Anda di halaman 1dari 3

Kapan Perempuan Hamil Membutuhkan Psikolog?

Seseorang yang dihadapkan pada beban-beban atau situasi-situasi yang tidak diingini/disenangi dan
tidak berani atau tidak mampu untuk menolaknya sering mencoba melarikan diri dari kenyataan.
Pelarian itu bisa dalam bentuk berpura-pura sakit (sadar) atau menderita gangguan psikosomatik, yaitu
gangguan fisik akibat mekanisme yang terjadi di bawah kontrol kesadarannya.
Kehamilan adalah peristiwa penting bagi seorang perempuan mana pun. Saat itulah tugas mulia menjalankan
amanat Tuhan dimulai. Diinginkan atau tidak, perempuan atau calon ibu yang hamil akan gelisah dengan
kesehatannya. Lazimnya, berbagai upaya dilakukan untuk menjaga kesehatannya.
Di dunia kedokteran, kesehatan ibu dan bayi yang dikandung itu sudah lama mendapat perhatian, khususnya
bidang spesialisasi kebidanan dan kandungan (obstetri dan ginekologi). Awalnya, bahkan hingga permulaan
abad ke-20, yang menjadi perhatian utama dari spesialisasi obstetri dan ginekologi adalah faktor
organobiologik.
Kalau ada ibu hamil memeriksakan kandungannya, yang akan diperiksa hanya semata-mata faktor fisiknya
saja, namun makin lama kemudian makin disadari bahwa aspek psikis (kejiwaan) tidak dapat diabaikan dan
dipisahkan dari masalah kesehatan tubuh, termasuk kesehatan ibu hamil. Bahkan, kadang-kadang masalah
kejiwaan merupakan hal yang menentukan bagi kesehatan tubuh dan berperan dalam proses penyembuhan.
Hudono, ahli obstetri dan ginekologi menyatakan bahwa beberapa penyakit atau komplikasi dalam obstetri
dan ginekologi ditimbulkan akibat gangguan psikologik/ emosional atau diperberat karenanya. Sebagai latar
belakang timbulnya penyakit atau komplikasi pada ibu hamil dapat dijumpai berbagai tingkat
ketidakmatangan dalam perkembangan emosional dan psikososial, bersama-sama dengan derajat kecakapan
seseorang untuk menyesuaikan diri dengan situasi yang dihadapi, khususnya dalam hubungannya dengan
keperempuanan, kehamilan, persalinan dan keibuan.
Seseorang yang dihadapkan pada beban-beban atau situasi-situasi yang tidak diingini/disenangi dan tidak
berani atau tidak mampu untuk menolaknya, sering mencoba melarikan diri dari kenyataan. Pelarian itu bisa
dalam bentuk berpura-pura sakit (sadar) atau menderita gangguan psikosomatik, yaitu gangguan fisik akibat
mekanisme yang terjadi di bawah kontrol kesadarannya.
Pada ibu hamil, konflik batin yang dirasakan bisa beragam. Apalagi sejak zaman dulu rasa nyeri pada
persalinan sering menjadi pokok pembicaraan di antara perempuan sehingga banyak calon ibu muda
terutama, menghadapi kehamilan dan proses persalinannya dengan perasaan cemas dan takut.
Keadaan itu akan sangat mempengaruhi kelancaran proses persalinan. Read dalam penelitiannya mencoba
menjawab pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut: "Apakah satu persalinan berlangsung lancar karena si
perempuan tenang ataukah ia tenang karena persalinannya lancar?" lalu "Apakah seorang perempuan
menderita nyeri dan merasa ketakutan karena persalinannya sukar ataukah persalinannya sukar dan nyeri
karena ia ketakutan?"
Ternyata, kesimpulan penelitian itu sangat menarik, yaitu bahwa ketakutanlah faktor utama yang
menyebabkan rasa nyeri pada persalinan yang seharusnya normal, tanpa nyeri berlebihan. Selanjutnya rasa
takut dapat mempunyai pengaruh tidak baik terhadapnya dan lancarnya pembukaan jalan lahir.
Penelitian Read tersebut menjadi momentum terhadap munculnya upaya yang dikenal dengan nama
psychoprophylaxis yang bertujuan mendidik calon ibu dalam kehamilannya untuk menghilangkan rasa
ketakutan sebagai persiapan mental melahirkan dengan lancar.
Dalam perkembangannya peran psikolog mulai terlibat aktif guna persiapan mental ibu-ibu hamil. Lalu
mulai kapan ibu hamil itu membutuhkan psikolog? Jawabnya, sedini mungkin pada saat seorang perempuan
mengetahui dirinya hamil guna membangun persepsi positif terhadap kehamilannya, mendapatkan
pendampingan untuk menyalurkan kegelisahan, kecemasan, dan ketakutan yang berkaitan dengan
kehamilannya atau calon anak yang akan dilahirkannya.
Program-program penanganan psikologis ibu hamil terbagi dalam beberapa periode, yaitu sebagai berikut.
Pertama, pada kehamilan trimester I (tiga bulan pertama). Biasanya pada periode ini ibu hamil akan
menderita rasa mual dan muntah-muntah. Tetapi, pada beberapa perempuan dapat terjadi muntah-muntah
berlebihan yang selain disebabkan oleh kondisi keasaman lambung dan hormon, dipicu pula oleh reaksi
psikologis-emosional. Misalnya, ketidakmatangan psikoseksual, problem-problem psikososial seperti
konflik dengan suami atau keluarga/mertua, kesulitan sosio-ekonomi, hamil pranikah atau ketakutanketakutan akan bayangan persalinan.
Reaksi psikologis dapat memunculkan kecemasan, kegusaran, ketakutan, dan rasa panik. Pada kasus-kasus
parah dapat terjadi penolakan terhadap kehamilan, upaya aborsi bahkan sampai upaya bunuh diri.

