Anda di halaman 1dari 28

BAB I.

PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Sindrom koroner akut (SKA) masih tetap merupakan masalah kesehatan publik yang
bermakna di negara industri, dan mulai menjadi bermakna di negara-negara sedang berkembang. 1
Di Amerika Serikat, 1,36 juta pe-nyebab rawat inap adalah kasus SKA, 0,81 juta di antaranya
adalah kasus infark miokardium, sisanya angina tidak stabil.1,2
Sebelum era fibrinolitik, infark miokardium dibagi menjadi Q-wave dan non Q-wave.
Pembagian ini berdasarkan evolusi gambaran elektrokardiogram (EKG) yang terjadi pada beberapa
hari setelah serangan. Infark miokar-dium tipe Q-wave menggambarkan adanya in-fark transmural.
Sedangkan infark non Q-wave menggambarkan infark yang terjadi hanya pada lapisan
subendokardium.7 Pada saat ini, istilah yang dipakai adalah STEMI (ST elevation myocardial
infarction), NSTEMI (non ST elevation myocardial infarction), dan angina pektoris tidak stabil;
ketiganya merupakan suatu spektrum klinis yang disebut sindrom koroner akut.4,5 Ke-tiganya
mempunyai dasar patofisiologi yang sama, hanya berbeda derajat keparahannya.
Adanya elevasi segmen ST pada EKG meng-gambarkan adanya oklusi total arteri koroner
yang menyebabkan nekrosis pada seluruh atau hampir seluruh lapisan dinding jantung. Pada
NSTEMI dan angina pektoris tidak stabil terjadi oklusi parsial arteri koroner. Keduanya mempunyai
gejala klinis dan patofi siologi se-rupa, tetapi berbeda derajat keparahannya. Di-agnosis NSTEMI
ditegakkan jika iskemi cukup
Untuk memahaminya secara komprehensif diperlukan pengetahuan tentang patofi siolo-gi
iskemia miokardium. Iskemia miokardium terjadi bila kebutuhan oksigen lebih besar daripada
suplai oksigen ke miokardium. Ok-lusi akut karena adanya trombus pada arteri koroner
menyebabkan berkurangnya suplai oksigen ke miokardium Contoh lain, pada pasien dengan plak
intrakoroner yang bersifat stabil, peningkatan frekuensi de-nyut jantung dapat menyebabkan
terjadinya iskemi karena meningkatkan kebutuhan ok-sigen miokardium, tanpa diimbangi kemampuan untuk meningkatkan suplai oksigen ke miokardium.3
Jika terjadi penyempitan arteri koroner, iskemia miokardium merupakan peristiwa yang
awal terjadi. Daerah subendokardial merupakan daerah pertama yang terkena, karena berada paling
jauh dari aliran darah. Jika iskemia makin parah, akan terjadi kerusak-an sel miokardium. Infark
miokardium adalah nekrosis atau kematian sel miokardium. Infark miokardium dapat terjadi
nontransmural (ter-jadi pada sebagian lapisan) atau transmural (terjadi pada semua lapisan).4

parah sehingga menyebabkan nekrosis sel-sel miokardium; hal ini menyebabkan pelepasan
biomarker dari sel-sel miokardium (Troponin T atau I, atau CKMB) menuju ke sirkulasi. Sebaliknya, pada pasien dengan angina pektoris tidak stabil tidak didapatkan peningkatan biomarker tersebut di sirkulasi.1,3,5

BAB II
LAPORAN KASUS

I.

II.

Identitas pasien

1 Nama : Tn R
2 Umur : 79 tahun
3 Agama : Kristen
4 Jenis kelamin : Laki laki
5 Tanggal pemeriksaan : 27 april 2015 jam 06.00 wib
6 Alamat : Jln G.obos 12
7 Ruangan mondok : ICCU
8 Masuk rumah sakit : 26 April 2015
Anamnesis
1 Keluhan utama : nyeri dada kiri
2 Riwayat penyakit sekarang
Pasien datang ke IGD dengan keluhan sesak dan nyeri dadam sesak dirasakan
oleh pasien semakin memberat sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit, sesak
yang dirasakan pasien seperti dihimpit dan timbul saat pasien berjalan dirumah.
Sesak dirasakan pasien berkurang apabila pasien duduk. Sesak juga dirasakan
pasien saat malam hari dan membuat pasien tidak bias tidur. Selain sesak pasien
juga merasakan nyeri dada di bagian kiri, nyeri dirasakan pasien tiba-tiba jam 11
malam 1 hari sebelum masuk rumah sakit dan muncul saat pasien baru bangun
tidur. Nyeri dada yang dirasakan pasien seperti terbakar dan menjalar ke tangan
kiri pasien. Saat nyeri dada muncul pasien juga mengeluh keringat dingin saat
nyeri dada pasien tidak pingsan. Pasien juga mengeluh batuk berdahak dan sulit
keluar 3 hari sebelum masuk rumah sakit. Pasien membantah ada jantung
berdebar, demam, mual dan muntah tidak ada, buang air kecil tidak nyeri dan
berwarna kuning jernih, buang air besar pasien lancer tidak ada darah maupun
3

hitam.
Riwayat penyakit dahulu
Pasien mengakui pernah dirawat dengan keluhan serupa dan baru pulang dari
rumah sakit 3 bulan yang lalu pasien juga minum obat teratur dan rutin
memeriksakan kesehatan di poli jantung rumah sakit dr Doris slyvanus
palangkaraya, akan tetapi 1 minggu sebelum masuk rumah sakit pasien tidak
3

meminum obat rutinnya. Pasien juga memiliki riwaya hipertensi, pasien tidak

III.

