksi, membunuh atau mengaktifkan sel imunokompeten
5) HIV dapat tetap hidup dengan menginfeksi dan mengeliminasi sel T CD4 + yang
merupakan sel kunci regulator respons imun terhadap antigen protein
10
yang kuat dan jaringan akan ditolak. Dengan demikian, tampaknya mengejutkan bahwa
ibu tidak menolak janin walaupun antigennya asing (Coad & Dunstall, 2007).
Berdasarkan Mor & Cardenes (2010) menyebutkan selama kehamilan normal,
desidua manusia mengandung banyak sel-sel kekebalan, seperti makrofag, sel natural
killer (NK) dan sel T regulator (Treg). Tujuh puluh persen leukosit dari desidua adalah sel
NK, 20-25% adalah makrofag, serta sebesar 1,7% adalah sel dendritik.
Pada sel
kekebalan adaktif, sel limfosit B tidak mengalami perubahan, namun pada sel limfosit T
mengalami kenaikan sekitar 3-10% dari sel-sel kekebalan desidua. Selama trimester
pertama, sel NK, sel dendritik dan makrofag masuk kedalam desidua dan secara bersama
menuju sel trofoblas. Hilangnya salah satu dari makrofag, sel NK atau sel dendritik (DC)
dapat memberi efek merusak. Sebuah studi menunjukkan bahwa dengan tidak adanya sel
NK, sel-sel trofoblas tidak akan mampu mencapai vaskularisasi endometrium sehingga
menyebabkan penghentian kehamilan. Studi-studi ini menunjukkan bahwa sel-sel Uteri
Natural Killer sangat penting untuk invasi trofoblas di dalam rahim. Demikian pula,
penipisan DC menjaga implantasi blastokista dan pembentukan desidua. Penelitian ini
menunjukkan bahwa Uteri Dendritik Cells diperlukan untuk pembentukan desidua dan
dapat mempengaruhi respon angiogenik dengan menghambat pematangan pembuluh
darah.
Penelitian yang dilakukan oleh Collins et al (dalam Mor & Cardenes, 2010)
menunjukkan sebuah data tentang gagasan yang mendukung interaksi kekebalan janinibu lebih kompleks dibandingkan dengan transplantasi allograft. Mor & Cardenes (2010)
mengusulkan sebuah paradigma baru dalam hal respon imunologi dari ibu terhadap
mikroorganisme, yang ditentukan dan dipengaruhi oleh kehadiran dan tanggapan dari unit
janin/plasenta. Dengan kata lain, imunologi kehamilan merupakan hasil dari kombinasi
sinyal dan respon yang berasal dari sistem kekebalan tubuh ibu dan sistem kekebalan
tubuh janin-plasenta. Sinyal yang berasal dari plasenta akan memodulasi cara sistem
kekebalan tubuh ibu dalam berperilaku terhadap sinyal potensial berbahaya (Gbr. 3a, b).
11
12
Sel-sel kekebalan yang membentuk respon imun adaptif adalah limfosit B dan T.
Pelepasan sitokin oleh limfosit T disebabkan akibat aktivasi oleh antigen presenting sel,
sedangkan pelepasan antibodi oleh limfosit B terjadi dalam respon humoral. Meskipun
Medawar (Sykes, et all, 2012) awalnya berhipotesis bahwa kehamilan merupakan saat
dimana terjadi penekanan kekebalan, penjelasan yang lebih kompleks baru-baru ini
muncul dimana terjadi perubahan rasio dan fungsi leukosit ibu, secara lengkap terjadi
selama kehamilan. Misalnya, terdapat peningkatan dalam total jumlah perifer sel darah
putih pada tahap awal kehamilan, namun tidak ada perubahan dalam jumlah CD4 + dan
CD8+. Pada CD4+, terjadi peningkatan kadar sel T regulator selama kehamilan. Fungsi sel
13
T regulator pada kehamilan untuk mendukung profil sitokin T helper 2, yang lebih jelas
pada pemisah janin dan ibu. Sel imun bawaan, misalnya, trofoblas plasenta juga
berkontribusi terhadap dominasi sitokin Th2 pada kehamilan.
Sistem kekebalan tubuh bawaan (innate immune) memberikan respon yang
kurang spesifik, namun sangat penting dalam pencegahan invasi mikroba. Komponen
seluler yang termasuk dalam sistem ini adalah neutrofil, monosit, dan makrofag.
Komponen ini yang melindungi tubuh dari pathogen, dengan cara fagositosis. Reseptor
Toll-like (TLRs) TLR2 dan TLR4 merupakan pola reseptor untuk pengenalan terhadap
bakteri, yang dirangsang oleh bakteri Gram-positif dan Gram-negatif. TLRs
diekspresikan pada sel-sel kekebalan non sepesifik dalam plasenta dan selaput janin, yang
menjadi media antara bagian dari sistem kekebalan tubuh bawaan pada ibu dan janin.
