Anda di halaman 1dari 31

BAB 1

(PENDAHULUAN)

1.1.

Latar Belakang
Perkembangan ilmu kedokteran yang sangat dinamis sehingga menuntut
mahasiswa untuk terus belajar dan menggali ilmu tanpa mengenal waktu. Hal itu sangat
diperlukan terhadap mahasiswa yang menjadi calon dokter masa depan dinegara
Indonesia, jadi dengan konsep keilmuan yang baik maka lahirlah seorang dokter yang
kompeten dan dipercaya oleh masyarakat, itulah yang merupakan salah satu latar
belakang pada penyusun makalah ini.
Resusitasi jantung paru adalah serangkaian usaha penyelamatan hidup pada henti
jantung. Walaupun pendekatan yang dilakukan dapat berbeda-beda, tergantung
penyelamat, korban dan keadaan sekitar, tantangan mendasar tetap ada, yaitu baigaimana
melakukan RJP yang lebih dini, lebih cepat dan lebih efektif. Untuk menjawabnya,
pengenalan akan adanya henti jantung dan tindakan segera yang harus dilakukan menjadi
prioritas dari tulisan ini.
Henti jantung menjadi penyebab utama kematian di beberapa negara. Terjadi baik
di luar rumah sakit maupun di dalam rumah sakit. Diperkirakan sekitar 350.000 orang
meninggal pertahunnya akibat henti jantung di Amerika dan Kanada. Perkiraan ini tidak
termasuk mereka yang diperkirakan meninggal akibat henti jantung dan tidak sempat
diresusitasi.
Walaupun usaha untuk melakukan resusitasi tidak selalu berhasil, lebih banyak
nyawa yang hilang akibat tidak dilakukannya resusitasi. Sebagian besar korban henti
jantung adalah orang dewasa, tetapi ribuan bayi dan anak juga mengalaminya setiap
tahun. Henti jantung akan tetap menjadi penyebab utama kematian yang prematur, dan
perbaikan kecil dalam usaha penyelamatannya akan menjadi ribuan nyawa yang dapat
diselamatkan setiap tahun.

Modul XXI Skenario 6

Bantuan hidup dasar boleh dilakukan oleh orang awam dan juga orangyang
terlatih dalambidang kesihatan. Ini bermaksud bahwa RJP boleh dilakukandan dipelajari
dokter, perawat,para medis dan juga orang awam.Menurut American Heart Association,
rantai kehidupan mempunyai hubungan erat dengantindakan resusitasi jantung paru,
kerana penderita yang diberikan RJP, mempunyaikesempatan yang amat besar untuk
dapat hidupkembali.

1.2.

Tujuan
Dalam penyusunan makalah ini tentunya memiliki tujuan yang diharapkan
berguna bagi para pembaca dan khususnya kepada penulis sendiri. Dimana tujuannya
dibagi menjadi dua macam yang pertama secara umum makalah ini bertujuan menambah
wawasan mahasiswa/I dalam menguraikan suatu persoalan secara holistik dan tepat, dan
melatih pemikiran ilmiah dari seorang mahasiswa/I fakultas kedokteran, dimana
pemikiran ilmiah tersebut sangat dibutuhkan bagi seorang dokter agar mampu
menganalisis suatu persoalan secara cepat dan tepat. Sedangkan secara khusus tujuan
penyusunan makalah ini ialah sebagai berikut :
Melengkapi tugas small group discussion 06 skenario 6 modul XXI tentang
Kedaruratan Medik.
Menambah khasanah ilmu pengetahuan para pembaca dan penulis.
Sebagai bahan referensi mahasiswa/I Fakultas Kedokteran UISU dalam
menghadapi ujian akhir modul.
Itulah merupakan tujuan dalam penyusunan makalah ini, dan juga sangat diharapkan
dapat berguna setiap orang yang membaca makalah ini. Semoga seluruh tujuan tersebut
dapat tercapai dengan baik.

Modul XXI Skenario 6

BAB II
(PEMBAHASAN)
2.1. Skenario 6

Modul XXI (KEGAWATDARURATAN MEDIK)


TIDAK SADARKAN DIRI
Seorang pria 58 tahun tidak sadarkan diri di Rumah Sakit setelah mendengar
kabar anaknya meninggal dunia.Dari hasil pemeriksaan diperoleh : Apnoe (+), denyut
a.Carotis tidak teraba.Oleh dokter segera dilakukan RJPO.

2.2.

LEARNING OBJECTIVE
1.
2.
3.
4.
5.

Mengetahui fisiologi ventilasi mekanik


Mengetahui definisi RJPO
Mengetahui tujuan RJPO
Mengetahui teknik RJPO
Mengetahui indikasi serta kontra indikasi RJPO

2.3. PEMBAHASAN LEARNING OBJECTIVE


2.3.1.

Fisiologi Ventilasi Mekanik


A. Ventilasi Mekanik Konvensional
Pada individu yang bernapas spontan, volume sekuncup (stroke volume)
berkurang karena tekanan negatif intratorakal akibat usaha bernapas oleh otot-otot
pernapasan saat membuka ruang intratorakal sehingga volume ventrikel kanan
bertambah dan menyebabkan septum intraventrikel terdorong ke ventrikel kiri yang
mengakibatkan preload ventrikel kiri berkurang.

Modul XXI Skenario 6

Berkurangnya

preload

ventrikel

kiri

saat

inspirasi

menyebabkan

berkurangnya volume sekuncup yang dapat diketahui dari penurunan tekanan darah
sistolik. Berkurangnya preload saat inspirasi akan dinormalkan kembali pada saat
ekspirasi. Mekanikme ini dikenal sebagai pulsus paradoksus, diperkenalkan pertama
kali oleh Adolf Kussmaul, yang didefinisikan sebagai pulsasi yang menghilang saat
inspirasi dan kembali saat ekspirasi.
Selain itu pada saat inspirasi terjadi penurunan tekanan intrapleural yang
menyebabkan