memiliki penyakit diabetes militus, asma, maag dan penyakit ginjal


4 Riwayat penyakit keluarga
Dalam keluarga pasien tidak memiliki penyakit yang sama seperti pasien
5 Faktor resiko
1. Riwayat penyakit jantung
2. Hipertensi
3. Batuk
4. Minum obat yang sempat terputus
Pemeriksaan fisik
1. Keadaan umum : pasien tampak sakit sedang
2. Kesadaran : compos mentis (E4V5M6)
3. Berat badan : 70 kg , tinggi badan : 170 cm, IMT : 24,22
4. Vital sign
1 Tekanan darah
: 110/70mmhg
2 Pernapasan
: 23 x/menit
3 Nadi
: 74x/menit regular, kuat angkat, isi cukup
4 Suhu
: 36 c
5. Kepala

Mata : konjungtiva anemis (-)


Skelera : ikterik (-)

6. Collum

Kelenjar KGB
: tidak membesar
Tiroid
: tidak membesar
JVP
: 5+4 cmH20
Masa lain : tidak ada

7. Pulmonal
1. Anterior
Inspeksi : simetris dextra = sinistra, retraksi(-)masa(-) bentuk dada normal
Palpasi : fremitus vocal dextra = sinistra
Auskultasi
: vesikuler kiri=kanan, rhonki(+) pada bagian apeks,medial
dan basal pada paru dextra, Rhonki(+) pada bagian apek dan basal paru

sinistra, whezzing(-) pada ke 2 lapang paru


Perkusi : sonor pada kedua lapang paru, batas paru hepar linea IV
midclavicula dextra sonor ke redup
4

2. Posterior
Inspeksi : simetris dextra = sinistra, retraksi(-)masa(-) bentuk dada normal
Palpasi : fremitus vocal dextra = sinistra
Auskultasi
: vesikuler kiri=kanan, rhonki(+) pada bagian apeks,medial
dan basal pada paru dextra, Rhonki(+) pada bagian apek dan basal paru

3. Cor

sinistra, whezzing(-) pada ke 2 lapang paru


Perkusi : sonor pada kedua lapang paru

Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat


Palpasi : ictus cordis teraba di linea midclavicula sinistra di intercostal 6 2

jari kearah lateral, trill (-)


Auskultasi : bunyi jantung S1-S2 reguler, bising jantung (+) sistol pada

katup mitral 4/6, gallop(-)


4. Abdomen
Inpeksi : datar (+),distensi(-), massa(-), jejas(-)
Auskultasi: bising usus (+) 6x/menit, bruit(-),metal sound (-)
Perkusi : timpani seluruh lapang perut
Palapasi: nyeri tekan(-), nyeri lepas(-), hepar lien tidak teraba
5. Ekstermitas
Dextra
1 Superior : akral hangat(+), CRT<2 detik, edem(-),ulkus(-)
2 Inferior: akral hangat (+),CRT<2 detik, edem(-),ulkus(-)
Sinistra
1 Superior : akral hangat(+), CRT<2 detik, edem(-),ulkus(-)
2 Inferior: akral hangat (+),CRT<2 detik, edem(-),ulkus(-)
6. Pemeriksaan khusus
Hemoglobin : 12,4
Leukosit :14.000
Trombosit: 140.000
Hematocrit : 39%
Gula darah sewaktu : 177
Kreatinin : 1,49
7. Problem
Hipertensi
Riwayat penyakit jantung
Bising jantung sistol katup mitral
Rhonki di kedua lapang paru
8. Assessment
Hipertensi
Penyakit jantung coroner
Angina pectoris tidak stabil
5

Infark miokard akut


Congestif heart failure
Leukositosis
9. Diagnosis
Infark miokard akut EC unstable angina pectoris
10. Planning
Pemeriksaan EKG
Pemeriksaan foto polos thorak AP
Pemeriksaan CKMB
Pemeriksaan kreatinin

11.Terapi
Oksigen
Terapi cairan IVFD NaCL 0,9 % 500cc
Injeksi Ranitidin
Injeksi furosemide
Aspilet
Plavix
Aritxtra
12.Monitoring
Keluhan
Balance cairan
Tanda tanda vital
Pemerikasaan EKG rutin
13.Edukasi
Istirahat yang cukup kurangi aktivitas fisik yang berat
Maksimal minum 4 gelas air dalam sehari
Minum obat sesuai ajuran
Makan makan tinggi karbohidrat dan tinggi protein
14.Prognosis : dubia at bonam

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi Sindrom Coroner Akut


Sindrom Koroner Akut (SKA) adalah kejadian kegawatan pada pembuluh darah koroner
yaitu suatu fase akut dari Angina Pectoris Tidak Stabil/ APTS yang disertai Infark Miocard Akut/
IMA gelombang Q (IMA-Q) dengan non ST elevasi (NSTEMI) atau tanpa gelombang Q (IMATQ) dengan ST elevasi (STEMI) yang terjadi karena adanya trombosis akibat dari ruptur plak
aterosklerosis yang tak stabil. Sindrom Koroner Akut (SKA) tersebut merupakan suatu sindrom
yang terdiri dari beberapa penyakit koroner yaitu angina tak stabil (unstable angina), infark
miokard non-elevasi ST, infark miokard dengan elevasi ST, maupun angina pektoris pasca infark
atau pasca tindakan intervensi koroner perkutan ditandai dengan manifestasi klinis rasa tidak
enak di dada atau gejala lain sebagai akibat dari iskemia miokardium.6

Unstable
Angina
Sindrom Koroner Akut (SKA)

STEMI
UNSTEMI

Gambar 3.1 pembagian sindrom coroner akut

3.2 EPIDEMIOLOGI
Setiap tahun di Amerika Serikat 1.300.000 pasien dirawat di RS dengan APTS / Infark Miokard
non Q, dibandingkan 350.000 pasien Infark miokard dengan gelombang Q ST elevasi.

