Anda di halaman 1dari 53

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang
Cabai rawit (Capsicum frutescens L.) merupakan salah satu tanaman

hortikultura dari famili Solanaceae yang memiliki nilai ekonomi tinggi (Cahyono,
2003). Cabai rawit digunakan sebagai bumbu masakan dan bahan obat (Heyne,
1987). Menurut Rukmana (2002), secara umum buah cabai rawit mengandung zat
gizi antara lain lemak, protein, karbohidrat, kalsium, fosfor, besi, vitamin A, B1,
B2, C dan senyawa alkaloid seperti capsaicin, oleoresin, flavanoid dan minyak
esensial. Kandungan tersebut banyak dimanfaatkan sebagai bahan bumbu masak,
ramuan obat tradisional, industri pangan dan pakan unggas.
Produktivitas cabai rawit di Indonesia rata-rata masih rendah. Pada tahun
2009 produksi cabai rawit 5,07 ton/ha, pada tahun 2010 turun menjadi 4,56
ton/ha, dan pada tahun 2011 produksi menjadi 5,01 ton/ha (Biro Pusat Statistik,
2011). Kendala yang menyebabkan rendahnya produktivitas cabai di Indonesia
adalah gangguan hama dan penyakit (Semangun, 2000). Beberapa jenis penyakit
yang dominan menyerang cabai adalah antraknosa, layu bakteri dan virus (Syukur
et al., 2009). Penyakit kuning, penyakit bulai dan penyakit kerdil yang disebabkan
oleh virus gemini merupakan penyakit utama yang menyebabkan rendahnya
produktivitas cabai di Indonesia (Sudiono et al., 2005).
Perbaikan genetik merupakan salah satu usaha yang dapat dilakukan untuk
peningkatan produktivitas cabai rawit. Tahap awal dalam perbaikan genetika

tanaman adalah perluasan keragaman genetik tanaman untuk memudahkan seleksi


tanaman unggul (Hidayat, 1994).
Pemuliaan mutasi merupakan metode yang banyak digunakan sebagai
upaya untuk mendapatkan keragaman genetik tanaman saat ini. Bahan mutagen
yang sering digunakan dalam penelitian pemuliaan tanaman yaitu mutagen kimia,
misalnya seperti Ethyl Methane Sulphonate (EMS), Diethyl Sulphate (DES),
Methyl Methane Sulphonate (MMS), nitrous acids dan sebagainya (IAEA, 1977).
EMS paling banyak digunakan karena sering menghasilkan mutan yang
bermanfaat dan tidak bersifat mutagenik setelah terhidrolisis (Van Harten, 1998).
Senyawa EMS merupakan senyawa alkil yang mengubah guanin menjadi 7etilguanin yang berpasangan dengan timin (Chopra, 2005). Senyawa ini banyak
digunakan untuk meningkatkan keragaman genetik tanaman dan perbaikan
kualitas

tanaman.

Beberapa

penelitian

melaporkan

EMS

menghasilkan

peningkatan keragaman dan menghasilkan mutan, misalnya dihasilkan mutan


pisang yang resisten terhadap virus (Imelda et al., 2000). Mutagen EMS juga
menyebabkan peningkatan keragaman varian abaka dan berhasil mendapatkan
mutan yang tahan terhadap penyakit layu Fusarium (Purwati et al., 2007, Purwati
et al., 2008).
Keberhasilan mutasi dengan mutagen kimia pada tiap tanaman tergantung
pada konsentrasi dan lama perendaman yang digunakan (Yanti, 2007). Menurut
Alcantara et al., (1996) EMS yang digunakan pada kisaran konsentrasi 0,5%
sampai 1,5% dan lama perendaman 3 - 9 jam dapat menghasilkan mutan pada
cabai besar. Jabeen dan Mirza (2004) yang melakukan induksi mutasi pada cabai

besar dengan EMS, menghasilkan mutan kerdil dengan tingkat dewasa bervariasi
dari lambat ke cepat yaitu pada konsentrasi 0,5% dengan lama perendaman 6 jam.
Konsentrasi 1% dengan lama perendaman 6 jam pada cabai besar menghasilkan
11,2% bibit cabai yang memiliki daun yang menyatu (Pharmawati et al., 2013).
Penelitian mengenai aksi mutagen EMS pada cabai rawit dilakukan untuk
mengamati pengaruh pemberian mutagen 1% EMS melalui perbedaan lama
perendaman benih terhadap morfologi, fisiologi dan reproduktif tanaman cabai
rawit.
1.2.

Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas maka permasalahan yang timbul adalah

1. Bagaimanakah aksi EMS 1% dengan lama perendaman 6 jam, 9 jam dan


12 jam pada morfologi tanaman yang meliputi tinggi tanaman dan jumlah
cabang ?
2. Bagaimanakah aksi EMS 1% dengan lama perendaman 6 jam, 9 jam dan
12 jam pada aspek fisiologi yaitu kandungan klorofil ?
3. Bagaimanakah aksi EMS 1% dengan lama perendaman 6 jam, 9 jam dan
12 jam pada aspek reproduktif seperti viabilitas polen, umur 50% tanaman
berbunga, umur 50% tanaman berbuah, jumlah bunga dan jumlah total
buah ?
1.3.

Tujuan Penelitian
Penelitian bertujuan menguji aksi EMS 1% dengan lama perendaman 6

jam, 9 jam dan 12 jam pada morfologi, fisiologi dan reproduktif tanaman cabai
rawit.

1.4.

Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian adalah memberikan informasi aksi EMS 1% dengan

lama perendaman 6 jam, 9 jam dan 12 jam pada morfologi, fisiologi dan
reproduktif tanaman. Selanjutnya jika diperoleh tanaman dengan karakter yang
menguntungkan, maka dapat digunakan dalam program pemuliaan tanaman.

BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1

Tanaman Cabai Rawit (Capsicum frutescens L.)


Tanaman

cabai

rawit

tergolong

dalam

famili

terung-terungan

(Solanaceae). Cabai rawit berasal dari Meksiko, Peru dan Bolivia, tetapi
sudah tersebar di seluruh dunia termasuk Indonesia (Cahyono, 2003).
Menurut Rukmana (2002), jenis cabai rawit yang sering ditanam adalah
sebagai berikut:
a. Cabai Kecil
Jenis cabai kecil atau sering disebut cabai jemprit. Cabai jenis ini
memiliki karakteristik ukuran buah kecil, panjang 2 - 2,5 cm dan lebar 5
mm, serta berat 0,65 g/buah. Pada saat masih muda, buah berwarna hijau
dan pada saat masak berubah menjadi merah (Rukmana, 2002).

Gambar 2.1. Jenis Cabai Rawit Kecil (Cahyono, 2003)


b. Cabai Ceplik
Cabai ceplik atau cabai hijau memiliki panjang 3 3,5 cm dan lebar 11
mm, serta berat 1,4 g/buah. Pada waktu masih muda, buah berwarna hijau

dan berubah menjadi merah pada saat matang. Rasa buah pedas, tetapi
masih kurang pedas jika dibandingkan dengan cabai kecil dan cabai putih
(Rukmana, 2002).

Gambar 2.2 Jenis Cabai Rawit Ceplik (Cahyono, 2003)


c. Cabai Putih
Cabai putih memiliki ciri ciri buah berbentuk bulat agak lonjong dan
berukuran panjang 3 cm serta berat rata rata 2,5 g/buah. Buah yang
muda memiliki rasa yang kurang pedas, namun buah yang matang
memiliki rasa pedas (Rukmana, 2002).

Gambar 2.3 Jenis Cabai Rawit Putih (Cahyono, 2003)


2.1.1 Kandungan Gizi dan Manfaat Cabai Rawit
Buah cabai rawit mengandung zat-zat gizi yang cukup lengkap, yakni
protein, lemak, karbohidrat, mineral (kalsium, fosfor dan besi), vitamin A,

B1, B2 dan C (Rukmana, 2002). Cabai rawit mengandung zat oleoresin dan
zat aktif capsaicin yang dapat digunakan untuk mengobati penyakit rematik,
obat batuk berdahak, sakit gigi, masuk angin, asma serta mencegah infeksi
sistem pencernaan (Wijayakusuma, 1992).
Menurut Heyne (1987), cabai rawit banyak digunakan sebagai bumbu
dapur seperti sambal, saus, asinan dan produksi makanan kaleng. Selain
digunakan sebagai penyedap masakan, juga dapat digunakan untuk industri
pewarna bahan makanan, bahan campuran pada berbagai industri pengolahan
makanan dan minuman.
2.1.2 Syarat Tumbuh Tanaman Cabai Rawit
Tanaman cabai rawit termasuk tanaman semusim yang tumbuh
sebagai perdu dengan tinggi tanaman mencapai 1,5 m.

Tanaman dapat

ditanam di lahan kering (tegalan) dan di lahan basah (sawah).

Kondisi

lingkungan sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produksi cabai


rawit. Keadaan iklim dan tanah merupakan dua hal pokok yang harus
diperhatikan dalam menentukan lokasi penanaman cabai rawit (Pijoto, 2003).
Tanaman cabai rawit memerlukan tanah yang memiliki tekstur lumpur
berpasir atau liat berpasir, dengan struktur gembur. Selain itu, tanah harus
mudah mengikat air, memiliki solum yang dalam (minimal 1m), memiliki
daya menahan air yang cukup baik, tahan terhadap erosi dan memiliki
kandungan bahan organik tinggi (Setiadi, 1987). Tanaman cabai rawit
memerlukan derajat keasaman (pH) tanah antara 6,0 7,0 (pH optimal 6,5)
dan memerlukan sinar matahari penuh (tidak memerlukan naungan). Dapat

tumbuh dan berproduksi dengan baik, tanaman cabai rawit memerlukan


kondisi iklim dengan 0-4 bulan basah dan 4-6 bulan dalam satu tahun dan
curah hujan berkisar antara 600 mm-1.250 mm per tahun. Kelembaban udara
yang cocok untuk tanaman cabai rawit adalah 60% -80%. Agar dapat tumbuh
dengan baik dan bereproduksi tinggi, tanaman cabai rawit memerlukan suhu
udara rata-rata tahunan berkisar antara 180C-300C (Cahyono, 2003).
2.2

Mutasi
Mutasi adalah perubahan pada materi genetik suatu organisme yang

terjadi secara tiba-tiba, acak dan merupakan dasar bagi sumber variasi
organisme hidup yang bersifat terwariskan (Van Harten, 1998).
Berdasarkan tempat terjadinya mutasi dibedakan menjadi mutasi gen
dan mutasi kromosom. Mutasi gen adalah perubahan urutan basa pada DNA
yang mengakibatkan terjadinya perubahan kodon dan akhirnya merubah
urutan asam amino pada polipeptida yang terbentuk.
Mutasi kromosom adalah perubahan jumlah kromosom dan susunan
atau urutan gen dalam kromosom (Brookes, 1998). Mutagen kimia yang
menyebabkan mutasi kromosom antaralain: kolkisin, zat digitonin, nitrous
acids dan hidroksil-amina.
Menurut Zhu et al., (2006), mutasi dapat terjadi secara spontan
ataupun melalui induksi. Kedua mutasi tersebut dapat menimbulkan variasi
genetik untuk dijadikan dasar seleksi tanaman, baik seleksi secara alami
maupun buatan (pemuliaan). Teknik mutasi dalam bidang pemuliaan dapat
meningkatkan keragaman genetik tanaman sehingga memungkinkan pemulia

melakukan seleksi genotipe tanaman sesuai dengan tujuan pemuliaan yang


dikehendaki (Al-Qurainy dan Khan, 2009). Mutasi induksi dapat dilakukan
pada tanaman dengan perlakuan mutagen tertentu terhadap biji, serbuk sari,
kultur jaringan dan sebagainya (Mahandjiev et al.,2001). Salah satu mutagen
yang sering digunakan dalam penelitian tanaman dengan induksi mutasi
adalah mutagen kimia Ethyl Methane Sulphonate (EMS) (Soeranto, 2003).
2.3

Mutagen Ethyl Methane Sulphonate (EMS)


Ethyl Methane Sulphonate (EMS) merupakan senyawa alkil yang

dapat mengubah basa-basa DNA guanine menjadi 7-etilguanin yang


berpasangan dengan timin (Chopra, 2005).

