PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Sindrom koroner akut (SKA) masih tetap merupakan masalah kesehatan publik yang
bermakna di negara industri, dan mulai menjadi bermakna di negara-negara sedang berkembang. 1
Di Amerika Serikat, 1,36 juta pe-nyebab rawat inap adalah kasus SKA, 0,81 juta di antaranya
adalah kasus infark miokardium, sisanya angina tidak stabil.1,2
Sebelum era fibrinolitik, infark miokardium dibagi menjadi Q-wave dan non Q-wave.
Pembagian ini berdasarkan evolusi gambaran elektrokardiogram (EKG) yang terjadi pada beberapa
hari setelah serangan. Infark miokar-dium tipe Q-wave menggambarkan adanya in-fark transmural.
Sedangkan infark non Q-wave menggambarkan infark yang terjadi hanya pada lapisan
subendokardium.7 Pada saat ini, istilah yang dipakai adalah STEMI (ST elevation myocardial
infarction), NSTEMI (non ST elevation myocardial infarction), dan angina pektoris tidak stabil;
ketiganya merupakan suatu spektrum klinis yang disebut sindrom koroner akut.4,5 Ke-tiganya
mempunyai dasar patofisiologi yang sama, hanya berbeda derajat keparahannya.
Adanya elevasi segmen ST pada EKG meng-gambarkan adanya oklusi total arteri koroner
yang menyebabkan nekrosis pada seluruh atau hampir seluruh lapisan dinding jantung. Pada
NSTEMI dan angina pektoris tidak stabil terjadi oklusi parsial arteri koroner. Keduanya mempunyai
gejala klinis dan patofi siologi se-rupa, tetapi berbeda derajat keparahannya. Di-agnosis NSTEMI
ditegakkan jika iskemi cukup
Untuk memahaminya secara komprehensif diperlukan pengetahuan tentang patofi siolo-gi
iskemia miokardium. Iskemia miokardium terjadi bila kebutuhan oksigen lebih besar daripada
suplai oksigen ke miokardium. Ok-lusi akut karena adanya trombus pada arteri koroner
menyebabkan berkurangnya suplai oksigen ke miokardium Contoh lain, pada pasien dengan plak
intrakoroner yang bersifat stabil, peningkatan frekuensi de-nyut jantung dapat menyebabkan
terjadinya iskemi karena meningkatkan kebutuhan ok-sigen miokardium, tanpa diimbangi kemampuan untuk meningkatkan suplai oksigen ke miokardium.3
Jika terjadi penyempitan arteri koroner, iskemia miokardium merupakan peristiwa yang
awal terjadi. Daerah subendokardial merupakan daerah pertama yang terkena, karena berada paling
jauh dari aliran darah. Jika iskemia makin parah, akan terjadi kerusak-an sel miokardium. Infark
miokardium adalah nekrosis atau kematian sel miokardium. Infark miokardium dapat terjadi
nontransmural (ter-jadi pada sebagian lapisan) atau transmural (terjadi pada semua lapisan).4
parah sehingga menyebabkan nekrosis sel-sel miokardium; hal ini menyebabkan pelepasan
biomarker dari sel-sel miokardium (Troponin T atau I, atau CKMB) menuju ke sirkulasi. Sebaliknya, pada pasien dengan angina pektoris tidak stabil tidak didapatkan peningkatan biomarker tersebut di sirkulasi.1,3,5
BAB II
LAPORAN KASUS
I.
II.
Identitas pasien
1 Nama : Tn R
2 Umur : 79 tahun
3 Agama : Kristen
4 Jenis kelamin : Laki laki
5 Tanggal pemeriksaan : 27 april 2015 jam 06.00 wib
6 Alamat : Jln G.obos 12
7 Ruangan mondok : ICCU
8 Masuk rumah sakit : 26 April 2015
Anamnesis
1 Keluhan utama : nyeri dada kiri
2 Riwayat penyakit sekarang
Pasien datang ke IGD dengan keluhan sesak dan nyeri dadam sesak dirasakan
oleh pasien semakin memberat sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit, sesak
yang dirasakan pasien seperti dihimpit dan timbul saat pasien berjalan dirumah.
