pemilu. Selain itu menurut Abdul Malik RUU ini bertujuan untuk menghasilkan kepala
daerah yang tidak terangkut masalah hukum karena adanyaseleks calon yang ketat
sebelumnnya, Pembahasan ruu pilkada ini telah dilaksanakan semenjak awal tahun 2012
namun, hingga saat ini pembahasan ruu ini belum juga rampung. Kerumitanserta tarik ulur
kepentingan dalam pembahasan ruu pilkada ini semakin lama semakin membuatruu pilkada
berujung pada kebuntuan. Namun, beberapa orang seperti Abdul Maluk Haramainanggota
komisi II DPR RI, Ramlan
Surbakti,
praktisi
dan
beberapa
serta
ilmuwan
ini
disahkan.RUU
segera
Pilkada
selama
ini.
Kada Jawa Barat.Selain itu RUU Pilkada ini juga membahas terkait dengan dinasti politik
kepala daerah.Pemerintah telah mengidentifikasi sebanyak 57 kepala daerah membangun
dinasti politik lokal.Dan sejauh ini sebagian besar kandidat yang kerabat petahana terpilih
kembali. Namun, menurutGanjar Pranowo anggota Komis II DPR menyatakan bahwa
bukanlah dinasti politik yangmenjadi masalah tetapi lebih maslah pada kompetensi dari calon
tersebut. Sehingga menurutganjar yang penting dari pencolanan adalah kompetensi dari calon
itu sendiri. Ada jugamengenai isu pemisahan wewnang antara MK dan MA dalam
penyelesaian berbagai masalah sengketa pemilu. Adapula Isu mengenai Wakil Gubernur dan
bupati/walikota merupakankalangan birokrat. Usulan ini mencuat setelah beberapa kasus
muncul mengenai pasangangubernur dan bupati/walikota serta wakilnya tidak paham dengan
alur birokrasi, mereka terpilihkarena elektabilitas yang tinggi namun tidak disertai dengan
kemampuan politik dan
birokrasiyang
menjadi
pembicaraan
akhir-akhir
mengenai
wacana
Bupati/Walikota
tidak
dipilih
melainkan
awalnya
atau
secara
dipiliholeh
dalam
RUU
pemilihan
Gubernur yang
langsung
DPRD.
Pada
Pilkada Bab 2
Gubernur
dipiliholeh
Provinsi scara
DPRD
bebas,
jujur,
rahasia dan adil. Namun, hal inimendapatkan protes dari banyak pihak maka panitia
mengubahnya dengan Bupati/Walikota yangdipilih oleh DPRD. Namun tetap saja, keputusan
ini masih menuai protes. PasalnyaDjohermansyah dilansir dalam republika.co.id menyatakan
bahwa perubahan usul itu terkaitdengan usulan penambahan wewenang terhadap Gubernur,
sehingga menyatakan gubernur harusdipilih secara langsung sedangkan Bupat/Walikota lebih
baik dipilih oleh DPRD.
Penambahan kewenangan yang dimaksudkan adalah pemberian sejumlah izin
pengelolaan sumberdaya dan penertibaban izin investasi kehutanan, pertambangan,
perkebunan, dan perikanan. Adapun bupati/walikota diberi kewenangan untung menangani
pelayanan public seperti pendidikan,kesehatan, kependudukan, pekerjaan umum, dan
perhubungan.Alasan kuat dari wacana pemilihan Gubernur atau bupati/walikota dipilih oleh
DPRDadalah terkait efisiensi dan penghematan biaya. Wakil ketua DPR RI Priyo Budi
Santoso dilansir dalam metrotvnews.com lebih cenderung untuk mengabaikan masalah
efesiensi dan penghematan biaya melalui pemilihan Gubernur atau Bupati/walikota melalui
DPRD, dia lebih penghematan biaya dan efisiensi cukup dilaksanakan dengan cara
pelaksanaan Serentak dariPemilukada. Dalam pernyataanya priyo menuturkan bahwa dia
lebih memilih untuk pemilihansecara langsung keduanya baik gubernur atau bupati/walikota.
