Anda di halaman 1dari 13

ETIKA BISNIS

Kelompok 1: Yogi Rideni (1202112774)


Vitricia Adheviona Ketrian (1202112803)
Wirdatul Hasanah (1202135435)

PT. Freeport Indonesia


Perusahaan Penghasil Emas Dan Tembaga Terbesar Di Dunia
PT. Freeport Indonesia adalah sebuah perusahaan pertambangan yang mayoritas
sahamnya dimilikiFreeport-McMoRan Copper & Gold Inc.(AS). Perusahaan ini adalah
pembayar pajak terbesar kepada Indonesia dan merupakan perusahaan penghasil emas
terbesar di dunia melalui tambang Grasberg. Freeport Indonesia telah melakukan eksplorasi
di dua tempat di Papua, masing-masingtambang Erstberg (dari 1967) dan tambang Grasberg
(sejak 1988), di kawasan Tembaga Pura, Kabupaten Mimika, Provinsi Papua.

wilayah kerja PT. Freeport Indonesia

Freeport berkembang menjadi perusahaan dengan penghasilan 2,3 miliar dolar AS.
Menurut Freeport, keberadaannya memberikan manfaat langsung dan tidak langsung kepada
Indonesia sebesar 33 miliar dolar dari tahun 19922004. Angka ini hampir sama dengan 2 persen
PDB Indonesia. Dengan harga emas mencapai nilai tertinggi dalam 25 tahun terakhir, yaitu 540
dolar per ons, Freeport diperkirakan akan mengisi kas pemerintah sebesar 1 miliar dolar.
(Mining International, sebuah majalah perdagangan, menyebut tambang emas Freeport
sebagai yang terbesar di dunia.)
Freeport Indonesia sering dikabarkan telah melakukan penganiayaan terhadap para
penduduk setempat. Selain itu, pada tahun 2003 Freeport Indonesia mengaku bahwa mereka
telah membayar TNI untuk mengusir para penduduk setempat dari wilayah mereka. Menurut
laporan New York Times pada Desember 2005, jumlah yang telah dibayarkan antara tahun 1998
dan 2004 mencapai hampir 20 juta dolar AS.

I. Pemegang saham
* Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc. (AS) 81,28%
* Pemerintah Indonesia 9,36%
* PT. Indocopper Investama 9,36%

II. Bahan Tambang yang dihasilkan


-Tembaga
-Emas
-Silver
-Molybdenum
-Rhenium

kawah-freeport.
Selama ini hasil bahan yang di tambang tidak-lah jelas karena hasil tambang
tersebut di kapal-kan ke luar indonesia untuk di murnikan sedangkan molybdenum dan
rhenium adalah merupakan sebuah hasil samping dari pemrosesan bijih tembaga.

III. Sejarah

Peta lokasi Freeport Indonesia

Dahulu di tengah masyarakat ada mitologi menyangkut manusia sejati, yang berasal dari
sebuah Ibu, yang menjadi setelah kematiannya berubah menjadi tanah yang membentang
sepanjang daerah Amungsal (Tanah Amugme), daerah ini dianggap keramat oleh masyarakat
setempat, sehingga secara adat tidak diijinkan untuk dimasuki.

Sejak tahun 1971, Freeport Indonesia, masuk ke daerah keramat ini, dan membuka
tambang Erstberg. Sejak tahun 1971 itulah warga suku Amugme dipindahkan ke luar dari
wilayah mereka ke wilayah kaki pegunungan.
Tambang Erstberg ini habis open-pit-nya pada 1989, dilanjutkan dengan penambangan
pada wilayah Grasberg dengan ijin produksi yang dikeluarkan Mentamben Ginandjar
Kartasasmita pada 1996. Dalam ijin ini, tercantum pada AMDAL produksi yang diijinkan
adalah 300 ribu /ton/hari