3.3 FAKTOR RESIKO


Faktor faktor risiko yang berperan dalam penyakit jantung coroner adalah diabetes mellitus,
hipertensi, dislipidemia, obesitas, merokok, dan kepribadian merupakan faktor faktor penting yang
mesti diketahui hal ini berkaitan dengan kebutuhan oksigen.

3.4 PATOFISIOLOGI
1.

Patogenesis

Patofisiologi terjadinya ACS terjadi dalam jangka waktu yang sangat lama, bahkan dapat
mencapai lebih dari 20 tahun. Awalnya berupa pembentukan aterosklerosis yang kemudian
mengalami rupture dan menyebabkan terjadinya pembentukan thrombus. Lebih dari 90%
sindrom koroner akut terjadi karena adanya mekanisme ini. Selain karena adanya pembentukan
thrombus, UA/NSTEMI juga dapat disebabkan oleh peningkatan kebutuhan oksigen miokardium
(akibat adanya takikardia atau hipertensi) atau karena pengurangan suplai (pengurangan diameter
lumen vascular oleh thrombus, vasospasme atau hipotensi). Mekanisme lain menyebabkan
sindrom koroner akut dapat disebabkan sindrom vaskulitis, emboli koroner, anomaly congenital
pembuluh darah koroner, trauma atau aneurisma koroner, spasme berat arteri koroner,
peningkatan viskositas darah, diskeksi spontan arteri koroner.
8

Gambar 3.2 faktor faktor yang berperan dalam terjadinya Sindrom coroner akut
a) Pembentukan plak atheroma

Gambar 3.3 proses terbentuknya plak ateroma


Plak atheroma diawali dengan adanya akumulasi dari lipoprotein pada tunika intima.
Kemudian terjadi oksidasi dan glikasi dari lipoprotein. Hal ini menyebabkan stress oksidatif
yang akhirnya akan menyebabkan peningkatan sitokin. Sitokin tersebut meningkatkan ekspresi
dari molekul adhesi yang mengikat leukosit dan molekul kemoatraktan (seperti MCP-1/
monocyte chemoattractan protein 1) yang menyebabkan migrasi leukosit ke tunika intima.
Selanjutnya akan terjadi stimulasi macrophage colony stimulating factor yang menyebabkan
ekspresi dari reseptor scavenger. Reseptor ini memediasi uptake modified lipoprotein yang
menyebabkan terbentuknya foam cells. Foam cells merupakan sumber dari sitokin, molekul
efektor seperti anion superoksida dan matrix metalloproteinase. Kemudian akan terjadi migrasi
sel otot polos dari tunika media ke tunika intima yang akan menyebabkan peningkatan ketebalan
intima. Pada stage akhir dapat terjadi kalsifikasi dan fibrosis.

Selain karena adanya pembentukan thrombus, UA/NSTEMI juga dapat disebabkan oleh
peningkatan kebutuhan oksigen miokardium (akibat adanya takikardia atau hipertensi) atau
karena pengurangan suplai (pengurangan diameter lumen vaskular oleh thrombus, vasospasme
atau hipotensi). 7
b) Pembentukan trombus
Pembentukan thrombus dari plak atherosklerotik melibatkan proses rupture plak yang akan
memaparkan elemen darah terhadap substansi trombogenik dan disfungsi endotel sehingga
kehilangan fungsi vasodilatasi dan antotrombotik. Rupturnya plak merupakan pemicu utama. Hal
ini dapat disebabkan oleh faktor-faktor yang mengurangi stabilitas plak, stress fisik.

Gambar 3.4 Pembentukan plak thrombosis


Komposisi dari plak atheroma dipengaruhi oleh mekanisme sintesis dan degradasi.
Sintesis sel otot polos membuat formasi fibrous cap disamping kolagen dan elastin. Foam sel
meningkatkan aktivasi dan enzim proteolitik seperti matrix metalloproteinase yang mendegradasi
kolagen dan elastolitik katepsin. Derivate dari sel limfosit T juga merusak fibrous cap. Plak
dengan fibrous cap yang tipis mudah menjadi rupture jika ada stress yang tinggi baik secara
spontan maupun saat aktivitas fisik.

10

Gambar 3.5 proses terjadinya rupture plak


Setelah terjadi rupturnya plak akan terjadi pemaparan platelet terhadap lapisan kolagen
subendotelial sehingga platelet terkativasi dan menjadi beragregasi. Mengaktivasi kaskade
koagulasi dan vasokonstriksi. Mekanismenya dapat dilihat pada gamar di bawah. Disfungsi
endotel akan menyebabkan penurunan produksi vasodilator dam antiplatelet.7

Gambar 3.6 proses terjadinya thrombosis


11

2. Patologi dan patofisiologi


Pada UAP tidak terjadi kematian sel sedangkan pada STEMI dan NSTEMI terjadi kematian
sel. Infark dibedakan menjadi 2 yaitu infark transmural dan infark sunendokardial. Infark
transmural mengenai hampir seluruh lapisan miokardium yang disebabkan oleh oklusi yang
lama. Infark subendokardial yang hanya mengenai sebagian lapisan subendokardial saja yang
merupakan area paling rentan terhadap terjadinya iskemia.
Setelah terjadinya oklusi maka kadar oksigen akan menurun dan menyebabkan terjadinya
metabolism anaerob yang menyebabka penumpukan asam laktat. Pengurangan prosuksi ATP
menyebabkan disfungsi dari Na-K-ATP ase transmembran sehingga menyebabkan leakage dari
Na dan K. Na lebih banyak di intrasel yang menyebabkan edema sel da K lebih banyak di
ekatrasel yang menyebabkan perubahan potensial transmembran. Perubahan tersebut akan
menyebabkan penurunan fungsi jantung dalam 2 menit pertama. Tanpa intervesi kerusakan dapat
terjadi dalam 20 menit. Edema miokardium terjadi dalam 4-12 jam dan gambaran histologik
yang terlihat adalah irreversible injury berupa edema interseluler.8