Mutagen kimia EMS paling

banyak digunakan karena mudah diperoleh, efektif menghasilkan mutan dan


tidak bersifat mutagenik setelah terhidrolisis (Van Harten, 1998).
Menurut Alcantara et al., (1996) mutagen EMS digunakan pada
kisaran konsentrasi 0,5% sampai 1,5%. Penggunaan EMS dapat memicu
terjadinya mutasi telah banyak dilaporkan, diantaranya untuk mendapatkan
tanaman pisang yang toleran banana bunchy top nanovirus (Imelda et al.,
2000), peningkatan keragaman Abaka serta resistensinya terhadap Fusarium
(Purwati et al., 2007, Purwati et al., 2008), serta tanaman paprika yang
memiliki serbuk sari dan buah yang tahan penyakit busuk buah (Ashok et al.,
1995).

Jabeen dan Mirza (2002), melakukan penelitian induksi mutasi

dengan EMS pada tanaman cabai besar sehingga menghasilkan mutan-mutan


tanaman yang kerdil dengan tingkat dewasa bervariasi dari lambat ke cepat.
Dari hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa EMS adalah suatu mutagen

10

yang efektif dan dapat digunakan untuk menghasilkan mutan pada tanaman
cabai.
2.4

Perubahan-Perubahan yang Terjadi Akibat Mutasi


Perubahan yang terjadi pada morfologi tanaman akibat perlakuan EMS

seperti hasil penelitian pada tanaman kenaf yang menghasilkan jumlah cabang
yang banyak pada perlakuan EMS 0,7% pada perendaman 4 jam (Arumingtyas
dan Indriani, 2005), daun variegata pada Arabidopsis pada perlakuan 0,1 pada
perendaman 6 jam (Chen et al., 2000) dan hasil penelitian Jabeen dan Mirza
(2004) yang melakukan induksi mutasi pada cabai besar dengan EMS 0,5%
selama 6 jam, menghasilkan mutan kerdil.
Perlakuan EMS mengakibatkan beberapa perubahan yang terjadi pada
fisiologi tanaman antara lain, hasil penelitian Srivastava dan Jitendra (2012),
perlakuan EMS 0,5% dengan perendaman selama 3 jam, 5 jam dan 7 jam
menghasilkan kandungan klorofil tanaman safflower lebih rendah dibandingkan
kontrol. Kandungan terendah pada perlakuan perendaman selama 7 jam. Hasil
penelitian lainnya yaitu Pande et al., (2012) menyebutkan kombinasi perlakuan
mutagen sinar X 25 Kr

dan EMS 0,5% pada bunga matahari mengalami

peningkatan klorofil (Pande et al., 2012).


Perlakuan EMS juga mengakibatkan perubahan pada genetika tanaman.
Hal ini dibuktikan dari hasil penelitian tanaman pisang yang resisten terhadap
virus pada perlakuan EMS 0,7% dengan perendaman 5 jam (Imelda et al., 2000).
Penelitian tanaman paprika yang tahan penyakit busuk buah (Ashok et al., 1995).

BAB III
KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1

Kerangka Berpikir
Cabai rawit merupakan salah satu komoditas

Indonesia. Kebutuhan cabai rawit

sayuran yang penting di

tinggi sedangkan produksi nasional tidak

mampu memenuhi permintaan yang selalu bertambah dari tahun ke tahun. Ratarata produksi cabai rawit nasional saat ini masih rendah, karena hama dan
penyakit (Biro Pusat Statistik, 2011).
Peningkatan produktivitas cabai rawit melalui pemuliaan tanaman,
diantaranya dengan induksi mutasi. Pemuliaan dengan induksi mutasi dapat
dilakukan dengan menggunakan mutagen kimia Ethyl Methane Sulphonate
(EMS). EMS merupakan mutagen yang sering digunakan dalam penelitian
tanaman dengan

induksi mutasi. Keuntungan dari pemuliaan mutasi dengan

mutagen EMS adalah dapat merubah karakter tanaman cabai rawit seperti waktu
munculnya bibit, kelulushidupan tanaman, morfologi, fisiologi dan reproduktif
tanaman cabai rawit. Diharapkan dengan adanya kultivar unggul hasil induksi
mutasi maka produktivitas cabai rawit menjadi tinggi.

11

12

3.2 Konsep Penelitian

Kebutuhan cabai
rawit tinggi

Produktivitas
cabai rawit

Produksi cabai rawit


masih rendah

tinggi
Pemuliaan mutasi
Perendaman EMS
Kultivar
unggul

Mutagen kimia
EMS

1% selama 6 jam, 9
jam dan 12 jam

-Munculnya bibit
Karakter tanaman

-Kelulushidupan
-Morfologi
-Fisiologi

Seleksi

- Reproduktif

Gambar 3.1 Konsep Penelitian


3.3 Hipotesis:
Pemberian 1% EMS dengan lama perendaman 6 jam, 9 jam dan 12 jam
dapat menyebabkan perbedaan karakter morfologi, fisiologi dan reproduktif
tanaman cabai rawit.

BAB IV
METODELOGI PENELITIAN

4.1

Rancangan Penelitian
Rancangan percobaan dalam penelitian disusun berdasarkan rancangan

acak kelompok (RAK) satu faktor yang terdiri 4 perlakuan yaitu kontrol dan
perlakuan mutagen kimia EMS 1% dengan lama perendaman berbeda yaitu 6 jam,
9 jam dan 12 jam. Areal percobaan dibagi ke dalam 6 kelompok (ulangan),
masing-masing kelompok terdiri dari 4 petak percobaan sesuai dengan jumlah
perlakuan. Masing-masing perlakuan dan kontrol ditanam 40 bibit dan pada
masing-masing perlakuan diamati 6 tanaman (6 unit percobaan) yang ditentukan
secara acak. Keempat perlakuan percobaan ditentukan secara acak pada masingmasing kelompok, seperti terlihat pada Gambar 4.1

P6

P6

P6

P6

P6

P6

P6

P6

P6

P6

P12

P12

P12

P12

P12

P9

P9

P9

P9

P9

P12

P12

P12

P12

P12

P9

P9

P9

P9

P9

Kelompok 1
P12

P12

P12

P12

P12

P12

P12

P12

P12

P12

P9

P9

P9

P9

P9

P6

P6

P6

P6

P6

P9

P9

P9

P9

P9

P6

P6

P6

P6

P6

Kelompok 2

13

14

P9

P9

P9

P9

P9

P12

P12

P12

P12

P12

P9

P9

P9

P9

P9

P12

P12

P12

P12

P12

P6

P6

P6

P6

P6

P6

P6

P6

P6

P6

Kelompok 3
P6

P9

P9

P9

P9

P9

P6

P6

P9

P9

P9

P9

P9

P12

P12

P12

P12

P12

P12

P12

P12

P12

P6

P6

P6

P6

P6

P6

P6

P12

Kelompok 4
K

P6

P6

P6

P6

P6

P6

P6

P6

P6

P6

P12

P12

P12

P12

P12

P9

P9

P9

P9

P9

P12

P12

P12

P12

P12

P9

P9

P9

P9

P9

Kelompok 5
P12

P12

P12

P12

P12

P12

P12

P12

P12

P12

P9

P9

P9

P9

P9

P6

P6

P6

P6

P6

P9

P9

P9

P9

P9

P6

P6

P6

P6

P6

Kelompok 6
Gambar 4.1 Denah Percobaan
Keterangan:

K = kontrol (0% EMS)


P 6 = lama perendaman 6 jam dalam EMS 1%
P 9 = lama perendaman 9 jam dalam EMS 1%
P 12 = lama perendaman 12 jam dalam EMS 1%

15

4.2

Lokasi dan Waktu Penelitian


Tahap pembuatan larutan, pemberian perlakuan benih cabai rawit dan

pengamatan viabilitas polen dan pengujian kandungan klorofil dilakukan di


Laboratorium Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
Universitas Hindu Indonesia. Analisis tanah dilakukan di Laboratorium Ilmu
Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Udayana. Penanaman dan pengamatan
morfologi tanaman cabai rawit dilakukan di Banjar Sigaran Desa Mekar Bhuana,
Abiansemal. Penelitian dilaksanakan mulai bulan Desember 2012 -Juni 2013.
4.3

Ruang Lingkup Penelitian


Penelitian dibatasi hanya pada respon tanaman hasil perendaman benih

dengan EMS 1%. Respon yang diamati yaitu munculnya bibit, kelulushidupan
tanaman cabai rawit, karakter morfologi, fisiologi dan reproduktif tanaman cabai
rawit. Munculnya bibit meliputi persentase jumlah bibit yang muncul, sedangkan
kelulushidupan tanaman meliputi persentase tanaman yang mampu hidup pada
umur 12 MST dan 24 MST setelah tanam. Karakter morfologi meliputi tinggi
tanaman dan jumlah cabang. Pengamatan karakter morfologi yaitu tinggi tanaman
dilakukan pada 4 minggu setelah tanam (MST), 10 MST dan 20 MST, sedangkan
pengamatan jumlah cabang dilakukan pada 10 MST dan 20 MST. Karakter
fisiologi meliputi kandungan klorofil daun, sedangkan karakter reproduktif
meliputi: viabilitas polen, umur 50% tanaman berbunga, umur 50% tanaman
berbuah serta jumlah bunga pada 10 MST dan 20 MST sedangkan jumlah total
buah pada 24 MST.

