Penelitian Cabe Rawit
Penelitian Cabe Rawit
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Cabai rawit (Capsicum frutescens L.) merupakan salah satu tanaman
hortikultura dari famili Solanaceae yang memiliki nilai ekonomi tinggi (Cahyono,
2003). Cabai rawit digunakan sebagai bumbu masakan dan bahan obat (Heyne,
1987). Menurut Rukmana (2002), secara umum buah cabai rawit mengandung zat
gizi antara lain lemak, protein, karbohidrat, kalsium, fosfor, besi, vitamin A, B1,
B2, C dan senyawa alkaloid seperti capsaicin, oleoresin, flavanoid dan minyak
esensial. Kandungan tersebut banyak dimanfaatkan sebagai bahan bumbu masak,
ramuan obat tradisional, industri pangan dan pakan unggas.
Produktivitas cabai rawit di Indonesia rata-rata masih rendah. Pada tahun
2009 produksi cabai rawit 5,07 ton/ha, pada tahun 2010 turun menjadi 4,56
ton/ha, dan pada tahun 2011 produksi menjadi 5,01 ton/ha (Biro Pusat Statistik,
2011). Kendala yang menyebabkan rendahnya produktivitas cabai di Indonesia
adalah gangguan hama dan penyakit (Semangun, 2000). Beberapa jenis penyakit
yang dominan menyerang cabai adalah antraknosa, layu bakteri dan virus (Syukur
et al., 2009). Penyakit kuning, penyakit bulai dan penyakit kerdil yang disebabkan
oleh virus gemini merupakan penyakit utama yang menyebabkan rendahnya
produktivitas cabai di Indonesia (Sudiono et al., 2005).
Perbaikan genetik merupakan salah satu usaha yang dapat dilakukan untuk
peningkatan produktivitas cabai rawit. Tahap awal dalam perbaikan genetika
tanaman.
Beberapa
penelitian
melaporkan
EMS
menghasilkan
besar dengan EMS, menghasilkan mutan kerdil dengan tingkat dewasa bervariasi
dari lambat ke cepat yaitu pada konsentrasi 0,5% dengan lama perendaman 6 jam.
Konsentrasi 1% dengan lama perendaman 6 jam pada cabai besar menghasilkan
11,2% bibit cabai yang memiliki daun yang menyatu (Pharmawati et al., 2013).
Penelitian mengenai aksi mutagen EMS pada cabai rawit dilakukan untuk
mengamati pengaruh pemberian mutagen 1% EMS melalui perbedaan lama
perendaman benih terhadap morfologi, fisiologi dan reproduktif tanaman cabai
rawit.
1.2.
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas maka permasalahan yang timbul adalah
Tujuan Penelitian
Penelitian bertujuan menguji aksi EMS 1% dengan lama perendaman 6
jam, 9 jam dan 12 jam pada morfologi, fisiologi dan reproduktif tanaman cabai
rawit.
1.4.
Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian adalah memberikan informasi aksi EMS 1% dengan
lama perendaman 6 jam, 9 jam dan 12 jam pada morfologi, fisiologi dan
reproduktif tanaman. Selanjutnya jika diperoleh tanaman dengan karakter yang
menguntungkan, maka dapat digunakan dalam program pemuliaan tanaman.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1
cabai
rawit
tergolong
dalam
famili
terung-terungan
(Solanaceae). Cabai rawit berasal dari Meksiko, Peru dan Bolivia, tetapi
sudah tersebar di seluruh dunia termasuk Indonesia (Cahyono, 2003).
Menurut Rukmana (2002), jenis cabai rawit yang sering ditanam adalah
sebagai berikut:
a. Cabai Kecil
Jenis cabai kecil atau sering disebut cabai jemprit. Cabai jenis ini
memiliki karakteristik ukuran buah kecil, panjang 2 - 2,5 cm dan lebar 5
mm, serta berat 0,65 g/buah. Pada saat masih muda, buah berwarna hijau
dan pada saat masak berubah menjadi merah (Rukmana, 2002).
dan berubah menjadi merah pada saat matang. Rasa buah pedas, tetapi
masih kurang pedas jika dibandingkan dengan cabai kecil dan cabai putih
(Rukmana, 2002).
B1, B2 dan C (Rukmana, 2002). Cabai rawit mengandung zat oleoresin dan
zat aktif capsaicin yang dapat digunakan untuk mengobati penyakit rematik,
obat batuk berdahak, sakit gigi, masuk angin, asma serta mencegah infeksi
sistem pencernaan (Wijayakusuma, 1992).