IV. Kontroversi
Menurut karyawan dan bekas karyawan Freeport, selama bertahun-tahun James R.
Moffett, seorang ahli geologi kelahiran Louisiana (Amerika Serikat), yang juga adalah pimpinan
perusahaan ini, dengan tekun membina persahabatan dengan Presiden Soeharto, dan kronikroninya. Ini dilakukannya untuk mengamankan usaha Freeport. Freeport membayar ongkosongkos mereka berlibur, bahkan biaya kuliah anak-anak mereka, termasuk membuat
kesepakatan-kesepakatan yang memberikan manfaat bagi kedua belah pihak.
Surat-surat dan dokumen-dokumen lain yang diberikan kepada New York Times oleh para
pejabat pemerintah menunjukkan, Kementerian Lingkungan Hidup telah berkali-kali
memperingatkan perusahaan ini sejak tahun 1997, Freeport melanggar peraturan perundangundangan tentang lingkungan hidup. Menurut perhitungan Freeport sendiri, penambangan
mereka dapat menghasilkan limbah/bahan buangan sebesar kira-kira 6 miliar ton (lebih
dari dua kali bahan-bahan bumi yang digali untuk membuat Terusan Panama).
Kebanyakan dari limbah itu dibuang di pegunungan di sekitar lokasi pertambangan, atau
ke sistem sungai-sungai yang mengalir turun ke dataran rendah basah, yang dekat dengan

Taman Nasional Lorentz, sebuah hutan hujan tropis yang telah diberikan status khusus
oleh PBB.

Gbr. citra satelit tambang Freeport


Sebuah studi bernilai jutaan dolar tahun 2002 yang dilakukan Parametrix, perusahaan
konsultan Amerika, dibayar oleh Freeport dan Rio Tinto, mitra bisnisnya, yang hasilnya tidak
pernah diumumkan mencatat, bagian hulu sungai dan daerah dataran rendah basah yang dibanjiri
dengan limbah tambang itu sekarang tidak cocok untuk kehidupan makhluk hidup akuatik.
Laporan itu diserahkan ke New York Times oleh Kementerian Lingkungan Hidup Republik
Indonesia. New York Times berkali-kali meminta izin kepada Freeport dan pemerintah Indonesia
untuk mengunjungi tambang dan daerah di sekitarnya karena untuk itu diperlukan izin khusus
bagi wartawan. Semua permintaan itu ditolak. Freeport hanya memberikan respon secara tertulis.
Sebuah surat yang ditandatangani oleh Stanley S Arkin, penasihat hukum perusahaan ini
menyatakan, Grasberg adalah tambang tembaga, dengan emas sebagai produk sampingan, dan
bahwa banyak wartawan telah mengunjungi pertambangan itu sebelum pemerintah Indonesia
memperketat aturan pada tahun 1990-an.

4.1 Menyadap e-mail


Menurut seorang pejabat dan dua bekas pejabat perusahaan yang terlibat dalam
mengembangkan suatu program rahasia, Freeport selama ini menyadap e-mail para aktivis
lingkungan yang melawan perusahaan ini untuk memata-matai apa yang mereka lakukan.
Freeport menolak mengomentari hal ini. Freeport bergandengan tangan dengan perwira-perwira
intelijen TNI, mulai menyadap korespondensi e-mail dan percakapan telepon lawan-lawan

aktivis lingkungannya. Hal ini dikatakan oleh seorang karyawan Freeport yang terlibat dalam
kegiatan ini dan bertugas membaca e-mail-e-mail tersebut.
Menurut bekas karyawan dan karyawan Freeport, perusahaan ini juga membuat
sistemnya sendiri untuk mencuri berita-berita melalui e-mail. Caranya adalah dengan
membentuk sebuah kelompok pecinta lingkungan gadungan, yang meminta mereka yang
berminat untuk mendaftar secara online dengan menggunakan kode rahasia (password) tertentu.
Banyak di antara mereka yang mendaftar itu menggunakan password yang sama seperti yang
mereka gunakan untuk e-mail mereka. Dengan cara ini, Freeport dengan gampang mencuri
berita. Menurut seseorang yang waktu itu bekerja untuk perusahaan ini, awalnya para pengacara
Freeport khawatir dengan pencurian ini. Tetapi, mereka kemudian memutuskan, secara legal
perusahaan itu tidak dilarang untuk membaca e-mail pihak-pihak di luar negeri.

