Anda di halaman 1dari 11

PENERAPAN KADAR CRP SECARA KUALITATIF

Oleh :
Nama
Nim
Kelompok
Asisten

: Annistia Rahmadian U.
: B1J008083
:2
: Fahmi Purnamasari

LAPORAN PRAKTIKUM IMUNOLOGI

KEMENTRIAN PENDIDIKAN NASIONAL


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS BIOLOGI
PURWOKERTO
2011

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Imunitas adalah kemampuan tubuh untuk menolak substansi asing dan selsel. Respon non spesifik merupakan garis pertahanan tubuh yang pertama. Respon
yang sangat spesifik merupakan garis pertahanan tubuh yang tergerak yang mengunci
setiap ancaman. Respon imun meliputi respon imun spesifik maupun non spesifik.
Respon imun non spesifik memblokir masuknya dan menyebarnya gen-gen penyebab
penyakit, sedangkan respon spesifik melibatkan dua jenis respon yaitu respon yang
diperantarai antibodi dan sel.
CRP (C-Reaktif Protein) merupakan salah satu protein fase akut yang akan
meningkat kadarnya pada keadaan infeksi. CRP dapat meningkat 100 kali atau lebih
dan berperan dalam imunitas non-spesifik yang dengan bantuan Ca 2+ dapat mengikat
berbagai molekul antara lain fosforilkolin yang ditemukan pada permukaan bakteri
atau jamur, sehingga mengaktifkan komplemen (jalur klasik). CRP juga mengikat
protein C pneumococcus. Oleh karena itu, CRP berupa opsonin yang memudahkan
fagositosis. Adanya CRP yang tetap tinggi menunjukkan infeksi yang persisten
(Baratawidjaya, 2002).
CRP dibentuk oleh badan pada saat infeksi. Peranannya ialah sebagai
opsonin dan dapat mengaktifkan komplemen. CRP dengan bantuan Ca dapat
mengikat berbagai molekul yang terdapat pada banyak bakteri dan jamur. Aktivitas
CRP beserta Fcy reseptor berperan dalam memerangi inflamasi dan melingdungi diri
dari penyakit khusus autoimun (Supardi dan Sukamto, 1999).
Metode-metode yang lazim untuk mengukur CRP adalah aglutinasi, fiksasi
komplemen,

antibodi fluorescens, presipitasi dalam cairan atau gel dan

radioimmunoassay, penurunan kadar CRP serum dapat menunjukkan terapi yang


berhasil pada pielonefritis akut. Peningkatan mendadak kadar CRP serum merupakan
indikasi penolakan jaringan transplan pada pasien-pasien dengan transpalatasi ginjal
(Speicher and Smith, 1996).
B. Tujuan
Tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui penetapan kadar CRP
secara kualitatif.

II. TINJAUAN PUSTAKA


C-Reactive Protein (CRP) merupakan serum protein fase akut dan
merupakan anggota dari kelompok protein pentraksin yaitu protein yang berperan
dalam pertahanan yang mendahului fungsi adaptif sistem imun. Interaksi CRP
dengan komplemen dan Fcy reseptor memiliki peranan penting untuk menambah
apresiasi dari aliran regulatori CRP dalam inflamasi dan autoimunitas. Aktivitas CRP
beserta Fcy reseptor berperan dalam memerangi inflamasi dan melingdungi diri dari
penyakit khusus autoimun. CRP diketahui bahwa mempunyai peran penting dalam
proses atherosklerosis (Stuveling et al., 2000).
CRP dibentuk oleh badan pada saat infeksi. Peranannya ialah sebagai
opsonin dan dapat mengaktifkan komplemen (Supardi dan Sukamto, 1999). Sistem
komplemen secara langsung membunuh mikroba, respon suplemen inflamatori dan
bekerja dengan respon ini. Respon komplemen melengkapi kerja sistem imun.
Protein-protein komplemen dibentuk dalam hati dan menjadi aktif dalam suatu
tahapan (C1 mengaktifasi C2 dan seterusnya) contohnya CRP (Guyton, 1990).
CRP adalah suatu indikator peradangan yang dini dan lebih dapat
diandalkan dibanding reaktan-reaktan fase akut serum lainnya. Dari diagnosis
banding pneumonia bacterial versus virus, CRP serum dilaporkan bermanfaat karena
kadarnya meningkat secara dramatik pada infeksi bakteri (Speiser dan Smith, 1996).
CRP biasanya ditemukan dalam konsentrasi rendah dalam serum, yang kadarnya
cepat meningkat dalam beberapa jam setelah infeksi, kerusakan jaringan. Di samping
bersifat imunosupresif, CRP dapat meningkatkan fagositosis, menghambat fungsi
trombosit dan mengaktivasi komplemen. Fungsinya tidak diketahui, tetapi telah
disarankan bahwa CRP mencegah terjadinya autoimunitas terhadap antigen
intraseluler yang dikeluarkan oleh jaringan rusak (Tizard, 1982).
C-Reactive Protein (CRP) yang merupakan protein yang disintesis di hati
sebagai respon terhadap berbagai rangsang inflamasi (Susanto dan Adam, 2009).
Respon inflamatori sering kali sangat kuat untuk menghentikan penyebaran agenagen penyebab penyakit seperti virus, bakteri dan fungi. Responnya dimulai dengan
pelepasan sinyal kimiawi dan mengaktifasi dengan pembersihan oleh sel monosit.
Jika sistem ini tidak cukup kuat menahan penyakit maka sistem komplemen dan
respon imun akan bekerja (Ganong, 1983).