Menurut Heyne (1987), cabai rawit banyak digunakan sebagai bumbu
dapur seperti sambal, saus, asinan dan produksi makanan kaleng. Selain
digunakan sebagai penyedap masakan, juga dapat digunakan untuk industri
pewarna bahan makanan, bahan campuran pada berbagai industri pengolahan
makanan dan minuman.
2.1.2 Syarat Tumbuh Tanaman Cabai Rawit
Tanaman cabai rawit termasuk tanaman semusim yang tumbuh
sebagai perdu dengan tinggi tanaman mencapai 1,5 m.
Tanaman dapat
Kondisi
Mutasi
Mutasi adalah perubahan pada materi genetik suatu organisme yang
terjadi secara tiba-tiba, acak dan merupakan dasar bagi sumber variasi
organisme hidup yang bersifat terwariskan (Van Harten, 1998).
Berdasarkan tempat terjadinya mutasi dibedakan menjadi mutasi gen
dan mutasi kromosom. Mutasi gen adalah perubahan urutan basa pada DNA
yang mengakibatkan terjadinya perubahan kodon dan akhirnya merubah
urutan asam amino pada polipeptida yang terbentuk.
Mutasi kromosom adalah perubahan jumlah kromosom dan susunan
atau urutan gen dalam kromosom (Brookes, 1998). Mutagen kimia yang
menyebabkan mutasi kromosom antaralain: kolkisin, zat digitonin, nitrous
acids dan hidroksil-amina.
Menurut Zhu et al., (2006), mutasi dapat terjadi secara spontan
ataupun melalui induksi. Kedua mutasi tersebut dapat menimbulkan variasi
genetik untuk dijadikan dasar seleksi tanaman, baik seleksi secara alami
maupun buatan (pemuliaan). Teknik mutasi dalam bidang pemuliaan dapat
meningkatkan keragaman genetik tanaman sehingga memungkinkan pemulia
10
yang efektif dan dapat digunakan untuk menghasilkan mutan pada tanaman
cabai.
2.4
seperti hasil penelitian pada tanaman kenaf yang menghasilkan jumlah cabang
yang banyak pada perlakuan EMS 0,7% pada perendaman 4 jam (Arumingtyas
dan Indriani, 2005), daun variegata pada Arabidopsis pada perlakuan 0,1 pada
perendaman 6 jam (Chen et al., 2000) dan hasil penelitian Jabeen dan Mirza
(2004) yang melakukan induksi mutasi pada cabai besar dengan EMS 0,5%
selama 6 jam, menghasilkan mutan kerdil.
Perlakuan EMS mengakibatkan beberapa perubahan yang terjadi pada
fisiologi tanaman antara lain, hasil penelitian Srivastava dan Jitendra (2012),
perlakuan EMS 0,5% dengan perendaman selama 3 jam, 5 jam dan 7 jam
menghasilkan kandungan klorofil tanaman safflower lebih rendah dibandingkan
kontrol. Kandungan terendah pada perlakuan perendaman selama 7 jam. Hasil
penelitian lainnya yaitu Pande et al., (2012) menyebutkan kombinasi perlakuan
mutagen sinar X 25 Kr
BAB III
KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1
Kerangka Berpikir
Cabai rawit merupakan salah satu komoditas
mampu memenuhi permintaan yang selalu bertambah dari tahun ke tahun. Ratarata produksi cabai rawit nasional saat ini masih rendah, karena hama dan
penyakit (Biro Pusat Statistik, 2011).
Peningkatan produktivitas cabai rawit melalui pemuliaan tanaman,
diantaranya dengan induksi mutasi. Pemuliaan dengan induksi mutasi dapat
dilakukan dengan menggunakan mutagen kimia Ethyl Methane Sulphonate
(EMS). EMS merupakan mutagen yang sering digunakan dalam penelitian
tanaman dengan
mutagen EMS adalah dapat merubah karakter tanaman cabai rawit seperti waktu
munculnya bibit, kelulushidupan tanaman, morfologi, fisiologi dan reproduktif
tanaman cabai rawit. Diharapkan dengan adanya kultivar unggul hasil induksi
mutasi maka produktivitas cabai rawit menjadi tinggi.