Sesak dirasakan pasien berkurang apabila pasien duduk. Sesak juga dirasakan
pasien saat malam hari dan membuat pasien tidak bias tidur. Selain sesak pasien
juga merasakan nyeri dada di bagian kiri, nyeri dirasakan pasien tiba-tiba jam 11
malam 1 hari sebelum masuk rumah sakit dan muncul saat pasien baru bangun
tidur. Nyeri dada yang dirasakan pasien seperti terbakar dan menjalar ke tangan
kiri pasien. Saat nyeri dada muncul pasien juga mengeluh keringat dingin saat
nyeri dada pasien tidak pingsan. Pasien juga mengeluh batuk berdahak dan sulit
keluar 3 hari sebelum masuk rumah sakit. Pasien membantah ada jantung
berdebar, demam, mual dan muntah tidak ada, buang air kecil tidak nyeri dan
berwarna kuning jernih, buang air besar pasien lancer tidak ada darah maupun
3
hitam.
Riwayat penyakit dahulu
Pasien mengakui pernah dirawat dengan keluhan serupa dan baru pulang dari
rumah sakit 3 bulan yang lalu pasien juga minum obat teratur dan rutin
memeriksakan kesehatan di poli jantung rumah sakit dr Doris slyvanus
palangkaraya, akan tetapi 1 minggu sebelum masuk rumah sakit pasien tidak
3
meminum obat rutinnya. Pasien juga memiliki riwaya hipertensi, pasien tidak
III.
6. Collum
Kelenjar KGB
: tidak membesar
Tiroid
: tidak membesar
JVP
: 5+4 cmH20
Masa lain : tidak ada
7. Pulmonal
1. Anterior
Inspeksi : simetris dextra = sinistra, retraksi(-)masa(-) bentuk dada normal
Palpasi : fremitus vocal dextra = sinistra
Auskultasi
: vesikuler kiri=kanan, rhonki(+) pada bagian apeks,medial
dan basal pada paru dextra, Rhonki(+) pada bagian apek dan basal paru
2. Posterior
Inspeksi : simetris dextra = sinistra, retraksi(-)masa(-) bentuk dada normal
Palpasi : fremitus vocal dextra = sinistra
Auskultasi
: vesikuler kiri=kanan, rhonki(+) pada bagian apeks,medial
dan basal pada paru dextra, Rhonki(+) pada bagian apek dan basal paru
3. Cor
11.Terapi
Oksigen
Terapi cairan IVFD NaCL 0,9 % 500cc
Injeksi Ranitidin
Injeksi furosemide
Aspilet
Plavix
Aritxtra
12.Monitoring
Keluhan
Balance cairan
Tanda tanda vital
Pemerikasaan EKG rutin
13.Edukasi
Istirahat yang cukup kurangi aktivitas fisik yang berat
Maksimal minum 4 gelas air dalam sehari
Minum obat sesuai ajuran
Makan makan tinggi karbohidrat dan tinggi protein
14.Prognosis : dubia at bonam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
Unstable
Angina
Sindrom Koroner Akut (SKA)
STEMI
UNSTEMI
3.2 EPIDEMIOLOGI
Setiap tahun di Amerika Serikat 1.300.000 pasien dirawat di RS dengan APTS / Infark Miokard
non Q, dibandingkan 350.000 pasien Infark miokard dengan gelombang Q ST elevasi.
3.4 PATOFISIOLOGI
1.
Patogenesis
Patofisiologi terjadinya ACS terjadi dalam jangka waktu yang sangat lama, bahkan dapat
mencapai lebih dari 20 tahun. Awalnya berupa pembentukan aterosklerosis yang kemudian
mengalami rupture dan menyebabkan terjadinya pembentukan thrombus. Lebih dari 90%
sindrom koroner akut terjadi karena adanya mekanisme ini. Selain karena adanya pembentukan
thrombus, UA/NSTEMI juga dapat disebabkan oleh peningkatan kebutuhan oksigen miokardium
(akibat adanya takikardia atau hipertensi) atau karena pengurangan suplai (pengurangan diameter
lumen vascular oleh thrombus, vasospasme atau hipotensi). Mekanisme lain menyebabkan
sindrom koroner akut dapat disebabkan sindrom vaskulitis, emboli koroner, anomaly congenital
pembuluh darah koroner, trauma atau aneurisma koroner, spasme berat arteri koroner,
peningkatan viskositas darah, diskeksi spontan arteri koroner.