tekanan

transmural

atrium

kanan

meningkat.1-3,5

Beberapa

mekanikme yang mempengaruhi perubahan volume sekuncup akibat respirasi, antara


lain (1) bertambahnya afterload ventrikel kanan saat inspirasi karena peningkatan
tekanan alveolar lebih tinggi dibandingkan tekanan pleura, sehingga menghambat
ejeksi ventrikel kanan; (2) bertambahnya preload ventrikel kiri saat inspirasi karena
peningkatan tekanan alveolar yang lebih tinggi dari peningkatan tekanan pleura
sehingga darah kapiler terdorong ke jantung kiri; (3) berkurangnya afterload
ventrikel kiri saat inspirasi karena peningkatan tekanan pleura, mengakibatkan
peningkatan tekanan ekstrakardiak dan penurunan tekanan sistolik intrakardiak
melalui mekanikme berkurangnya volume darah di dalam toraks.
Ringkasnya, bertambah volume sekuncup saat inspirasi terjadi karena
peningkatan tekanan preload ventrikel kiri, sedangkan afterload ventrikel kiri
menurun. Sebaliknya, volume sekuncup pada ventrikel kanan menurun saat inspirasi
yang disebabkan oleh berkurangnya preload ventrikel kanan sedangkan afterload
ventrikel kanan bertambah.

a. Interaksi Antar Ventrikel

Modul XXI Skenario 6

Perubahan tekanan dan volume pulmonal dapat menurunkan aliran


darah balik vena ke atrium dan mempengaruhi kerja ventrikel kanan dan
ventrikel kiri. Interaksi antar ventrikel ini menjelaskan bahwa gangguan
kontraksi di salah satu ventrikel akan mempengaruhi kerja ventrikel yang
lain.6 Interaksi ini terjadi akibat hubungan anatomis antar kedua ventrikel
yang disusun oleh serabut otot, septum, dan berada di dalam perikardium
yang sama. Interaksi ini dapat mengakibatkan gangguan pada setiap bagian
pada kedua ventrikel tersebut, termasuk gangguan volume diastolik
ventrikuler.
b. Interaksi Kardio Pulmoner pada Napas
Ventilasi Mekanik
Pada pasien yang mendapat ventilasi tekanan positif terjadi
fenomena yang berlawanan dengan pernapasan spontan. Pada saat
inspirasi terjadi penurunan compliance ventrikel kiri terutama saat
diastolik, sehingga terjadi pula penurunan aliran balik vena (venous
return) yang disebabkan oleh kompresi pada atrium kanan dan vena
cava.1,8-10 Selain itu, pada saat ventilasi mekanik, juga terjadi
peningkatan tekanan darah arteri saat inspirasi yang diikuti dengan
penurunan saat ekspirasi, yang dikenal sebagai reversed pulsus
paradoxus, paradoxical pulsus paradoxus, respirator pradox, systolic
pressure variation, pulse pressure variation.
Perubahan tekanan dan volume intratoraks mempengaruhi kerja
jantung melalui beberapa mekanikme, yaitu (1) perubahan aliran darah
vena (preload) yang mempengaruhi perubahan volume akhir diastolik
ventrikel kanan/kiri; (2) meningkatnya resistensi vaskuler pulmonal
(afterload ventrikel kanan); (3) kompresi langsung pada perikardium; (4)
interaksi antar ventrikel.

Modul XXI Skenario 6

Pada ventilasi mekanik, pengaruh volume dan/atau tekanan


intratorakal bervariasi bergantung pada modus ventilasi, volume tidal, dan
level PEEP yang diberikan. Peningkatan tekanan intratorakal saat ventilasi
mekanik dapat menyebabkan volume pengisian ventrikel kanan berkurang
yang akhirnya menurunkan preload dan curah jantung.

B. Aliran Balik Vena


Aliran balik ke jantung dari perifer terjadi melalui sistem vena yang
mempunyai tekanan dan resistensi rendah. Tekanan atrium kanan dapat berubah-ubah
mengikuti siklus ventilasi akibat perubahan tekanan intratorakal. Inspirasi dengan
tekanan positif pada ventilasi mekanik menyebabkan peningkatan tekanan
intratorakal dan tekanan atrium kanan yang akan menurunkan gradien tekanan aliran
balik vena, volume sekuncup, dan curah jantung.
Dalam keadaan normal, berkurangnya aliran balik vena dicegah dengan
peningkatan tekanan intra abdominal karena desakan diafragma dan karena kontraksi
otot abdomen.11 Telah dilaporkan bahwa peningkatan tekanan saat CPAP sampai
dengan 20cmH2O tidak berakibat berkurangnya curah jantung selama dapat
diimbangi dengan peningkatan tekanan intraabdominal.

C. Ventrikel Kanan
Pada penggunaan ventilasi mekanik untuk terapi gagal napas akut, sering
dijumpai penurunan tekanan darah arteri yang disebabkan oleh berkurangnya
pengisian ventrikel kanan akibat berkurangnya aliran balik vena dan oleh kompresi di
sekitar jantung dan vena cava.13 Volume akhir diastolik ventrikel akan berkurang
pada saat tekanan jalan napas (pressure airway) meningkat, menyebabkan
berkurangnya volume sekuncup dan curah jantung.
Preload
Modul XXI Skenario 6

