Anda di halaman 1dari 7

BAB II

Tinjauan Pustaka
Prosedur Medikolegal
Ilmu kedokteran forensik (Legal Medicine) adalah salah satu cabang spesialistik dari
ilmu kedokteran yang mempelajari tentang pemanfaatan ilmu kedokteran untu kepentingan
penegakan hukum serta keadilan pada kasus-kasus yang berhubungan dengan kesehatan raga
dan jiwa manusia, seperti kecelakaan lalu lintas, pembunuhan, pemerkosaan, penganiayaan,
maupun korban meninggal yang pada pemeriksaan pertama polisi mencurigai adanya suatu
tindakan pidana.
Untuk dapat memberi bantuan yang maksimal bagi berbagai keperluan tersebut diatas,
seorang dokter dituntut untuk dapat memanfaatkan ilmu kedokteran yang dimilikinya secara
optimal. Dalam menjalankan fungsinya sebagai dokter yang diminta untuk membantu dalam
pemeriksaan kedokteran forensik oleh penyidik, dokter tersebut dituntut oleh undang-undang
untuk melakukannya dengan sejujur-jujurnya serta menggunakan pengetahuan yang sebaikbaiknya. Bantuan yang wajib diberikan oleh dokter apabila diminta oleh penyidik antara lain
adalah melakukan pemeriksaan kedokteran forensik terhadap seseorang, baik terhadap bagian
tubuh atau benda yang diduga berasal dari tubuh manusia.
Dalam suatu perkara pidana yang menimbulkan korban, dokter diharapkan dapat
menemukan kelainan yang terjadi pada tubuh korban, bilamana kelainan itu timbul, apa
penyebab serta apa akibat yang timbul terhadap kesehatan korban. Dalam hal korban
meninggal, dokter dihaapkan dapat menjelaskan penyebab kematian yang bersangkutan,
bagaimana mekanisme terjadinya kematian dan perkiraan cara kematian.
Penyidik berwenang untuk meminta keterangan ahli, sesuai dengan KUHAP Pasal 133
ayat (1) Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik
luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana,
ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman
atau dokter dan atau ahli lainnya..
Yang termasuk kategori penyidik menuntut KUHAP Pasal 6 ayat (1) PP no. 27 Tahun
1983 Pasal 2 dan 3 ayat (1) yaitu Polisi Negara RI yang diberi wewenang khusus oleh
undang-undang dengan pangkat serendah-rendahnya Pembantu Letnan Dua, sedangkan untuk
pembantu penyidik pembantu berpangkat serendah-rendahnya Sersan Dua. Apabila di suatu
kepolisian sektor tidak terdapat pejabat penyidik seperti diatas, maka Kepala Kepolisian
Sektor yang berpangkat bintara di bawah Pembantu Letnan Dua dikategorikan pula sebagai
penyidik karena jabatannya (PP no. 27 Tahun 1983 Pasal 2 ayat (2)).
Wewenang penyidik untuk meminta keterangan ahli tersebut diperkuat dengan
kewajiban dokter untuk memberikannya bila diminta seperti yang tertuang dalam Pasal 179
Page | 1