Mutasi TLR2 dan 4 ini berhubungan dengan peningkatan risiko kelahiran premature.
Selama kehamilan, terdapat regulasi yang ketat dan cukup cross-talk antara adaptif dan
sistem imun adaptif bawaan yang bertanggung jawab untuk mencegah atau mengaktifkan
penolakan konsepsi.
Subset sel T helper 1 dan 2, berasal dari diferensiasi Sel Th0, yang berada pada
pengaruh interferon-gamma (IFN-) dan interleukin-4 (IL-4). Hormone kehamilan seperti
progesterone, leukemia inhibitory factor, estradiol, dan prostaglandin D2 (PGD2),
meningkatkan profil sel T helper 2 dan diduga bertanggung jawab terhadap kehamilan.
Sel T Tipe 1 CD4+ (Th1) menghasilkan berbagai sitokin inflamasi seperti IFN-,
IL-2 dan Tumor necrosis factor-alpha (TNF-) dan sitokin yang dihasilkan ini merupakan
efektor utama fagosit pertahanan host, sebagai media proteksi terhadap patogen
intraseluler. Sel T Tipe 2 CD4+ (Th2) memproduksi IL-4, IL-5, IL-13, IL-10 dan IL-6.
Sementara IL-4 dan IL-10 dianggap sebagai sitokin anti inflamasi, IL-6 memiliki sifat
proinflamasi. Meskipun IL-10 dan IL-6 sering disebut sebagai Th2 sitokin, namun
keduanya diproduksi oleh tipe sel lain yaitu sel Th1, makrofag, dan sel B untuk IL-10 dan
makrofag , fibroblas, dan sel B untuk IL-6. T helper 2 sitokin yang umumnya terkait
dengan respon antibodi, misalnya, IL-4 merangsang produksi IgE dan antibodi IgG1.
14
Namun, sitokin Th2 juga memiliki fungsi lain seperti, IL-5 yang mendorong pertumbuhan
dan diferensiasi eosinofil, sedangkan IL-13 dan IL-10 menghambat aktivitas makrofag.
Sel T juga memberikan tanggapan terhadap perlindungan dari parasit, karena IL-4
memediai produksi IgE, dan IL-5 memediaii sebuah eosinofilia, dimana keduanya
merupakan keunggulan dari infeksi parasit.
Penting untuk diketahui bahwa, meskipun respon Th1 dan Th2 dapat dilihat
sebagai respon diskrit, ada crosstalk yang cukup dan tumpang tindih antara fungsi sel T
helper. Sebagai contoh, sitokin Th1 dapat meningkatkan produksi komplemen yang dapat
memperbaiki antibodi yang terlibat dalam sel sitotoksisitas antibodi, dan dengan
demikian penjelasan tentang dikotomi
sistem kekebalan tubuh yang kompleks. Transkripsi dominan diatur oleh Th2 sitokin IL-4
adalah dengan STAT-6, c-maf, GATA- 3, dan NFAT, sedangkan produksi sitokin sel Th1
yang transkripsinya diatur oleh T-bet dan STAT-4.
Mor & Cardenes (2010) menyebutkan Trofoblas dapat menghasilkan antimikroba dan peptida, oleh karena itu, secara aktif dapat melindungi diri terhadap patogen.
Penelitian telah menunjukkan ekspresi antimikroba defensin beta manusia 1 dan 3 oleh
sel-sel trofoblas. Sekretori leukosit protease inhibitor (SLPI), yang merupakan inhibitor
kuat dari infeksi HIV dan inducer dari lisis bakteri, juga telah ditemukan dalam sel-sel
trofoblas. Ekspresi TLR-3, TLR-7, TLR-8 dan TLR-9 oleh sel trofoblas sebagai pengatur
ekspresi plasenta terhadap faktor-faktor anti-mikroba. Stimulasi sel trofoblas trimester
pertama melalui TLR-3 dengan Poli (I: C) meproduksi SLIP dan IFN-, dua faktor antivirus yang penting. Faktor-faktor ini memberikan garis pertahanan pertama terhadap
infeksi virus dan memiliki potensi untuk mengaktifkan beberapa jalur intraseluler. IFN-
dan SLPI diproduksi oleh sel trofoblas, dalam menanggapi infeksi virus pada pemisah
antara ibu-janin yang merupakan mekanisme potensial dimana plasenta mencegah
penularan infeksi virus (misalnya HIV) ke janin selama kehamilan. Penjelasan ini
menunjukkan bahwa plasenta merupakan organ yang aktif imunologi, (sistem kekebalan
tubuh bawaan), mampu mengenali dan menanggapi patogen. Namun, hal itu juga
15
menunjukkan bahwa plasenta rentan terhadap infeksi dari mikroorganisme, dimana dalam
keadaan tidak hamil hal ini tidak akan terjadi.
