A. faringeal asenden
A. palatina desenden.
Tonsilitis kronis
Tonsilitis kronis adalah peradangan tonsil yang
menetap sebagai akibat infeksi akut atau subklinis yang
berulang. Ukuran tonsil membesar akibat hiperplasia
parenkim atau degenerasi fibrinoid dengan obstruksi
kripta tonsil, namun dapat juga ditemukan tonsil yang
relatif kecil akibat pembentukan sikatrik yang kronis.4,7
Brodsky menjelaskan durasi maupun beratnya keluhan
nyeri tenggorok sulit dijelaskan. Biasanya nyeri
tenggorok dan nyeri menelan dirasakan lebih dari 4
minggu dan kadang dapat menetap.19 Brook dan Gober
seperti dikutip oleh Hammouda8 menjelaskan tonsilitis
kronis adalah suatu kondisi yang merujuk kepada adanya
pembesaran tonsil sebagai akibat infeksi tonsil yang
berulang.
Infeksi yang berulang dan sumbatan pada kripta
tonsil mengakibatkan peningkatan stasis debris maupun
antigen di dalam kripta, juga terjadi penurunan integritas
epitel kripta sehingga memudahkan bakteri masuk ke
parenkim tonsil. Bakteri yang masuk ke dalam parenkim
tonsil akan mengakibatkan terjadinya infeksi tonsil. Pada
tonsil yang normal jarang ditemukan adanya bakteri pada
kripta, namun pada tonsilitis kronis bisa ditemukan
bakteri yang berlipat ganda. Bakteri yang menetap di
dalam kripta tonsil menjadi sumber infeksi yang berulang
terhadap tonsil.1
Gejala klinis tonsilitis kronis didahului gejala
tonsilitis akut seperti nyeri tenggorok yang tidak hilang
sempurna. Halitosis akibat debris yang tertahan di dalam
kripta tonsil, yang kemudian dapat menjadi sumber
infeksi berikutnya.7,8,19
Pembesaran tonsil dapat
mengakibatkan terjadinya obstruksi sehingga timbul
gangguan menelan, obstruksi sleep apnue dan gangguan
suara. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tonsil
yang membesar dalam berbagai ukuran, dengan
pembuluh darah yang dilatasi pada permukaan tonsil,
arsitektur kripta yang rusak seperti sikatrik, eksudat
pada kripta tonsil dan sikatrik pada pilar.7,19
Disamping tonsilitis akut dan kronis Brodsky
menjelaskan adanya tonsiltis akut rekuren yang
didefinisikan sebagai tonsilitis akut yang berulang lebih
dari 4 kali dalam satu tahun kalender, atau lebih dari 7
kali dalam 1 tahun, 5 kali setiap tahun selama 2 tahun,
atau 3 kali setiap tahun selama 3 tahun. Dalam catatan
kebanyakan anak tidak ditemukan adanya keluhan
diantara episode, dengan gambaran maupun ukuran
tonsil yang kembali normal. Namun demikian bagi dokter
yang teliti dapat menemukan eritema peritonsil,
meningkatnya debris pada kripta tonsil, dilatasi
pembuluh darah tonsil, maupun ukuran tonsil yang
sedikit berubah.1,19
Bakteriologi Tonsilitis
Flora normal
Bakteri di dalam saluran tenggorok bayi akan
mulai muncul sejak pemberian makanan melalui mulut.
Bakteri tersebar di dinding faring permukaan tonsil
maupun ke rongga mulut. Bakteri di dalam tenggorok
pada umumnya adalah flora normal. Flora normal di
Tabel 1. Distribusi bakteri patogen pada permukaan tonsil dan inti tonsil dari berbagai peneliti8,9,23,25,29,31
BAKTERI
S. aureus
SHGA
H. influenzae
K. pneumoniae
E coli
Pseudomonas
S. pneumonia
Ket:
Kurien
N=40
P
23
28
0
5
5
2,5
0
I
28
30
10
15
0
0
0
Rekabi
N=120
P
2
13
3
0
2
0
17
I
8
5
9
0
0
0
7
PENELITI
AlRoosan
Hammouda
N=100
N=72
P
I
P
I
14
20
36
43
12
18
31
17
2
6
19
38
0
0
0
7
4
2
0
0
2
2
0
0
10
14
14
7
Abdurrahman
N=27
P
I
41
70
4
15
0
0
4
4
0
4
0
0
0
4
Shaihk
N=67
P
I
27
43
9
13
3
6
3
2
0
0
2
2
86
43
P= permukaan tonsil
I= inti tonsil
Tabel 2. Perbandingan bakteri pada permukaan tonsil dan inti tonsil dari berbagai peneliti8,23,25,29,31
Peneliti
Jumlah Sampel
Berbeda (%)
Sama (%)
40
120
100
72
27
55
58,4
62
41
62,5
45
41,6
38
51
37,5
Kurien
Rekabi
AlRoosan
Hammouda
Abdurrahman
Nilai P
0,762
0,927
0,033
0,041
0,036
1,00
0,743
0,556
berbagai antibiotik.
Jenis bakteri yang bervariasi
menyulitkan dalam pemberian antibiotik secara empiris
tanpa ada uji kepekaan yang rutin.6
Uji kepekaan yang dilakukan Abdurrahman24
terhadap bakteri patogen yang ditemukan pada penderita
tonsilitis kronis di Ain Shams University Hospital Mesir
tahun 2004 didapatkan bahwa bakteri Staphilococcus
aureus, Streptococcus haemolyticus group A dan bakteri
basil gram negatif mempunyai angka resistensi yang
tinggi terhadap antibiotik golongan penisilin. (tabel 3.)