4.2 Hubungan Freeport dan TNI

Selama bertahun-tahun, Freeport memiliki unit pengamanannya sendiri, sementara militer


Indonesia memerangi perlawanan separatis yang lemah dan rendah gerakannya. Kemudian
kebutuhan keamanan ini mulai saling terkait.
Tidak ada investigasi yang menemukan keterkaitan Freeport secara langsung dengan pelanggaran HAM, tetapi semakin banyak orang-orang Papua yang menghubungkan Freeport
dengan tindak kekerasan yang dilakukan oleh TNI, dan pada sejumlah kasus kekerasan itu
dilakukan dengan menggunakan fasilitas Freeport. Seorang ahli antropologi Australia, Chris
Ballard, yang pernah bekerja untuk Freeport, danAbigail Abrash, seorang aktivis HAM dari
Amerika Serikat, memperkirakan, sebanyak 160 orang telah dibunuh oleh militer antara tahun
19751997 di daerah tambang dan sekitarnya.

Pada bulan Maret 1996, kemarahan terhadap perusahaan pecah dalam bentuk kerusuhan
ketika sentimen anti-perusahaan dari beberapa kelompok yang berbeda bergabung.
Freeport menyadap berita-berita dalam e-mail. Menurut dua orang yang membaca e-maile-mail itu pada saat itu, ada unit-unit militer tertentu, masyarakat setempat, dan kelompok-kelompok lingkungan hidup yang bekerjasama. Sebuah pertukaran informasi dengan menggunakan
e-mail antara seorang tokoh masyarakat dengan pimpinan organisasi lingkungan hidup penuh
dengan taktik intelijen militer. Dalam e-mail yang lain, seorang pimpinan organisasi lingkungan
meminta para anggotanya mundur karena demonstrasi telah berubah menjadi kerusuhan.
Dari wawancara yang dilakukan, bekas pejabat dan pejabat Freeport menyatakan, mereka
terkejut melihat sejumlah orang dengan potongan rambut militer, mengenakan sepatu tempur dan
menggenggam radio walkie-talkie di antara para perusuh itu. Orang-orang itu terlihat mengarahkan kerusuhan itu, dan pada satu ketika, mengarahkan massa menuju ke laboratorium Freeport
yang kemudian mereka obrak-abrik.

4.3 Keamanan

Dokumen-dokumen Freeport menunjukkan, dari tahun 1998 sampai 2004 Freeport


memberikan hampir 20 juta dolar kepada para jenderal, kolonel, mayor dan kapten militer dan

polisi, dan unit-unit militer. Setiap komandan menerima puluhan ribu dolar, bahkan dalam satu
kasus sampai mencapai 150.000 dolar, sebagaimana tertera dalam dokumen itu.
Dokumen-dokumen itu diberikan kepada New York Times oleh seseorang yang dekat
dengan Freeport, dan menurut bekas karyawan maupun karyawan Freeport sendiri, dokumendokumen itu asli alias otentik. Dalam respon tertulisnya kepada New York Times, Freeport
menyatakan bahwa perusahaan itu telah mengambil langkah-langkah yang perlu sesuai dengan
undang-undang Amerika Serikat dan Indonesia untuk memberikan lingkungan kerja yang aman
bagi lebih dari 18.000 karyawannya maupun karyawan perusahaan-perusahaan kontraktornya.
Freeport juga mengatakan tidak punya alternatif lain kecuali tergantung sepenuhnya kepada
militer dan polisi Indonesia dan keputusan-keputusan yang diambil dalam kaitannya dengan
hubungan dengan pemerintah Indonesia dan lembaga-lembaga keamanannya, adalah kegiatan
bisnis biasa.