KUHAP yang berbunyi, Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran
kehakiman atau dokter atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan..
Keterangan ahli tersebut dituangkan dalam bentuk Visum et Repertum (VeR), yaitu
keterangan yang dibuat oleh dokter atas permintaan penyidik yang berwenang mengenai hasil
pemeriksaan medik terhadap manusia, baik hidup atau mati ataupun bagian atau diduga
bagian dari tubuh manusia, berdasarkan keilmuannya dan di bawah sumpah untuk
kepentingan peradilan.
Visum et Repertum adalah suatu alat bukti yang sah sebagaimana yang ditulis dalam
Pasal 184 KUHAP. Permintaan Visum et Repertum (VeR) tersebut harus dibuat dalam bentuk
tertulis, yaitu dalam bentuk Surat Permintaan Visum et Repertum (SPV). Pada SVP tertera
kop surat, pihak yang meminta visum, pihak yang dituju, identitas korban, dugaan penyebab
kematian, permintaan apakah pemeriksaan luar dan atau bedah mayat, jabatan peminta visum,
serta tanda tangan yang bersangkutan. Hal ini sesuai dengan Pasal 133 KUHAP ayat (2),
yaitu Permintaan keterangan ahli sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau
pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat..
Pihak yang berhak membuat VeR adalah dokter yang sudah mengucapkan sumpah
sewaktu mulai menjabat sebagai dokter, sebagaimana tertuang dalam Stb 350 Tahun 1937.
VeR memuat kop surat, terdiri atas lima bagian, yaitu Pro Justisia di bagian atas,
Pendahuluan, Pemberitaan, Kesimpulan, dan Penutup.
Aspek Medikolegal Luka dan Kekerasan
Didalam melakukan pemeriksaan terhadap orang yang menderita luka akibat kekerasan,
pada hakekatnya dokter diwajibkan untuk dapat memberikan kejelasan dari permasalahan
sebagai berikut:
a. Jenis luka apakah yang terjadi.
b. Jenis kekerasan/senjata apakah yang menyebabkan luka.
c. Bagaimanakah kualifikasi luka itu.
Pengertian kualifikasi luka disini semata-mata pengertian ilmu Kedokteran Forensik,
yang hanya baru dipahami setelah mempelajari pasal-pasal dalam Kitab Undang-undang
Hukum Pidana, yang bersangkutan dengan Bab XX (Tentang Penganiayaan), terutama Pasal
351 dan 352; dan Bab IX (Tentang Arti Beberapa Istilah yang Dipakai dalam Kitab Undangundang), yaitu Pasal 90.
Pasal 351
1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau
denda paling banyak tiga ratus rupiah;

Page | 2

2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah dikenakan pidana penjara
paling lama lima tahun;
3) Jika menyebabkan mati, dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun;
4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan;
5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.
Pasal 352
1) Kecuali yang tersebut dalam pasal 353 dan 356, maka penganiayaan yang tidak
menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau
pencaharian, diancam sebagai penganiayaan ringan, dengan pidana penjara paling lama
tiga bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.
2) Pidana dapat ditambah sepertiga bagi orang yang melakukan kejahatan itu terhadap orang
yang bekerja padanya, atau menjadi bawahannya.
3) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.
Pasal 90
Luka berat berarti:
Jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, atau

yang menimbulkan bahaya maut;


Tidak mampu terus menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan pencaharian;
Kehilangan salah satu panca indera;
Mendapat cacat berat (verminking);
Menderita sakit lumpuh;
Terganggunya daya pikir selama empat minggu lebih;
Gugurnya atau matinya kandungan seorang perempuan.

Dari pasal-pasal tersebut dapat dibedakan empat jenis tindak pidana, yaitu:
1. Penganiayaan ringan;
2. Penganiayaan;
3. Penganiayaan yang mengakibatkan luka berat;
4. Penganiayaan yang mengakibatkan kematian.
Oleh karena istilah penganiayaan merupakan istilah hukum, yaitu: dengan sengaja
melukai atau menimbulkan perasaan nyeri pada seseorang; maka di dalam Visum et
Repertum yang dibuat oleh dokter tidak boleh mencantumkan istilah penganiayaan, oleh
karena dengan sengaja atau tidak itu merupakan urusan Hakim. Demikian pula dengan
menimbulkan perasaan nyeri sukar sekali untuk dapat dipastikan secara objektif, maka
kewajiban dokter di dalam membuat Visum et Repertum hanyalah menentukan secara
objektif adanya luka dan bila ada luka, dokter harus menentukan derajatnya.
Derajat luka tersebut harus disesuaikan dengan salah satu dari ketiga jenis tindak pidana
yang telah disebutkan tadi (tindak pidana ke-4, yaitu penganiayaan yang mengakibatkan
kematian, dibahas secara terpisah), yaitu:
1. Penganiayaan ringan;
2. Penganiayaan;
Page | 3