16

4.4

Penentuan Sumber Data


Populasi yang digunakan dalam penelitian adalah cabai rawit. Ada

perbedaan dalam pengambilan jumlah sampel pada masing-masing variabel.


Munculnya bibit digunakan 480 sampel benih cabai rawit. Pengamatan karakter
morfologi diamati 144 tanaman. Karakter fisiologi masing-masing kelompok
diambil perwakilan 3 tanaman dari tiap perlakuan pada tiap ulangan secara acak.
Karakter reproduktif umur 50% tanaman berbunga, umur 50% tanaman berbuah,
jumlah bunga dan jumlah total buah diamati seluruh sampel. Pengamatan
viabilitas polen masing-masing kelompok diambil perwakilan 2 tanaman dari tiap
perlakuan pada tiap ulangan secara acak dan diamati 3 bunga dari masing- masing
tanaman tersebut.
4.5

Variabel Penelitian
Variabel bebas dalam penelitian adalah lama perendaman benih 6 jam, 9

jam dan 12 jam dalam EMS 1%. Variabel tergantungnya adalah respon tanaman
yaitu persentase munculnya bibit, persentase kelulushidupan, karakter morfologi,
fisiologi dan reproduktif tanaman cabai rawit.
4.5.1

Persentase Munculnya Bibit


Variabel yang diamati untuk mengetahui persentase munculnya bibit cabai

rawit diamati setiap hari setelah semai sampai memiliki 2 daun.


4.5.2

Persentase Kelulushidupan Tanaman Cabai Rawit


Variabel yang diamati untuk mengetahui kemampuan hidup tanaman

cabai rawit adalah persentase tanaman yang hidup setelah 6 bulan.

17

4.5.3

Morfologi Tanaman Cabai Rawit


Variabel yang diamati pada karakter morfologi tanaman cabai rawit

adalah tinggi tanaman dan jumlah cabang setelah perlakuan EMS 1% dengan lama
perendaman yaitu 6 jam, 9 jam dan 12 jam.
4.5.4

Fisiologi Tanaman Cabai Rawit


Variabel yang diamati untuk mengamati fisiologi tanaman cabai rawit

adalah kandungan klorofil daun tanaman cabai rawit, pada umur 5 minggu setelah
perlakuan EMS 1% dengan lama perendaman yaitu 6 jam, 9 jam dan 12 jam.
4.5.5

Reproduktif Tanaman Cabai Rawit


Variabel yang diamati dalam karakter reproduktif tanaman cabai besar

adalah viabilitas polen, umur 50% tanaman berbunga dan umur 50% tanaman
berbuah, jumlah bunga serta jumlah total buah cabai rawit setelah perlakuan EMS
1% dengan lama perendaman yaitu 6 jam, 9 jam dan 12 jam.
4.5.6. Hubungan Antar Karakter
Hubungan antar karakter yang meliputi interaksi tinggi tanaman dengan
jumlah cabang dan jumlah cabang dengan jumlah bunga dilakukan dengan
memplot karakter-karakter tersebut pada sumbu x dan y dan menganalisis
korelasinya dengan analisis korelasi Pearson. Menurut Sugiyono (2005), kriteria
yang digunakan untuk menentukan interprestasi koefisien korelasi adalah sebagai
berikut :
r = 0,000-0,199 = Korelasi yang sangat rendah
r = 0,200-0,399 = Korelasi yang rendah
r = 0,400-0,599 = Korelasi yang sedang

18

r = 0,600-0,799 = Korelasi yang kuat


r = 0,800-1,000 = Korelasi yang sangat kuat
4.6

Bahan Penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah benih cabai rawit

Capsicum frutescens L. Bhaskara yang diproduksi PT. BISI Internasional Tbk


yang diperoleh dari toko pertanian di Denpasar, Ethyl Methane Sulphonate
(EMS), akuades, buffer fosfat pH 7, air, aceton 80%, tanah dicampur bahan
organik dengan perbandingan 2:1, pupuk NPK, insektisida, zat warna 2% acetocarmine dan label.
4.7

Instrumen Penelitian
Alat yang digunakan pada penelitian adalah pinset, tabung reaksi,

penggaris, pensil, labu takar, alat-alat pertanian, gelas ukur, spektrofotometer,


mikroskop, timbangan analitik, pipet tetes, mikropipet, sentrifuge, pipet tip,
mortar, kaca penutup, gelas ukur, pH meter dan kamera.
4.8 Prosedur Penelitian
4.8.1

Pembuatan Buffer Fosfat dan Pembuatan 1% EMS


Pembuatan 1M buffer fosfat pH 7 dilakukan dengan cara

mencampurkan 70 ml 1M K2HPO4 dengan 20 ml 1M KH2PO4 lalu pH diukur


sampai mencapai pH 7. Jika pH belum mencapai nilai 7, maka ditambahkan
dengan KH2PO4. Konsentrasi buffer fosfat yang digunakan untuk melarutkan
EMS adalah 0,1M. Untuk membuat buffer fosfat pH 7 dengan konsentrasi
0.1M, maka dilakukan pengenceran 10 x dari buffer fosfat 1M (Koethoff et

19

al., 1989). Selanjutnya 1% EMS dibuat dengan cara mengambil 0,05 ml EMS
dan dijadikan 5 ml dengan buffer fosfat pH 7.
4.8.2

Pembuatan Zat Warna 2% Aceto-carmine


Zat warna aceto-carmine dibuat dengan cara melarutkan 0,5 gram

carmine bubuk dilarutkan dalam 25 ml asam asetat 45%. Selanjutnya diaduk


dengan batang pengaduk sampai tercampur. Kemudian dipanaskan hingga
mendidih, didinginkan, kemudian disaring dengan kertas saring (Koethoff et
al., 1989).
4.8.3. Pengolahan Lahan
Tanah digemburkan dengan cara dicangkul, kemudian dibuat
bedengan dengan ukuran lebar 90 cm 120 cm. Pembuatan parit atau saluran
irigasi dengan ukuran 40 cm. Pemupukan dasar yaitu dengan pupuk kandang,
berupa kotoran babi disebarkan secara merata pada permukaan tanah
bedengan. Dosis pupuk kandang yang diberikan adalah 15 ton/ha lahan. Selain
itu, ditambahkan pupuk NPK (1:1:1) sebanyak 180 kg/ha. Kemudian
bedengan tersebut ditutup plastik mulsa.
4.8.4. Perlakuan Pemberian EMS dan Penyemaian
Perlakuan pemberian EMS dilakukan terhadap benih berdasarkan
metode dari Alcantara et al., (2004). Benih cabai rawit direndam dalam air
selama 6 jam, selanjutnya direndam EMS 1% yang dilarutkan dalam buffer
fosfat pH 7, selama 6 jam, 9 jam dan 12 jam. Sebagai kontrol benih
direndam dalam buffer fosfat pH 7. Perendaman dilakukan pada suhu ruang.

20

Benih-benih yang telah diperlakukan dicuci dengan air mengalir


selama 30 menit untuk menghilangkan sisa-sisa mutagen yang menempel pada
benih. Selanjutnya benih-benih tersebut disemaikan dalam bumbungan yang
terbuat dari kertas.
4.8.5. Penanaman di Lapang
Setelah memiliki

2 daun, bibit

dipindahkan ke

bedengan.

Pemeliharaan tanaman dilakukan sesuai dengan anjuran budidaya tanaman


cabai rawit (Cahyono, 2003). Penanaman dilakukan dengan jarak tanam 50 x
60 cm untuk dataran rendah dan 60 x 75 cm untuk dataran tinggi. Tanaman disiram

setiap hari, diberikan pupuk NPK. Pemupukan dilakukan 4 MST, pemupukan


susulan kedua dilakukan 10 MST dan pemupukan susulan ketiga dilakukan 16
MST. Penggunan insektisida sesuai kondisi tanaman. Tanaman cabai rawit
dipelihara selama 6 bulan.
4.8.6 Pengamatan Morfologi
Pengamatan dilakukan mulai munculnya bibit tanaman cabai rawit.
Pengamatan morfologi meliputi tinggi tanaman dan jumlah cabang. Tinggi
tanaman ditentukan dengan mengukur mulai dari leher akar sampai titik
tumbuh tanaman. Jumlah cabang ditentukan dengan cara menghitung jumlah
cabang yang tumbuh dari batang pokok sampai semua cabang tanaman cabai
rawit. Pengamatan dilakukan setiap 2 minggu.
4.8.7 Kandungan Klorofil
Karakter fisiologi diamati melalui penghitungan kandungan klorofil.
Penghitungan kandungan klorofil dilakukan menurut metode Lichtenthaler

21

dan Wellburn (1983). Sampel yang digunakan adalah daun ketiga dari pucuk
yang sudah berkembang sempurna. Daun ditimbang sebanyak 0,1 g lalu
digerus dengan mortar, kemudian ditambah aceton 80% sebanyak 3 ml dan
disentrifuge pada 3000 rpm selama 3 menit. Pellet yang masih dalam tabung
ditambahkan 1 ml aceton dan disentrifuge kembali. Supernatan yang didapat
dipindahkan ke labu takar sebelumnya, sampai mencapai 5 ml, kemudian
diukur absorbansinya pada panjang gelombang 645 nm dan 663 nm.
Penghitungan kandungan klorofilnya sebagai berikut:
1. Klorofil a C55 H72O5N4 mg/L
= 12,7 x E663 2,69 x E645
2. Klorofil b C55H70O6N4 mg/L
= 22,9 x E645 4,68 x E663
3. Klorofil total mg/L
= 20,2 x E645 + 8,02 x E663
4.8.8 Pengamatan Karakter Reproduktif
Karakter reproduksi diamati melalui pengamatan viabilitas polen pada
tanaman kontrol dan tanaman-tanaman hasil perlakuan EMS. Menurut Tyagi
(2002), viabilitas polen diamati dengan menggunakan uji warna acetocarmine. Polen dari bunga yang mekar ditaburkan di atas kaca objek dan
ditetesi dengan 2% aceto-carmine, dan dibiarkan selama 30 menit. Masingmasing sampel diwakili dengan menggunakan 3 preparat, diamati dengan satu
bidang pandang pembesaran 10x40 pada setiap preparat di bawah mikroskop.