Dalam waktu singkat, Freeport menghabiskan 35 juta dolar untuk membangun


infrastruktur militer barak-barak, kantor-kantor pusat, ruang-ruang makan, jalan dan
perusahaan juga memberikan para komandan 70 buah mobil jenis Land Rover dan Land Cruiser,
yang diganti setiap beberapa tahun. Semua memperoleh sesuatu, bahkan juga angkatan laut dan
angkatan udara. Menurut bekas karyawan dan karyawan Freeport, ketika itu perusahaan ini
sudah merekrut seorang bekas agen lapangan CIA, dan atas rekomendasinya, perusahaan
kemudian mendekati seorang atase militer di Kedubes Amerika Serikat di Jakarta dan
memintanya untuk bergabung. Kemudian dua orang bekas perwira militer Amerika Serikat
direkrut, dan sebuah departemen khusus, yang diberi nama Perencanaan Operasi Darurat
(Emergency Planning Operation) didirikan untuk menangani hubungan baru Freeport dengan
militer Indonesia.
Departemen Perencanaan Operasi Darurat yang baru ini mulai melakukan pembayaran
bulanan kepada para komandan TNI, sementara kantor Pengelolaan Risiko Keamanan (Security
Risk Management office) mengatur pembayaran kepada polisi. Informasi ini diperoleh dari
dokumen-dokumen perusahaan dan keterangan bekas karyawan dan karyawan Freeport. Menurut
dokumen perusahaan, Freeport membayar paling sedikit 20 juta dolar (sekitar Rp 184 miliar)
kepada militer dan polisi di Papua dari tahun 1998 sampai bulan Mei 2004. Kemudian ada juga

tambahan 10 juta dolar (sekitar Rp 92 miliar) yang juga dibayarkan kepada militer dan polisi
pada jangka waktu itu sehingga totalnya sekitar Rp 276 miliar.

New York Times menerima dokumen keuangan Freeport selama tujuh tahun dari seorang
yang dekat dengan perusahaan itu. Tambahan dokumen selama tiga tahun diberikan oleh Global
Witness, sebuah LSM yang mengeluarkan laporan pada bulan Juli, yang berjudul Paying for
Protection (Bayaran Perlindungan) tentang hubungan Freeport dengan militer Indonesia.
Diamird 0Sullivan, yang bekerja untuk Global Witness di London, mengkritik pembayaran
yang dilakukan Freeport itu.
Menurut perusahaan, semua pengeluaran yang dilakukannya itu harus melalui proses
pemeriksaan anggaran. Catatan yang diterima New York Times menunjukkan adanya pembayaran
kepada perwira-perwira militer secara perseorangan yang didaftarkan di bawah topik-topik
seperti biaya makanan, jasa administrasi dan tambahan bulanan. Para komandan yang menerima
dana tersebut tidak diharuskan menandatangani tanda terima.
Pendeta Lowry, yang pensiun dari Freeport pada bulan Maret 2004 tetapi tetap menjadi
konsultan sampai bulan Juni, mengatakan, sebetulnya tidak ada alasan yang cukup bagi Freeport
untuk memberikan dana secara langsung kepada para perwira militer itu.
Catatan perusahaan menunjukkan, penerima terbesar adalah komandan pasukan di daerah
Freeport,Letnan Kolonel Togap F. Gultom. Selama enam bulan tahun 2001, ia diberikan hanya
kurang sedikit dari 100.000 dolar untuk biaya makanan, dan lebih dari 150.000 dolar di tahun
berikutnya. Di tahun 2002, Freeport juga memberikan uang kepada paling tidak 10 komandan
lainnya mencapai lebih dari 350.000 dolar untuk biaya makan.
Menurut para bekas karyawan dan karyawan Freeport, pembayaran-pembayaran tersebut
dilakukan kepada para perwira itu, kepada istri-istri dan anak-anak mereka, secara perorangan.
Yang berpangkat jenderal terbang di kelas satu atau kelas bisnis, dan para perwira yang lebih
rendah pada kelas ekonomi, demikian kata Brigadir Jenderal Ramizan Tarigan yang
menerima tiket senilai 14.000 dolar pada tahun 2002 untuk dirinya dan anggota keluarganya.
Jenderal Tarigan yang menduduki posisi senior di kepolisian mengatakan, para perwira
polisi dibolehkan menerima tiket pesawat udara karena gaji mereka sangat rendah tetapi adalah
melanggar peraturan kepolisian untuk menerima pembayaran uang tunai. Pada bulan April 2002,

