I. LATAR BELAKANG
1. Realitas atau kinerja pembangunan kehutanan saat ini adalah akumulasi dari
berbagai upaya dan dampak yang dilakukan dan terjadi di masa-masa
sebelumnya, sehingga dalam kenyataannya kejadian-kejadian saat ini tidak
dapat dipisahkan dengan kejadian-kejadian sebelumnya. Refleksi
pembangunan kehutanan 2004-2005 kali ini bertujuan untuk mengetahui
apakah upaya-upaya pemerintah yang telah dilakukan dalam satu tahun terakhir
ini dapat menyelesaikan masalah pembangunan kehutanan, khususnya apakah
dapat menjadi landasan penetapan program pemerintah di tahun-tahun yang
akan datang.
2. Dewasa ini, kehutanan sebagaimana juga yang dialami oleh sektor lainnya
mengalami perubahan lingkungan strategis yang sangat cepat. Dalam merespon
perubahan tersebut Departemen Kehutanan telah mencanangkan program
strategis yang dijabarkan dalam berbagai bentuk kegiatan. Refleksi atas
pelaksanaan pembangunan kehutanan sangat diperlukan, dari hasil refleksi ini
diharapkan dapat diketahui sasaran-sasaran kegiatan yang lebih tepat.
3. Pembahasan refleksi pembangunan kehutanan yang telah dilakukan dimulai
dengan pemaparan tanggapan dari bidang-bidang produksi dan industri (Ditjen
BPK), perlindungan dan konservasi (Ditjen PHKA), rehabilitasi hutan dan
lahan serta perhutanan sosial (Ditjen RLPS), perencanaan kehutanan dan
kemantapan kawasan (BAPLAN) serta BUMN Kehutanan, terhadap pandangan
para pelaku dan pemerhati kehutanan2.
4. Dalam kaitan ini terdapat beberapa materi pokok yang menjadi pegangan
dalam pemaparan tersebut, yaitu:
a. Sesuai dengan bidang yang ditanganinya, bagaimana tanggapan Setjen,
Ditjen BPK, Ditjen PHKA, Ditjen RLPS, Baplan, dan BUMN
Kehutanan terhadap persepsi para pelaku dan pemerhati kehutanan atas
pelaksanaan kebijakan saat ini.
1
Dirumusakan kembali dari paper utama dan seluruh paper lainnya serta masukan dan bahan diskusi dalam
acara temu pihak-pihak tgl. 21dan 22 Desember 2005.
2
Paper pandangan para pelaku dan pemerhati kehutanan ini disajikan dalam Lampiran 1.
1
b. Kebijakan seperti apa yang telah dicanangkan dalam menghadapi
terjadinya dilema dan permasalahan-permasalahan dalam pembangunan
kehutanan.
c. Bagaimana tanggapan terhadap usulan kebijakan yang disampaikan oleh
para pelaku dan pemerhati kehutanan.
d. Apakah terdapat arah baru kebijakan kehutanan dalam 5 tahun
mendatang setelah memperhatikan hasil-hasil pelaksanaan kebijakan
kehutanan dalam satu tahun terakhir ini.
5. Selanjutnya dari pemaparan setiap Eselon I Departemen Kehutanan dan
BUMN dan tanggapan peserta tersebut di atas diperdalam oleh berbagai pihak,
seperti CIFOR, WWF, Y. Kehati, ICRAF, Kadin, BRIK, LEI, dan Industri).
2
Gambar 1. Peta Permasalahan Pembangunan Kehutanan
2. Revitalisasi paradigma:
a. Orientasi komoditi menuju orientasi kawasan dan wilayah
pengembangan usaha kehutanan;
b. Kebijakan tertuju pada efisiensi birokrasi dan efektifitas sasaran untuk
kepastian usaha dan ruang kelola bagi masyarakat;
c. Sinergi pemerintahan baik antar sektor maupun antara pusat dan daerah;
d. Keterbukaan informasi;
e. Dephut bukan hanya sebagai regulator, melainkan sebaik pengatur
permainan (play maker)
f. Perlu pemahaman “kehutanan” ini apa?
3. Pemantapan kawasan dan rekalkulasi potensi sumberdaya hutan:
a. Lemahnya kemampuan pemerintah tidak berarti kegiatan ini lambat
berjalannya, perlu mendayagunakan kemampuan masyarakat dalam arti
luas;
b. Mekanisme pengambilan keputusan perlu mempertimbangkan
“keterlanjuran” terjadinya alih fungsi maupun keberadaan masyarakat di
dalam kawasan hutan;
c. Penyelesaian konflik.