8
Gambar 3.2 faktor faktor yang berperan dalam terjadinya Sindrom coroner akut
a) Pembentukan plak atheroma
Selain karena adanya pembentukan thrombus, UA/NSTEMI juga dapat disebabkan oleh
peningkatan kebutuhan oksigen miokardium (akibat adanya takikardia atau hipertensi) atau
karena pengurangan suplai (pengurangan diameter lumen vaskular oleh thrombus, vasospasme
atau hipotensi). 7
b) Pembentukan trombus
Pembentukan thrombus dari plak atherosklerotik melibatkan proses rupture plak yang akan
memaparkan elemen darah terhadap substansi trombogenik dan disfungsi endotel sehingga
kehilangan fungsi vasodilatasi dan antotrombotik. Rupturnya plak merupakan pemicu utama. Hal
ini dapat disebabkan oleh faktor-faktor yang mengurangi stabilitas plak, stress fisik.
10
Gambar 3.7 proses terjadinya miokardial hipoksia akibat penurunan suplai oksigen
Perubahan lanjut yang terjadi adalah pembuangan sel miokardium yang nekrotik dan
penggantian dengan jaringan fibrosa.
12
Perubahan fungsi yang terjadi antara lain gangguan pada kontraktilitas (sistolik) dan daya
regang (diastolik) jantung, stunned miokardium, iskemik preconditioning, dan ventricular
remodeling.
3.5 MANIFESTASI KLINIS
C7 sampai T4 meiputi leher, punggung, dan lengan. Gejala simpatik dapat berupa diaforesisdan
kulit yang dingin. Pada iskemia yang luas, dapat terjadi penurunan kontraktilitas ventrikel kiri
sehingga mengurangi stroke volume kemudian akan diikuti oleh peningkatan volume dan
tekanan diastolic ventrikel kiri. Kemudian diikuti peningkatan di atrium kiri dan vena pulomer
sehingga terjadi kongesti paru yang mengurangi komplianse paru dan menstimulasi reseptor
jukstakapiler yang menyebakan napas cepat, dangkal dan sensasi sesak napas. Gejala fisik yang
muncul antara lain dapat ditemukan S4, S3 maupun murmur sistolik. Bisa juga terjadi demam
yang low grade karena pengeluaran sitokin seperti IL-1 dan TNF.7,8
3.6 PERUBAHAN TAMPAKAN EKG
Berdasarkan tampilan EKG infark miokardium dapat dibedakan menjadi UA/NSTEMI
dengan STEMI. Pada UA dan NSTEMI perubahan yang dapat terjadi antara lain7:
14
b.
c.
mencegah thrombosis bila terjadi disfungsi endotel atau pecahnya plak. Selain itu,
obat juga dipakai untuk memperbaiki simtom dan iskemi yaitu nitrat kerja jangka
pendek dan jangka panjang, Beta Blocker, CCB.
Efek vagotonik yang dapat menyebabkan bradikari dan blok jantung derajat tinggi
terutama pasien infark posterior. Efek ini dapat diatasi dengan pemberian atropine
0,5 mgIV.
d. Aspirin
Tatalaksana dasar pasien yang dicurigai STEMI. inhibisi cepat siklooksigenase
trombosit yang dilanjutkan reduksi kadar tromboksan A2 dicapai dengan absorpsi aspirin
bukkal dengan dosis 160-325 mg diberikan diruang emerensi, dilanjutkan dengan oral
dosis 75-162 mg.
e. Beta blocker
Pada pemberian morfin dan nitrat yang tidak meredakan nyeri dada diberikan beta
blocker. Pemberian 5 mg metoprolol setiap 3-5 menit dalam 3 dosis, harus diperhatikan :
Frekuensi >60 kali/menit
Tekanan sistolik >100mmHg
Interval PR <0,24 mm
Ronki tidak lebih dari 10cm dari diafragma
f. Terapi reperfusi
Reperfusi dini akan memperpendek lama oklusi koroner, meminimalkan derajat
disfungsi dan dilatasi ventrikel sehingga mengurangi kemungkinan pasien STEMI
berkembang menjadi pump failure atau takiaritmia ventrikuler maligna.
Sasaran terapi reperfusi pada pasien STEMI adalah door-to-needle (atau medical
contat-to-needle) time untuk memulai terapi fibrinolitik dapat dicapai dalam 30 menit
atau door-to-balloon (atau medical contact-to-balloon) time untuk PCI dapat dicapai
dalam 60 menit.