Gambar 3.7 proses terjadinya miokardial hipoksia akibat penurunan suplai oksigen
Perubahan lanjut yang terjadi adalah pembuangan sel miokardium yang nekrotik dan
penggantian dengan jaringan fibrosa.
12

Perubahan fungsi yang terjadi antara lain gangguan pada kontraktilitas (sistolik) dan daya
regang (diastolik) jantung, stunned miokardium, iskemik preconditioning, dan ventricular
remodeling.
3.5 MANIFESTASI KLINIS

Gambar 3.7 angina pectoris pada SKA


1. UAP ( Unstable Angina Pectoris)
Pada angina tidak stabil terdapat 3 kriteria yaitu nyeri dada terjadi pada saat istirahat, nyeri
dada onset baru, nyeri dada crescendo. Nyeri dada mempunyai cirri rasa nyeri atau tidak nyaman
pada daerah retrosternal yang sulit untul dilokalisasi. Pasien dengan UAP dapat berlanjut
menjadi STEMI atau NSTEMI jika tidak ditangani dengan baik.
2. Infark miokard akut (STEMI dan NSTEMI)
Nyeri dada dirasakan lebih parah, lebih lama, dan menjalar lbih luas. Sensasi nyeri
disebabkan oleh pelepasan laktat dan adenosin pada ujung saraf biasanya mengenai dermatom
13

C7 sampai T4 meiputi leher, punggung, dan lengan. Gejala simpatik dapat berupa diaforesisdan
kulit yang dingin. Pada iskemia yang luas, dapat terjadi penurunan kontraktilitas ventrikel kiri
sehingga mengurangi stroke volume kemudian akan diikuti oleh peningkatan volume dan
tekanan diastolic ventrikel kiri. Kemudian diikuti peningkatan di atrium kiri dan vena pulomer
sehingga terjadi kongesti paru yang mengurangi komplianse paru dan menstimulasi reseptor
jukstakapiler yang menyebakan napas cepat, dangkal dan sensasi sesak napas. Gejala fisik yang
muncul antara lain dapat ditemukan S4, S3 maupun murmur sistolik. Bisa juga terjadi demam
yang low grade karena pengeluaran sitokin seperti IL-1 dan TNF.7,8
3.6 PERUBAHAN TAMPAKAN EKG
Berdasarkan tampilan EKG infark miokardium dapat dibedakan menjadi UA/NSTEMI
dengan STEMI. Pada UA dan NSTEMI perubahan yang dapat terjadi antara lain7:

Gambar 3.9 Perubahan ekg pada Unstable Angina Pectoris


Sedangkan pada STEMI akan terjadi evolusi gambaran EKG seperti di bawah ini:

14

Gambar 3.10 perubahan EKG pada SKA STEMI


3.7 PERUBAHAN ENZIMATIK
Nekrosis dari sel miokardium akan menyebabkan rupturnya sarkolema yang
menyebabkan leakage dari makromolekul intrasel ke dalam aliran darah. Molekul tersebut antara
lain Troponin dan CKMB. Troponin adalah protein regulasi otot yang mengontrol interaksi
antara aktin dan myosin. Terdiri atas 3 unit yaitu TnC, TnI dan TnT. TnI dan TnT mempunyai
struktru yang unik sehingga lebih spesifik. Namun troponin dapat dideteksi dalam darah pada
keadaan acute cardiac strain atai infalamasi. Troponin serum mulai meningkat 3-4 jam setelah
onset dengan puncak pada 18-36 jam kemudian akan menurun perlahan sampai 10-14 hari.
CKMB merupakan bentuk penyimpanan endogen dari ikatan fosfat berenergi tinggi. Dapat
ditemukan di jantung, uterus, prostat, usus, diafragma dan lidah. Serum CKMB akan meningkat
3-8 jam setelah infark dengan puncaknya pada 24 jam dan akan kembali ke kadar normal 48-72
jam.7
3.8 TATA LAKSANA
Tujuan pengobatan pada SKA adalah untuk memperbaiki prognosis dengan cara
mencegah infark miokard dan kematian. Upaya yang dilakukan adalah bagaimana mengurangi
terjadinya thrombotic akut dan disfungsi ventrikel kiri. Tujuan ini dapat dicapai dengan
modifikasi gaya hidup ataupun intervensi farmakologik yang akan
a.

mengurang progresif plak

b.

menstabilkan plak, dengan mengurangi inflamasi dan memperbaiki fungsi


endotel, dan akhirnya,
15

c.

mencegah thrombosis bila terjadi disfungsi endotel atau pecahnya plak. Selain itu,
obat juga dipakai untuk memperbaiki simtom dan iskemi yaitu nitrat kerja jangka
pendek dan jangka panjang, Beta Blocker, CCB.

Tata laksana awal


a. Tata laksana pra hospital
Prognosis STEMI tergantung terhadap 2 kelompok kolmplikasi yaitu komplikasi
elektrikal (aritmia) dan komplikasi mekanik (pump failure). Elemen utama tata laksana
pre hospital :
Pengenalan gejala oleh pasien dan segera mencari pertolongan medis
Segera memanggil tim emergensi medis dan segera melakukan resusitasi
Tranportasi pasien ke rumah sakit yang memiliki fasilitas ICCU/ICU serta staf
medis dokter dan perawat yang terlatih
Melakukan terapi reperfusi.
b. Tata laksana di ruang emergensi
Tata laksana mencakup mengurangi/menghilangkan nyeri dada, identifikasi cepat
pasien yang merupakan kandidat terapi reperfusi segera, triase pasien yang tepat dan

hindari pemulangan cepat pada pasien dengan STEMI.