22

Polen yang viabel merupakan polen yang dapat menyerap zat warna
2% aceto-carmine dengan baik dan memiliki dinding yang tidak mengkerut.
Polen yang tidak viabel merupakan polen yang tidak dapat menyerap zat
warna aceto-carmine dan berdinding mengkerut. Selanjutnya dilakukan
penghitungan persentase viabilitas polen yaitu jumlah polen dengan dinding
tidak mengkerut dan terwarnai dibagi jumlah polen yang diamati dikalikan
100%. Karakter reproduktif lain yang diamati antara lain dengan mencatat
umur 50% tanaman berbunga, umur 50% tanaman berbuah, jumlah bunga dan
jumlah total buah. Selanjutnya jumlah bunga dihitung dengan cara manual
setiap 2 minggu sedangkan jumlah total buah dihitung secara setiap kali panen
selama 6 bulan.
4.9

Metode Pengolahan Data


Data persentase munculnya bibit dan persentase kelulushidupan

tanaman dilihat berdasarkan rata-rata persentase munculnya bibit dan jumlah


tanaman yang bertahan hidup. Rata-rata tinggi tanaman, jumlah cabang,
jumlah bunga, jumlah total buah, umur 50% tanaman berbunga, umur 50%
tanaman berbuah, kandungan klorofil dan persentase viabilitas polen dianalisis
secara statistik dengan menggunakan ANOVA (Analisis of Variance). Jika
berbeda nyata diuji lanjut dengan uji Duncan Multiple Range Test. Data yang
diperoleh diaplikasikan dengan menggunakan program SPSS (Statistical
Program for Social Sciences) for windows versi 15.0 tahun 2006.
tersebut kemudian disajikan dalam bentuk tabel dan grafik.

Data

BAB V
HASIL PENELITIAN

5.1.

Persentase Munculnya Bibit Cabai Rawit


Hasil pengamatan munculnya bibit pada bumbungan menunjukkan bahwa

pada kontrol maupun perlakuan, bibit pertama kali muncul pada 8 hari setelah
semai (HSS) dan jumlah bibit yang terbanyak muncul pada 8 HSS adalah pada
kontrol.

Pada 10 HSS, persentase munculnya bibit pada kontrol dan semua

perlakuan mencapai 100% (Tabel 5.1).


Tabel 5.1
Persentase Munculnya Bibit Cabai Rawit Setelah Perlakuan EMS 1%
dengan Lama Perendaman Berbeda.
Hari
Kontrol

Persentase Munculnya Bibit


P. 6 jam
P. 9 jam
P. 12 jam

73.3

31.7

50.0

31.7

85.0

50.0

70.0

53.3

10

100

100

100

100

Keterangan: P. 6 jam, P. 9 jam dan P. 12 jam = perendaman benih


selama 6 jam, 9 jam dan 12 jam dalam 1% EMS.
5.2

Karakter Pertumbuhan Tanaman Cabai Rawit


Pengaruh 1% EMS terhadap pertumbuhan tanaman cabai rawit diamati

pada beberapa karakter seperti tinggi tanaman yang diamati pada 4 MST, 10 MST
dan 20 MST. Jumlah cabang yang diamati pada 10 MST dan 20 MST. Analisis
tanah dilakukan di awal penelitian setelah pengolahan lahan. Hasil tersebut
disajikan pada Lampiran 12.

23

24

Perlakuan 1% EMS dengan perendaman berbeda memberikan pengaruh


nyata (P 0,05) ter hadap tinggi tanaman pada 4 MST dan 10 MST. Perbedaan
tersebut terlihat dari hasil uji Duncan, perlakuan perendaman 1% EMS selama 6
jam, 9 jam dan 12 jam dimana tanaman tertinggi dihasilkan oleh kontrol dan
tanaman terendah dihasilkan oleh perlakuan perendaman selama 12 jam. Pada 20
MST, diantara perlakuan 1% EMS dengan perendaman berbeda menghasilkan
tinggi tanaman yang berbeda. Tinggi tanaman antar perlakuan memiliki perbedaan
yaitu perendaman 6 jam memiliki tanaman tertinggi sedangkan tanaman terendah
pada perendaman 12 jam (Gambar 5.1).
(b)
(ab)
(ab)
(a)

Tinggi Tanaman (cm)

60
50
40
30

(d)

10
0

Kontrol
P.6 Jam
P.9 Jam
P.12 Jam

(c)
(b)
(a)

20
(d)
(c)
(b)(a)

4 MST

10 MST
Umur

20 MST

Gambar 5.1.
Grafik Rata-rata Tinggi Tanaman.
Huruf yang sama pada satu garis dalam grafik berarti tidak berbeda nyata
(P 0,05)
Perlakuan EMS 1% dengan lama perendaman berbeda berpengaruh nyata
(P 0,05) terhadap jumlah cabang tanaman cabai rawit. Jumlah cabang paling
banyak terdapat pada kontrol pada 10 MST. Semakin lama perendaman bebih

25

cabai rawit dengan EMS 1%, jumlah cabang akan semakin sedikit pada 10 MST.
Pada 20 MST perlakuan perendaman selama 6 jam memiliki jumlah cabang paling
banyak (Tabel 5.2).
Tabel 5.2
Jumlah Cabang per Tanaman
Perlakuan

10 Minggu

20 Minggu

Kontrol

4,3 0,2(c)

20,7 0,5(a)

P.6 Jam

3,2 0,1(b)

21,6 0,2(b)

P.9 Jam

2,8 0,0(a)

21,4 0,1(ab)

P.12 Jam

2,6 0,0(a)

20,9 0,1(ab)

Keterangan: Angka adalah nilai rata-rata standar error.


Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama
pada kolom yang sama berarti tidak berbeda
nyata (P 0,05).
5.3

Karakter Fisiologi Tanaman Cabai Rawit


Pergaruh EMS 1% dengan variasi lama perendaman terhadap perubahan

karakter fisiologis diamati melalui kandungan klorofil a, klorofil b dan klorofil


total pada tanaman cabai rawit.
Perlakuan 1% EMS memberikan pengaruh nyata (P 0,05) t erhadap
kandungan klorofil a, klorofil b dan klorofil total tanaman cabai rawit.
Perendaman 12 jam memiliki kandungan klorofil a, klorofil b dan klorofil total
terendah dibandingkan dengan kontrol dan perlakuan lainnya.

Kandungan

klorofil b pada perlakuan perendaman 9 jam sama dengan kontrol. Perlakuan


perendaman selama 6 jam memiliki kandungan klorofil terbanyak (Tabel 5.3).

26

Tabel 5.3
Kandungan Klorofil a, Klorofil b, dan Klorofil Total pada Daun Tanaman Cabai
Rawit pada 5 MST
Perlakuan

Klorofil a(mg/L)

Klorofil b (mg/L) Klorofil total (mg/L)

Kontrol

19.3 0.5(b)

19.8 0.7(ab)

39.1 1.1(b)

P.6 jam

18.5 0.6(b)

20.9 0.8(b)

39.3 0.9(b)

P.9 jam

17.9 0.5(b)

20.6 0.7(ab)

38.5 1.2(b)

P.12 jam

16.2 0.6(a)

18.0 1.1(a)

34.2 1.4(a)

Keterangan : Angka adalah nilai rata-rata standar error. Angka-angka yang


diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama berarti tidak
berbeda nyata (P 0,05).
5.4

Hubungan Antar Karakter


Berdasarkan hasil penelitian ini, selanjutnya dicari hubungan karakter

morfologi tanaman cabai rawit. Korelasi digunakan untuk mengetahui adanya


hubungan antara dua variabel pada masing-masing perlakuan 1% EMS dengan
lama perendaman berbeda. Korelasi positif menyatakan hubungan yang searah
antara dua variabel, artinya semakin tinggi suatu variabel, maka nilai variabel lain
pun akan semakin tinggi. Sebaliknya, korelasi negatif menandakan adanya
hubungan berbalik arah antar dua variabel, yang artinya semakin tinggi suatu
variabel, nilai variabel lain akan semakin rendah atau sebaliknya.

Tabel 5.4

menunjukkan bahwa terdapat korelasi Pearson yang positif dan signifikan antara
tinggi tanaman dengan jumlah cabang serta jumlah cabang dengan jumlah bunga
tanaman cabai rawit pada kontrol dan perlakuan 1% EMS dengan perendaman
berbeda. Tingkat korelasi Pearson yang terjadi antara kedua variabel tesebut
adalah korelasi kuat sampai dengan sangat kuat. Korelasi yang paling kuat terjadi

27

antara tinggi tanaman dengan jumlah cabang serta jumlah cabang dengan jumlah
bunga yang diberi perlakuan 1% EMS perendaman benih cabai selama 9 jam.
Tabel 5.4
Nilai Korelasi Karakter Tanaman Cabai Rawit pada 12 MST
Nilai Korelasi Pearson Antar Karakter
Perlakuan Tinggi dengan Jumlah
Jumlah Cabang dengan
Cabang
Jumlah Bunga
Kontrol
0,626*
0,888*
P.6 Jam
0,780*
0,817*
P.9 Jam
0,872*
0,958*
P.12 Jam
0,805*
0,910*
*Signifikan pada tingkat kepercayaan 95%.
5.5

Karakter Reproduktif Tanaman Cabai Rawit


Pengaruh 1% EMS terhadap karakter reproduktif tanaman cabai rawit

diamati pada jumlah bunga pada 10 MST dan 20 MST, sedangkan jumlah total
buah diamati pada 24 MST. Selain itu juga dilakukan pengamatan umur 50%
tanaman berbunga dan berbuah serta viabilitas polen.
Perlakuan 1% EMS dengan perendaman yang berbeda tidak berpengaruh
nyata (P 0,05) terhadap umur 50% berbunga dan 50% berbuah cabai rawit pada
perlakuan dan tanaman kontrol (Tabel 5.5).

Tabel 5.5
Rata-rata Umur 50% Berbunga dan Berbuah
Perlakuan

50 % Berbunga (Hari)

50% Berbuah (Hari)

Kontrol

42,0 0,0(a)

56,0 0,0(a)

P.6 Jam

42,0 0,0(a)

56,0 0,0(a)

P.9 Jam

44,3 2,3(a)

56,0 0,0(a)

P.12 Jam

46,6 2,9(a)

60,6 2,9(a)

Keterangan : Angka adalah nilai rata-rata standar error. Angka-angka


yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama
berarti tidak berbeda nyata (P 0,05).

28

Jumlah bunga tanaman cabai rawit yang diberi perlakuan 1% EMS dengan
lama perendaman yang berbeda secara umum lebih sedikit dibandingkan kontrol
pada 10 MST. Perlakuan 1% EMS dengan lama perendaman berbeda berpengaruh
nyata (P 0,05) terhadap jumlah bunga pada 10 MST dan 20 MST. Pada 10 MST
jumlah bunga paling banyak dihasilkan oleh perlakuan kontrol, sedangkan pada 20
MST jumlah bunga paling banyak pada perlakuan perendaman selama 9 jam dan
tidak berbeda dengan perlakuan lainnya jika dibandingkan dengan kontrol (Tabel
5.6).