Tekanan rerata sistemik merupakan hasil dari volume darah dan kapasitansi
sirkulasi sistemik.2,16,17 Saat terjadi peningkatan tekanan atrium kanan akan terjadi
kompensasi peningkatan tekanan rerata sistemik untuk mencegah terjadinya
berkurangnya aliran balik vena.2 Meskipun tekanan positif saat ventilasi mekanik
meningkatkan volume paru dengan meningkatkan tekanan jalan napas, besarnya
peningkatan volume dan tekanan intratorakal bergantung pada resistensi jalan napas
dan compliance pulmonal. Apabila compliance pulmonal berkurang atau resistensi
jalan napas meningkat, maka sebaran tekanan jalan napas ke rongga jantung juga
berkurang.
Preload dapat berkurang pada pemberian PEEP, sedangkan resistensi vaskuler
pulmonal meningkat akibat penambahan volume paru saat inspirasi yang
menyebabkan bertambahnya afterload dari ventrikel kanan.6 Fenomena ini
mengakibatkan berkurangnya volume akhir diastolik ventrikel saat inspirasi yang
akan menurunkan curah jantung.19 Pasien dengan sindrom gagal napas akut
afterload ventrikel kanan meningkat, sehingga penambahan level PEEP pada pasien
ini dapat memperburuk aliran balik vena yang menyebabkan berkurangnya curah
jantung dan mengakibatkan hipotensi sistemik. Selain itu, peningkatan afterload
dapat pula mengakibatkan pendesakan ventrikel kiri oleh septum sehingga
menurunkan volume akhir diastolik ventrikel kiri. Pada kondisi ini pengukuran
tekanan baji paru pulmonary artery wedge pressure (PCWP) menjadi tidak akurat.
Cao, dkk mendapatkan bahwa pemberian PEEP akan meningkatkan nilai
tekanan vena sentral secara bermakna. Pada pemberian PEEP 0,5 dan 10cmH2O akan
meningkatkan tekanan vena sentral 1,30.9, 3,11,3 dan 4,51,3mmHg. Hal ini
membuktikan bahwa pengukuran tekanan vena sentral menjadi tidak akurat pada saat
pemberian PEEP.20 Hal yang serupa didapatkan pada penelitian yang dilakukan oleh
Geerts, dkk pada pasien pasca bedah jantung di unit rawat intensif dengan menambah
PEEP +10cmH2O dari PEEP awal dan didapatkan peningkatan tekanan vena sentral
dari 9,23,6 menjadi 11,53,2mmHg, dan penurunan curah jantung dari 5,21,3
menjadi 4,61,2 L/mnt.

Modul XXI Skenario 6

Selain itu, PEEP yang terlalu tinggi menyebabkan overdistensi paru yang
dapat mengaktifkan faktor plasma yang berefek inotropik negatif terhadap jantung.
Aktivasi faktor plasma ini kemungkinan akibat respon inflamasi karena overdistensi
paru.22 Respon ventrikel kanan terhadap peningkatan tekanan jalan napas dan PEEP
bergantung pula pada penyakit dasar pasien dan pengaruh volume paru-paru terhadap
resistensi vaskuler pulmonal. Hipertensi pulmonal merupakan komplikasi yang sering
ditemui pada penyakit paru kronis. Eksaserbasi, hipoksemia dan hipoksia yang terjadi
akibat vasokonstriksi dapat memperberat peningkatan tekanan arteri pulmonal dan
peningkatan afterload ventrikel kanan.
Afterload
Jardin, dkk23 menunjukkan mekanikme yang bertanggung jawab terhadap
penurunan curah jantung akibat ventilasi mekanik. Mereka membuktikan pada pasien
gagal napas akut dengan fungsi ventrikel kanan normal terjadi penurunan curah
jantung secara progresif seiring dengan peningkatan PEEP yang diakibatkan oleh
peningkatan resistensi vaskuler pulmoner secara progresif dan gangguan fungsi
sistolik ventrikel kanan. Mekanikme ini berperan terhadap berkurangnya curah
jantung saat ventilasi mekanik. Sehingga penting untuk melakukan titrasi PEEP untuk
optimisasi oksigenasi, curah jantung, dan transpor O2 sistemik.

D. Ventrikel Kiri
Peningkatan aktivitas saraf vagus aferen dan eferen serta stimulasi reseptor
saat terjadi tarikan jaringan paru saat inspirasi mengakibatkan gangguan fungsi
biventrikuler dan menyebabkan berkurangnya resistensi vaskuler perifer saat
peningkatan tekanan jalan napas/PEEP yang menyebabkan fungsi jantung kanan dan
kiri menjadi saling berpengaruh melalui interaksi antar ventrikel.24,25 Distensi
ventrikel kanan melalui efeknya pada septum dapat meyebabkan penurunan
compliance ventrikel kiri, sehingga mengurangi pengisian dan keluaran ventrikel.
Maestroni, dkk meneliti tentang efek PEEP terhadap diatolik ventrikel kiri dengan
Modul XXI Skenario 6

menggunakan Doppler, didapatkan bahwa pemberian PEEP menyebabkan penurunan


fungsi diastolik ventrikel kiri dan pengecilan ruang atrium kanan dan kiri.
Preload
Respirasi mempengaruhi preload ventrikel kanan-kiri, afterload ventrikel
kanan dan tekanan transmural diastolik ventrikel kiri, yang berakibat compliance
ventrikel kiri menjadi semakin berkurang. Dan ruang ventrikel kiri menjadi kecil
sehingga pengisiannya menjadi terganggu.2 Fenomena ini dikenal sebagai interaksi
antar ventrikel saat diastolik yang dapat terjadi pada sirkulasi normal. Monge, dkk
meneliti efek pemberian PEEP sampai dengan 36cmH2O untuk membuka alveoli dan
didapatkan berkurangnya curah jantung dan preload ventrikel kiri.28
Afterload
Pada kondisi patologis, respirasi mempunyai efek yang besar terhadap
afterload ventrikel kiri. Pada kondisi ini tekanan intratorakal menjadi lebih negatif
dan fungsi sistolik ventrikel kiri terganggu. Apabila tekanan intratorakal bervariasi,
maka pengaruh tekanan transmural terhadap struktur vaskular intratorak juga
bervariasi. Hal ini menyebabkan gangguan gradien tekanan terhadap aliran darah
balik sistemik. Sedangkan pengaruh tekanan transmural terhadap sistem arteri
intratoraks berupa driving pressure yang mendorong darah keluar toraks.
Pada kondisi klinis tertentu, peningkatan tekanan abdominal dapat
menyebabkan peningkatan afterload ventrikel kiri. Fellahi, dkk melakukan penelitian
dengan hipotesis bahwa pemberian PEEP dapat melawan efek hemodinamik yang
disebabkan oleh peningkatan tekanan intraabdominal dan mereka mendapatkan hasil
yang bermakna bahwa dengan penambahan PEEP + 10cmH2O efektif melawan
tekanan intrabdominal. Informasi ini dapat diaplikasikan pada pasien dengan
abdominal compartment syndrome atau pada pasien yang menjalani laparoskopi.29

Modul XXI Skenario 6

2.3.2. RJPO
2.3.2.1 Definisi
Resusitasi jantung paru otak (RJPO) merupakan metode untuk mengembalikan
fungsi pernafasan dan sirkulasi pada pasien yang mengalami henti nafas dan henti
jantung yang tidak diharapkan mati pada saat itu. Metode ini merupakan kombinasi
pernafasan buatan dan bantuan sirkulasi yang bertujuan mencukupi kebutuhan
oksigen otak dan substrat lain sementara jantung dan paru tidak berfungsi.