Intervensi psikologis yang dibutuhkan pada masa kehamilan adalah memberi dukungan yang dibutuhkan
untuk menanggulangi kegelisahan dan kecemasan yang muncul, membantu perempuan hamil untuk
menemu-kenali cara-cara efektif bagi dia untuk menerima dan menikmati kehamilannya serta membantu
memberi pendampingan kepada perempuan hamil dalam menghadapi permasalahan-permasalahan
psikososial yang dirasakan.
Kedua, pada kehamilan trimester II (3-6 bulan kehamilan). Memasuki periode ini identifikasi kehamilan
sebagai konsep abstrak mulai berubah menjadi sesuatu yang nyata dan lebih dirasakan kehadirannya. Perut
ibu makin tampak membesar dan ada gerakan serta detak jantung yang dapat dirasakan.
Biasanya ibu hamil mulai menyesuaikan diri dengan kenyataan. Pada tahap itu, pendampingan psikologis
yang dibutuhkan lebih pada stimulasi emosional untuk mendekatkan hubungan ibu dengan bayi yang
dikandungnya, serta mengajarkan ibu untuk melakukan interaksi dan komunikasi dengan bayinya melalui
media "sentuhan" dengan melibatkan calon ayah.
Tiga, pada kehamilan trimester III (6-9 bulan kehamilan). Saat ini kehidupan psikologis dan emosional ibu
hamil dipenuhi oleh pikiran dan perasaan mengenai persalinan dan tanggung jawab sebagai ibu.
Ada dua golongan perempuan dalam masa ini yang diliputi oleh rasa takut. Golongan pertama adalah
perempuan yang punya pengalaman tidak menyenangkan pada kehamilan sebelumnya, atau perempuan
hamil pertama kali tetapi banyak mendengar tentang pengalaman-pengalaman menakutkan dan tragis dari
perempuan-perempuan lain tentang proses persalinan.
Sedangkan, golongan kedua adalah perempuan yang hamil di usia yang berisiko (usia lebih dari 40 tahun).
Biasanya kecemasan bercampur aduk dengan kekhawatiran mengenai bayi yang akan dilahirkannya, serta
mengkhawatirkan anak-anaknya yang lain jika terjadi sesuatu saat melahirkan. Perempuan pada tahap
kehamilan ini membutuhkan psikoterapi untuk mengurangi penderitaan akibat perasaan-perasaan yang
muncul serta memerlukan informasi mengenai tumbuh kembang anak serta membantu calon ibu dan calon
ayah untuk mempersiapkan diri sebagai orangtua.
Empat, masa persalinan dan masa nifas. Saat persalinan akan berjalan lebih baik, jika ibu hamil merasa
mendapat dukungan dari lingkungan terdekatnya, terutama suami. Dukungan orang dekat akan menimbulkan
rasa aman dan mengurangi kecemasan. Pendampingan psikologis lebih dibutuhkan datang dari suami,
kecuali jika ada kecemasan berlanjut menjadi ketegangan yang luar biasa, dibutuhkan pendekatanpendekatan dan intervensi dari psikolog untuk mengingatkan kembali program yang sudah diikutinya selama
trimester I, II dan III. Melakukan relaksasi melalui pengaturan pernafasan serta memunculkan kepercayaan
ibu hamil terhadap petugas-petugas kesehatan yang akan menolong proses persalinannya.
Setelah saat persalinan terlampaui, banyak literatur melaporkan mengenai kondisi depresi ringan sampai
berat yang terjadi pada minggu-minggu pertama setelah persalinan. Kondisi itu biasanya hanya
membutuhkan intervensi yang tidak terlalu banyak, bahkan ada yang sembuh dengan sendirinya tanpa
berlarut-larut. Kecuali ibu-ibu dengan kondisi kepribadian yang tidak seimbang, adanya perkawinan yang
abnormal, atau kondisi riwayat penyakit-penyakit lain dapat mengakibatkan situasi psikologik yang kurang
menguntungkan.
Ada kondisi lain yang masih perlu mendapatkan perhatian setelah masa persalinan. Yaitu berkaitan dengan
air susu ibu yang sangat diperlukan bagi tumbuh kembang bayi. Telah diketahui bahwa produksi dan
pengeluaran air susu ibu setelah melahirkan banyak ditentukan oleh beberapa faktor organik, tetapi ternyata
di samping itu penolakan atau keengganan perempuan untuk menyusui anaknya dapat menghambat produksi
air susu ibu.
Keadaan itu kemudian menjadi tidak mudah, jika muncul perasaan bersalah pada diri ibu tersebut. Tidak
jarang terjadi kasus insomnia dan depresi yang berkaitan dengan hal itu.
Ibu tersebut lagi-lagi mambutuhkan program-program intervensi psikologis untuk mengurangi penderitaan
yang dirasakannya di samping mungkin intervensi psikiatrik, jika sampai terjadi halusinasi.
Dengan kata lain, setiap ibu hamil butuh psikologkah? Idealnya tentu saja ya. Di samping psikolog
profesional, setiap ibu hamil juga butuh "psikolog" yang peduli setiap saat, yang dapat memberi kesejukan
dan ketenteraman hati dalam mengemban amanat yang sangat mulia, yang tidak lain adalah sang suami.
Banyak hal yang harus dilakukan suami selama menunggu bayinya lahir. Jangan biarkan bayi itu menjadi
"yatim" selama sembilan bulan selama masa dalam kandungan karena tidak mendapat perhatian dari
ayahnya, padahal ayahnya ada.
Suami sebaiknya ikut dalam seluruh proses yang dirasakan istrinya selama mengandung anak tercinta.
Suami dapat ikut memperhatikan asupan gizi yang dibutuhkan oleh istri dan bayinya, memberi kasih sayang
dan perhatian yang eksklusif, berkomunikasi dengan janin melalui stimulasi sentuhan-sentuhan di perut ibu,