Robinson and Klein (2012) menyebutkan perubahan hormonal dan imunologi
yang terjadi selama kehamilan dapat mempengaruhi kerentanan terhadap penyakit
autoimun dan infeksi. Umumnya, tingkat keparahan penyakit yang diperburuk oleh
respon inflamasi imun, seperti rheumatoid arthritis, dan psoriasis, berkurang selama
kehamilan (Confavreux et al, 1998;. Ostensen dan Villiger, 2002; Raychaudhuri et al,
2003.). Sebaliknya, tingkat keparahan penyakit menular, yang membutuhkan respon
inflamasi untuk kontrol awal dan penolakan patogen, meningkat selama kehamilan
(Jamieson et al, 2009;.. Krishnan et al, 1996a; Luft dan Remington, 1982; Menendez,
1995). Hormon yang berkontribusi secara signifikan terhadap hasil penyakit imunologi
terkait selama kehamilan dengan mengubah fungsi sel-sel imunologi. Hormon dapat
memiliki efek tambahan pada hasil infeksi selama kehamilan. Misalnya, perubahan
hormon, termasuk peningkatan konsentrasi P4, yang diduga mengubah tidak hanya
respon imun lokal, tetapi juga saluran kelamin mukosa, meningkatkan risiko infeksi HIV
selama kehamilan (Gray et al., 2005). Untuk ulasan ini, penyakit yang dipilih
dimaksudkan untuk memberikan contoh bagaimana kehamilan, hormon-hormon
kehamilan terkait, atau keduanya mempengaruhi patogenesis penyakit, terutama dengan
mengubah fungsi kekebalan tubuh.
16
Gambar 5: Perubahan hormon dan pajanan terhadap antigen janin selama kehamilan
menyebabkan sistem imun ibu terhadap respon anti-inflamasi menjadi lebih tinggi dan
berbeda dari respon proinflamasi yang mengalami penurunan, terutama selama trimester
ketiga. Perubahan imunologi yang diperlukan untuk mempertahankan kehamilan, tetapi
juga mempengaruhi hasil penyakit.
Sumber : Robinson and Klein (2012)
Varisela adalah virus akut yang ditandai dengan adanya vesikel pada kulit
yang sangat menular. Penyakit ini disebut juga dengan Chikenpox, cacar air, atau
varisela zoster. Herpes zoster mempunyai manifestasi klinis yang berbeda dengan
17
varisela, meskipun penyebabnya sama. Virus herpes DNA untai ganda ini terutama di
peroleh sewaktu masa kanak-kanak, dan 95 persen orang dewasa memperlihatkan bukti
serologis imunitas (Plourd dan Austin, 2005). Infeksi primer (varisela atau cacar air
(Chickenpox)) di tularkan melalui kontak langsung dengan orang yang terinfeksi,
meskipun transmisi melalui udara pernah dilaporkan. Masa tunas adalah 10 sampai 21
hari, dan wanita non-imun memiliki risiko 60 sampai 95 persen terinfeksi setelah
terpajan. Kemudian ia menularkan sejak sehari sebelum munculnya ruam hingga lesi
mengalami krustasi (Widoyono, 2011).
1.
Epidemiologi
karena adanya
18
Pada 15% penderita yang selamat akan mempunyai sekuele yang menetap
berupa kejang, retardasi mental dan kelainan atau perubahan perilaku.
2.
Etiologi
Penularan
19
ini terjadi karena kegagalan sistem imun untuk mempertahankan diri dari
serangan ulang virus varisela (Cunningham & dkk, 2013).
4.
Manifestasi Klinis
Masa inkubasi varisela sekitar 11-21 hari, dengan rata-rata 13-17 hari.
Perbedaan varisela dengan herpes zoster adalah bahwa lokasi vesikel pada
herpes zoster sesuai dengan lokasi susunan saraf. Terdapat dua stadium
perjalanan penyakit:
a.
Stadium prodromal
Dua minggu setelah infeksi akan timbul demam, malaise, anoreksia dan
b.
nyeri kepala
Stadium erupsi
Satu sampai tiga hari kemudian akan muncul ruam atau makula
kemerahan, papula segera berubah menjadi vesikel yang khas berbentuk
seperti tetesan air. Vesikel akan menjadi pustula (cairan jernih berubah
menjadi keruh) yang pecah menjadi krusta dalam waktu sekitar 12 jam.