Langkah langkah penilaian dalam memilih terapi reperfusi pada pasien STEMI :
a. Nilai waktu dan risiko
a. Waktu sejak onset gejala
Prediktor penting luas infark dan outcome pasien. Efektivitas obat fibrinolisis
dalam menghancurkan trombus sangat tergantung dengan waktu. Terapi
fibrinolisis yang diberikan pada 2 jam pertama (terutama jam pertama)
terkadang menghentikan infark miokard dan secara dramatis menurunkan
angka kematian. Beberapa laporan menunjukan tidak ada pengaruh
keterlambatan waktu terhadap laju mortalitas jika PCI dikerjakan setelah 2
sampai 3 jam setelah gejala.
b. Risiko STEMI
Jika estimasi mortalitas sengan fibrinolisis sangat tinggi seperti pada pasien
renjatan kardiogenik, bukti klinis menunjukan strategi PCI lebih baik.
c. Risiko fibrinolitik
17
distal tetapi dengan aliran yang melambat dibanding aliran arteri normal.
Grade 3 : menunjukan perfusi penuh pembuluh yang mengalami infark dengan
aliran normal.
Target terapi reperfusi adalah aliran TIMI grade 3, karena perfusi penuh pada arteri
koroner ysng terkena infark menunjukan hasil yang lebih baik balam membatasi luasnya
infark, mempertahankan fungsi ventrikel kiri dan menurunkan laju mortalitas jangka
3
18
Jika tidak ada kontraindikasi, dilakukan pada pasien STEMI dengan onset gejala
<12 jam dan Elevasi ST > 0,1 mV pada sekurang-kurangnya dua sadapan prekordial
atau sekurang-kurangnya dua sadapan ekstremitas.
Jika tidak ada kontraindikasi , onset gejala < 12 jam, dan LBBB baru atau diduga
baru.
b. Klas IIa
1.
Jika tidak ada kontraindikasi, onset gejala <12 jam dan EKG 12 sandapan
konsisten dengan infark miokard posterior.
2.
Jika tidak ada kontraindikasi, dengan gejala mulai dari <12jam sampai 24 jam
yang mengalami gejala iskemia yang terus berlanjut dan elevasi ST 0.1 mV pada
sekurang-kurangnya 2 sandapan prekordial yang berdampingan atau skurangkurangnya 2 sandapan ekstremitas.
pada absolute
Resusitasi jantung paru traumatic atau lama > 10 menit atau operasi besar < 3
minggu
Perdarahan internal dalam 24 minggu terakhir
Terapi anti koagulan oral
19
Kehamilan
Non compressible puncture
Ulkus peptikum aktif, Khusus untuk streptokinase / anistreplace riwayat alergi
pada zat tersebut
21
3.9 FARMAKOTERAPI
1 Obat Anti Iskemia
Untuk menghilangkan nyeri dada dan mencegah nyeri dada berulang dapat diberikan
terapi awal mencakup nitrat sub lingual dan dilanjutkan intravena dan pemberian beta blocker
oral. Antagonis kalsium dapat diberikan pada pasien yang tidak dapat diberikan beta blocker.
a. Nitrat
Menyebabkan vasodilatasi vena dan arteriol perifer, sehingga menurunkan
preload dan afterload yang menyebabkan berkurangnya kebutuhan oksigen. Nitrat juga
menambah suplai oksigen dengan cara membuat vasodilatasi koroner dan memperbaiki
aliran darah kontralateral. Pemberian nitrogliserin secara sublingual danintravena
dilakukan pada keadaan akut.Dosis pemberian isosorbid dinitrat 1-4 mg/jam, dosis dapat
ditingkatkan karena adanya toleransi terhadap obat tersebut. Bila keluhan sudah
terkendali pemberian secara infuse dapat diganti dengan pemberian oral.
Nitrat pertama kali harus diberikan secara sublingual atau spray bukal, jika nyeri
menetap diberikan nitrat 3 kali dalam interval 5 menit. Pemberian nitrogliserin secara
intravena direkomendasikan mulai 5-10g/menit, laju infuse ditingkatkan 10g/menit
tiap 3-5 menit hingga keluhan menghilang atau tekanan darah sistolik <100 mmHg.
Setelah pasien bebas nyeri dalam 12-24 jam pemberian secara IV diganti dengan oral.
Kontra indikasi jika pasien hipotensi atau penggunaan sildenafil atau sekelasnya dalam
24 jam.