4. Re-design pengelolaan hutan:
a. Pemisahan kebijakan hutan alam dan hutan tanaman;
b. Phase approach IUPHHK untuk mencapai pengelolaan hutan lestari dan
IUPHHK menjadi pelaksana pengelola KPH;
5. Re-design industri kehutanan:
a. Pengembangan industri berbasis sumberdaya hutan dan bukan sekedar
industri perkayuan;
6. Daya guna hasil riset:
a. Hasil riset oleh berbagai pihak telah terakumulasi menjadi berbagai
bentuk argumen untuk pembaruan kebijakan;
b. Litbang Kehutanan lebih difungsikan untuk mengembangkan hasil riset
sebagai dasar pembaruan kebijakan.
7. Dukungan peraturan-perundangan:
a. Pembaruan kebijakan hendaknya mempunyai kaitan erat dengan
masalah nyata di lapangan;
b. Penguatan pengelolaan hutan dan debirokratisasi usaha kehutanan perlu
dijadikan dasar pembaruan peraturan-perundangan.
3
1. Aspek Kemasyarakatan. Kenyataan selama ini menunjukkan bahwa upaya
pelestarian sumberdaya hutan maupun upaya rehabilitasi hutan dan lahan kritis
sangat sulit di capai apabila masyarakat tidak mendapat ruang kelola yang pasti
dalam jangka panjang sehingga ikut berkepentingan atas hasil hasil-hasilnya.
Sementara itu modal dasar yang dimiliki masyarakat masih sangat terbatas,
masih kuatnya orientasi jangka pendek dalam pemanfaatan hutan, dan di pihak
lain tugas pokok dan fungsi pemerintah dan pemerintah daerah belum kearah
upaya untuk memastikan ruang kelola tersebut serta masih lemahnya kebijakan
penguatan kelembagaan masyarakat.
2. Aspek Produksi. Seburuk apapun kinerja IUPHHK, keberadaannya telah
mengisi peran pemerintah dalam pengelolaan (kawasan) hutan. Dicabutnya ijin
IUPHHK, akibat kelemahan pengelolaan kawasan hutan yang berdasarkan UU
Kehutanan diselenggarakan oleh pemerintah, terbukti mempercepat kerusakan
hutan. Sementara itu, peraturan perundangan memberi mandat kepada
pemerintah untuk memberi peringatan sampai dapat mencabut IUPHHK yang
kinerjanya tidak sesuai dengan apa yang telah ditetapkan pemerintah.
3. Aspek Rehabilitasi. Pemerintah perlu menjalankan rehabilitasi hutan dan
lahan untuk merespon tingginya kerusakan hutan dan meluasnya lahan kritis.
Di pihak lain, keputusan pemerintah juga ditentukan oleh keputusan politik
penganggaran kegiatan ini, sehingga sasaran yang telah ditetapkan sulit
tercapai, bukan hanya akibat kegagalan hasil kegiatannya, melainkan juga
akibat penyimpangan sejak perencanaan anggaran dilaksanakan.
4. Aspek Perlindungan dan Konservasi. Banyak negara berkembang telah
melangkah untuk memanfaatkan sumberdaya hutan sebagai daya dukung
lingkungan melalui perlindungan dan konservasi, namun pelaksanaan ini di
Indonesia mendapat hambatan akibat orientasi masyarakat lebih kepada
pemanfaatan hasil hutan dalam jangka pendek. Orientasi demikian ini juga
banyak didukung oleh pemerintah daerah, atas suatu kenyataan masih tingginya
angka kemiskinan maupun dan bahkan kelaparan yang terjadi akhir-akhir ini.
5. Aspek Kawasan. Masih rendahnya prestasi pemerintah untuk menyelesaikan
pengukuhan kawasan hutan mengharuskan kegiatan ini menjadi prioritas
nasional. Sementara itu, perkembangan di lapangan sudah begitu jauh melebihi
kapasitas pemerintah untuk sekedar dapat menyelesaikan pengukuhan kawasan
hutan secara teknis – perlu tambahan instrumen penyelesaian konflik, karena
penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan non kehutanan dipacu oleh
keunggulan komparatif investasi non kehutanan serta desakan pertumbuhan
penduduk yang telah menggunakan kawasan hutan sebagai lahan pertanian dan
pemukiman.
6. Pelaksanaan Otonomi Daerah. Dalam menghadapi masalah yang begitu
besar, kondisi ideal yang diinginkan adalah terjadinya sinergi antara kapasitas
dan kemampuan pemerintah, pemerintah propinsi maupun pemerintah
4
kabupaten dalam penyelenggaraan pembangunan kehutanan. Hal demikian ini
masih sulit diwujudkan akibat orientasi kepentingan masing-masing dan belum
ada sinergi dalam pelaksanaan pengelolaan hutan. Yang justru menonjol adalah
tingginya orientasi pemanfaatan sumberdaya hutan.
5
3. Pertemuan multi-pihak disambut positif oleh pihak-pihak, sehingga perlu
dilakukan secara periodik untuk saling mengkomunikasikan perkembangan
capaian kinerja maupun pembaruan kebijakan yang diperlukan.
ooo