Freeport membayar perwira senior militer di Papua, Mayor Jenderal Mahidin Simbolon, lebih
dari 64.000 dolar untuk yang disebut dalam buku keuangan Freeport sebagai dana untuk
rencana proyek militer tahun 2002.
Delapan bulan kemudian, di bulan Desember, Jenderal Simbolon menerima lebih dari
67.000 dolar untuk proyek aksi sipil kemanusiaan. Pembayaran-pembayaran ini pertama kali
dilaporkan Global Witness.Jenderal Simbolon, yang kini menjadi Inspektur Jenderal Angkatan
Darat Indonesia, menolak permohonan untuk diwawancarai.

emas batangan yang diperoleh PT. Freeport


Pada tahun 2003, sesudah terjadinya skandal Enron dan disahkannya Undang-undang
Sarbanes-Oxley, yang mengharuskan praktek-praktek akuntansi keuangan yang lebih ketat pada
perusahaan-perusahaan, Freeport mulai melakukan pembayaran kepada unit-unit militer
ketimbang kepada para perwira secara individu. Demikian menurut catatan yang tersedia dan
seperti yang dituturkan oleh bekas karyawan dan karyawan perusahaan ini.
Menurut catatan, perusahaan membayar unit-unit polisi di Papua sedikit di bawah
angka 1 juta dolar di tahun 2003, didaftarkan di bawah topik-topik seperti tambahan
pembayaran bulanan, biaya administrasi dan dukungan administratif. Freeport menyatakan
kepada New York Times, di dalam menentukan jenis dukungan yang dapat diberikan, adalah
merupakan kebijakan perusahaan untuk memperhitungkan kemungkinan terjadinya pelanggaran
HAM. Menurut catatan yang diterima oleh New York Times, pasukan paramiliter polisi, yaitu
Brigade Mobil (Brimob), yang sering dikutip oleh Departemen Luar Negeri Amerika Serikat
karena kekejamannya, menerima lebih dari 200.000 dolar di tahun 2003.

4.4 Sumber

Laporan investigatif wartawan New York Times Jane Perlez, Raymond Bonner dan
kontributor Evelyn Rusli, Below a Mountain of Wealth, a River of Waste, 27 Desember
2005.
Disunting dan diberitakan dalam bahasa Indonesia oleh Rakyat Merdeka dengan judul
Menyusuri Sungai Limbah Di Kaki Gunung Emas Freeport secara bersambung pada
16-22 Februari 2006

V. Peristiwa

21 Februari 2006, terjadi pengusiran terhadap penduduk setempat yang melakukan


pendulangan emas dari sisa-sisa limbah produksi Freeport di Kali Kabur Wanamon.
Pengusiran dilakukan oleh aparat gabungan kepolisian dan satpam Freeport. Akibat
pengusiran ini terjadi bentrokan dan penembakan. Penduduk sekitar yang mengetahui
kejadian itu kemudian menduduki dan menutup jalan utama Freeport di Ridge Camp, di Mile
72-74, selama beberapa hari. Jalan itu merupakan satu-satunya akses ke lokasi pengolahan
dan penambangan Grasberg.
22 Februari 2006, sekelompok mahasiswa asal Papua beraksi terhadap penembakan di
Timika sehari sebelumnya dengan merusak gedung Plasa 89 di Jakarta yang merupakan
gedung tempat PT Freeport Indonesia berkantor.
23 Februari 2006, masyarakat Papua Barat yang tergabung dalam Solidaritas Tragedi
Freeport menggelar unjuk rasa di depan Istana, menuntuk presiden untuk menutup Freeport
Indonesia. Aksi yang sama juga dilakukan oleh sekitar 50 mahasiswa asal Papua di Manado.
25 Februari 2006, karyawan PT Freeport Indonesia kembali bekerja setelah palang di Mile 74
dibuka.

27 Februari 2006, Front Persatuan Perjuangan Rakyat Papua Barat menduduki kantor PT
Freeport Indonesia di Plasa 89, Jakarta. Aksi menentang Freeport juga terjadi di Jayapura dan
Manado.