3. Penganiayaan yang mengakibatkan luka berat.


Penganiayaan ringan, yaitu penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau
halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian; di dalam ilmu Kedokteran
Forensik pengertiannya menjadi; luka yang tidak berakibat penyakit atau halangan untuk
menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian. Luka ini dinamakan luka derajat
pertama atau luka ringan.
Bila sebagai akibat penganiayaan seseorang itu mendapat luka atau menimbulkan
penyakit atau halangan di dalam melakukan pekerjaan jabatan atau pencaharian, akan tetapi
hanya untuk sementara waktu saja, maka luka ini dinamakan luka derajat kedua atau luka
sedang.
Apabila penganiayaan tersebut mengakibatkan luka berat seperti yang dimaksudkan
dalam Pasal 90 KUHP, luka tersebut dinamakan luka derajat ketiga atau luka berat.
Dengan demikian, penulisan kesimpulan Visum et Repertum kasus perlukaan, penulisan
kualifikasi luka adalah sebagai berikut:
1. Luka yang tidak mengakibatkan penyakit atau halangan dalam menjalankan pekerjaan atau
jabatan;
2. Luka yang mengakibatkan penyakit atau halangan dalam menjalankan pekerjaan atau
jabatan untuk sementara waktu;
3. Luka yang termasuk dalam pengertian hukum luka berat (Pasal 90 KUHP).
Suatu hal yang penting perlu diingat di dalam menentukan ada tidaknya luka akibat
kekerasan adalah adanya kenyataan bahwasanya tidak selamanya kekerasan itu akan
menimbulkan bekas/luka. Kenyataan tersebut antara lain disebabkan adanya faktor yang
menentukan terbentuknya luka akibat kekerasan suatu benda, yaitu luas permukaan
bendayang bersentuhan dengan tubuh. Bila luas permukaan benda cukup besar, yang berarti
kekuatan untuk dapat merusak menimbulkan luka lebih kecil bila dibandingkan dengan benda
yang mempunyai luas permukaan yang mengenai tubuh lebih kecil. Dengan perkataan lain
tidak selamanya kekerasan itu akan menimbulkan kelainana/luka, sedangkan adanya luka
berarti sudah dapat dipastikan ada kekerasan.
Faktor lain yang juga harus diingat adalah faktor waktu, oleh karena dengan berjalannya
waktu maka suatu luka dapat menyembuh dan tidak ditemukan pada saat dilakukan
pemeriksaan.
Luka Akibat Benda Tumpul
Benda tumpul bila mengenai tubuh dapat menyebabkan luka lecet, memar dan luka
robek atau luka terbuka. Dan bila kekerasan benda tumpul tersebut sedemikian hebatnya
dapat pula menyebabkan patah tulang.
Luka lecet