Vesikel mulai muncul di muka dan mukosa yang cepat menyebar ke
tubuh dan anggota gerak dengan menimbulkan gejala gatal. Krusta
terkelupas dalam waktu sekitar satu minggu. Parut permanen jarang
terjadi kecuali bila terdapat infeksi sekunder (Widoyono, 2011) (Mandal,
Wilkins, Dunbar, & Mayon-White, 2008)
20
Infeksi cenderung lebih parah pada orang dewasa, dan hampir separuh dari
kematian akibat varisela terjadi pada orang dewasa non-imun yang jumlahnya 5
persen (Centers for Disease Control and Prevention, 1999). Kematian terutama
disebabkan oleh pneumonia varisela, yang diperkirakan lebih parah pada masa
dewasa dan terutama pada kehamilan. Harger dkk, (2002) melaporkan bahwa 5
persen wanita hamil yang terinfeksi mengalami pneumonitis. Angka kematian ibu
pada pneumonia telah menurun sebesar 1 sampai 2 persen (Chandra dkk, 1998).
Gejala pneumonia biasanya muncul 3 sampai 5 hari setelah awitan penyakit. Infiltrat
nodular serupa dengan virus pneumonia lainnya. Meskipun resolusi pneumonitis
paralel dengan perbaikan lesi kulit namun demam dan gangguan fungsi paru dapat
menetap berminggu-minggu.
Jika infeksi primer varisela tersebut mangalami reaktivitasi beberapa tahun
kemudian, timbullah herpes zoster atau shingles (cacar ular) (Gilden dkk, 2000).
Tidak terdapat bukti bahwa zoster lebih sering atau lebih parah pada wanita hamil.
Dan dari ulasan mereka terhadap 366 kasus selama kehamilan, Enders dkk, (1994)
tidak mendapat bukti yang jelas bahwa zoster menyebabkan malformasi kongenital.
Zoster menular jika lepuh pecah, meskipun lebih rendah daripada infeksi varisela
primer (Cunningham & dkk, 2013).
5.
Diagnosis
Varisela ibu bisanya didiagnosis secara klinis. Virus juga dapat diisolasi
dengan mengerok dasar vesikel selama infeksi primer dan melakukan apusan
Tzanck, biakan jaringan, atau uji antibodi fluoresen langsung. Teknik-teknik
amplifikasi asam nukleat yang tersedia juga sangat sensitif. Varisela kongenital dapat
didiagnosis dengan menggunakan teknik amplifikasi asam nukleat pada cairan
amnion, meskipun hasil positif tidak berkorelasi baik dengan terjadinya infeksi
kongenital (Mendelson dkk, 2006).
6.
21
Pada wanita dengan cacar air selama paruh pertama kehamilan, janin dapat
mengalami sindrom varisela kongenital. Gejala dapat meliputi lesi kulit dan jaringan
parut pada distribusi dermatom, masalah mata, seperti korioretinitis dan katarak,
serta anomali skeletal, terutama hipoplasia ekstremitas. Masalah neurologis berat
dapat meliputi ensefalitis, mikrosefalus, dan keterlambatan perkembangan yang
signifikan. Sekitar 30% bayi yang lahir dengan lesi kulit, meninggal pada bulan
pertama kehidupan (Sauerbrei & wutzler, 2000 dalam Fraser & Cooper, 2011).
Cacar air yang diderita ibu dari gestasi 20 minggu hingga hampir masa
persalinan dapat mengakibatkan bentuk varisela neonatus yang lebih ringan yang
tidak mengakibatkan gejala sisa negatif bagi neonatus. Anak mungkin mengalami
penyakit ruam saraf selama beberapa tahun pertama kehidupan. Namun, infeksi
maternal setelah 36 minggu, dan khususnya pada minggu sebelum kelahiran (jika
IgG VVZ darah tali pusat rendah) sampai 2 hari setelahnya, dapat mengakibatkan
angka infeksi hingga 50%. Sekitar 25% bayi yang terinfeksi akan mengalami
varisela klinis neonatus (atau infeksi varisela bayi baru lahir) dan angka kematian
mencapai 25 persen. Pada beberapa kasus, neonatus mengalami infeksi susunan saraf
pusat dan visera diseminata. Karena itu, globulin imun varisela zoster perlu
diberikan kepada neonatus yang lahir dari ibu dengan gejala klinis varisela 5 hari
sebelum sampai 2 hari setelah persalinan.