2.3.2.2 Tahap-tahap
A. Bantuan Hidup Dasar
Bantuan hidup dasar bertujuan melakukan oksigenasi darurat. Pada awal
langkah ABC RJPO dilakukan penilaian kesadaran dengan memberikan guncangan
dan teriakan. Bila tidak ada tanggapan, korban/pasien diletakkan dalam posisi
telentang dan bantuan hidup dasar segera diberikan. Sementara itu penolong dapat
meminta pertolongan dan bila mungkin mengaktifkan sistem pelayanan medis darurat.

1. Airway Control (pembebasan jalan nafas)


Pada pasien yang tidak sadar, umumnya terjadi sumbatan jalan nafas oleh
lidah yang menutupi dinding posterior faring karena terjadi penurunan tonus. Hal
ini dapat diatasi dengan triple airway maneuver dari Safar, yaitu:
1. Ekstensi kepala ekstensikan kepala korban dengan satu tangan, bila perlu
ganjal bahu.
2. Ekstensi kepala dan mengangkat dagu ekstensikan kepala dan angkat dagu
ke atas.
3. Ekstensi kepala dan mendorong mandibula ekstensikan kepala, pegang
angulus mandibula pada kedua sisi, kemudian dorong ke depan.
Modul XXI Skenario 6

10

Metode kedua atau ketiga lebih efektif membuka jalan nafas atas daripada
metode pertama.
Bila diketahui atau dicurigai adanya trauma kepala dan leher, korban
hanya digerakkan/dipindahkan bila memang mutlak perlu. Pada dugaan patah
tulang leher, pendorongan mandibula saja tanpa ekstensi kepala merupakan
metode paling aman untuk menjaga agar jalan nafas tetap terbuka. Bila belum
berhasil, dapat dilakukan sedikit ekstensi kepala.
Bila terdapat pernafasan spontan dan adekuat (tidak sianosis), letakkan
pasien dalam posisi miring mantap untuk mencegah aspirasi. Saat itu kita dapat
meminta pertolongan ambulans. Sedangkan pada ventilasi adekuat tetapi nafas
tidak adekuat (ada sianosis), korban perlu diberikan oksigen lewat kateter nasal
atau sungkup muka.

Tanda-tanda obstruksi jalan nafas parsial:

Modul XXI Skenario 6

11

1. Stridor (nafas berbunyi), terdengar seperti ngorok, bunyi kumur-kumur


atau melengking.
2. Retraksi otot dada ke dalam di daerah supraklavikular, suprasternal, sela
iga, dan epigastrium selam inspirasi.
3. Nafas paradoksal (pada waktu inspirasi dinding dada menjadi cekung atau
datar bukannya mengembang atau membesar).
4. Balon cadangan pada mesin anestesi kembang kempisnya melemah.
5. Nafas makin berat dan sulit (kerja otot-otot nafas tambahan meningkat)
6. Sianosis, merupakan tanda hipoksemia akibat obstruksi jalan nafas yang
lebih berat.
Tanda-tanda obstruksi jalan nafas total:
1. Serupa dengan obstruksi parsial, akan tetapi gejalanya lebih hebat dan stridor justru
2.
3.
4.
5.
6.

menghilang.
Retraksi lebih jelas.
Gerak paradoksal lebih jelas.
Kerja otot nafas tambahan meningkat dan makin jelas.
Balon cadangan tidak kembang-kempis lagi.
Sianosis lebih cepat timbul.

Secara klinis, salah satu tanda atau gejala tersebut sudah merupakan satu
peringatan untuk segera mengatasinya, dengan lebih dulu (bila mungkin) mencari
penyebabnya.

Sebab-sebab obstruksi jalan nafas yang paling sering adalah:


1. Lidah jatuh ke hipofaring.
2. Lendir jalan nafas, muntahan, perdarahan, benda asing, gigi palsu terlepas.
3. Spasme laring

Modul XXI Skenario 6

12

Apapun penyebabnya, langkah-langkah penanggulangannya hampir sama, yaitu:


1.

Langkah 1
a. Posisi kepala dibuat sedikit hiperekstensi, supaya jalan nafas lurus dan
bebas. Caranya, pegang dagu dan tarik ke belakang.
b. Ujung (pangkal) mandibula didorong ke atas seperti akan keluar dari
sendinya dan mulut sedikit dibuka. Posisi kepada tetap hiperekstensi.

2.

Maksudnya supaya pangkal lidah tidak mengikuti hipofaring.


Langkah 2
Lakukan pengisapan daerah mulut dan jalan nafas terhadap
kemungkinan adanya sekret, darah, atau muntahan yang menghalangi jalan
nafas. Bila muntahan mendadak banyak atau untuk mencegah aspirasi,
segera usahakan supaya kepala lebih rendah (posisi Trendelenburg) dan
kepala sedikit dimiringkan atau lebih baik posisi tubuh miring dan lakukan
pengisapan.

3.

Langkah 3
Lakukan pemasangan pipa orofaring atau pipa nasofaring untuk
menahan lidah agar tidak jatuh ke hipofaring. Langkah ini dapat juga
membantu bila langkah 1 melelahkan.

Modul XXI Skenario 6

13

Posisi kepala tetap dalam posisi ekstensi. Bila tindakan tersebut


telah dilakukan dengan baik, tetapi tanda-tanda obstruksi masih ada, maka
kemungkinan besar ada spasme laring parsial sehingga ventilasi tidak
mencukupi.
4.

Langkah 4
Intubasi trakea, yaitu memasukkan pipa khusus ke dalam trakea
yang dapat dilakukan langsung. Tindakan ini sulit dan traumatis bila
dipaksakan, sehingga sebaiknya dibantu dengan obat pelemas otot (misal:
suksinilkolin).

Modul XXI Skenario 6

14

Teknik intubasi:
a.

Alat yang digunakan:


Laringoskop, yaitu alat untuk melihat laring. Alat ini terdiri dari

bagian pegangan atau batang (handle) dan bilah (blade). Ada 3 sampai 4
ukuran bilah, yaitu ukuran bayi, anak, dewasa normal dan yang besar.