22
b. Beta blocker
Pemberian beta blocker menurunkan kebutuhan oksigen miokard melalui
penurunan denyut jantung dan daya kontraktilitas miokard.Semua pasien dengan angina
tak stabil diberi dengan beta blocker kecuali terdapat kontra indikasi yaitu pasien dengan
asthma dan bradiaritmia.Berbagai macam beta-blocker seperti propanolol, metopropol,
atenolol, telah diteliti pada pasien dengan angina tak stabil, yang menunjukan efektivitas
yang serupa.
Target pemberian beta blocker adalah frekuensi jantung 50-60 kali/menit. Pada
nyeri dada persisten dan rekuren dengan pemberian beta blocker dan nitrat diberikan
antagonis kalsium dan morfin dengan dosis 1-5 mg dapat diberikan tiap 5-30 menit
hingga dosis 20 mg.
c. Antagonis kalsium
Terdiri dari 2 golongan : dihidropiridin dan nondihidropiridin seperti diltiazem
dan verapamil. Kedua golongan ini memberikan efek vasodilatasi koroner dan
menurunkan tekanan darah.Pemakaian antagonis kalsium bila pasien memiliki
kontraindikasi terhadap beta blocker.
Golongan dihidropiridin mempunyai
efek
vasodilatasi
lebih
kuat
dan
penghambatan nodus sinus maupun nodus AV lebih sedikit, dan efek inotropik negatif
juga lebih kecil. Pada pasien dengan angina tak stabil yang mendapat antagonis kalsium,
menunjukan tak ada pengurangan angka kematian dan infark. Pada pasien yang
sebelumnya tidak mendapat antagonis, pemberian nifedipin menaikkan infark dan angina
yang rekuren sebesar 16%, sedangkan kombinasi nifedipin dan metoprolol dapat
mengurangi kematian dan infark sebesar 20%, tapi kedua studi itu tidakbermakna.
Kenaikan mortalitas mungkin karena pemberian nifedipin menyebabkan takikardia dan
kenaikan kebutuhan oksigen.
Verapamil dan diltiazem dapat memperbaiki survival dan mengurangi infark pada
pasien pada pasien dengan sindrom koroner akut dan fraksi ejeksi normal. Denyut
jantung yang berkurang, pengurangan afterload memberikan keuntungan pada golongan
nondihidropiridin. Pada pasien SKA dengan faal jantung normal. Pemakanian antagonis
kalsium biasanya pada pasien yang kontraindikasi dengan antagonis atau telah diberi
2
23
Obat antiplatelet merupakan salah satu dasar dalam pengobatan angina tak stabil maupun
infark tanpa elevasi ST segmen.Tiga golongan obat anti platelet seperti aspirin, tienopiridin dan
inhibitor GP Iib/IIIb telah terbukti bermanfaat.
a. Aspirin
Aspirin dosis kecil memberikan efek anti agregasi trombosit.Pada studi dibuktikan
pemberian aspirin pada pasien angina tak stabil dapat menurunkan risiko kematian
jantung dan infark miokard dari 51%-72%.Penggunaan aspirin seumur hidup dianjurkan
pada dengan dosis awal 160 mg/hari dan dosis selanjutnya 60-325 mg/hari.
b. Tienopiridin
1 Tiklopidin
Merupakan derivate tienopiridin sebagai obat lini kedua pada pasien angina tak stabil
yang tak tahan dengan aspirin. Tiklopidin memiliki efek samping granulositopenia
2
pasien angina tak stabil dan NSTEMI yang direncanakan dalam 12 jam.
Obat Antitrombin
a. Unfractionated heparin
Ikatan antara antitrombin III dengan heparin akan menghambat thrombin dan
faktor Xa. Heparin juga dapat berikatan dengan protein plasma lain sehingga dapat
24
mempengaruhi bioavailibilitasnya. Kelemahan yang lain adalah efek hambatan ini dapat
dirusak oleh platelet faktor 4. Menurut metaanalisis dari 6 penelitian menunjukan bahwa
pemberian heparin bersamaan aspirin dapat mengurangi resiko sebesar 3% dibandingkan
aspirin saja.Activated partial thromboplastin time (APTT) harus 1.5-2.5 kali kontrol dan
dilakukan pemantauan tiap 6 jam setelah pemberian. Pemeriksaan trombosit juga perlu
untuk mendeteksi adanya kemungkinan heparin-induced thrombositopenia (HIT).