22
Gambar 7 : Atrofi ekstremitas bawah disertai cacat tulang dan jaringan parut pada
seorang janin yang terinfeksi selama trimester pertama oleh varisela
Bayi baru lahir juga berisiko mengalami varisela yang didapat dari ibu atau
saudara kandung pada periode pascanatal. Sebagian besar bayi yang menderita
varisela mengalami ruam vesikular dan sekitar 30% meninggal. Komplikasi lain
varisela neonatus meliputi sepsis klinis, pneumonia, pioderma, dan hepatitis
(singalavanija et al 1999 dalam Fraser & Cooper, 2011).
Penatalaksanaan
a. Pajanan ke Virus
Oleh karena sebagian besar orang dewasa (95 persen) seropositif VZV,
bahkan wanita hamil tanpa riwayat varisela yang terpajan tetap perlu diperiksa
untuk serologi VZV. Paling tidak 70 persen dari mereka akan seropositif, dan
karenanya kebal. Wanita hamil yang terpajan dan rentan perlu diberi VariZIG
b.
c.
23
Suatu vaksin virus hidup yang telah dilemahkan Varivax telah di setujui
pemakaiannya pada tahun 1995. Dua dosis, yang diberikan terpisah 4 sampai 8
minggu, di anjurkan untuk remaja dan dewasa tanpa riwayat varisela. Vaksinasi
ini menghasilkan serokonversi 97 persen (Centers for Disease Control and
Prevention, 2007). Imunitas yang di picu oleh vaksin berkurang seiring waktu,
dan angka infeksi break through adalah sekitar 5 persen pada 10 tahun (Chaves
dkk, 2007). Vaksin ini tidak dianjurkan untuk wanita hamil dan jangan
diberikan kepada wanita hamil yang mungkin hamil dalam satu bulan setelah
setiap pemberian dosis vaksin. Suatu data tentang 362 kehamilan yang terpajan
vaksin tidak melaporkan adanya sindrom varisela kongenital atau malformasi
kongenital terkait lainnya. (Shiekds dkk, 2001). Virus yang telah dilemahkan
tersebut tidak disekresikan di air susu. Karena itu, vaksinasi pascapartum jangan
di tunda dengan alasan menyusui (Bohlke dkk, 2003).
Vaksin untuk mencegah herpes zoster (Zostavax) mendapat lisensi pada
tahun 2006 tetapi saat ini tidak dianjurkan untuk orang yang berusia kurang dari
60 tahun (Centers for Disease Control and Prevention, 2007)
8.
Pencegahan
Upaya pencegahan yang dapat dilakukan meliputi:
a. Mengisolasi penderita
b. Meningkatkan gizi kontak yang serumah dengan penderita
c. Memberikan penyuluhan tentang penyakit
d. Imunisasi (saat ini masih mahal)
24
ringan sampai sedang. Penyakit ini dapat meninggalkan gejala sisa kerusakan neurologis
akibat peradangan otak (ensefalitis) (Widoyono, 2011).
25
satu antigen. Struktur virus ini mirip dengan virus penyebab parotitis epidemis dan
parainfluenza. Virus campak hanya menginfeksi manusia. Setelah timbulnya ruam
kulit, virus aktif dapat ditemukan pada sekret nasofaring, darah, dan air kencing
dalam waktu sekitar 34 jam pada suhu kamar.
Virus campak dapat bertahan selama beberapa hari pada temperatur 0C dan
selama 15 minggu pada sediaan beku. Virus ini tidak aktif oleh panas, cahaya, pH
asam, eter, dan enzim tripsin Di luar tubuh manusia, virus ini mudah mati. Pada suhu
kamar sekalipun, virus ini akan kehilangan infektivitasnya sekitar 60% selama 3-5
hari. Virus campak memiliki waktu kelangsungan hidup singkat di udara, atau pada
benda dan permukaan, virus mudah hancur oleh sinar ultraviolet.
3. Penularan
Virus campak mudah menularkan penyakit. Virulensinya sangat tinggi
terutama pada anak yang rentan dengan kontak keluarga, sehingga hampir 90% anak
yang rentan akan tertular. Campak tersebar ketika orang bernapas atau memiliki
kontak langsung dengan cairan yang terinfeksi virus, seperti cairan yang keluar saat
penderita bersin atau batuk. Seseorang yang terkena virus mungkin tidak
menunjukkan gejala sampai 8-10 hari kemudian. Sebagian besar orang dewasa kebal
terhadap penyakit ini karena telah diimunisasi pada masa kanak-kanak. Dalam suatu
studi terhadap wanita hamil, 17 persen ditemukan seronegatif (Haas dkk, 2005).