Perlakuan

Tabel 5.6
Jumlah Bunga per Tanaman Cabai Rawit
10 Minggu
20 Minggu

Kontrol

2,6

0,1(b)

13,5 0,2(a)

P.6 Jam

2,3

0,0(ab)

15,8 0,5(b)

P.9 Jam

2,3

0,0(a)

16,2 0,3(b)

P.12 Jam

2,3

0,1(a)

15,4 0,2(b)

Keterangan: Angka adalah nilai rata-rata standar error. Angka-angka


yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama
berarti tidak berbeda nyata (P 0,05).
Secara umum terjadi peningkatan jumlah total buah cabai rawit
dibandingkan dengan kontrol. Perlakuan 1% EMS dengan perendaman yang
berbeda memberikan pengaruh nyata (P 0,05) terhadap jumlah total buah 24
MST. Perbedaan tersebut dapat dilihat pada hasil Duncan, yaitu perlakuan 1%
EMS dengan perendaman berbeda memiliki jumlah total buah yang lebih banyak
diurutkan seperti berikut 6 jam, 12 jam dan 9 jam dibandingkan dengan kontrol
(Tabel 5.7).

29

Tabel 5.7
Jumlah Total Buah per Tanaman Cabai Rawit
Perlakuan
24 Minggu
Kontrol

52,9

0,9(a)

P.6 Jam

59,3

0,6(b)

P.9 Jam

60,1

0,6(b)

P.12 Jam

59,9

0,5(b)

Keterangan : Angka adalah nilai rata-rata standar error.


Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama
pada kolom yang sama berarti tidak berbeda nyata
(P 0,05).
Perlakuan 1 % EMS dengan perendaman berbeda berpengaruh nyata (P
0,05) terhadap viabilitas polen. Perendaman dengan 1% EMS menyebabkan
viabilitas polen lebih tinggi dibandingkan pada tanaman kontrol. Perbedaan
tersebut dapat dilihat pada hasil uji Duncan yaitu persentase viabilitas polen
perendaman 6 jam paling tinggi tetapi tidak berbeda dengan perlakuan 12 jam.
(Tabel 5.8).
Tabel 5.8
Rata-rata Persentase Viabilitas Polen Tanaman Cabai Rawit pada 6 MST
Perlakuan

Viabilitas Polen (%)

Kontrol

74.3 0.4(a)

P.6 jam

81.2 0.7(c)

P.9 jam

78.9 0.2(b)

P.12 jam

80.6 0.4(c)

Keterangan : Angka adalah nilai rata-rata standar error. Angka angka


yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama
berarti tidak berbeda nyata (P 0,05).
Gambar 5.2 menunjukkan gambar polen yang viabel dan tidak viabel pada
bunga tanaman cabai rawit.

30

Gambar 5.2
Polen Tanaman Cabai Rawit (Capsicum Frutescens L.)
Keterangan: Perbesaran mikroskop 4x10, X adalah polen
tidak viabel, Y adalah polen viabel.
5.6

Kelulushidupan Tanaman Cabai Rawit


Berdasarkan pengamatan kelulushidupan tanaman cabai rawit pada 12

MST terlihat bahwa perlakuan 1% EMS dengan perendaman 6 jam dan 12 jam
mampu bertahan hidup 100%, sedangkan pada perlakuan perendaman 9 jam yaitu
83,33. Pada kontrol persentase kelulushidupan paling kecil yaitu 80,56. Pada 24
MST, persentase kelulushidupan tanaman cabai rawit mengalami penurunan
hanya pada kontrol yaitu 72,22 (Tabel 5.9).
Tabel 5.9
Persentase Kelulushidupan Tanaman Cabai Rawit
Jumlah Tanaman Yang Hidup (%)
Perlakuan
12 Minggu
24 Minggu
Kontrol

80,56

72,22

P.6 Jam

100,00

100,00

P.9 Jam

83,33

83,33

P.12 Jam

100,00

100,00

BAB VI
PEMBAHASAN

6.1

Persentase Munculnya Bibit


Hasil penelitian perlakuan 1% EMS dengan perendaman berbeda

menyebabkan terhambatnya muncul bibit jika dibandingkan dengan kontrol,


namun pada 10 hari setelah semai (HSS) kemunculan bibit dengan perlakuan 1%
EMS dapat mencapai 100% (Tabel 5.1). Pada 8 HSS perendaman selama 6 jam
dan 12 jam menghasilkan kemunculan bibit yang lebih rendah dibanding
perlakuan 9 jam. Hal ini karena benih masih dalam pengaruh sifat racun dari
EMS (Poerba, 2000). Pada perendaman 9 jam, pada 8 HSS jumlah bibit yang
muncul lebih banyak dari perlakuan lainnya, yang dapat disebabkan sifat acak dari
mutasi sehingga tidak menghasilkan pola yang jelas. Walaupun demikian, pada
10 HSS munculnya bibit dapat mencapai 100% baik pada kontrol maupun
perlakuan. Hal tersebut karena benih yang diberikan perlakuan mutagen EMS
dapat beradaptasi dan mampu muncul ke permukaan tanah (Cassaret, 1961).
Menurut Al-Qurainy dan Khan (2009) faktor yang mendorong proses
perkecambahan benih hasil perlakuan mutagenik adalah kemampuan benih
mengembangkan toleransi terhadap efek penghambatan mutagen dan telah
meningkatkan kondisi fisiologis pada saat berlangsungnya proses perkecambahan,
sehingga benih yang diberi perlakuan mutagen bisa mengalami perkecambahan
walaupun lambat.
Kerusakan fisiologis dapat disebabkan karena kerusakan kromosom dan
kerusakan sel di luar kromosom. Kerusakan tersebut merupakan gangguan

31

32

fisiologis bagi pertumbuhan tanaman. Besarnya kerusakan fisiologis tergantung


pada besarnya konsentrasi mutagen yang digunakan dan semakin tinggi
konsentrasi yang digunakan makin tinggi kerusakan fisiologis yang timbul dan
berakhir kematian. Kerusakan fisiologis hanya terjadi pada generasi M1
sedangkan mutasi gen, mutasi kromosom dan mutasi sitoplasma akan diturunkan
pada generasi berikutnya (Mugiono, 2001).
Perlakuan mutagen akan menyebabkan kerusakan sel atau terhambatnya
metabolisme sel karena adanya gangguan sintesa RNA sehingga sintesis enzim
yang diperlukan untuk pertumbuhan terhambat. Adanya gangguan struktur DNA
akan menyebabkan enzim yang dihasilkan kehilangan fungsinya.

Perlakuan

mutagen dapat menyebabkan enzim yang merangsang pertunasan menjadi tidak


aktif, sehingga pertumbuhan tanaman terhambat (Cassaret,1961).
Efek EMS dalam menurunkan perkecambahan bisa dihubungkan dengan
beda potensial air. Perbedaan potensial air di dalam sel dan di luar sel dapat
menghambat perkecambahan benih karena adanya hambatan penyerapan air.
Loveless (1991) menegaskan bahwa semakin besar konsentrasi partikel atau zat,

makin rendah nilai potensial air. Meningkatnya potensial osmotik, EMS akan
menurunkan potensial air sehingga akan menyulitkan benih mendapatkan air.
Konsentrasi EMS yang lebih tinggi dapat menurunkan potensial air di luar benih
dan oleh karena itu benih tidak dapat melakukan imbibisi air yang cukup untuk
perkecambahan (Singh dan Kole, 2005).
Jayakumar dan Selvaraj (2003) menyatakan bahwa tingginya konsentrasi
EMS dapat menghancurkan promotor pertumbuhan, meningkatkan penghambat

33

pertumbuhan dan metabolisme benih, dan menyebabkan berbagai penyimpangan


kromosom.

EMS merupakan senyawa yang beracun, sehingga menghambat

pertumbuhan, tetapi akhirnya benih dapat beradaptasi dan mampu muncul ke


permukaan tanah. Hasil yang sama diperoleh dari penelitian Pharmawati et al.,
(2013) pada cabai besar dimana EMS 1% dengan lama perendaman 6 jam
menghambat perkecambahan dan hanya mencapai tingkat perkecambahan 964.4
% pada 10 HSS.
6.2

Karakter Morfologi Tanaman Cabai Rawit Akibat Pengaruh EMS


Berdasarkan hasil penelitian pada umur 4 MST dan 10 MST tanaman

perlakuan perlakuan 1% EMS dengan perendaman berbeda memiliki tinggi


tanaman dan jumlah cabang lebih rendah jika dibandingkan dengan kontrol. Hal
ini terkait dengan proses munculnya bibit yang dihambat oleh EMS, pada
pertumbuhan selanjutnya terjadi peningkatan tinggi pada tanaman perlakuan
dibandingkan dengan kontrol, karena tanaman sudah mampu beradaptasi terhadap
mutagen EMS (Cassaret, 1961). Hal tersebut terlihat pada 20 MST perlakuan
perendaman selama 6 jam menghasilkan tanaman tertinggi dengan jumlah cabang
terbanyak dibandingkan dengan kontrol dan perlakuan lainnya. Sehingga dapat
dikatakan bahwa perlakuan 1% EMS dengan lama perendaman 6 jam paling
efektif mempengaruhi tinggi tanaman dan jumlah cabang cabai rawit.
Efek meningkatkan tinggi ini mungkin terjadi karena perubahan yang
cepat dalam proses metabolisme bibit dan peningkatan aktivitas promoter
pertumbuhan (Alka dan Khan, 2011). Meningkatnya proses metabolisme
mengakibatkan proses pembelahan sel, pemanjangan sel dan juga pembentukan

34

jaringan meningkat dan akhirnya dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman


seperti tinggi tanaman (Hermansyah dan Inoriah, 2009). Pertambahan tinggi
tanaman dapat terjadi karena adanya proses pembelahan sel pada meristem apikal,
yang ditandai dengan perpanjangan pucuk yang diikuti oleh perkembangannya
menjadi daun dan batang (Puspita et al., 2010).
Perlakuan EMS 1% dengan lama perendaman yang berbeda berpengaruh
terhadap jumlah cabang tanaman cabai rawit. Perlakuan perendaman selama 6 jam
memiliki jumlah cabang paling banyak dibandingkan dengan perlakuan lainnya
dan kontrol (Tabel 5.2). Hal ini menunjukkan pengaruh sensitivitas mutagen EMS
terjadi pada tahap perkembangan tanaman. Sensitivitas mutagenik sangat
dipengaruhi oleh tahap perkembangan tanaman (Deshpande et al., 2010). Hasil
karakter vegetatif yang bervariasi diduga akibat dari pengaruh mutagen kimia
yang bersifat acak. Ethyl methane sulphonate menyebabkan mutasi titik melalui
transisi

pada

DNA,

melalui

perubahan

pasangan

basa

GC-AT

yang

mengakibatkan perubahan asam amino (Chopra, 2005).