Pipa khusus (pipa endotrakea), ada bermacam-macam jenis yang


disesuaikan menurut kebutuhan, yaitu:

Dengan atau tanpa balon (Cuff)


Jenis nasal atau oral
Terbuat dari karet, PVC (plastik), atau diperkuat dengan kawat
spiral.

Modul XXI Skenario 6

15

Anatomi laring dan rima glotis harus dikenal terlebih dahulu.


Besar pipa trakea disesuaikan dengan besarnya trakea yang tergantung
pada umur. Pipa endotrakea yang baik untuk seorang pasien adalah yang
terbesar yang masih dapat melalui rima glotis tanpa trauma. Pada anak
berumur di bawah 8 tahun trakea berbentuk corong, karena ada
penyempitan di daerah subglotis (makin kecil, makin sempit) oleh karena
itu pipa endotrakeal yang dipakai pada anak terutama adalah tanpa balon
(Cuff).
Bila dipakai pipa tanpa balon hendaknya dipasang kasa di faring
dan di sekeliling pipa tersebut untuk mencegah aspirasi, sebagai fiksasi,
dan agar tidak terjadi kebocoran udara inspirasi. Bila intubasi secara
langsung (memakai laringoskop dan melihat rima glotis) tidak berhasil,
intubasi dilakukan dengan cara tidak langsung (tanpa melihat trakea) yang
juga disebut intubasi tanpa lihat (blind). Cara lain adalah dengan
menggunakan laringoskop serat optik.

b.
i.
ii.

Cara intubasi:
Berikan obat pelemas otot (suksinilkolin)
Batang laringoskop dipegang dengan tangan kiri dan tangan
yang lain mendorong kepala sehingga sedikit ekstensi, dan
mulut pasien akan dengan sendirinya membuka. Bila mulut
tidak juga membuka, maka setelah melakukan ekstensi kepala,

iii.

mulut dibuka dengan jari tangan.


Setelah lampu laringoskop dinyalakan, masukkan bilah ke

iv.

dalam mulut dimulai dari sudut mulut sebelah kanan.


Bilah dimasukkan sedikit demi sedikit sedemikian rupa
sehingga menelusuri sebelah kanan lidah, sambil menggeser
lidah ke kiri. Jangan meletakkan bilah di tengah lidah karena

v.

Modul XXI Skenario 6

akan mengganggu pandangan.


Sambil memasukkan bilah ke dalam, cari epiglotis.

16

vi.

Dengan sedikit mengangkat laringoskop, maka akan tampak


rima glotis. Bila perlu orang lain menekan trakea dari luar untuk

5.

vii.

melihat rima glotis.


Bila tampak rima glotis, maka akan terlihat pita suara berwarna

viii.
ix.

putih tidak bergerak dan sekitarnya berwarna merah.


Pipa endotrakea dimasukkan melalui rima glotis.
Fiksasi dengan plester.

Langkah 5
Krikotirotomi, dilakukan pada keadaan di mana tidak ada alat
intubasi (pipa endotrakea dan laringoskop) atau bila tidak mungkin
dilakukan intubasi.
Caranya: Diantara tulang rawan krikoid dan tiroid di buat tusukan
dengan jarum besar. Tindakan darurat ini akan sementara menolong pasien
dari asfiksia.

2. Breathing Support (ventilasi buatan dan oksigenasi paru secara darurat)


Setelah jalan nafas terbuka, segera nilai apakah korban dapat bernafas
spontan dengan merasakan aliran udara pada daun telinga atau punggung
tangan penolong, mendengarkan bunyi nafas dari hidung dan mulut korban,
serta memperhatikan gerak nafas dadanya. Ventilasi buatan dilakukan bila
pernafasan spontan tidak ada (apneu). Ventilasi dapat dari mulut ke mulut,
mulut ke hidung, atau mulut ke stoma (trakea).
Pada

saat

melakukan

ventilasi

mulut

ke

mulut,

penolong

mempertahankan kepala dan leher korban dalam posisi jalan nafas terbuka
dengan menutup hidung korban dengan pipi penolong atau memencet hidung
Modul XXI Skenario 6

17

dengan satu tangan. Selanjutnya dilakukan dua kali ventilasi dalam, segera
raba denyut nadi, diberikan ventilasi dalam setiap lima detik.
Tanda-tanda jalan nafas bebas saat diberikan ventilasi buatan yang
adekuat adalah bila dada terlihat naik turun dengan amplitudo cukup, ada
udara yang keluar melalui hidung dan mulut selama ekspirasi, serta tidak
terasa tahanan dan compliance paru selama pemberian ventilasi.
Bila ventilasi mulut ke mulut atau ke hidung tidak berhasil baik
walaupun jalan nafas terbuka, periksa faring untuk melihat daya sumbatan oleh
benda asing atau sekresi.
Bila diduga ada sumbatan benda asing, lakukan hentakan punggung di
antara dua scapula. Bila tidak berhasil, lakukan hentakan abdomen (abdominal
thrust, manuver Heimlich), atau hentakan dada (chest thrust) untuk pasien
anak atau ibu hamil. Urutan gerakan Heimlich adalah memberikan 6-10 kali
hentakan abdomen, membuka mulut dan melakukan sapuan jari, reposisi
korban, membuka jalan nafas, dan mencoba memberikan ventilasi buatan.
Urutan diulang sampai benda asing keluar dan ventilasi buatan berhasil
dilakukan. Teknik hentakan dada dapat dilakukan pada korban/pasien yang
telentang. Teknik ini sama dengan kompresi dada luar.
Bila ada sekresi, lakukan penyapuan dengan jari. Bila gagal, lakukan
hentakan abdomen atau hentakan dada. Pada tindakan jari menyapu, gulingkan
korban pada satu sisi. Sesudah membuka mulut korban, dengan satu tangan
memegang lidah dan rahangnya, masukkan jari telunjuk dan jari tengah tangan
yang lain dari penolong ke dalam satu sisi mulut korban. Melalui bagian
belakang faring kedua jari menyapu dan keluar lagi melalui sisi lain mulut
korban dalam satu gerakan.
Bila sesudah dilakukan gerakan tripel manuver serta pembersihan
mulut dan faring, masih ada sumbatan, pasang pipa jalan nafas (oropharyngeal
airway atau nasopharyngeal airway). Bila belum berhasil, lakukan intubasi
Modul XXI Skenario 6

18

trakea. Bila tidak dapat dilakukan intubasi, sebagai alternatifnya adalah


krikotirotomi atau pungsi membran krikotiroid dengan jarum berlumen besar
(misal kanula IV 14G). Bila masih ada sumbatan di bronkus, lakukan
pengeluaran benda asing (padat, cair) dari bronkus atau terapi bronkospasme
dengan aminofilin atau adrenalin.