III. MATERI DAN METODE


A. Materi
Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah mikropipet 20l, plate
CRP dan batang pengaduk, sedangkan bahan-bahan yang digunakan yaitu antihuman
CRP antibodi, plasma sampel, kontrol negatif, dan kontrol positif.

B. Metode
Metode yang dilakukan dalam praktikum ini secara skematis digambarkan
sebagai berikut :
Serum

(+)

(-)

Teteskan serum darah, reagen


kontrol (+), reagen kontrol (-)

Teteskan anti CRP lateks masingmasing 20L

Diamati hasilnya
(aglutinasi atau tidak)
Dihomogenkan selama 2 menit

Metode yang dilakukan dalam praktikum ini diuraikan sebagai berikut :


1. Reagen CRP antibodi dikocok pelan-pelan sampai homogen.
2. Plate CRP dipipet ditempat yang berbeda yaitu :
a.

Plasma sampel sebanyak 20 l

b.

R+ : kontrol positif sebanyak 1 tetes (20 l)

c.

R - : kontrol negatif sebanyak 1 tetes (20 l)

3. Tiap lubang plate ditetesi reagent lateks CRP masing-masing 1 tetes (20 l)
4. Cairan di setiap tempat dicampur dengan pengaduk berbeda dan cairan
dilebarkan sepanjang sisi lingkaran, dihomogenkan selama 2 menit.
5. Diamati terjadinya aglutinasi di setiap tempat lalu hasil pengamatan dicatat.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil
Tabel 1. Hasil Uji CRP
Kelompok
1
2
3

Hasil
tidak terjadi aglutinasi (-)
Aglutinasi (+)
tidak terjadi aglutinasi (-)

Gambar 1. Hasil Uji CRP


Keterangan Gambar :
Kolom 1 : Serum darah praktikan
Kolom 2 : Reagen positif (+)
Kolom 3 : Reagen negatif (-)

B. Pembahasan
CRP merupakan salah satu protein fase akut yang termasuk ke dalam sistem
imun non-spesifik humoral (molekul terlarut). Kadar CRP akan meningkat pada
keadaan infeksi (peradangan dan kerusakan jaringan). Peningkatan kadar CRP
sampai ratusan kali antara lain terjadi pertama karena infeksi bakteri. Dalam waktu
kurang lebih 6 jam kadar CRP akan meningkat sampai seratus kali lipat dari keadaan
normal (kadar CRP normal 0,07-8,2 mg/dl). Kadar tertinggi tercapai setelah lebih
kurang 3 hari dan setelah 2 minggu akan kembali normal. CRP disintesis dalam
organ hati. Peningkatan CRP di dalam sel parenkim hati diduga dicetuskan oleh
interleukin I yang berasal dari makrofag atau monosit yang terstimulasi. CRP akan
berinteraksi dengan protein-protein komplemen untuk melawan infeksi. Penetapan
kadar CRP sangat berguna karena dapat mengetahui perbaikan atau pengurangan
keadaan peradangan atau infeksi dengan cepat (Soebandrio dkk., 1990).
Banyak manfaat dari uji CRP untuk mengetahui berbagai macam penyakit
akibat infeksi maupun peradangan, dilihat dari peningkatan konsentrasinya. Dalam
diagnosis banding bakteri Pneumonia, CRP serum dilaporkan bermanfaat untuk
membedakan kolitis ulseratif dari penyakit Crohn. Lupus eritematosus sistemik,
sebaliknya dari artritis reumatoid memperlihatkan sedikit atau tidak ada respon CRP
kecuali ada penyakit infeksi berulang. Pada infark miokard suatu peningkatan tajam
kadar CRP serum biasanya sejajar dengan luasnya enfark. Pada pasien luka bakar,
peningkatan CRP serum berkaitan dengan beratnya luka bakar. Penurunan kadar CRP
serum dapat menunjukkan terapi yang berhasil pada pielonefretis akut. Peningkatan
mendadak kadar CRP serum merupakan ginjal (Speicher dan Smith, 1996).
Sensitifitasnya yang tinggi menyebabkan pemeriksaan Hs-CRP dapat
digunakan untuk memperkirakan resiko penyakit kardiovaskular dan memperkirakan
adanya inflamasi aktif akibat infeksi bakteri atau virus dan trauma. Penelitian
epidemiologis melaporkan bahwa risiko penyakit kardio vaskuler (CVD)
digolongkan ke dalam rendah, sedang, dan tinggi jika kadar high sensitivity Creactive protein (hsCRP) masing masing <1 mg/L, 1 3 mg/L, dan > 3 mg/L
(Susanto dan Adam, 2009). Wakatsuki et al. (2002) menambahkan bahwa uji CRP
juga dapat digunakan dalam terapi estrogen pada wanita menopause. Induksi
estrogen akan meningkatkan CRP karena terdapat perubahan secara bebas
interleukin-6 (IL-6) dimana terjadi stimulasi dari sekresi hati.