Terjadinya perubahan morfologi yang bervariasi pada tanaman cabai rawit
jika dibandingkan kontrol yang terjadi akibat pengaruh mutagen EMS diharapkan
mampu menghasilkan keragaman yang besar dan berpeluang terhadap seleksi
tanaman hasil mutasi untuk meningkatkan produksinya. Jaben dan Mirza (2002)
menyatakan bahwa penggunaan EMS 0.5% dengan perendaman selama 6 jam
dapat mempengaruhi mutasi morfologi tanaman cabai besar.

35

6.3

Karakter Fisiologi Tanaman Cabai Rawit


Perlakuan 1% EMS dengan perendaman berbeda memberikan pengaruh

nyata (P 0,05) terhadap kandungan klorofil a, klorofil b dan klorofil total


tanaman cabai rawit (Tabel 5.3). Kandungan klorofil a, klorofil b dan klorofil total
pada tanaman yang diberi perlakuan lebih kecil dibandingkan dengan kontrol
yang kandungan klorofilnya paling banyak. Kandungan klorofil a, klorofil b dan
klorofil total paling rendah didapat pada benih yang diberikan perlakuan selama
12 jam.
Klorofil a dan b berperan dalam proses fotosintesis tanaman. Klorofil b
berfungsi sebagai antena fotosintetik yang mengumpulkan cahaya kemudian
ditransfer ke pusat reaksi. Pusat reaksi tersusun dari klorofil a. Energi cahaya
akan diubah menjadi energi kimia di pusat reaksi yang kemudian dapat digunakan
untuk proses reduksi dalam fotosintesis (Taiz dan Zeiger, 1991).
Peningkatan kandungan klorofil b akan meningkatkan efisiensi fungsi
antena fotosintetik pada Light Harvesting Complex II (LHC II). Penyesuaian
tanaman terhadap lingkungan dengan radiasi yang rendah juga dicirikan dengan
membesarnya antena untuk fotosistem II. Membesarnya antena untuk fotosistem
II akan meningkatkan efisiensi pemanenan cahaya (Hidema et al., 1992).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan 1% EMS menyebabkan
kandungan klorofil lebih rendah dibandingkan kontrol. Pengujian kandungan
klorofil dilakukan pada 5 MST yaitu seminggu setelah pemupukan dasar. Menurut
Hendriyani dan Setiari (2009), faktor-faktor yang mempengaruhi sintesis klorofil
meliputi: cahaya, gula atau karbohidrat, air, suhu, faktor genetik dan unsur-unsur

36

nitrogen, magnesium, fosfor, mangan, Cu, Zn, sulfur dan oksigen. Hasil analisis
tanah pada Lampiran 12, menunjukkan bahwa kandungan posfor tanah sangat
tinggi. Unsur fosfor komponen penting penyusun senyawa ATP yang berperan
sebagai sumber energi pada reaksi gelap fotosintesis sedangkan nitrogen dan
magnesium yang diketahui sebagai unsur yang mutlak harus tersedia pada
pembentukan klorofil (Dwijoseputro 1986).
Rendahnya kandungan klorofil pada perlakuan diduga disebabkan oleh
efek toksik dari EMS yang mengakibatkan perubahan pada basa DNA. Perubahan
pada gen akan berdampak pada perubahan fungsi sel tanaman (Khan et al., 2009).
Menurut Lichtenthaler dan Wellburn (1983), mutagen EMS pada perendaman
yang lama dapat menghambat proses biosintesis klorofil. Hal yang sama dengan
temuan yang menyatakan bahwa perlakuan konsentrasi dan perendaman mutagen
EMS yang meningkat mengakibatkan penurunan kandungan klorofil a, klorofil b
dan total pada tanaman kacang hijau (Svetlana, 2004). Pada hasil penelitian
Srivastava dan Pandey (2012), menunjukan tanaman safflower (Carthamus
tinctorius L.) yang diberi perlakuan EMS dengan lama perendaman berbeda
menghasilkan kandungan klorofil a dan klorofil b, lebih rendah dengan waktu
perendaman lebih lama. Kandungan klorofil total menurun dari 11.83g/ml pada
kontrol menjadi 6.36g/ml pada perlakuan selama 7 jam.

37

Hasil yang diperoleh pada penelitian ini berbeda dengan temuan yang
menyatakan bahwa mutagen dapat menyebabkan peningkatan jumlah klorofil
pada daun (Harahap, 2005). Penelitian Pande et al., (2012) menyebutkan
kombinasi perlakuan mutagen sinar X 25 Kr

dan EMS 0,5% menyebabkan

terjadinya peningkatan klorofil pada tanaman

bunga matahari. Peningkatan

kandungan klorofil disebabkan karena terjadinya peningkatan kandungan


karotenoid yang disebabkan kombinasi sinar-X dan EMS menginduksi kerusakan
pada fotosistem tanaman yang memiliki gejala yang mirip seperti kerusakan
cahaya pada tanaman, sehingga menyebabkan kandungan karotenoid pada
tanaman meningkat dan maksimum pada perlakuan 25 Kr + 0,5% EMS. Selain
itu peningkatan kandungan klorofil dipengaruhi oleh umur tanaman, umur daun
dan morfologi daun. Biber (2007) menyatakan bahwa umur daun dan tahapan
fisiologis suatu tanaman merupakan faktor yang menentukan kandungan klorofil.
6.4

Hubungan Antar Karakter


Tabel 5.4 tersebut menunjukkan bahwa terdapat korelasi Pearson yang

positif dan signifikan antara tinggi tanaman dengan jumlah cabang dan jumlah
cabang dengan jumlah bunga tanaman cabai rawit pada kontrol dan setiap
perlakuan perendaman benih cabai dengan EMS 1%. Korelasi Pearson yang
positif dengan nilai r yang paling kuat terjadi antara tinggi tanaman dengan
jumlah cabang tanaman rawit yang diberi perlakuan perendaman benih cabai
dengan EMS 1% selama 9 jam. Semakin tinggi tanaman akan meningkatkan
pertumbuhan tunas sehingga akan mampu memperbanyak jumlah cabang
(Hermansyah dan Inoriah, 2009).

38

Meningkatnya tinggi tanaman sejalan dengan meningkatnya jumlah


cabang hal ini terjadi karena meningkatnya pembelahan sel pada meristem apikal
dan perpanjangan sel mengakibatkan pertambahan tinggi tanaman, kemudian
diikuti oleh pembentukan cabang (Puspita et al., 2010). Adanya dominansi apikal
pada ujung tanaman saat pertumbuhan tanaman menyebabkan meningkatnya
tinggi tanaman. Percabangan dapat terjadi karena dominasi apikal yang
menyebabkan adanya persaingan antara tunas pucuk dengan tunas lateral,
sehingga pada fase vegetatif tanaman dapat bertambah tinggi disertai
pembentukan daun dan cabang terminal pada percabangan dikotomi. Pada titik
tertentu yang jauh dari pucuk tanaman akan muncul juga percabangan lateral.
Peningkatan

jumlah

cabang

terjadi

karena

hilangnya

dominasi

apikal

mengakibatkan distribusi lateral hormon pertumbuhan (Alka dan Khan, 2011).


Korelasi Pearson yang positif r yang paling kuat terjadi antara jumlah
cabang dengan jumlah bunga tanaman cabai rawit yang diberi perlakuan
perendaman EMS 1% selama 9 jam. Peningkatan jumlah cabang tanaman juga
meningkatkan munculnya bunga, sehingga banyaknya cabang akan berpengaruhi
terhadap banyaknya bunga, sehingga jumlah cabang produktif dapat menghasilkan
jumlah bunga yang lebih banyak (Sutapradja, 2008).
6.5

Karakter Reproduktif Tanaman Cabai Rawit


Pengaruh EMS 1% terhadap karakter reproduktif tanaman cabai rawit

yang diamati meliputi jumlah bunga pada 10 MST dan 20 MST, sedangkan untuk
jumlah total buah diamati pada 24 MST. Selain itu juga dilakukan pengamatan

39

terhadap viabilitas polen, umur 50% tanaman berbunga dan umur 50% tanaman
berbuah.
Pada penelitian ini perlakuan perendaman berbeda tidak berpengaruh
terhadap umur 50% berbunga dan umur 50% berbuah. Hal ini disebabkan umur
berbunga dan berbuah tidak mutlak dipengaruhi oleh perlakuan mutagen, tetapi
juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan yang ada di antaranya suhu, cahaya,
kelembaban dan curah hujan yang mendukung kondisi lingkungan tanaman cabai
yang menyebabkan pertumbuhan dan perkembangan normal, sehingga mampu
merangsang pembentukan bunga (Conger et al., 1977). Spesies tanaman memiliki
kemampuan berbeda dalam menanggapi pengaruh mutagen (Mensah et al., 2007).
Hal tersebut mengakibatkan umur berbunga dan berbuah dengan perlakuan 1%
EMS tidak menunjukkan hasil perbedaan yang nyata.
Perlakuan 1% EMS dengan lama perendaman berbeda berpengaruh nyata
(P 0,05) terhadap jumlah bunga dan jumlah total buah. Pada perlakuan
perendaman berbeda memiliki jumlah bunga dan jumlah total buah lebih tinggi
dibandingkan dengan kontrol. Dhakshanamoorthy et al., (2010) menyebutkan
bahwa hormon florigen dominan bertanggung jawab untuk masa pembungaan dan
kematangan buah dibandingkan pengaruh mutagen. Jabeen dan Mirza ( 2002),
menyatakan bahwa mutasi pada gen yang terlibat saat berbunga dan akan
berpengaruh dalam pengembangan buah. Jabeen dan Mirza (2002), menemukan
bahwa jumlah maksimum rata-rata buah tercatat pada perlakuan EMS 0,1% dan
jumlah rata-rata minimal buah tercatat pada tanaman yang diberikan perlakuan
EMS 0,01%.

Peningkatan jumlah buah okra per tanaman dan panjang buah

40

sebagai akibat iradiasi gamma disebutkan oleh banyak peneliti (Dubey et al.,
2007; Mishra et al., 2007; Sharma dan Mishra, 2007). Peningkatan jumlah total
buah per tanaman pada perlakuan 1% EMS menunjukkan keuntungan dari segi
produksi buah.
Perlakuan dengan 1% EMS menghasilkan viabilitas polen lebih tinggi
dibandingkan kontrol.