11
12
Kebutuhan cabai
rawit tinggi
Produktivitas
cabai rawit
tinggi
Pemuliaan mutasi
Perendaman EMS
Kultivar
unggul
Mutagen kimia
EMS
1% selama 6 jam, 9
jam dan 12 jam
-Munculnya bibit
Karakter tanaman
-Kelulushidupan
-Morfologi
-Fisiologi
Seleksi
- Reproduktif
BAB IV
METODELOGI PENELITIAN
4.1
Rancangan Penelitian
Rancangan percobaan dalam penelitian disusun berdasarkan rancangan
acak kelompok (RAK) satu faktor yang terdiri 4 perlakuan yaitu kontrol dan
perlakuan mutagen kimia EMS 1% dengan lama perendaman berbeda yaitu 6 jam,
9 jam dan 12 jam. Areal percobaan dibagi ke dalam 6 kelompok (ulangan),
masing-masing kelompok terdiri dari 4 petak percobaan sesuai dengan jumlah
perlakuan. Masing-masing perlakuan dan kontrol ditanam 40 bibit dan pada
masing-masing perlakuan diamati 6 tanaman (6 unit percobaan) yang ditentukan
secara acak. Keempat perlakuan percobaan ditentukan secara acak pada masingmasing kelompok, seperti terlihat pada Gambar 4.1
P6
P6
P6
P6
P6
P6
P6
P6
P6
P6
P12
P12
P12
P12
P12
P9
P9
P9
P9
P9
P12
P12
P12
P12
P12
P9
P9
P9
P9
P9
Kelompok 1
P12
P12
P12
P12
P12
P12
P12
P12
P12
P12
P9
P9
P9
P9
P9
P6
P6
P6
P6
P6
P9
P9
P9
P9
P9
P6
P6
P6
P6
P6
Kelompok 2
13
14
P9
P9
P9
P9
P9
P12
P12
P12
P12
P12
P9
P9
P9
P9
P9
P12
P12
P12
P12
P12
P6
P6
P6
P6
P6
P6
P6
P6
P6
P6
Kelompok 3
P6
P9
P9
P9
P9
P9
P6
P6
P9
P9
P9
P9
P9
P12
P12
P12
P12
P12
P12
P12
P12
P12
P6
P6
P6
P6
P6
P6
P6
P12
Kelompok 4
K
P6
P6
P6
P6
P6
P6
P6
P6
P6
P6
P12
P12
P12
P12
P12
P9
P9
P9
P9
P9
P12
P12
P12
P12
P12
P9
P9
P9
P9
P9
Kelompok 5
P12
P12
P12
P12
P12
P12
P12
P12
P12
P12
P9
P9
P9
P9
P9
P6
P6
P6
P6
P6
P9
P9
P9
P9
P9
P6
P6
P6
P6
P6
Kelompok 6
Gambar 4.1 Denah Percobaan
Keterangan:
15
4.2
dengan EMS 1%. Respon yang diamati yaitu munculnya bibit, kelulushidupan
tanaman cabai rawit, karakter morfologi, fisiologi dan reproduktif tanaman cabai
rawit. Munculnya bibit meliputi persentase jumlah bibit yang muncul, sedangkan
kelulushidupan tanaman meliputi persentase tanaman yang mampu hidup pada
umur 12 MST dan 24 MST setelah tanam. Karakter morfologi meliputi tinggi
tanaman dan jumlah cabang. Pengamatan karakter morfologi yaitu tinggi tanaman
dilakukan pada 4 minggu setelah tanam (MST), 10 MST dan 20 MST, sedangkan
pengamatan jumlah cabang dilakukan pada 10 MST dan 20 MST. Karakter
fisiologi meliputi kandungan klorofil daun, sedangkan karakter reproduktif
meliputi: viabilitas polen, umur 50% tanaman berbunga, umur 50% tanaman
berbuah serta jumlah bunga pada 10 MST dan 20 MST sedangkan jumlah total
buah pada 24 MST.
16
4.4
Variabel Penelitian
Variabel bebas dalam penelitian adalah lama perendaman benih 6 jam, 9
jam dan 12 jam dalam EMS 1%. Variabel tergantungnya adalah respon tanaman
yaitu persentase munculnya bibit, persentase kelulushidupan, karakter morfologi,
fisiologi dan reproduktif tanaman cabai rawit.
4.5.1
17
4.5.3
adalah tinggi tanaman dan jumlah cabang setelah perlakuan EMS 1% dengan lama
perendaman yaitu 6 jam, 9 jam dan 12 jam.