28 Februari 2006, Demonstran di Plasa 89, Jakarta, bentrok dengan polisi. Aksi ini
mengakibatkan 8 orang polisi terluka.
1 Maret 2006, demonstrasi selama 3 hari di Plasa 89 berakhir. 8 aktivis LSM yang
mendampingi mahasiswa Papua ditangkap dengan tuduhan menyusup ke dalam aksi
mahasiswa Papua. Puluhan mahasiswa asal Papua di Makassar berdemonstrasi dan merusak
Monumen Pembebasan Irian Barat.
3 Maret 2006, masyarakat Papua di Solo berdemonstrasi menentang Freeport.
7 Maret 2006, demonstrasi di Mile 28, Timika di dekat bandar udara Moses Kilangin
mengakibatkan jadwal penerbangan pesawat terganggu.
14 Maret 2006, massa yang membawa anak panah dan tombak menutup checkpoint 28 di
Timika. Massa juga mengamuk di depan Hotel Sheraton.

15 Maret 2006, Polisi membubarkan massa di Mile 28 dan menangkap delapan orang yang
dituduh merusak Hotel Sheraton. Dua orang polisi terkena anak panah.
16 Maret 2006, aksi pemblokiran jalan di depan Kampus Universitas Cendrawasih, Abepura,
Jayapura, oleh masyarakat dan mahasiswa yang tergabung dalam Parlemen Jalanan dan Front
Pepera PB Kota Jayapura, berakhir dengan bentrokan berdarah, menyebabkan 3 orang
anggota Brimob dan 1 intelijen TNI tewas dan puluhan luka-luka baik dari pihak mahasiswa
dan pihak aparat.
17 Maret 2006, Tiga warga Abepura, Papua, terluka akibat terkena peluru pantulan setelah
beberapa anggota Brimob menembakkan senjatanya ke udara di depan Kodim Abepura.
Beberapa wartawan televisi yang meliput dianiaya dan dirusak alat kerjanya oleh Brimob.
22 Maret 2006, satu lagi anggota Brimob meninggal dunia setelah berada dalam kondisi
kritis selama enam hari
23 Maret 2006, lereng gunung di kawasan pertambangan terbuka PT Freeport Indonesia di
Grasberg, longsor dan menimbun sejumlah pekerja. 3 orang meninggal dan puluhan lainnya
cedera .
23 Maret 2006, Kementerian Lingkungan Hidup mempublikasi temuan pemantauan dan
penataan kualitas lingkungan di wilayah penambangan PT Freeport Indonesia. Hasilnya,
Freeport dinilai tak memenuhi batas air limbah dan telah mencemari air laut dan biota laut.

18 April 2007, sekitar 9.000 karyawan Freeport mogok kerja untuk menuntut perbaikan
kesejahteraan. Perundingan akhirnya diselesaikan pada 21 April setelah tercapai kesepakatan
yang termasuk mengenai kenaikan gaji terendah

Pranala luar
* (id) Situs resmi PT. Freeport Indonesia
* (en) Paying For Protection, laporan Global Witness
* (en) Freeport named one of 10 worst companies of 1996
* (en) Citra satelit tambang Freeport
* (en) The Mining giant in Timika West Papua
* (en) Freeport and Indonesias Security Forces: Troubling New Questions
* (id) Siaran pers Kementerian Negara Lingkungan Hidup mengenai pencemaran lingkungan
oleh PT. Freeport Indonesia
Catatan: Foto dan Gambar diperoleh dari berbagai sumber di Internet.
Sumber:
http://id.wikipedia.org/wiki/Freeport_Indonesia
http://nagapasha.blogspot.com/2011/01/sejarah-freeport-sampai-ke-indonesia.html
Artikel terkait: Data dan Fakta : Kontrak Karya PT. Freeport Indonesia Bentuk Penjajahan VOC
Gaya Baru (1967-2041)
http://saripedia.wordpress.com/2011/01/17/eksistensi-perusahaan-pertambangan-pt-freeportindonesia/

Anda mungkin juga menyukai