Infeksi ini sangat menular, dan jika campak menjadi epidemik, wanita yang tidak
divaksinasi memperlihatkan peningkatan risiko mengalami pneumonia dan diare
berat disertai gangguan hasil akhir kehamilan (American Academy of Pediatrics,
2006; Centers for Disease Control and Prevention, 2005)
Imunisasi pasif untuk ibu diberikan dengan globulin serum imun 0,25 mL/kg
dengan dosis maksimal 15 mL, yang diberikan secara intramuskulus dalam 6 hari
pajanan. Vaksinasi aktif tidak dilakukan selama kehamilan, tetapi wanita yang rentan
dapat divaksinasi secara rutin pascapartum (American College of obstetricians and
26
gynecologists, 2003; Centers for Disease Control and Prevention, 1998). Menyusui
bukan merupakan kontraindikasi vaksinasi (Ohji dkk, 2009)
4. Gejala dan Tanda
Sekitar 10 hari setelah infeksi, demam yang biasanya tinggi akan muncul,
diikuti dengan koriza (flu), batuk dan peradangan pada mata. Gejala penyakit
campak dikategorikan dalam tiga stadium, yaitu :
a. Stadium masa inkubasi, berlangsung 10-12 hari.
b. Stadium masa prodromal, yaitu munculnya gejala demam ringan hingga sedang,
batuk yang makin berat, koriza, peradangan mata (mata merah), dan munculnya
enantema atau bercak koplik yang khas pada campak, yaitu bercak putih pada
c.
mukosa pipi.
Stadium akhir, dimulai 3-5 hari setelah gejala muncul, ditandai oleh demam
tinggi hingga 40C dan timbul ruam-ruam kulit kemerahan yang dimulai dari
belakang telinga dan kemudian menyebar ke leher, muka, tubuh, dan anggota
gerak.
komplikasi.
Komplikasi
yang
sering
terjadi
adalah
konjungtivitis,
27
28
29
penularan adalah 80 persen pada orang yang rentan. Insiden puncak adalah pada akhir
musim dingin dan semi.
1.
Gambaran Klinis
Pada orang dewasa, rubela biasanya bermanifestasi sebagai penyakit demam
ringan yang berkepanjangan, flu, pusing-pusing, mual, lemah, nyeri otot dan disertai
ruam makulopapular generalisata yang di mulai di wajah dan menyebar ke badan
dan ekstremitas. Kelenjar getah bening akan membesar. Gejala lain adalah artralgia
atau artritis, limfadenopati kepala dan leher, dan konjungtivitis. Ruam berlangsung
selama 3 hari, pembengkakan kelenjar getah bening berlangsung selama satu minggu
lebih dan nyeri sendi dapat bertahan selama lebih dari 2 minggu. Masa tunas adalah
12 sampai 23 hari. Viremia biasanya mendahului tanda-tanda klinis sekitar
seminggu, dan orang dewasa dapat menularkan penyakit sejak viremia hingga 5
sampai 7 hari ruam. Hampir separuh infeksi pada ibu hamil bersifat subklinis
meskipun terjadi viremia yang dapat menyebabkan infeksi dan malformasi pada
janin.
2.
30
tenggorokan dan hidung. Virus ini juga dapat menyebar melalui aliran darah atau
sistem getah bening ke bagian tubuh lain seperti sendi, timus, mata, testis, limpa,
amandel dan paru-paru.
3.
31
rubella
syndrome),
dengan
panensefalitis progresif dan diabetes tipe 1, mungkin belum muncul secara klinis
sampai dekade kedua dan ketiga kehiduupan. Hampir sepertiga neonatus yang
asimtomatik saat lahir dapat memperlihatkan gangguan perkembangan ini (Webster,
1999).
4.
Diagnosis
Infeksi rubela muncul pada hari 1-2 dengan gejala demam ringan (37,237,8C) dan pembengkakan kelenjar getah bening di belakang leher atau belakang
telinga. Selanjutnya muncul ruam pada wajah dan menyebar ke bagian tubuh lain
hingga ekstremitas berupa bintik merah muda atau merah terang yang dapat
bergabung dan membentuk bercak yang merata. Ruam dapat terasa gatal dan
berlangsung selama 3 hari. Gejala lain dari rubela adalah sakit kepala, kehilangan
nafsu makan, konjungtivitis ringan, hidung tersumbat atau berair, pembengkakan
kelenjar getah bening pada bagian lain dari tubuh, rasa sakit dan bengkak pada sendi
(Widoyono, 2011).
Virus rubela dapat diisolasi dari urin, nasofaring, dan cairan serebrospinal.