Tata laksana Umum
a. Oksigen
Pada pasien dengan saturasi oksigen < 90% harus diberikan oksigenasi segera. Pada
semua pasien STEMI tanpa komplikasi dapat diberikan oksigen selama 6 jam pertama.
b. Nitrogliserin (NTG)
NTG dapat diberikan dalam dosis 0,4mg sebanyak 3 kali dengan interval 5 menit.
Terapi NTG dihandari pada pasien dengan tekanan darah sistolik <90 mmHg atau pasien
yang dicurigai infark ventrikel kanan (infark inferior pada EKG, JVP meningkat, paru
bersih dan hipotensi) dan pada pasien yang mengkonsumsi sedenafil karena dapat
memicu efek hipotensi nitrat.
c. Mengurangi/menghilangkan nyeri dada
Pemberian Morfin dapat mengurangi nyeri dada dan merupakan analgesic pilihan
utama dalam tatalaksana nyeri dada pada STEMI.morfin diberikan dengan dosis 2-4 mg
dan dapat diulang setiap interval 5-15 menit hingga dosis 20 mg. efek samping yang
perlu diwaspadai :
Konstriksi vena dan arteriolar melalui penurunan simpatis sehingga terjadi
pooling vena yang dapat mengurangi curah jantung dan tekanan arteri. Efek ini
diatasi dengan elevasi tungkai dan pada keadaan tertentu diberikan NaCl 0,9% IV.
16

Efek vagotonik yang dapat menyebabkan bradikari dan blok jantung derajat tinggi
terutama pasien infark posterior. Efek ini dapat diatasi dengan pemberian atropine

0,5 mgIV.
d. Aspirin
Tatalaksana dasar pasien yang dicurigai STEMI. inhibisi cepat siklooksigenase
trombosit yang dilanjutkan reduksi kadar tromboksan A2 dicapai dengan absorpsi aspirin
bukkal dengan dosis 160-325 mg diberikan diruang emerensi, dilanjutkan dengan oral
dosis 75-162 mg.
e. Beta blocker
Pada pemberian morfin dan nitrat yang tidak meredakan nyeri dada diberikan beta
blocker. Pemberian 5 mg metoprolol setiap 3-5 menit dalam 3 dosis, harus diperhatikan :
Frekuensi >60 kali/menit
Tekanan sistolik >100mmHg
Interval PR <0,24 mm
Ronki tidak lebih dari 10cm dari diafragma
f. Terapi reperfusi
Reperfusi dini akan memperpendek lama oklusi koroner, meminimalkan derajat
disfungsi dan dilatasi ventrikel sehingga mengurangi kemungkinan pasien STEMI
berkembang menjadi pump failure atau takiaritmia ventrikuler maligna.
Sasaran terapi reperfusi pada pasien STEMI adalah door-to-needle (atau medical
contat-to-needle) time untuk memulai terapi fibrinolitik dapat dicapai dalam 30 menit
atau door-to-balloon (atau medical contact-to-balloon) time untuk PCI dapat dicapai
dalam 60 menit.
Langkah langkah penilaian dalam memilih terapi reperfusi pada pasien STEMI :
a. Nilai waktu dan risiko
a. Waktu sejak onset gejala
Prediktor penting luas infark dan outcome pasien. Efektivitas obat fibrinolisis
dalam menghancurkan trombus sangat tergantung dengan waktu. Terapi
fibrinolisis yang diberikan pada 2 jam pertama (terutama jam pertama)
terkadang menghentikan infark miokard dan secara dramatis menurunkan
angka kematian. Beberapa laporan menunjukan tidak ada pengaruh
keterlambatan waktu terhadap laju mortalitas jika PCI dikerjakan setelah 2
sampai 3 jam setelah gejala.
b. Risiko STEMI
Jika estimasi mortalitas sengan fibrinolisis sangat tinggi seperti pada pasien
renjatan kardiogenik, bukti klinis menunjukan strategi PCI lebih baik.
c. Risiko fibrinolitik
17

Semakin tinggi resiko perdarahan dengan terapi fibrinolisis, semakin kuat


keputusan untuk memilih PCI.
d. Waktu yang dibutuhkan dalam transportasi menuju laboratorium PCI yang mampu
Adanya fasilitas kardiologi intervensi merupakan penentu utama apakah PCI
dapat dikerjakan. Untuk fasilitas yang dapat mengerjakan PCI, penelitian
menunjukkan PCI lebih superior dari reperfusi farmakologis. Jika composite
end point kematian, infark miokard rekuren nonfatal atau stroke dianalisis,
superioritas PCI terutama dalam hal penurunan laju infark miokard nonfatal
berulang.
b. Tentukan apakah terapi fibrinolisis atau terapi invasive lebih disukai. Jika presentasi
kurang dari 3 jam dan tidak ada keterlambatan untuk tindakan invasive, maka tidak
ada pilihan strategi lain.
Reperfusi farmakologis :
Jika tidak ada kontraindikasi, terapi fibrinolisis idealnya diberikan dalam 30 menit
sejak masuk (door-to-needle-time< 30menit). Tujuan utama fibrinolisis adalah restorasi
cepat patensi arteri koroner.
Jika dinilai secara angiografi, aliran didalam arteri koroner yang terlibat (culprit)
digambarkan dengan skala kualitatif sederhana disebut thrombolysis in myocardial
infarction (TIMI) grading system:
Grade 0 : menunjukan oklusi total (complete occlusions)
Grade 1: menunjukan penetrasi sebagian materi kontras melewati titik obstruksi

tetapi tanpa perfusi vaskular distal.


Grade 2 : menunjukan perfusi pembuluh darah yang mengalami infark ke bagian

distal tetapi dengan aliran yang melambat dibanding aliran arteri normal.
Grade 3 : menunjukan perfusi penuh pembuluh yang mengalami infark dengan

aliran normal.
Target terapi reperfusi adalah aliran TIMI grade 3, karena perfusi penuh pada arteri
koroner ysng terkena infark menunjukan hasil yang lebih baik balam membatasi luasnya
infark, mempertahankan fungsi ventrikel kiri dan menurunkan laju mortalitas jangka
3

pendek dan jangka panjang.