b. Low Molecular Weight Heparin (LMWH)
Dibuar dengan melakukan depolimerisasi rantai polisakarida heparin.Kebanyakan
mengandung sakarida kurang dari 18 dan hanya bekerja pada faktor Xa, sedangkan
heparin menghambat faktor Xa dan trombin. Obat yang beredar di Indonesia antara lain
adalah dalteparin,nadroparin dan enoksaparin. Dibandingkan dengan heparin adalah
LMWH mempunyai ikatan terhadap protein plasma kurang, sehingga bioavailibilitasnya
lebih besar dan tidak mudah dinetralisir oleh faktor 4, lebih besar pelepasan tissue factor
pathway inhibitor(TFPI) dan kejadian trombositopenia lebih sedikit. Keuntungan
pemberian LMWH karena cara pemberian mudah yaitu dapat disuntikan secara subkutan
dan tidak membutuhkan pemeriksaan laboratorium.
c. Direct Trombin Inhibitor
Bekerja langsung mencegah pengaktivan thrombin (pembentukan pembekuan
darah) tanpa dihambat oleh plasma protein dan platelet faktor 4.Yang termasuk dalam
golongan ini adalah.Bivalirudin telah disetuji untuk menggantikan heparin pada pasien
angina tak stabil yang menjalani PCI. Hirudin maupun bivalirudin dapat menggantikan
heparin bila ada efek samping trombositopenia akibat heparin (HIT).9,10,11
3.10 Komplikasi
Komplikasi dari sindrom koroner akut dapat digambarkan pada bagan di bawah ini.7
25
BAB IV
KESIMPULAN
SKA adalah penyakit yang gawat dan harus diidentifikasi dan ditangain dengan cepat supaya
komplikasi yang lebih parah tidak terjadi.Pada fase awal, SKA itu masih reversible, tapi bila sudah fase
lebih lama,infarktidak dapat dikembali ke otot jantung yang normal.Otot jantung tidak dapat pulih dengan
sendirinya. Selain itu, faktor faktor resiko SKA seperti diabetes mellitus, hipertensi, dislipidemia,
obesitas, merokok dll dapat menyebabkan lapisan endotel pembuluh darah koroner yang normal akan
mengalami kerusakan sehingga terbentuknya plak pada pembuluh darah koroner dan menyempitnya
lumen arteri koroner, dan mengurangi aliran darah/iskemia miokard. Bila plak aterosklerotik mengalami
rupture akan menyebabkan SKA.
26
DAFTAR PUSTAKA
I.
Mayo
Clin
Proc.
2009;84(10):917-938.
http://www.mayoclinicproceedings.com/content/84/10/917. full.pdf
2. Kleinschmidt KC. Epidemiology and Patophysiology of Acute Coronary
Syndrome. Adv Stud Med. 2006;6(6B):S477-S482. http://www.jhasim.com/fi
les/articlefi les/pdf/ASIM_6_6Bp477_482_ R1.pdf
3. Rosen AB., Gelfand EV. Patophysiology of Acute Coronary Syndromes. Dalam:
Gelfand Eli V., Cannon Cristopher P. Management of Acute Coronary
Syndromes. West Sussex: Wiley Blackwell. 2009. Pp: 1-11;
27
4. http://media.wiley.com/product_data/excerpt/75/04707255/0470725575-1.pdf
5. Canadian Institute For Health Information. 2007. Acute Coronary Syndromes:
Understanding the Spectrum.
6. http://www.smgh.ca/_uploads/PageContent/documents/ACS-spectrum. pdf
7. Antman EM, Braunwald E. ST-Elevation Myocardial Infarction: Pathology,
Pathophysiology, and Clinical Features. Dalam: Braunwald E. ed. Braunwalds
Heart Disease. 8th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier. 2008. Pp: 1207-31.
8. McGraw Hill. Harrisons Prinsiples of Internal Medicine, 17th ed. Philadelphia,
2000, 138797.
9. Lilly LS. Pathophysiology of Heart Disease. Fifth Edition. 2011. Philadelphia: Lippincott
Williams&Wilkins.
10. Bonow RO, mann DL, Zipes DP, Libby P, Braunwald E. Braunwalds heart disease: a
textbook of cardiovascular medicine. 9th ed. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2012.
11. Brady W. et al. 2012, Acute Coronary Syndrome : 2010 American Heart Association
Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care,
AHA
12. Aroney C. et al. 2006, Guidelines for the management of acute coronary syndromes
2006, National Heart Foundation of Australia.
13. Acute Coronary Syndromes : a national clinical guidelines, 2007, Scottish
Intercollegiate Guidelines Network
28