Tetapi diagnosis biasanya dibuat dari analisis serologis. Antibodi IgM spesifik dapat
di deteksi dengan menggunakan enzyme linked immunoassay dari 4 sampai 5 hari
setelah awitan gejala klinis, tetapi antibodi ini dapat menetap hingga 8 minggu
setelah munculnya ruam (American College of Obstetricians and Gynecologists,
1992). Yang utama, reinfeksi rubela dapat menyebabkan terdeteksinya IgM berkadar
rendah. Best dkk, (2002) membahas kadar antibodi IgM spesifik rubela yang rendah
pada wanita hamil tanpa ras di daerah di mana rubela jarang dijumpai. Mereka
mampu menyingkirkan infeksi rubela baru dengan mendeteksi aviditas IgG rubela
32
yang tinggi pada kebanyakan kasus. Pemeriksaan aviditas IgG rubela baru-baru ini
diulas oleh Mubareka dkk, (2007).
Orang yang tak imun memperlihatkan titer antibodi IgG serum puncak 1
sampai 2 minggu setelah awitan ruam atau 2 sampai 3 minggu setelah awitan
viremia. Respons antibodi yang cepat ini dapat memperumit serodiagnosis kecuali
jika dilakukan pengambilan sampel awal beberapa hari setelah awitan ruam. Jika,
sebagai contoh, spesimen pertama diambil 10 hari setelah ruam, maka deteksi
antibodi IgG tidak akan dapat membedakan antara infeksi baru dan imunitas
terhadap rubela yang sudah ada.
Pada wanita hamil yang terinfeksi rubela, konfirmasi infeksi janin dapat
dilakukan pada paruh pertama pada kehamilan. Sonografi kurang sensitif dan
spesifik. Namun beberapa kelainan yang dapat di deteksi dengan sonografi adalah
hambatan
pertumbuhan
janin;
ventrikulomegali,
kalsifikasi
intrakranium,
33
kepada wanita tak hamil usia subur yang tidak memperlihatkan bukti imunitas setiap
kali mereka berhubungan dengan sistem pelayanan kesehatan.
Vaksinasi semua petugas rumah sakit yang rentan yang mungkin terpajan ke
pasien dengan rubela atau yang mungkin berkontak dengan wanita hamil penting
dilakukan. Vaksin tidak boleh diberikan pada ibu hamil atau wanita yang berencana
hamil dalam 1 bulan setelah vaksinasi. Jika ibu ingin hamil dianjurkan untuk
melakukan tes darah. Jika ibu tidak memiliki kekebalan terhadap virus rubela maka
dianjurkan untuk imunisasi minimal 1 bulan sebelum hamil, karena vaksin
mengandung virus hidup yang telah dilemahkan (Conters for Disease Control and
Prevention, 2002. Meskipun terdapat risiko teoritis kecil sekitar 1 persen, namun
menurut data yang dikumpulkan oleh Centers for Disease Control and Prevention,
tidak terdapat bukti bahwa vaksin memicu malformasi. Wanita hamil yang tidak
kebal harus menghindari siapa saja yang memiliki penyakit ini dan setelah
melahirkan duanjurkan untuk melakukan vaksinasi untuk kekebalan pada kehamilan
selanjutnya
Meskipun terdapat imunitas, baik yang di rangsang oleh vaksin maupun
alami, dapat terjadi reinfeksi rubela subklinis pada wanita hamil ketika wabah. Dan
meskipun infeksi janin dapat terjadi, belum pernah dilaporkan efek samping pada
janin.
Sebagai bagian perluasan peran kesehatan masyarakatnya, bidan dapat
menganjurkan vaksinasi untuk wanita seronegatif sebelum dan sesudah, tetapi tidak
selama kehamilan, dan juga mendiskusikan pentingnya memvaksinasi anak-anaknya.
Imunisasi yang ditujukan untuk kelompok berisiko juga direkomendasikan (Sheridan
et al, 2002 dalam Fraser and Cooper, 2011).
34
BAB III
PENUTUP
Bahan genetik virus terdiri atas potongan DNA atau RNA yang diselubungi
mantel dari protein atau lipoprotein. Respon imun terhadap protein virus melibatkan sel T
dan sel B. Antigen virus yang menginduksi antibodi tubuh dapat menetralkan virus dan
sel T sitotoksik yang spesifik merupakan imunitas paling efisien pada imunitas proteksi
terhadap virus.
Janin diklarifikasikan sebagai suatu alograf: jaringan asing dari spesies yang
sama, tetapi dengan susunan antigen yang berbeda. Terdapat perbedaan antigenik yang
nyata antara jaringan ibu dan antigen yang diwariskan oleh ayah yang diekspresikan oleh
janin. Apabila jaringan dari anak tertanam pada ibu, maka akan timbul respon imun yang
kuat dan jaringan akan ditolak. Kehamilan menimbulkan sebuah tantangan bagi ibu,
untuk mentolerir dan mempertahankan janin, serta mempertahankan kemampuan ibu
untuk menolak terhadap keadaan infeksi yang dilakukan sebagian oleh sistem kekebalan
tubuh. Selama hamil wanita tidak mengalami penekanan kekebalan, melainkan respon
imun menurun ke fenotip antiinflamasi yang mempengaruhi tidak hanya hasil dari
kehamilan tetapi patogenesis penyakit juga.