memperdengarkan ucapan-ucapan lembut yang memberi semangat serta mendampingi istri saat persalinan.
Meskipun yang dilakukan hanya menggenggam tangan istri dan tentu disertai doa selamat bagi istri, dan
bayi yang akan dilahirkan.
Namun, tidak semua ibu hamil beruntung memiliki pendamping yang selalu siaga. Ada beberapa kondisi
yang mengakibatkan seorang perempuan menjadi single parent bagi calon anaknya. Jika itu yang terjadi,
perempuan tersebut lebih membutuhkan dukungan untuk dapat terus bertahan dalam kondisi prima selama
masa kehamilannya.
Pada saat demikian biasanya intervensi psikologis melalui psikolog dengan melibatkan keluarga dekatnya
seperti orangtua atau saudara-saudaranya menjadi alternatif yang dapat memberi dukungan.
Kehamilan adalah suatu peristiwa istimewa yang akan menjadi indah, jika dijalani secara istimewa. Tidak
berarti berlebihan tetapi merupakan manifestasi dari tanggung jawab sebagai insan yang berbudaya.
Melalui penanganan yang bertanggung jawab semoga dapat dilahirkan bibit-bibit unggul yang dapat
bermanfaat bagi dirinya sendiri, keluarga, dan tentu bangsa dan Tanah Airnya. Semoga kelahiran bukan
semata hanya penjumlahan kuantitas, dan jauh dari kualitas.
Dra Reni Kusumowardhani, MPsi, Psikolog

Anda mungkin juga menyukai