3. Circulation Support (bantuan sirkulasi)


Pemberian ventilasi buatan dan kompresi dada luar diperlukan pada
keadaan henti jantung. Aliran darah selama kompresi dada luar didasari pada
dua mekanisme yang berbeda, yaitu kompresi jantung antara sternum dan
tulang belakang serta perubahan tekanan intratoraks global.
Korban telentang pada permukaan keras saat dilakukan kompresi dada
luar. Penolong berlutut di samping korban dan meletakkan pangkal sebelah
tangannya di atas pertengahan 1/3 bawah sternum korban, sepanjang sumbu
panjangnya dengan jarak dua jari dari persambungan sifoid-sternum. Tangan
penolong yang lain diletakkan di atas tangan pertama.

Dengan jari-jari terkunci, lengan lurus, dan kedua bahu tepat di atas
sternum korban, beri tekanan ventrikel ke bawah yang cukup untuk menekan
sternum 4-5 cm dengan berat badan penolong. Setelah kompresi harus ada
relaksasi, tetapi kedua tangan tidak boleh diangkat dari dada korban.
Modul XXI Skenario 6

19

Dilanjutkan lama kompresi sama dengan lama relaksasi. Baik satu penolong
maupun dua penolong, dilakukan 15 kompresi dada luar (laju 80-100
kali/menit = 9-12 detik) harus diikuti dengan pemberian dua kali ventilasi
dalam (2-3 detik). Dalam satu menit harus ada empat daur kompresi dan
ventilasi, yaitu minimal 60 kompresi dada dan 8 ventilasi. Jadi 15 kali
kompresi dada luar ditambah dua ventilasi harus selesai maksimal dalam
waktu 15 detik.

Kompresi dada dilakukan secara lembut dan berirama. Bila dilakukan


dengan benar, kompresi dada luar dapat menghasilkan tekanan sistolik lebih
dari 100 mmHg dan tekanan rata-rata 40 mmHg pada arteri karotis. Antara
kedua kompresi dada tidak boleh terputus lebih dari 5 detik, kecuali pada
waktu intubasi trakea dan transportasi bias sampai 15 detik. Sesudah 4 daur
kompresi dan daur ventilasi (4menit), lakukan reevaluasi pasien dengan
memeriksa apakah denyut karotis sudah timbul (5 detik), Bila tidak ada, RJPO
dimulai lagi dengan 2 ventilasi diikuti dengan 15 kompresi. Bila sudah ada
denyut, pernafasan diperiksa selama 3-5 detik.

Bila ada pernafasan dan nadi, pantau dengan ketat. Bila tidak ada
pernafasan, lakukan ventilasi buatan 12 kali/menit dan pantau nadi dengan
ketat. Bila denyut dan pernafasan belum ada, RJPO dilanjutkan. Sesudah 4
daur, periksa kembali apakah sudah timbul nadi dan ventilasi spontan, begitu
seterusnya.
Modul XXI Skenario 6

20

ABC RJPO yang dilakukan pada korban dengan henti jantung dapat
memberikan kemungkinan hasil:

korban sadar kembali


korban dinyatakan mati
korban belum dapat dinyatakan mati dan belum timbul denyut jantung
spontan, dalam hal ini perlu diberikan pertolongan lebih lanjut (bantuan

hidup lanjut)
denyut jantung

spontan

timbul,

tetapi

korban

belum

pulih

kesadarannya. Ventilasi spontan bias ada atau tidak.


Selain kompresi dada luar, yang juga termasuk bantuan sirkulasi adalah
penghentian perdarahan dan penentuan posisi untuk mengatasi syok, yaitu
dengan meletakkan kepala lebih rendah dari kaki.
RJP dengan 2 operator.

Lakukan ventilasi epat 2 kali sebelum pijat jantung luar, kemudian raba

denyut karotis, jika tidak ada denyut segera lakukan PJL.


Satu orang operator bertindak sebagai kopresi jantung dengan

kecepatan 60 x/ menit
Diselingi 1 kali ventilasi oleh operator yang satu, setiap 5 kali kompresi

sternum.tanpa menunggu kompresi lanjutan.


selama resusitasi o[erator ventilasi haus senantiasa memeriksa denyut

karotis apakah spontan, atau belum.


Jika denyut teraba dan paien maih henti napas, teruskan ventilasi paru
sampai pendeita bernapas spontan.

Modul XXI Skenario 6

21

B. Bantuan Hidup Lanjut ( Advanced Life Support )


Bantuan Hidup Lanjut (BHL) bertujuan memulai kembali sirkulasi spontan
dan mempertahankan sistem jantung paru dengan cara memulihkan transpor
oksigen arteri mendekati normal. BHL diberikan setelah dilakukan ABC RJPO dan
belum timbul denyut jantung spontan. Yang termasuk dalam BHL adalah DEF
RJPO, yaitu :

4. Drugs and fluid intravenous infusion (Pemberian obat-obatan dan cairan


melalui infus intravena tanpa menunggu hasil EKG)
1. Adrenalin 0,5-1,0 mg dosis untuk dewasa, 10 mg/kg pada anak-anak.
Pemberian dapat dilakukan secara intravena (IV), intratrakeal melalui pipa
endotrakeal ( 1ml adrenalin 1 diencerkan dengan 9 ml akuades steril)
atau intrakardia.

Modul XXI Skenario 6

22

Pemberian secara intrakardia hanya dilakukan oleh tenaga yang


terlatih dan saat ini sudah tidak dianjurkan lagi. Setiap 5 menit diulang
dengan dosis sama sampai timbul denyut jantung spontan atau mati
jantung.
2. Bila setelah 3 kali pemberian adrenalin tidak ada sirkulasi spontan,
pikirkan pemberian natrium bikarbonat intravena dengan dosis awal 1
mEq/kg BB (bila henti jantung lebih dari 2 menit) dapat diulang tiap 10
menit dengan dosis 0,5 mEq/kg sampai timbul denyut jantung spontan atau
mati jantung. Hati-hati pada pemberian pada anak-anak dan bayi.