Varisela adalah virus akut yang ditandai dengan adanya vesikel pada kulit
yang sangat menular. Penyakit ini disebut juga dengan Chikenpox, cacar air, atau
varisela zoster. Varisela ditularkan melalui kontak langsung (cairan vesikel) dan
droplet dengan masa inkubasi sekitar 11-21 hari. Pada wanita dengan cacar air
selama paruh pertama kehamilan, janin dapat mengalami sindrom varisela kongenital,
dengan gejala lesi kulit dan jaringan parut pada distribusi dermatom, masalah mata,
seperti korioretinitis dan katarak, serta anomali skeletal, terutama hipoplasia ekstremitas.
Upaya pencegahan yang dapat dilakukan dengan mengisolasi penderita, meningkatkan
gizi kontak yang serumah dengan penderita, memberikan penyuluhan tentang penyakit
dan imunisasi.
35
Campak adalah suatu penyakit akut yang sangat menular yang disebabkan oleh
virus dari famili Paramyxovirus, genus Morbilivirus. Campak disebut juga rubeola,
morbili, atau measles. Virus campak mudah menularkan penyakit, tersebar ketika orang
bernapas atau memiliki kontak langsung dengan cairan yang terinfeksi virus, seperti
cairan yang keluar saat penderita bersin atau batuk. Apabila wanita hamil terinfeksi
campak dapat mengakibatkan terjadinya abortus, persalinan kurang bulan, dan berat lahir
rendah. Campak dapat dicegah dengan pemberian imunisasi, namun tidak dapat diberikan
pada wanita hamil. Pemberian imunisasi campak satu kali akan memberikan kekebalan
selama 14 tahun.
Virus rubela adalah virus yang menyebabkan terjadinya campak jerman yang
menyerang anak-anak, orang dewasa, termasuk ibu hamil. Virus rubela menyerang bagian
saraf atau otak yang kemudian menyerang kulit yang ditandai dengan timbulnya bercak
merah seperti campak biasa. Virus rubela menular melalui dahak penderita yang masuk
ke tubuh orang lain. Infeksi rubela pada kehamilan trimester pertama berperan langsung
menyebabkan abortus dan malformasi kongenital berat. Neonatus yang lahir dengan
rubela kongenital dapat mengeluarkan virus selama berbulan-bulan dan karena itu
merupakan ancaman bagi bayi lain serta orang dewasa yang rentan yang berkontak
dengan mereka. Pencegahan primer bergantung pada program vaksinasi menyeluruh.
Vaksin tidak boleh diberikan pada ibu hamil atau wanita yang berencana hamil dalam 1
bulan setelah vaksinasi.
36
DAFTAR PUSTAKA
Baratawidjaja, K. G., & Rengganis, I. (2012). Imunologi Dasar. Jakarta: Badan Penerbit
FKUI.
Coad, J., & Dunstall, M. (2007). Anatomi dan Fisiologi untuk Bidan. Jakarta: EGC.
Cunningham, F., & dkk. (2013). Obstetri Williams, Edisi 23. Jakarta: EGC.
Fraser, D. M., & Cooper, M. A. (2011). Myles Buku Ajar Bidan. Jakarta: EGC.
Mandal, B. K., Wilkins, E. G., Dunbar, E. M., & Mayon-White, R. T. (2008). Penyakit
Infeksi. Jakarta: Gelora Aksara Pratama.
Mor, G., & Cardenas, I. (2010). The Immune System in Pregnancy : A Unique
Complexity. Am J Reprod Immunol, 425-433.
Mor, G., Cardenas, I., Abrahams, V., & Guller, S. (2011). Inflammation and Pregnancy :
The Role of The Immune System at The Implantation Site. Ann N Y Acad Sci, 8087.
Robinson, D. P., & Klein, S. L. (2012). Pregnancy and Pregnancy-associated Hormones
alter Immune Responses and Disease Pathogenesis. Home Behav, 23-271.
Subowo. (2013). Imunologi Klinik. Jakarta: Sagung Seto.
Sykes, L., MacIntyre, D. A., Yap, X. J., Teoh, T. G., & Bennett, P. R. (2012). The
Th1:Th2 Dichotomy of Pregnancy and Preterm Labour. Hindawi Publishing
Corporation Mediators of Inflamation, 12.
Widoyono. (2011). Penyakit Tropis. Jakarta: Gelora Aksara Pratama.
37