Namun, bila disuruh memilih priyo lebih memilih untuk mengadakan pemilu kada langsung
untuk bupati/walikota dan pemilihan oleh DPRD untuk gubernur. Hal ini dapat dipahami
karena tujuan dari desentralisasidan politik lokal adalah agar pemerintahan lebih tanggap
terhadap kepentingan masyarakatdidaerah masing-masing, maka yang terbaik adalah melalui
mekanisme pemilihan secaralangsung pada tingka bupati/walikota dengan segala
konsekuensinya.
Pendapat priyo ini diperkuat dnegan pendapat dari ketua DPD RI Imam Gusman
yangdilansir dalam suaramerdeka.com yang merekomendasikan pemilukada gubernur dan
bupati/walikota dilakukan secara langsung atau dipilih rakyat. Menurutnya pemilukada
mampumendekatkan rakyat karena terjadi transfer kekuasaan secara langsung. Dia
mengatakan bahwadengan pemilukada rakyat bisa memilih dan menilai kinerja pemimpin
atau wakilnya. Sehingga,istilanya, tidak berlaku ungkapan memilih kucng dalam karung,
karena seleksi dilakukan secaraterbuka.
we can have election without democracy, but wecannot have democracy without
election
Setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan
Wali Kota menjadi undang-undang, beberapa waktu lalu, hampir semua partai politik pada
umumnya dan para bakal calon kepala daerah sudah berancang-ancang.
Yang paling kentara adalah bagaimana caranya menyiasati persyaratan "politik
dinasti", sebagaimana tercantum dalam Pasal 7 Huruf r yang menyatakan tidak memiliki
konflik kepentingan dengan petahana bagi calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah
(gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota)
dengan penjelasan, yaitu yang memiliki ikatan perkawinan dan darah lurus ke atas, ke bawah,
dan ke samping. Yang termasuk dalam persyaratan tersebut adalah suami/ istri, orangtua,
mertua, paman, bibi, anak, menantu, adik, kakak, dan ipar kecuali jeda satu periode (lima
tahun).
Reaksi dan upaya siasati celah
Reaksi paling pertama adalah dengan mengajukan uji materi atas ketentuan Pasal 7
Huruf r tersebut ke Mahkamah Konstitusi karena dinilai membatasi hak politik seseorang
untuk menjadi calon kepala daerah atau calon wakil kepala daerah, baik di level provinsi
maupun kabupaten/kota, dan melanggar konstitusi terutama Pasal 28D Ayat (3) UUD Negara
RI Tahun 1945 yang menyebutkan bahwa setiap warga negara berhak memperoleh
kesempatan yang sama dalam pemerintahan.
Cara ini sangat konstitusional karena memang secara yuridis normatif, mekanisme uji
materi adalah saluran paling konstitusional untuk menguji ketentuan dalam undang-undang
yang sudah tercantum dalam lembaran negara. Proses berikutnya tentu Mahkamah Konstitusi
akan menguji apakah ketentuan tersebut, yakni Pasal 7 Huruf r UU No 8/2015, yang
menyatakan bahwa "tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana" disertai
penjelasannya.
Selanjutnya, dengan ketentuan tersebut juga akan muncul beberapa kondisi (jika tetap berlaku
atau tetap dipertahankan oleh Mahkamah Konstitusi) bagaimana kiranya jika para petahana,
baik kepala daerah maupun wakil kepala daerah yang masih menjabat, mundur sebelum masa
jabatannya berakhir sehingga kerabatnya bisa mencalonkan diri menjadi calon kepala daerah
atau calon wakil kepala daerah pada pilkada serentak tahun 2015 ini?
Siasat lainnya adalah bagaimana jika kepala daerah petahana yang saat ini berstatus sebagai
terpidana dan telah memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht) dan sisa masa jabatannya
sekitar dua tahun lagi, lalu kerabatnya, misal anaknya, akan maju dalam pilkada mendatang?