Persentase viabilitas polen perendaman selama 6 jam

paling tinggi dan tidak berbeda dengan perlakuan 12 jam (Tabel 5.8). Hasil
tersebut menunjukkan bahwa perlakuan dengan lama perendaman tertentu dapat
meningkatkan viabilitas polen tanaman. Menurut Kulkarni (2011) konsentrasi
EMS 0,1% dapat meningkatkan fertilitas polen Imacrotyloma uniflorum L. hingga
86,4% apabila perendaman dilakukan selama 6 jam. Sedangkan pada penelitian
Sakin dan Sencar (2002) penurunan fertilitas gandum durum generasi M1 bisa
mencapai lebih dari 50% pada perlakuan perendaman benih dengan EMS
konsentrasi 0,01% selama 3 jam.
6.6

Kelulushidupan Tanaman Cabai Rawit


Berdasarkan pengamatan kelulushidupan tanaman cabai rawit dengan

perlakuan EMS 1 % (Tabel 5.9). Pada minggu ke-24 MST persentase tanaman
yang hidup berkisar 72 % sampai 100%. Perlakuan perendaman 6 jam dan 12 jam
menunjukkan persentase tanaman hidup yang paling tinggi yaitu 100%. Pada
perlakuan perendaman 9 jam menurun menjadi 83,33. Persentase kelulushidupan
tanaman cabai rawit paling rendah pada kontrol yaitu 72,22.

Peningkatan

kelulushidupan tanaman tersebut disebabkan karena efek perlakuan EMS yang


diberikan.

41

Pesentase keluluhidupan yang tinggi pada tanaman dengan perendaman


EMS mampu bertahan dalam kondisi buruk. Toleransi tanaman terhadap stress
yang meningkat dibandingkan dengan tanaman normal (Conger et al., 1977).
Hasil penelitian Wiguna et al.,(2004), persentase tanaman wortel yang hidup
tertinggi yaitu perlakuan EMS 0,01 dengan perendaman selama 3 jam. Hal ini
terbalik dengan pendapat Poerba (2000) yang menyatakan persentase tanaman
tempuyung yang mampu hidup dan menghasilkan bunga setelah diberi perlakuan
EMS cenderung menurun sejalan dengan peningkatan konsentrasi EMS dan
konsentrasi letal dicapai pada konsentrasi EMS 0,9% 1,2% dengan lama
perendaman 3 jam.

BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN

7.1

Simpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah diuraikan dapat disimpulkan

bahwa:
1.

Perendaman benih cabai rawit dengan mutagen kimia EMS 1%


dapat memperlambat munculnya bibit. Perlakuan 1% EMS dengan
perendaman berbeda memberikan efek positif terhadap tinggi
tanaman dan jumlah cabang pada perlakuan perendaman 6 jam.
Perlakuan 1% EMS dengan perendaman berbeda meningkatkan
kelulushidupan tanaman.

2.

Kandungan klorofil a, klorofil b dan klorofil total tanaman cabai


rawit mengalami penurunan akibat perlakuan 1% EMS, kandungan
terendah dihasilkan pada perlakuan perendaman selama 12 jam.

3.

Perlakuan perendaman 1% EMS tidak berpengaruh pada umur 50%


berbunga dan berbuah. Peningkatan jumlah bunga dan jumlah total
buah tanaman cabai rawit terjadi pada perlakuan perendaman.
Persentase viabilitas polen paling tinggi pada perendaman 6 jam.

7.2

Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka disarankan untuk

melakukan penelitian lebih lanjut mengenai perlakuan perendaman benih dalam


1% EMS terhadap karakter anatomi dan molekuler tanaman cabai rawit.

42

43

Penanaman generasi kedua perlu dilakukan untuk menguji segregasi sifat dan
melakukan seleksi.

DAFTAR PUSTAKA

Alcantara, T.P., Bosland P.W., and Smith, D.W. 1996. Ethyl Methane Sulfonate
Induced Mutagenesis of Capsicum annuum. Journal Heredity. 87 (2):39
41.
Alka and Khan, S. 2011. Induced Variation in Quantitative Traits Due to
Chemical Mutagen (Hydrazine Hydrate) Treatment in Lentil (Lens
culinaris Medik.). Indian Stream Researh Journal. 1 (7):1-11.
Al-Qurainy, F., and Khan, S. 2009. Mutagenic Effects of Sodium Azide and its
Application in Crop Improvement. World Applied Sciences Journal. 7 (2):
220-226.
Arumingtyas E., dan Indriyani, S. 2005. Induksi Viabilitas Genetika Percabangan
Tanaman Kenaf (Hibiscus cannabinus L.) dengan Mutagen Kimia Ethyl
Methane Sulfonate (EMS). Natural Journal. 8 (1):57-71.
Ashok, Y.P., Sharma,P., and Yadav, A. 1995. Effect of Different Ethyl Methane
Sulfonate Treatments on Pollen Viability and Fruit Rot Incidence in Bell
Pepper. Annal of Agricultural Research. 16 (3):442-444.
Biber, P.D. 2007. Evaluating a Chlorophyll Content Meter on Three Coastal
Wetland Plant Species. Journal of Agricultural Food and Environmental
Sciences. 1 (2):1-11.
Biro Pusat Statistik. 2011. Production of Fruits in Indonesia. Jakarta: Biro Pusat
Statistik.p.34-35.
Brookes, M. 1998. Day of the Mutators. New Scientist. 2 (1):38-42.
Cahyono, B. 2003. Cabai Rawit. Yogyakarta: Kanisius.p.28-32.
Cassaret, A. P. 1961. Radiation Biology. Preatice. Hall Inc. Englewood Clif : New
Jersey. Dalam Hartati, S. 2000. Penampilan Genotip Tanaman Tomat
(Lycopersicum esculentum Mill.) Hasil Mutasi Buatan pada Kondisi Stress
Air dan Kondisi Optimal. Agrosains. 2 (2):79-82.
Chen, M., Choi,Y., and Rodermel, D.F. 2000. Mutation in the Arabidosis VAR2
Locus Leaf Variegations Due to the Loss of Chloroplast FtsH protease.
Plant Journal. 22 (7):303-313.
Chopra, V.L. 2005. Mutagenesis: Investigating the Process and Processing the
Outcome for Crop Improvement. Current Science. 89 (2):353-359.

44

45

Conger, B.V., Konzak, C.F., and Nilan, R.A. 1977. Radiation sensitivity and
modifying factors. Manual on Mutation Breeding, 2nd Ed. (Technical
Reports Series No. 119), IAEA, Vienna.p.40.
Deshpande, K.N., Mehetre, S.S., and Pingle, S.D. 2010. Effect of Different
Mutagens for Induction of Mutations in Mulberry. Asian Journal Biology
Science. 10 (1):104-108.
Dhakshanamoorthy, D., Selvaraj, R., and Chidambaram, A. 2010. Physical and
Chemical Mutagenesis in Jatropha curcas L. to Induce Variability in Seed
Germination, Growth and Yield Traits. Journal Plant Biology. 55 (2):113125.
Dubey A.K., Yadav, J.R., and Singh, B. 2007. Studies on Induced Mutations by
Gamma Irradiation in Okra (Abelmoschus esculentus (L.) Monch.).
Progressive Agriculture. 7 (2):46-48.
Dwijoseputro G. 1994. Pengantar fisiologi tumbuhan. Jakarta : Gramedia.p.36.
Harahap F. 2005. Induksi Variasi Genetik Tanaman Manggis (Garcinia
mangostana) dengan Radiasi Sinar Gamma.[Disertasi]. Bogor : Institut
Pertanian Bogor.
Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia Jilid III. Jakarta: Yayasan Sarana
Wana Jaya.p.38-40
Hendriyani, I.S., dan Setiari, N. 2009. Kandungan Klorofil dan Pertumbuhan
Kacang Panjang (Vigna sinensis) pada Tingkat Penyediaan Air yang
Berbeda. Journal Sains and Mathematics. 17 (3):145-150.
Hermansyah, Y., dan Inoriah, E. 2009. Penggunaan Pupuk Daun dan Manipulasi
Jumlah Cabang yang Ditinggalkan pada Panen Kedua Tanaman Nilam.
Akta Agrosia. 12 (2):194-203.
Hidayat, E. B. 1994. Sonchus L. In: Siernonsma, J .S. and Piluek, K. (ed): Plant
Resources of South East Asia. Bogor Indonesia: PROSEA. p.260-262.
Hidema, J., Makino, A., Kurita, Y., Mae, T., and Ohjima, K. 1992. Changes in the
Level of Chlorophyll and Light-harvesting Chlorophyll a/b Protein PS II
in Rice Leaves Agent Under Different Irradiances from Full Expansion
Through Senescense. Plant and Cell Physiology. 33 (8):1209-1214.
IAEA, 1997. Manual on Mutation Breeding. Technical Report Series, No.119.
Vienna: Internasional Atomic Energy Agency.p.98-103.

46

Imelda, M., Deswina, P., Hartati, S., Estiati, A., and Atmowijoyo, S. 2000.
Chemical Mutation by Ethyl Methane Sulfonate (EMS) for Bunchy Top
Virus Resistence in Banana. Annales Bogorienses. 38 (3):205-211.
Jabeen, N., and Mirza, B. 2002. Ethyl Methane Sulfonate Enhances Genetic
Variability in Capsicum annuum. Asian Journal of Plant Sciences. 1 (4):
425-428.
Jayakumar S., and Selvaraj R. 2003. Mutagenic Effectiveness and Efficiency of
Gamma Rays and Ethyl Methane Sulphonate in Sunflower (Helianthus
annus L.). Madras Jurnal Agriculture. 90 (1):574-576.
Koethoff, M., Sandel. E.B., and Merhan, E.J. 1989. Quantitative Chemical
Analysis. Fourth Edition, New York : Macmillan Publishing.p.36-39.
Kulkami, G. B. 2011. Efect of Mutagen on Pollen Fertility and Other Paramenter
in Horse Gram (Imacrotyloma uniflorum (Lam) Verdcourt). Bioscience
Discovery. 2 (1):146-150.
Kumar, G., and Yadav, R.S. 2010. EMS Induced Genomic Disorders in Sesame
(Sesamum indicum L.). Romanian Journal Of Biology Plant Biology. 55
(2):97104.
Lichtenthaler, H.K., and Wellburn, R.R. 1983. Determination of Total
Carotenoids and Chlorophylls a and b of Leaf Extracts in Different
Solvents. Biochemical Society Transaction. 11 (7):591-592.
Loveless, A.R. 1991. Prinsip Prinsip Biologi Tumbuhan Untuk Daerah Tropik.
Jilid 1.Jakarta : PT. Gramedia Pustaka.p.33-35.
Mahandjiev, A., Kosturkova, G., and Mihov, M. 2001. Enrichment of Pisum
sativum Gene Resources through Combined use of Physical and Chemical
Mutagens. Israel Journal of Plant Sciences. 49 (4):279-284.