Substansi C atau polisakarida adalah antigen somatik dimana spesies


spesifik asam teichoic polimer mengandung phosporilcolin sebagai determinan
antigen terbesar dan presipitasinya dengan serum non-spesifik beta globulin disebut
C-Reactive Protein (CRP). CRP mningkat pada individu yang mengalami gangguan
inflamatori akut. Substansi C pada CRP mengaktivasi presipitasi komplemen melalui
jalan pintas yang berfungsi sebagai opsonin untuk memfasilitasi fagositosis secara
cepat pada infeksi pneumococcal (Yotis dan Friedman, 2001). Indikator adanya
antigen C untuk pneumococcal ditunjukkan dengan adanya CRP pada serum pasien
dengan infeksi akut dan penyakit lainnya. Uji CRP digunakan untuk indikator nonspesifik adanya proses patologi yang pasti. CRP bukan merupakan antibodi dan
reaksinya dengan substansi C tidak menggambarkan reaksi antigen-antibodi (Rose et
al., 1979).
Sistem komplemen protein berikatan dengan bacterium yang menyebabkan
terbukanya lubang dalam membran sistemnya sehingga cairan dan garam bergerak
masuk membengkakannya dan memecahkan sel. Lima protein akhir membentuk
suatu kelompok kompleks membrane attack yang membenamkan dirinya sendiri ke
dalam membran plasma penyerangnya. Garam-garam akan memasuki penyerangnya,
membantu air menyeberang membran pembengkakannya dan memecahkan sel
mikroba. Komplemen juga berfungsi dalam respon imun dengan penandaan bagian
permukaan luar penyerang sehingga mudah diserang oleh fagosit (Baratawijaya,
2002).
Hasil praktikum menunjukkan bahwa sampel serum kontrol negatif yang diuji
atau pada lingkaran 1 tidak terbentuk gumpalan-gumpalan putih (aglutinasi) sehingga
menunjukkan hasil negatif. Lingkaran 2 ditetesi dengan sampel kontrol positif,
terjadi aglutinasi sehingga dapat diketahui bahwa kontrol mengandung konsentrasi
CRP dalam batas normal di dalamnya. Lingkaran ke-3 ditetesi dengan sampel plasma
20 l tidak terbentuk gumpalan-gumpalan putih (tidak terjadi aglutinasi). Hal ini
berarti bahwa di dalam plasma tidak mengandung konsentrasi CRP yang
menandakan tidak terjadinya peradangan infeksi atau kerusakan jaringan. Menurut
Speicher dan Smith (1996), dalam konsentrasi CRP dalam keadaan normal adalah
0,0008-0,004 g/L atau 0,08-4 mg/dL sedangkan dalam keadaan peradangan akut,
konsentrasinya kira-kira 0,4 g/l atau 40 mg/dL dengan waktu respon CRP yaitu
antara 6-10 jam. Keadaan peradangan akut akan terjadi aglutinasi bila diadakan uji
CRP dengan mencampurkan serum dengan reagen CRP. Aglutinasi ini terjadi karena