5. Electrocardioscopy (Cardiography)
Monitoring EKG dilakukan untuk melihat bentuk henti jantung apakah
asistol ventrikular, fibrilasi ventrikular atau kompleks aneh yang lain seperti
disosiasi elektromekanis.

6. Fibrilation treatment (Terapi fibrilasi/defibrilasi)


Langkah ini merupakan cara mengatasi fibrilasi. Bila mulanya henti
jantung disaksikan dengan EKG, lakukan precordial thumb. Bila tidak
berhasil, lakukan defibrilasi eksternal dengan syok listrik dan obat-obatan. Bila
awalnya tidak disaksikan, langsung dengan defibrilasi eksternal.
Elektroda dipasang di sebelah kiri puting susu kiri dan sebelah kanan
sternum bagian atas. Defibrilasi luar diaktifkan dengan menggunakan arus
searah 100-360 Wsec (joule) untuk dewasa, 100-200 Wsec untuk anak, dan 50100 Wsec untuk bayi. Ulangi syok balik (countershock) bila perlu.
Bila belum berhasil, dapat diberi lignokain (lidokain) 1-2 mg/kg BB IV
untuk menurunkan ambang rangsang. Bila diperlukan dapat diteruskan dengan
Modul XXI Skenario 6

23

tetesan infus (1-4 mg/menit). Kemudian ulangi syok listrik. Bila belum
berhasil juga,dapat diberi prokainamid 1-2 mg/kg BB IV dengan tetap
mengulangi syok listrik. Bila gagal juga, dapat diberikan bretilium dapat
ditinggikan hingga 10 mg/kg BB sampai dosis total 30 mg/kg BB. Bretilium
ini merupakan obat terakhir yang tersedia saat ini. Bila dengan obat ini juga
tidak berhasil, maka ditegakkan diagnosis kematian jantung.
Bila EKG terdapat asistol ventrikular atau disosiasi elektromekanis,
ulangi tahap D, yaitu dengan memberikan kalsium, dan vasopresor seperlunya.
Dosis kalsium klorida 10% : 500 mg/70 kg BB IV, bila perlu diulang tiap 10
menit. Pemakaian kalsium saat ini merupakan hal yang kontroversial.
Selain obat-obat tersebut di atas,yang juga berguna selama resusitasi
jantung

paru ialah isoproterenol, digoksin, noradrenalin, metaraminol,

dopamin, dobutamin, atropin, efedrin, heparin dektrose, garam faal, diazepam.

C. Bantuan Hidup Jangka Panjang


Bantuan hidup jangka panjang merupakan pengelolaan intensif pasca
resusitasi termasuk resusitasi otak. Jenis pengelolaan yang diperlukan pasien
tergantung sepenuhnya pada hasil resusitasi. Yang termasuk bantuan hidup jangka
panjang adalah GHI RJPO yaitu :

7. Gauging
Langkah ini dilakukan untuk menentukan dan memberi terapi
penyebab henti jantung dan menilai tindakan selanjutnya, apakah penderita
dapat diselamatkan atau tidak. Pasien yang tidak mempunyai defisit neurologis
dan tekanan darah terpelihara normal tanpa aritmia hanya memerlukan
pemantauan

intensif

dan

observasi

terus-menerus

terhadap

sirkulasi

pernafasan, fungsi otak, ginjal dan hati. Pasien yang mengalami kegagalan satu
Modul XXI Skenario 6

24

atau lebih organ memerlukan bantuan ventilasi atau sirkulasi, terapi aritmia,
dialisis atau resusitasi otak.

8. Human Mentation
Mentasi manusia diharapkan dapat dipulihkan dengan tindakan
resusitasi otak yang baru. Tindakan-tindakan ini meliputi penggunaan agen
vasoaktif untuk memelihara tekanan darah sisitemik yang normal, penggunaan
steroid untuk mengurangi sembab otak, dan penggunaan diuretik untuk
menurunkan tekanan intrakranial. Obat yang dianjurkan adalah tiopental
dengan dosis 30 mg/kgBB dengan 1/3 dosis diberikan secara bolus intravena
dan 2/3 dosisi dengan infuse/drip lambat. Oksigen tambahan hendaknya
diberikan dan hiperventilasi derajat sedang juga membantu (PaCO2 25-30
mmHg) beberapa pengarang menganjurkan diberikan pada pasien yang
mengalami koma barbiturat dan hipotermia sedang, tetapi keuntungannya
masih kontroversial.

9. Intensive Care
Langkah ini merupakan pengelolaan intensif berorientasi otak pada
penderita dengan kegagalan organ multipel pascaresusitasi.

2.3.2.3 Indikasi
Indikasi dilakukannya resusitasi adalah henti nafas (apneu) dan henti jantung
(cardiac arrest)

Modul XXI Skenario 6

25

1. Henti Nafas (apneu)


Henti nafas dapat disebabkan oleh sumbatan jalan nafas atau akibat depresi
pernafasan, baik sentral maupun perifer. Bila terjadi henti nafas primer, jantung
dapat terus memompa darah selama beberapa menit selama ada sisa oksigen di
dalam paru yang beredar ke otak dan organ vital lain. Penanganan dini pada pasien
dengan henti nafas atau sumbatan jalan nafas dapat mencegah henti jantung.
Sumbatan jalan nafas dapat dikenali dengan cara:
a. Sumbatan jalan nafas lokal
Aliran udara di mulut atau hidung tidak dapat didengar atau dirasakan.
Pada gerakan nafas spontan terlihat retraksi supraklavikula dan sela iga
serta tidak ada pengembangan dada pada inspirasi
Ada kesulitan inflasi paru dalam usaha memberikan ventilasi buatan.
Pada bayi, sering ditemukan nafas paradoksal
b. Sumbatan jalan nafas parsial
i.
Terdengar suara nafas tambahan, yaitu bunyi dengkur (snoring) yang
menandakan sumbatan parsial hipofaring karena jaringan lunak,
misalnya jatuhnya dasar lidah, hipertrofi tonsil, dsb). Bunyi lengking
(crowing) yang menandakan laringospasme; bunyi kumur (gargling)
yang menandakan adanya benda asing berupa cairan; dan bunyi bengek
(wheezing) yang menandakan sumbatan jalan nafas bawah setelah
ii.