Mensah, J.K., and Obadoni, B. 2007. Effects of Sodium Azide on Yield


Parameters of Groundnut (Arachis hypogaea L.). African Journal of
Biotechnology. 6 (6):668-671.
Mishra, M.N., Hina, Q., and Shivali, M. 2007. Macro and Micro Mutations, in
Gamma Rays Induced M2 Populations of Okra (Abelmoschus esculentus
(L) Moench). Journal Plant Sciences. 2 (1):44-47.
Mugiono. 2001. Pemuliaan Tanaman Dengan Teknik Mutasi. Badan Tenaga
Nuklir Nasional, Pusat Pendidikan dan Pelatihan. Jakarta.p.17-19.

47

Pande, S., and Khetmalas, M. 2012. Biological Effect of Sodium Azide and
Colchicine on Seed Germination and Callus Induction in Stevia
rebaudiana. Asian Journal of Experimental Biological Sciences. 3 (1): 9398.
Pharmawati M., Defiani M.R., and Suada I.K. 2013. Ethyl Methanesulfonate
Delayed Germination and Altered Seedling Morphology of Capsicum
annuum L. Proceedings 4th International Conference on Biosciences and
Biotechnology.
Pitojo, S. 2003. Benih Cabai. Yogyakarta: Kanisius.p.23-24.
Poerba Y.S. 2000. Pengaruh Mutagen Ethyl Methan Sulfonate (EMS) Terhadap
Pertumbuhan Sonchus arvensis (L.) Pada Generasi M1. Seminar Nasional
Biologi XVI. Bandung.p.25-32.
Purwati, R.D., Budi, U., dan Sudarsono, S. 2007. Penggunaan Asam Fusarat
dalam Seleksi in vitro untuk Resistensi terhadap Fusarium oxysporum f.sp.
cubense. Jurnal Littri. 7 (2):80-91.
Purwati, R.D., Sudjindro, K.E., dan Sudarsono, S. 2008. Keragaman Genetika
Varian Abaka yang Diinduksi dengan Ethyl Methane Sulphonate (EMS).
Jurnal Littri. 15 (4):152-161.
Puspita, D. S., Ashari, S., dan Haryono, D. 2010. Respon Awal Pertumbuhan
Vegetatif Tanaman Durian (Durio zibethinus Murr.) Terhadap Pemberian
Pupuk Anorganik. Malang : Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya.p.
21-24.
Rukmana, R.H 2002. Usaha Tani Cabai Rawit. Yogyakarta: Kanisius.p.31-33.
Sakin M. A and Sencar. 2002. The Effect of Different Doses of Gamma Ray and
EMS on Formation of Chlorophyll Mutation in Durum Wheat (Trticum
durum Desf.). Tarim Bilimleri Dergisi. 3 (1):15-21.
Salisbury, F. B., dan Ross, C. W. 1995. Fisiologi Tumbuhan Jilid 2. (Lukman,
D.R dan Sumaryono). Bandung: ITB.p.343.
Semangun, H. 2000. Penyakit-Penyakit Tanaman Hortikultura di Indonesia.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.p.32-35.
Setiadi, 1987. Bertanam Cabai. Jakarta: Penebar Swadaya.p.27-29.
Sharma B.K., and Mishra, M.N. 2007. Micro-Mutations for Fruit Number, Fruit
Length and Fruit Yield Characters in Gamma-Irradiated Generation of

48

ANKUR-40 Variety of Okra (Abelmoschus esculentus (L.) Monech).


Journal of Horticulture and Forestry. 2 (3):038-051.
Singh, R., and Kole, C.R. 2005. Effect of Mutagenic Treatments with EMS on
Germination and some Seedling Parameters in Mungbean. Crop Research.
30 (2):236-240.
Soeranto, H. 2003. Peran IPTEK Nuklir dalam Pemuliaan Tanaman untuk
Mendukung Industri Pertanian. Jakarta: Puslitbang Teknologi Isotop dan
Radiasi, Badan Tenaga Nuklir Nasional.p.308-316.
Srivastava, P., and Pandey, J. 2012. LICF Spectrum as a Fast Detector of
Chlorophyll Damage in Safflower Growing under Mutagenic Stress.
World Journal of Agricultural Sciences. 8 (3):322-325.
Sudiono, Yasin, N., Hendrastuti, S., dan Hidayat, P. 2005. Penyebaran dan
Deteksi Molekuler Virus Gemini Penyebab Penyakit Kuning pada
Tanaman Cabai di Sumatera. Jurnal Hama dan Penyakit Tumbuhan
Tropika. 5 (2):113-121.
Sugiyono. 2005. Metode Penelitian Bisnis. Bandung : PT. Alfabeta.p.20-23.
Sutapradja, H. 2008. Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Tomat Kultivar Intan dan
Mutiara pada Berbagai Jenis Tanah. Jurnal Hortikultura. 18 (2):160-164.
Svetlana, D.L., 2004. Induction of Chlorophyll Tool for Detecting Differences and
Changes of Mutants in Common Bean Under the Action of Chlorophyll
Content in Plant Species and Leaf Tissue. Chemical Mutagens ENU and
EMS. Journal of Central European Agriculture. 5 (2):85-90.
Syukur, M., Sujiprihati, S., Koswara, J., dan Widodo, J. 2009. Ketahanan terhadap
Antraknosa yang Disebabkan oleh Colletotrichum acutatum pada
Beberapa Genotipe Cabai (Capsicum annuum L.) dan Korelasinya dengan
Kandungan Kapsaicin dan Peroksidase. Jurnal Agronomi Indonesia. 37
(3):233-239.
Taiz L and Zeiger E. 1991. Plant Physiology. Tokyo: The Benyamin/Cumming
Publishing Company.p.219-247.
Tyagi, A.P. 2002. Cytogenetics and Reproductive Biology of Some BELE
(Abelmoschus manihot Linn.) Cultivars. Journal Natural Science. 20 (1):
30-33.
Van Harten, A.M. 1998. Mutation Breeding: Theory and Practical Application.
New York : Cambridge University Press.p.53-55.

49

Wijayakusuma, H., Dalimartha, S., Wirian, A.S. 1992. Tanaman Berkhasiat


Obat di Indonesia. Jilid I Jakarta: Pustaka Kartini.p.21-25.
Yanti, Y. 2007. Morphologycal Variation Planlet Raja SerehBanana Treatments
of Ethyl Methane Sulphonate Muthagen Throuhg in vitro. The Third Asian
Conference on Plant Pathology. Yogyakarta.p. 467-471.
Zhu, X.D., Chen, H.Q., and Shan, J.X. 2006. Nuclear Techniques for Rice
Improvement and Mutant Induction in China National Rice Research
Institute. Plant Mutation Reports. 3 (1):7-10.

LAMPIRAN

Lampiran 1. Hasil ANOVA Tinggi Tanaman Cabai Rawit 4 MST


Sumber
Keragaman
Perlakuan
Kelompok
Galat
Total

Derajat
Bebas
3
5
135
143

Jumlah
Kuadrat
189,283
1,884
89,332
280,498

Kuadrat
Tengah
63,094
0,377
0,662

F Signifikn
95,30 0,000*
0,569 0,723

Lampiran 2. Hasil ANOVA Tinggi Tanaman Cabai Rawit 10 MST


Sumber
Keragaman

Derajat
Bebas

Jumlah
Kuadrat

Kuadrat
Tengah

Signifikan

Perlakuan

873,668

291,229

76,289

0,000*

Kelompok

216,396

43,279

11,337

0,000*

Galat

135

515,354

3,817

Total

143

1605,438

Lampiran 3. Hasil ANOVA Tinggi Tanaman Cabai Rawit 20 MST


Sumber
Keragaman

Derajat
Bebas

Jumlah
Kuadrat

Kuadrat
Tengah

Perlakuan
Kelompok
Galat
Total

3
5
120
128

142,377
734,765
2178,074
3054,326

47,459
146,953
18,151

Signifikan

2,615
8,096

0,054
0,000*

Lampiran 4. Hasil ANOVA Jumlah Cabang Tanaman Cabai Rawit 10 MST


Sumber
Keragaman

Derajat
Bebas

Jumlah
Kuadrat

Kuadrat
Tengah

Perlakuan
Kelompok
Galat
Total

3
5
135
143

59,91
29,201
69,049
158,16

19,97
5,84
0,511

50

Signifikan

39,044
11,419

0,000*
0,000*

51

Lampiran 5. Hasil ANOVA Jumlah Cabang Tanaman Cabai Rawit 20 MST


Sumber
Keragaman
Perlakuan
Kelompok
Galat
Total

Derajat
Bebas
3
5
120
128

Jumlah
Kuadrat
15,603
89,339
276,741
381,349

Kuadrat
Tengah
5,201
17,868
2,306

F
2,255
7,748

Signifikan
0,085
0,000*

Lampiran 6. Hasil ANOVA 50% Berbunga Tanaman Cabai Rawit.


Sumber
Keragaman
Perlakuan
Kelompok
Galat
Total

Derajat
Bebas
3
5
15
24

Jumlah
Kuadrat
22,458
42,875
63,292
77763,000

Kuadrat
Tengah
7,486
8,575
4,219

Sig.

1,774
2,032

0,195
0,132

Lampiran 7. Hasil ANOVA 50% Berbuah Tanaman Cabai Rawit.


Sumber
Keragaman
Pperlakuan
Kelompok
Galat
Total

Derajat
Bebas

Jumlah
Kuadrat

Kuadrat
Tengah

Sig.

3
5
15
24

98,000
65,333
196,000
121912,000

32,667
13,067
13,067

2,500
1,000

0,099
0,451

Lampiran 8. Hasil ANOVA Jumlah Bunga Tanaman Cabai Rawit 10 MST


Sumber
Keragaman

Derajat
Bebas

Jumlah
Kuadrat

Kuadrat
Tengah

Perlakuan
Kelompok
Galat
Total

3
5
135
143

2,965
11,451
54,743
69,16

0,988
2,29
0,406

Signifikan

2,438
5,648

0,067
0,000*

52

Lampiran 9. Hasil ANOVA Jumlah Bunga Tanaman Cabai Rawit 20 MST


Sumber
Keragaman

Derajat
Bebas

Jumlah
Kuadrat

Kuadrat
Tengah

Perlakuan
Kelompok
Galat

3
5
119

13,333
66,196
172,414

4,444
13,239
1,449

Total

127

253,617

Signifikan

3,067
9,138

0,031*
0,000*

Lampiran 10. Hasil ANOVA Jumlah Total Buah Tanaman Cabai Rawit 24 MST
Sumber
Keragaman
Perlakuan
Kelompok
Galat
Total

Derajat
Bebas
3
5
127
136

Jumlah
Kuadrat
1090.704
219.114
1830.156
466652.000

Kuadrat
Tengah
363.568
43.823
14.411

Sig.

25.229
3.041

0.000
0.013

53

Lampiran 11. Foto Penelitian

Munculnya Bibit pada 9 hari setelah semai (HSS).

Buah Cabai Rawit.

Anda mungkin juga menyukai