Masih banyak lagi kondisi lainnya yang bisa dimanfaatkan para pihak yang berkepentingan
sebagai celah untuk bisa mengajukan para kerabat, termasuk jika kerabat kepala daerah akan
maju menjadi wakil kepala daerah.
Berbagai kondisi di atas dapat dilihat dari dua sisi, yaitu sisi yuridis formal (ketentuan
normatif dalam undang-undang) yang memang tidak bisa mengatur secara detail berbagai
kondisi di atas serta sisi kepantasan politik, yakni pertimbangan berdasarkan etika dengan
melihat pengalaman selama ini yang terjadi di beberapa daerah dengan munculnya fenomena
politik dinasti yang dinilai "mengurangi makna demokrasi" serta menjadi kritik masyarakat
sekaligus mengusik nilai-nilai demokrasi universal yang mengedepankan asas keadilan dan
kesetaraan bagi semua warga negara untuk menjadi calon kepala daerah melalui pemilihan
secara langsung.
Dalam konteks membangun demokrasi yang substansial, seharusnya kita harus
mengedepankan pertimbangan etika dan kepantasan politik ketimbang mencari celah atas
norma undang-undang yang tidak bisa mengatur secara rinci dan akan tetap memiliki celah
untuk disiasati. Padahal, kita semua tahu bahwa adanya pengaturan dalam Pasal 7 Huruf r
dalam rangka memperbaiki praktik yang berlangsung selama ini. UU Pilkada sejatinya dalam
rangka memperbaiki demokrasi lokal yang selama ini memiliki kekurangan, terutama dalam
hal munculnya fenomena politik dinasti di sejumlah daerah.
Untuk kita ketahui, politik dinasti dapat diartikan sebagai sebuah kekuasaan politik
yang dijalankan sekelompok orang yang masih terkait dalam hubungan keluarga. Politik
dinasti lebih identik dengan kerajaan sebab kekuasaan akan diwariskan secara turun-temurun
dari ayah kepada anak atau kerabatnya sesuai tata cara yang diatur dalam kerajaan tersebut
agar kekuasaan akan tetap berada di lingkaran keluarga.
Secara umum, setiap orang berhak menjadi calon kepala daerah atau wakil kepala
daerah yang juga ditegaskan dalam persyaratan Pasal 7 dengan pernyataan, "Warga negara
Indonesia yang dapat menjadi calon gubernur dan calon wakil gubernur, calon bupati dan
calon wakil bupati, serta calon wali kota dan calon wakil wali kota adalah yang memenuhi
persyaratan sebagai berikut: .", artinya warga negara tersebut harus memenuhi beberapa
persyaratan yang ditentukan undang-undang.
Berbagai persyaratan tersebut dimaksudkan untuk menghasilkan calon pemimpin daerah
yang memiliki kemampuan serta menguasai ilmu dan seni memimpin, terutama bagaimana
menyusun pola kegiatan yang efektif, menerapkan pola kekuasaan yang tepat dari sisi waktu
dan tindakan serta lingkungan, memiliki pola kepemimpinan yang dapat menggerakkan
bawahan dan masyarakat sehingga mencapai tujuan organisasi dan peningkatan kehidupan
masyarakat (Kaloh, 2009: 7).
PATRIMONIALISTIK(diakses Senin, 6 April 2015 | 16:12 WIB)
Dalam praktik penyelenggaraan pemilihan kepala daerah sejak tahun 2005, muncul satu
fenomena hadirnya politik dinasti, yaitu adanya kesinambungan pemerintahan dari lingkaran
satu keluarga baik orangtua-anak, suami-istri, kakak-adik, dan lain-lain, bahkan untuk satu
wilayah provinsi dengan melihat fenomena bupati/wali kota memiliki hubungan kekerabatan
dengan gubernur. Tidak semua fenomena ini menghadirkan praktik yang jelek karena adanya
kemajuan dan kesinambungan pembangunan di daerahnya. Namun, tidak sedikit justru
menimbulkan persoalan baru karena adanya hegemoni atas berbagai sumber kekuasaan
politik, ekonomi, dan sosial di masyarakat.