bronkiolus respiratorius.
Dapat juga disertai retraksi

Gejala akibat sumbatan jalan nafas yang segera dapat diketahui dari keadaan
klinis:

Modul XXI Skenario 6

26

Hiperkapnia, yaitu penurunan kesadaran. Dipastikan dengan peninggian

PCO2 arteri.
Hipoksemia, yaitu takikardi, gelisah, berkeringat atau sianosis. Pada
hipoksemia, terjadinya sianosis tergantung Hb reduksi >5g% akan terjadi
sianosis. Keadaan hipoksemia dipastikan dengan penurunan PO2 arteri.

2. Henti Jantung (cardiac arrest)


Bila terjadi henti jantung primer, oksigen tidak beredar dan oksigen yang
tersisa dalam organ vital akan habis dalam beberapa detik.
Henti jantung dapat disebabkan oleh faktor intrinsik atau ekstrinsik.
Faktor intrinsik dapat berupa penyakit kardiovaskuler seperti asistol, fibrilasi
ventrikel, dan disosiasi elektromekanik. Faktor ekstrinsik adalah kekurangan
oksigen akut (henti nafas sentral/perifer, sumbatan jalan nafas, dan inhalasi asap);
kelebihan dosis obat (digitalis, kuinidin, antidepresan trisiklik, propoksifen,
adrenalin dan isoporenalin); gangguan asam basa/elektrolit (hipo/hiperkalemia,
hipo/hipermagnesia, hiperkalsemia, dan asidosis); kecelakaan (syok listrik,
tenggelam, cedera kilat petir); refleks vagal; anestesi dan pembedahan; terapi dan
tindakan diagnostik medik dan syok.

Tanda-tanda henti jantung:

Hilang kesadaran dalam waktu 15-20 detik setelah henti jantung


Henti nafas (apneu) atau megap-megap (grasping) yang muncul 15-30 detik

setelah henti jantung


Terlihat seperti mati (death like appearance) dengan warna kulit pucat sampai

kelabu
Dilatasi pupil dalam waktu 45 detik setelah henti jantung

Modul XXI Skenario 6

27

Tidak teraba arteri besar (A. Femoralis dan A. Karotis pada orang dewasa atau
A. brakialis pada bayi dan anak kecil) yang segera muncul setelah henti
jantung
Diagnosis henti jantung sudah dapat ditegakkan bila pasien tidak sadar

dan tidak teraba denyut arteri besar. Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah :

Tekanan darah sistolik 50mmHg mungkin tidak menghasilkan denyut nadi

yang dapat diraba


Aktivitas EKG mungkin terus berlanjut meskipun tidak ada kontraksi

mekanis terutama pada asfiksia


Gerakan kabel EKG dapat menyerupai irama yang tidak mantap
Resusitasi harus dilakukan pada infark jantung kecil yang menyebabkan

kematian listrik, serangan Adams-Stokes, hipoksia akut, keracunan dan kelebihan


dosis obat-obatan, sengatan listrik, refleks vagal, tenggelam, kecelakaan lain yang
masih memberikan peluang hidup.
RJPO tidak dilakukan pada :

Kematian normal yang biasa terjadi pada penyakit akut atau kronis yang berat.
Pada keadaan ini denyut jantung dan nadi berhenti pertama kali pada suatu

saat.
Stadium terminal suatu penyakit yang tidak dapat disembunyikan lagi.
Bila hampir dipastikan bahwa fungsi serebral tidak akan pulih, yaitu setelah 1 jam terbukti tidak ada nadi pada normotermia tanpa RJPO.

2.3.2.4 Komplikasi
Penyulit yang dapat terjadi akibat RJPO adalah edema paru (46,0%), fraktur
iga (34,0%), dilatasi lambung (28,0%), fraktur sternum (22,2%), vomitus orofaring
(9,5%), vomitus trakea (8,9%), darah masuk ke dalam perikardium (8,1%), salah
Modul XXI Skenario 6

28

penempatan pipa endotrakea (3,9%), ruptur hepar (1,9%), aspirasi (1,3%), ruptur
lambung (0,1%), atau kontusio miokard (1,3%).

Modul XXI Skenario 6

29

BAB III
(PENUTUP)

3.1.

Kesimpulan
Dari hasil pembelajaran pada Small Group Discussion 06 dan pembelajaran
mandiri serta kuliah pakar, dapat disimpulkan bahwa resusitasi adalah semua tindakan
darurat untuk menghentikan proses yang menuju kematian (penyelamatan jiwa).
Beberapa tindakan penyelamatan jiwa ini adalah :
1. Basic Life Support (BLS)
2. Resusitasi Kardio Pulmoner (RKP)
3. Resusitasi Jantung Paru Otak (RJPO)
Jika pasien berhenti bernapas lebih dari 4-6 menit akan menyebabkan suplai
glukosa dan oksigen berkurang, dan jika tidak ada tindakan penyelamatan jiwa, napas
pasien akan berhenti (meninggal). Oleh karena itu, tindakan ini sangat penting untuk
dipelajari.

3.2.

Saran
Dalam penyelesaian makalah ini kami juga memberikan saran bagi para pembaca
dan mahasiswa melakukan pembuatan makalah berikutnya :

Kombinasikan metode pembuatan makalah berikutnya


Pembahasan yang lebih mendalam disertai data-data yang lebih akurat.
Peembahasan studi kasus dengan cara melakukan penelitian langsung ke lokasi

Modul XXI Skenario 6

30

Beberapa poin diatas merupakan saran yang kami berikan apabila ada yang ingin
melanjutkan penelitian terhadap makalah ini, dan demikian makalah ini disusun serta
bear harapan nantinya makalah ini dapat berguna bagi pembaca khususnya mahasiswa
Fakultas Kedokteran UISU semester VI 2014 dalam penambahan wawasan dan ilmu
pengetahuan.

Modul XXI Skenario 6

31

Anda mungkin juga menyukai