Terapi fibrinolitik
Indikasi terapi fibrinolitik
a. Klas I

18

Jika tidak ada kontraindikasi, dilakukan pada pasien STEMI dengan onset gejala
<12 jam dan Elevasi ST > 0,1 mV pada sekurang-kurangnya dua sadapan prekordial
atau sekurang-kurangnya dua sadapan ekstremitas.

Jika tidak ada kontraindikasi , onset gejala < 12 jam, dan LBBB baru atau diduga
baru.

b. Klas IIa
1.

Jika tidak ada kontraindikasi, onset gejala <12 jam dan EKG 12 sandapan
konsisten dengan infark miokard posterior.

2.

Jika tidak ada kontraindikasi, dengan gejala mulai dari <12jam sampai 24 jam
yang mengalami gejala iskemia yang terus berlanjut dan elevasi ST 0.1 mV pada
sekurang-kurangnya 2 sandapan prekordial yang berdampingan atau skurangkurangnya 2 sandapan ekstremitas.

Sedangkan kontra indikasi pemberian terapi fibrinolitik, antara lain:

Kontraindikasi fibrinolitik absolute


Riwayat perdarahan intracranial kapanpun
Lesi structural cerebrovascular. Contoh ; arterio venous malformation
Tumor intracranial ( primer maupun metastasis )
Stroke iskemik dalam 3 bulan kecuali dalam 3 jam terakhir
Dicurigai diseksi aorta
Adanya trauma/pembedahan/trauma kepala dalam 3 bulan terakhir
Adanya perdarahan aktif ( tidak termasuk menstruasi )

Kontraindikasi fibrinolitik relative


Riwayat hipertensi kronik
Hipertensi berat tidak terkontrol. Systole > 180 mmHg Diastole > 110 mmHg
Riwayat stroke, iskemik > 3 bulan, demensia, atau kelainan intracranial selain

pada absolute
Resusitasi jantung paru traumatic atau lama > 10 menit atau operasi besar < 3

minggu
Perdarahan internal dalam 24 minggu terakhir
Terapi anti koagulan oral
19

Kehamilan
Non compressible puncture
Ulkus peptikum aktif, Khusus untuk streptokinase / anistreplace riwayat alergi
pada zat tersebut

Terdapat beberapa macam obat fibrinolitik antara lain:


a. Streptokinase (SK)
Merupakan fibrinolitik non spesifik fibrin. Pasien yang pernah terpajan
dengan SK tidak boleh diberikan pajanan selanjutnya karena terbentuk antibodi.
Harganya murah dan insiden perdarahan intrakranial rendah. Dosis pemberian: 1,5
juta UI dalam 1 jam.
b. Tissue plasminogen activator (tPA, Alteplase)
Menurut GUSTO-1 trial tPA menurunkan mortalitas 30 hari sebesar 15%
daripada SK, namun harganya lebih mahal dan risiko perdarahan intrakranial sedikit
lebih tinggi. Dosis: bolus 15 mg, dilanjutkan 0,75 mg/kgBB (maksimal 50 mg)
dalam jam pertama dan 0,5 mg/kgBB (maksimal 35 mg) dalam 60 menit
c. Reteplase (r-PA)
Inject trial menunjukan efikasi dan keamanan sebanding SK dan sebanding
tPA pada GUSTO III trial, dengan dosis bolus lebih mudah karena waktu paruh
yang lebih panjang. Dosis: bolus dobel, 10 U bolus dua kali, interval 30 menit.
d. Tenekteplase (TNKase)
Keuntungannya mencakup memperbaiki spesifisitas fibrin dan resistensi
tinggi terhadap plasminogen activator inhibitor (PAI-1). Komplikasi perdarahn
sebanding dengan tPA. Bolus satu, dosis berdasarkan BB <60kg 30mg, 60-69kg
35mg, 70-79 40mg.9,10,11
Tabel: Strategi terapi reperfusi (fibrinolisis atau invasif)
Terapi Fibrinolisis

Terapi Invasif (PCI)

Onset < 3 jam


Tidak tersedia pilihan invasif terapi
- Kontak doctor-baloon atau doorbaloon > 90 menit
- (door-baloon) minus (doorneedle) lebih dari 1 jam.
20

Onset > 3 jam


Tersedia ahli PCI
- Kontak doctor-baloon atau door
baloon < 90 menit.
- (Doorbaloon) minus (doorneedle) < 1 jam

Tidak terdapat kontraindikasi


fibrinolisis

21

Kontraindikasi fibrinolisis, termasuk


resiko perdarahan dan perdarahan
intraserebral.
STEMI resiko tinggi (CHF, Killip 3)
Diagnosis STEMI diragukan.

Gambar 3. 11 Algoritma Penatalaksanaan SKA

3.9 FARMAKOTERAPI
1 Obat Anti Iskemia
Untuk menghilangkan nyeri dada dan mencegah nyeri dada berulang dapat diberikan
terapi awal mencakup nitrat sub lingual dan dilanjutkan intravena dan pemberian beta blocker
oral. Antagonis kalsium dapat diberikan pada pasien yang tidak dapat diberikan beta blocker.
a. Nitrat
Menyebabkan vasodilatasi vena dan arteriol perifer, sehingga menurunkan
preload dan afterload yang menyebabkan berkurangnya kebutuhan oksigen. Nitrat juga
menambah suplai oksigen dengan cara membuat vasodilatasi koroner dan memperbaiki
aliran darah kontralateral. Pemberian nitrogliserin secara sublingual danintravena
dilakukan pada keadaan akut.Dosis pemberian isosorbid dinitrat 1-4 mg/jam, dosis dapat
ditingkatkan karena adanya toleransi terhadap obat tersebut. Bila keluhan sudah
terkendali pemberian secara infuse dapat diganti dengan pemberian oral.
Nitrat pertama kali harus diberikan secara sublingual atau spray bukal, jika nyeri
menetap diberikan nitrat 3 kali dalam interval 5 menit. Pemberian nitrogliserin secara
intravena direkomendasikan mulai 5-10g/menit, laju infuse ditingkatkan 10g/menit
tiap 3-5 menit hingga keluhan menghilang atau tekanan darah sistolik <100 mmHg.
Setelah pasien bebas nyeri dalam 12-24 jam pemberian secara IV diganti dengan oral.
Kontra indikasi jika pasien hipotensi atau penggunaan sildenafil atau sekelasnya dalam
24 jam.
22