Antibiotik
S
I
Oksacillin
12
2
Ampicilin
1
2
Eritromisin
2
17
Amoksisilin
4
2
Amok. Clav as
4
Cefpodoksin
8
2
Dalasin
4
6
SHGA
Kotrimoksazol
7
1
(N=5)
Oksacillin
x
x
Ampicilin
Eritromisin
1
Amoksisilin
1
Amok. Clav as
1
1
Cefpodoksin
1
Dalasin
Basil Gram Kotrimoksazol
2
Negatif
Oksacillin
x
x
(N=2)
Ampicilin
Eritromisin
x
x
Amoksisilin
Amok. Clav as
2
Cefpodoksin
2
Dalasin
Kotrimoksazol
2
Ket: S = sensitif I = Intermediet
R = Resisten
R
7
18
2
15
17
11
11
13
x
5
4
4
3
4
5
3
x
2
x
2
2
-
Penatalaksanaan Tonsilitis
Pengobatan tonsilitis meliputi medikamentosa dan
pembedahan. Terapi medikamentosa ditujukan untuk
mengatasi infeksi yang terjadi baik pada tonsilitis akut
maupun tonsilitis rekuren atau tonsilitis kronis
eksaserbasi akut. Antibiotik jenis penisilin merupakan
antibiotik pilihan pada sebagian besar kasus. Pada kasus
yang berulang akan meningkatkan terjadinya perubahan
bakteriologi
sehingga perlu diberikan antibiotik
alternatif selain jenis penisilin. Pada bakteri penghasil
enzim laktamase perlu antibiotik yang stabil terhadap
enzim ini seperti amoksisilin clavulanat.1,4,19
Indikasi tonsilektomi dahulu dan sekarang tidak
berbeda, namun terdapat perbedaan prioritas relatif
dalam menentukan indikasi tonsilektomi pada saat ini.
Dahulu tonsilektomi diindikasikan untuk terapi tonsilitis
kronik dan berulang. Saat ini, indikasi yang lebih utama
adalah obstruksi akibat hipertrofi tonsil. Obtruksi yang
mengakibatkan gangguan menelan maupun gangguan
DAFTAR PUSTAKA
1.
Brodsky L, Poje Ch. Tonsillitis, tonsilectomy and
adenoidectomy. In: Bailey BJ, Johnson JT, Newlands
SD editors. Ototlaryngology Head and Neck Surgery,
4th Ed Vol 1. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins, 2006:p.1183-98.
2.
Bista M, Sinha BK, Amatya RCM, Tuladhar NR,
Pokharel BM. Comparison of core and surface
cultures in recurrent tonsillitis. Journal of institute
of medicine 2005;27:60-65.
3.
Mohan S, Dharamraj K, Dindial R, Mathur D,
Parmasad V, Ramdhanie J, et al. Physician behaviour
for antimicrobial prescribing for paediatric upper
respiratory tract infections: a survey in general
practice in Trinidad, West Indies. Annals of clinical
microbiology and antimicrobials 2004;3(11):1-8.
4.
Tom LWC, Jacobs. Deseases of the oral cavity,
oropharynx, and nasopharynxn. In: Snow JB,
Ballenger
JJ
editors.
Ballengers
otorhinolaryngology head and neck surgery, 16th ed.
Hamilton Ontario. Bc Decker 2003:p.1020-47.
5.
Farokah, Suprihati, Suyitno S. Hubungan Tonsilitis
kronik dengan prestasi belajar pada siswa kelas II
Sekolah Dasar di kota Semarang. Cermin Dunia
Kedokteran 2007;155:87-91
6.
Brook I. The role of anaerobic bacteria in tonsilitis.
Iapo manual of pediatric otorhinolaryngology. 5864.
7.
Kornblut AD. Non-neoplastic diseases of the tonsils
and adenoids. In: Paparella MM, Shumrick DA,
Gluckman JL, Meyerhoff WL, editors Otolaryngology
3th ed. Philadelphia WB Saunders Company 1991:
p.2129-46.
8.
Hammouda M, Khalek ZA, Awad S, Azis MA, Fathy M.
Chronic tonsillitis bacteriology in egyptian children
including antimicrobial susceptibility. Aust. J. Basic
& Appl. Sci., 2009;3(3):1948-53.
9.
Shaihk SM, Jawaid MA, Tariq N, Farooq MU.
Bacteriology of tonsilar surface and core in patients
with recurrent tonsillitis, undergoing tonsilectomy.
Otolaryngology, 2009;15(4):95-7.
10. Reilly S, Timmis P, Beeden AG, Willis AT. Possible
role of the anaerobic in tonsillitis. J Clin Pathol,
1981;34:542-47.
11. Eibling DE. The oral cavity, pharynx, and esophagus.
In: Lee KJ editor, Essential otolaryngology head and
neck nurgery, 9th ed. New York : Mc graw hill
medical. 2008:530-51.(11)
12. Health Technology Assessment (HTA) Departemen
Kesehatan Republik Indonesia. Tonsilektomi pada
anak dewasa. Jakarta. 2004
13. Adam GL. Penyakit-penyakit nasofaring dan
orofaring. Dalam: Adam GL, Boies LR Jr, Higler PA
editors. Boies Buku ajar penyakit THT. Edisi Bahasa
Indonesia, Alih bahasa Wijaya C. Jakarta EGC.1997;
320-55.
14. Lowry LD, Onart S. Anatomy and physiology of the
oropharinx and nasopharinx. In: In: Snow JB,
Ballenger
JJ
editors.
Ballengers
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
29.
30.
31.
10