Fenomena inilah yang kemudian menjadi kritik masyarakat atas berbagai fakta di lapangan
yang mengarah pada terciptanya sebuah dinasti politik di daerah. Caranya, dengan
melanggengkan kekuasaan keluarga melalui keikutsertaannya dalam penyelenggaraan
pemilihan kepala daerah.
Meskipun cara seperti itu tidak dapat disalahkan, baik secara aturan (sebelum UU No 8/2015
lahir) maupun secara proses demokrasi, faktanya persoalan politik dinasti tersebut telah
mencederai prinsip demokrasi itu sendiri. Ari Dwipayana pernah menyatakan bahwa tren
politik kekerabatan atau politik dinasti itu sebagai gejala neopatrimonialistik. Benihnya sudah
lama berakar secara tradisional, yakni berupa sistem patrimonial, yang mengutamakan
regenerasi politik berdasarkan ikatan genealogis ketimbang merit system, dalam menimbang
prestasi.
Menurut dia, kini disebut neopatrimonial karena ada unsur patrimonial lama, tetapi dengan
strategi baru. Anak atau keluarga para elite masuk institusi yang disiapkan, yaitu partai
politik. Oleh karena itu, patrimonialistik ini terselubung oleh jalur prosedural. Dengan
kondisi tersebut, harus menjadi perhatian semua bahwa meskipun aturan dibuat seketat apa
pun tetap berpotensi untuk diabaikan melalui cara-cara atau siasat yang dianggap tidak
melanggar ketentuan perundang-undangan.
Salah satu alasan mengapa ketentuan itu lahir yang dibahas pada saat DPR dan pemerintah
membahas RUU Pilkada periode 2009-2014 (serta tercantum dalam Perppu No 1/2014) yang
merupakan RUU usul pemerintah adalah karena adanya dampak atas berlangsungnya apa
yang disebut politik dinasti tersebut. Di daerah yang berlangsung politik dinasti tersebut,
terlihat adanya politik hegemoni di kalangan keluarga saja meskipun terkadang sang
pengganti, baik anak maupun istri, tidak memiliki kemampuan yang sama dalam hal
kepemimpinan.
Akhirnya, sang pengganti, baik anak maupun istri, melaksanakan pemerintahan atas "kendali"
sang ayah atau suami. Kondisi seperti ini kerap kali memunculkan situasi tidak kondusif
dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah tersebut karena dikelola tidak berdasarkan
kaidah pemerintahan yang baik. Padahal, seorang pemimpin termasuk di daerah merupakan
pengendali roda organisasi pemerintahan di daerah yang berujung pada upaya peningkatan
kesejahteraan rakyat dengan kekuasaan yang melekat dalam dirinya.
Ke depan, setelah diundangkannya UU No 8/2015, diharapkan praktik politik dinasti yang
menghasilkan dampak buruk akan hilang dan diganti dengan sistem yang mampu
menghasilkan pemimpin daerah yang berkualitas. Selain itu, undang-undang ini tidak
menutup secara keseluruhan bagi kerabat petahana, tetapi diberikan jeda satu periode
pemerintahan. Pada periode berikutnya, yang bersangkutan boleh ikut dalam kontestasi
pemilihan kepala daerah.
DAFTAR PUSTAKA
Kaelan, 2010, Etika Politik Berdasarkan Pancasila, Makalah Nara Sumber Dalam
lkada.dan.Parpol.Akan.Ganggu.Tahapan.Pilkada.Serentak
https://www.academia.edu/3654706/Wacana_Pemilihan_Gubernur_Bupati_Walikota_Ol
eh_DPRD_dalam_RUU_PILKADA
http://nasional.kompas.com/read/2015/04/06/16125681/Politik.Dinasti.dan.UU.Pilkada
ttp://jaringnews.com/politik-peristiwa/wakil-rakyat/38142/pacu-jantung-komisi-ii-dprtuntaskan-ruu-pemilukada