Page | 4

Luka lecet adalah luka yang superfisial, kerusakan tubuh terbatas hanya pada lapisan
kulit yang paling luar/kulit ari. Luka lecet dapat diklasifikasikan menjadi luka lecet gores
karena benda runcing, luka lecet serut yang merupakan luka lecet gores yang lebih luas, luka
lecet tekan yangk mencetak penekanan benda, dan luka lecet geser karena pergeseran benda
pada kulit. Secara umum, ciri-ciri luka lecet adalah;
Bentuk luka tidak teratur.
batas luka tidak teratur.
tepi luka tidak rata.
kadang-kadang ditemukan sedikit perdarahan.
Permukaannya tertutup oleh krusta (serum yang telah mongering).
Warna coklat kemerahan.
Pada pemeriksaan mikroskopik terlihat adanya beberapa bagian yang masih ditutupi epitel
dan reaksi jaringan (inflamasi).
Walaupun kerusakan yang ditimbulkan minimal sekali, luka lecet mempunyai arti
penting dalam ilmu kedokteran kehakiman, oleh karena dari luka tersebut dapat memberikan
banyak petunjuk dalam banyak hal; misalnya:
a. Petunjuk kemungkinan adanya kerusakan yang hebat pada alat-alat dalam tubuh, seperti
hancurnya jaringan hati, ginjal, limpa, yang dari pemeriksaan luar hanya tampak adanya
luka lecet di daerah yang sesuai dengan alat-alat dalam tersebut.
b. Petunjuk perihal jenis dan bentuk permukaan dari benda tumpul yang menyebabkan luka,
seperti lecet tekan pada kasus penjeratan atau penggantungan, luka lecet pada kecelakaan
lalu lintas, luka lecet pada kasus penembakan, dan luka lecet pada kasus penjeratan dengan
tangan, serta luka lecet tekan pada kecelakaan yang mengenai bagan daripada benda keras
yang tercetak sebagai luka lecet tekan pada tubuh.
c. Petunjuk dari arah kekerasan, yang dapat diketahui dari tempat dimana kulit ari yang
terkelupas banyak terkumpul pada tepi luka.
Luka memar
Luka memar adalah suatu keadaan dimana terjadi pengumpulan darah dalam jaringan
yang terjadi sewaktu orang tersebut masih hidup, dikarenakan pecahnya pembuluh darah
kapiler akibat kekerasan benda tumpul. Bila kekerasan benda tumpul yang mengakibatkan
luka memar terjadi pada daerah dimana jaringan longgar, maka daerah luka memar yang
tampak seringkali tidak sebanding dengan kekerasan dan adanya jaringan longgar tersebut
memungkinkan berpindahnya memar ke daerah yang lebih rendah, berdasarkan gravitasi.
Salah satu bentuk luka memar yang dapat memberikan informasi mengenai bentuk dari benda
tumpul ialah dikenal dengan istilah perdarahan tepi (marginal haemorrhages).
Pada orang yang menderita penyakit defisiensi atau menderita kelainan darah,
kerusakan yang terjadi akibat trauma tumpul tersebut akan lebih besar dibandingkan pada

Page | 5

orang normal. Oleh sebab itu, besar kecilnya memar tidak dapat dijadika ukuran untuk
menentukan besar kecilnya benda penyebabnya atau kekerasan tidaknya pukulan. Pada
wanita atau orang-orang yang gemuk juga akan mudah menjadi memar.
Luka robek (terbuka)
Luka robek atau luka terbuka yang disebabkan oleh kekerasan benda tumpul dapat
terjadi bila kekerasan yang terjadi sedemikian kuatnya sehingga melampaui elastisitas kulit
atau otot, dan lebih dimungkinkan bila arah dari kekerasan tumpul tersebut membentuk sudut
dengan permukaan tubuh yang terkena benda tumpul.
Luka robek atau luka terbuka akibat kekerasan benda tumpul dapat dibedakan dengan
luka terbuka akibat kekerasan benda tajam, yaitu dari sifat-sifatnya serta hubungan dengan
jaringan disekitar luk. Luka robek mempunyai tepi yang tidak teratur, terdapat jembatanjembatan jaringan yang menghubungkan kedua tepi luka, akar rambut tampak hancur atau
tercabut bila kekerasannya di daerah yang berambut, di sekitar luka robek sering tampak
adanya luka lecet atau luka memar.
Oleh karena luka pada umumnya mendatangkan rasa nyeri yang hebat dan lambat
mendatangkan kematian, maka jarang dijumpai kasus bunuh diri dengan membuat luka
terbuka dengan benda tumpul.

Page | 6

Daftar Pustaka
1. Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Peraturan
Perundang-undangan Bidang Kedokteran. Edisi pertama, cetakan kedua. Jakarta: Bagian
Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1994.
2. Budiyanto A, Widiatmaka W, Sudiono S, Winardi T, Munim A, Sidhi et al.

Ilmu

Kedokteran Forensik. Edisi pertama, cetakan kedua. Jakarta: Bagian Kedokteran Forensik
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1997.
3. Idris MA. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi pertama, cetakan pertama. Jakarta:
Binarupa Aksara, 1997.

Page | 7

Anda mungkin juga menyukai