b. Beta blocker
Pemberian beta blocker menurunkan kebutuhan oksigen miokard melalui
penurunan denyut jantung dan daya kontraktilitas miokard.Semua pasien dengan angina
tak stabil diberi dengan beta blocker kecuali terdapat kontra indikasi yaitu pasien dengan
asthma dan bradiaritmia.Berbagai macam beta-blocker seperti propanolol, metopropol,
atenolol, telah diteliti pada pasien dengan angina tak stabil, yang menunjukan efektivitas
yang serupa.
Target pemberian beta blocker adalah frekuensi jantung 50-60 kali/menit. Pada
nyeri dada persisten dan rekuren dengan pemberian beta blocker dan nitrat diberikan
antagonis kalsium dan morfin dengan dosis 1-5 mg dapat diberikan tiap 5-30 menit
hingga dosis 20 mg.
c. Antagonis kalsium
Terdiri dari 2 golongan : dihidropiridin dan nondihidropiridin seperti diltiazem
dan verapamil. Kedua golongan ini memberikan efek vasodilatasi koroner dan
menurunkan tekanan darah.Pemakaian antagonis kalsium bila pasien memiliki
kontraindikasi terhadap beta blocker.
Golongan dihidropiridin mempunyai

efek

vasodilatasi

lebih

kuat

dan

penghambatan nodus sinus maupun nodus AV lebih sedikit, dan efek inotropik negatif
juga lebih kecil. Pada pasien dengan angina tak stabil yang mendapat antagonis kalsium,
menunjukan tak ada pengurangan angka kematian dan infark. Pada pasien yang
sebelumnya tidak mendapat antagonis, pemberian nifedipin menaikkan infark dan angina
yang rekuren sebesar 16%, sedangkan kombinasi nifedipin dan metoprolol dapat
mengurangi kematian dan infark sebesar 20%, tapi kedua studi itu tidakbermakna.
Kenaikan mortalitas mungkin karena pemberian nifedipin menyebabkan takikardia dan
kenaikan kebutuhan oksigen.
Verapamil dan diltiazem dapat memperbaiki survival dan mengurangi infark pada
pasien pada pasien dengan sindrom koroner akut dan fraksi ejeksi normal. Denyut
jantung yang berkurang, pengurangan afterload memberikan keuntungan pada golongan
nondihidropiridin. Pada pasien SKA dengan faal jantung normal. Pemakanian antagonis
kalsium biasanya pada pasien yang kontraindikasi dengan antagonis atau telah diberi
2

penyekat beta tapi keluhan angina masih refrakter.


Obat Antiagregasi Trombosit

23

Obat antiplatelet merupakan salah satu dasar dalam pengobatan angina tak stabil maupun
infark tanpa elevasi ST segmen.Tiga golongan obat anti platelet seperti aspirin, tienopiridin dan
inhibitor GP Iib/IIIb telah terbukti bermanfaat.
a. Aspirin
Aspirin dosis kecil memberikan efek anti agregasi trombosit.Pada studi dibuktikan
pemberian aspirin pada pasien angina tak stabil dapat menurunkan risiko kematian
jantung dan infark miokard dari 51%-72%.Penggunaan aspirin seumur hidup dianjurkan
pada dengan dosis awal 160 mg/hari dan dosis selanjutnya 60-325 mg/hari.
b. Tienopiridin
1 Tiklopidin
Merupakan derivate tienopiridin sebagai obat lini kedua pada pasien angina tak stabil
yang tak tahan dengan aspirin. Tiklopidin memiliki efek samping granulositopenia
2

pada 2,4% pasien. Tapi mulai ditinggalkan semenjak ada klopidogrel.


Clopidogrel
Merupakan derivate tienopiridin yang memberikan efek antiagregasi trombosit.Efek
samping lebih kecil dibanding tiklopidin sehingga tiklopidin mulai digantikan dengan
klopidogrel.Pemberian klopidogrel diindikasikan pada pasien yang tidak tahan
terhadap aspirin.Dalam pedoman ACC/AHA pemberian klopidogrel dianjurkan
bersamaan bersama aspirin paling sedikit 1 sampai 9 bulan.Dosis klopidogrel dimulai
dari 300 mg/hari dilanjutkan dosis 75 mg/hari.Klopidogrel juga terbukti dapat

mengurangi strok, infark dan kematian kardiovaskular.