antigen pada serum terikat pada suatu partikel yaitu pada partikel lateks CRP. Reaksi
aglutinasi ini termasuk reaksi sekunder imunologik humoral. Kreirer dan Mortensen
(1990) menambahkan bahwa pembentukan gumpalan pada proses aglutinasi serupa
dengan yang terjadi pada proses presipitasi. Reaksi presipitasi dapat diubah menjadi
reaksi aglutinasi dengan penyerapan larutan aringen yang terkandung dalam eritrosit.
Partikel lateks dilapisi oleh IgG sebagai contohnya digunakan sebagai antigen dalam
uji aglutinasi untuk diagnosis penyakit seperti artritis reumatoid.
Peradangan atau infeksi kronis dihipotesiskan dapat merupakan asosiasi dari
perkembangan kanker payudara. Bagaimanapun juga, hubungan antara C-reactive
protein CRP sebagai alat penanda adanya system inflamasi dan resiko kanker
payudara jarang ditemukan. Penelitian mengenai kesehatan wanita, 27919 wanita
sehat berumur kurang lebih 45 tahun yang bebas dari kanker dan penyakit
kardiovaskular memiliki tingkatan plasma CRP yang terukur pada baseline. Selama
10 tahun penelitian, 892 wanita mengalami perkembangan kanker payudara (Zhang,
2007).

V. KESIMPULAN DAN SARAN


A. Kesimpulan
Dari hasil dan pembahasan dapat disimpulkan beberapa hal antara lain :
1. Kadar CRP meningkat saat terjadi infeksi, peradangan akut ataupun kerusakan
jaringan.
2. Terjadinya aglutinasi saat pencampuran antara reagen CRP dengan antigen dalam
serum.menunjukkan kadar CRP yang tinggi (di atas kadar normal)
3. Reaksi dalam CRP merupakan reaksi sekunder imunologik humoral
B. Saran
Saran yang dapat diberikan adalah perlu adanya pendampingan yang lebih
mengenai pengamatan aglutinasi CRP ini.

DAFTAR REFERENSI
Baratawidjaya, K.G. 2002. Imunologi Dasar Edisi Ketiga. Fakultas Kedokteran UI,
Jakarta.
Ganong, W. F. 1983. Fisiologi Kedokteran. EGC, Jakarta.
Guyton, A. C. 1990. Human Physiology and Mechanism of Disease 3rd Edition.
Academic Press Inc, New York.
Kreirer, J.P and R.J Mortensen.1990. Inection, Resistance and Immunity. Harper and
Row Publishers Inc, New York.
Rose, N.R, F Milgrom, and C.J.V Oss. 1979. Principles of Imunology. Macmillan
Publishing Co. Inc, New York.
Zhang, S. M., Jennifer Lin, Nancy R. Cook, I-Min Lee, JoAnn E. Manson, Julie E.
Buring, and Paul M. Ridker. 2007. C-Reactive Protein and Risk of Breast
Cancer. J Natl Cancer Inst, 99 : 890 894.
Soebandrio, A, Suharto, dan Sujudi. 1990. Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran Edisi
Revisi. UI Press, Jakarta.
Speicher, E.C dan J.W Smith Jr. 1996. Pemilihan Uji laboratorium yang Efektif.
ECG, Jakarta.
Stuveling, E. M, Hillage, H. L, Bakker, S. J, Gans RO, De Jong PE, and De Zeeuw
D. 2000. C-Reactive Protein is Associated With Renal Function
Abnormalities In A Non-Diabetic Population, http://www.ncbi.nlm.nih.gov
Supardi, I. dan Sukamto. 1999. Mikrobiologi dalam Pengolahan dan Keamanan
Pangan. Alumni, Bandung.
Susanto H. K. dan John M. F. Adam. 2009. Plasminogen Activator Inhibitor-1 and
High Sensitivity C-Reactive Protein in Obesity. The Indonesian Journal of
Medical Science, 2 (1) : 23-31.
Tizard, S. 1982. Pengantar Imunologi Veteriner. Airlangga University Press,
Surabaya.
Wakatsuki, A, N Ikenoue, K shinonara, K Watanabe, and T fukaya. 2002. Effect of
Lower Dosage of Oral Conjugated Equine Estrogen on Inflamatory markers
and Endothelia Function in Healthy Postmenopausal Women. Department of
Obstretics and Gynecology. Kochi Medical School, Kochi.
Yotis, W. W. and H. Friedman. 2001. Appleton and Langes Review of Microbiology
fourth Edition. McGraw-Hill Companies Inc, New York.

Anda mungkin juga menyukai