c. GP IIb/IIIa inhibitors
Fibrinogen akan berikatan dengan reseptor GP IIb/IIIa untuk membentuk ikatan antara
trombosit dan fibrinogen. Dengan GP IIb/IIIa inhibitor maka tidak akan terbentuk ikatan
antara trombosit dan fibrinogen. Tiga golongan obat ini adalah absiksimab, suatu antibodi
monoklonal; eptifibatid, siklik heptapeptid; tirobifan, suatu mimetik.Obat-obat ini telah
dipakai untuk pengobatan angina tak stabil maupun untuk obat tambahan dalam tindakan
PCI terutama kasus-kasus angina tak stabil.Tirofiban dan eptifibatid harus diberikan
bersama aspirin dan heparin pada pasien dengan iskemia terus menerus atau pasien resiko
tinggi dan pasien yang direncanmakan untuk tindakan PCI.Abciximab disetujui untuk
3

pasien angina tak stabil dan NSTEMI yang direncanakan dalam 12 jam.
Obat Antitrombin
a. Unfractionated heparin
Ikatan antara antitrombin III dengan heparin akan menghambat thrombin dan
faktor Xa. Heparin juga dapat berikatan dengan protein plasma lain sehingga dapat
24

mempengaruhi bioavailibilitasnya. Kelemahan yang lain adalah efek hambatan ini dapat
dirusak oleh platelet faktor 4. Menurut metaanalisis dari 6 penelitian menunjukan bahwa
pemberian heparin bersamaan aspirin dapat mengurangi resiko sebesar 3% dibandingkan
aspirin saja.Activated partial thromboplastin time (APTT) harus 1.5-2.5 kali kontrol dan
dilakukan pemantauan tiap 6 jam setelah pemberian. Pemeriksaan trombosit juga perlu
untuk mendeteksi adanya kemungkinan heparin-induced thrombositopenia (HIT).
b. Low Molecular Weight Heparin (LMWH)
Dibuar dengan melakukan depolimerisasi rantai polisakarida heparin.Kebanyakan
mengandung sakarida kurang dari 18 dan hanya bekerja pada faktor Xa, sedangkan
heparin menghambat faktor Xa dan trombin. Obat yang beredar di Indonesia antara lain
adalah dalteparin,nadroparin dan enoksaparin. Dibandingkan dengan heparin adalah
LMWH mempunyai ikatan terhadap protein plasma kurang, sehingga bioavailibilitasnya
lebih besar dan tidak mudah dinetralisir oleh faktor 4, lebih besar pelepasan tissue factor
pathway inhibitor(TFPI) dan kejadian trombositopenia lebih sedikit. Keuntungan
pemberian LMWH karena cara pemberian mudah yaitu dapat disuntikan secara subkutan
dan tidak membutuhkan pemeriksaan laboratorium.
c. Direct Trombin Inhibitor
Bekerja langsung mencegah pengaktivan thrombin (pembentukan pembekuan
darah) tanpa dihambat oleh plasma protein dan platelet faktor 4.Yang termasuk dalam
golongan ini adalah.Bivalirudin telah disetuji untuk menggantikan heparin pada pasien
angina tak stabil yang menjalani PCI. Hirudin maupun bivalirudin dapat menggantikan
heparin bila ada efek samping trombositopenia akibat heparin (HIT).9,10,11
3.10 Komplikasi
Komplikasi dari sindrom koroner akut dapat digambarkan pada bagan di bawah ini.7

25

Gambar 3.12 komplikasi pada Sindrom coroner akut

BAB IV
KESIMPULAN
SKA adalah penyakit yang gawat dan harus diidentifikasi dan ditangain dengan cepat supaya
komplikasi yang lebih parah tidak terjadi.Pada fase awal, SKA itu masih reversible, tapi bila sudah fase
lebih lama,infarktidak dapat dikembali ke otot jantung yang normal.Otot jantung tidak dapat pulih dengan
sendirinya. Selain itu, faktor faktor resiko SKA seperti diabetes mellitus, hipertensi, dislipidemia,
obesitas, merokok dll dapat menyebabkan lapisan endotel pembuluh darah koroner yang normal akan
mengalami kerusakan sehingga terbentuknya plak pada pembuluh darah koroner dan menyempitnya
lumen arteri koroner, dan mengurangi aliran darah/iskemia miokard. Bila plak aterosklerotik mengalami
rupture akan menyebabkan SKA.

26

DAFTAR PUSTAKA

1. Kumar A, Cannon CP. Acute Coronary Syndromes: Diagnosis and Management


Part

I.

Mayo

Clin

Proc.

2009;84(10):917-938.

http://www.mayoclinicproceedings.com/content/84/10/917. full.pdf
2. Kleinschmidt KC. Epidemiology and Patophysiology of Acute Coronary
Syndrome. Adv Stud Med. 2006;6(6B):S477-S482. http://www.jhasim.com/fi
les/articlefi les/pdf/ASIM_6_6Bp477_482_ R1.pdf
3. Rosen AB., Gelfand EV. Patophysiology of Acute Coronary Syndromes. Dalam:
Gelfand Eli V., Cannon Cristopher P. Management of Acute Coronary
Syndromes. West Sussex: Wiley Blackwell. 2009. Pp: 1-11;
27

4. http://media.wiley.com/product_data/excerpt/75/04707255/0470725575-1.pdf
5. Canadian Institute For Health Information. 2007. Acute Coronary Syndromes:
Understanding the Spectrum.
6. http://www.smgh.ca/_uploads/PageContent/documents/ACS-spectrum. pdf
7. Antman EM, Braunwald E. ST-Elevation Myocardial Infarction: Pathology,
Pathophysiology, and Clinical Features. Dalam: Braunwald E. ed. Braunwalds
Heart Disease. 8th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier. 2008. Pp: 1207-31.
8. McGraw Hill. Harrisons Prinsiples of Internal Medicine, 17th ed. Philadelphia,
2000, 138797.
9. Lilly LS. Pathophysiology of Heart Disease. Fifth Edition. 2011. Philadelphia: Lippincott
Williams&Wilkins.
10. Bonow RO, mann DL, Zipes DP, Libby P, Braunwald E. Braunwalds heart disease: a
textbook of cardiovascular medicine. 9th ed. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2012.
11. Brady W. et al. 2012, Acute Coronary Syndrome : 2010 American Heart Association
Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care,
AHA
12. Aroney C. et al. 2006, Guidelines for the management of acute coronary syndromes
2006, National Heart Foundation of Australia.
13. Acute Coronary Syndromes : a national clinical guidelines, 2007, Scottish
Intercollegiate Guidelines Network

28

Anda mungkin juga menyukai