4.5.4
adalah kandungan klorofil daun tanaman cabai rawit, pada umur 5 minggu setelah
perlakuan EMS 1% dengan lama perendaman yaitu 6 jam, 9 jam dan 12 jam.
4.5.5
adalah viabilitas polen, umur 50% tanaman berbunga dan umur 50% tanaman
berbuah, jumlah bunga serta jumlah total buah cabai rawit setelah perlakuan EMS
1% dengan lama perendaman yaitu 6 jam, 9 jam dan 12 jam.
4.5.6. Hubungan Antar Karakter
Hubungan antar karakter yang meliputi interaksi tinggi tanaman dengan
jumlah cabang dan jumlah cabang dengan jumlah bunga dilakukan dengan
memplot karakter-karakter tersebut pada sumbu x dan y dan menganalisis
korelasinya dengan analisis korelasi Pearson. Menurut Sugiyono (2005), kriteria
yang digunakan untuk menentukan interprestasi koefisien korelasi adalah sebagai
berikut :
r = 0,000-0,199 = Korelasi yang sangat rendah
r = 0,200-0,399 = Korelasi yang rendah
r = 0,400-0,599 = Korelasi yang sedang
18
Bahan Penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah benih cabai rawit
Instrumen Penelitian
Alat yang digunakan pada penelitian adalah pinset, tabung reaksi,
19
al., 1989). Selanjutnya 1% EMS dibuat dengan cara mengambil 0,05 ml EMS
dan dijadikan 5 ml dengan buffer fosfat pH 7.
4.8.2
20
2 daun, bibit
dipindahkan ke
bedengan.
21
dan Wellburn (1983). Sampel yang digunakan adalah daun ketiga dari pucuk
yang sudah berkembang sempurna. Daun ditimbang sebanyak 0,1 g lalu
digerus dengan mortar, kemudian ditambah aceton 80% sebanyak 3 ml dan
disentrifuge pada 3000 rpm selama 3 menit. Pellet yang masih dalam tabung
ditambahkan 1 ml aceton dan disentrifuge kembali. Supernatan yang didapat
dipindahkan ke labu takar sebelumnya, sampai mencapai 5 ml, kemudian
diukur absorbansinya pada panjang gelombang 645 nm dan 663 nm.
Penghitungan kandungan klorofilnya sebagai berikut:
1. Klorofil a C55 H72O5N4 mg/L
= 12,7 x E663 2,69 x E645
2. Klorofil b C55H70O6N4 mg/L
= 22,9 x E645 4,68 x E663
3. Klorofil total mg/L
= 20,2 x E645 + 8,02 x E663
4.8.8 Pengamatan Karakter Reproduktif
Karakter reproduksi diamati melalui pengamatan viabilitas polen pada
tanaman kontrol dan tanaman-tanaman hasil perlakuan EMS. Menurut Tyagi
(2002), viabilitas polen diamati dengan menggunakan uji warna acetocarmine. Polen dari bunga yang mekar ditaburkan di atas kaca objek dan
ditetesi dengan 2% aceto-carmine, dan dibiarkan selama 30 menit. Masingmasing sampel diwakili dengan menggunakan 3 preparat, diamati dengan satu
bidang pandang pembesaran 10x40 pada setiap preparat di bawah mikroskop.
22
Polen yang viabel merupakan polen yang dapat menyerap zat warna
2% aceto-carmine dengan baik dan memiliki dinding yang tidak mengkerut.
Polen yang tidak viabel merupakan polen yang tidak dapat menyerap zat
warna aceto-carmine dan berdinding mengkerut. Selanjutnya dilakukan
penghitungan persentase viabilitas polen yaitu jumlah polen dengan dinding
tidak mengkerut dan terwarnai dibagi jumlah polen yang diamati dikalikan
100%. Karakter reproduktif lain yang diamati antara lain dengan mencatat
umur 50% tanaman berbunga, umur 50% tanaman berbuah, jumlah bunga dan
jumlah total buah. Selanjutnya jumlah bunga dihitung dengan cara manual
setiap 2 minggu sedangkan jumlah total buah dihitung secara setiap kali panen
selama 6 bulan.
4.9
Data
BAB V
HASIL PENELITIAN
5.1.
pada kontrol maupun perlakuan, bibit pertama kali muncul pada 8 hari setelah
semai (HSS) dan jumlah bibit yang terbanyak muncul pada 8 HSS adalah pada
kontrol.
73.3
31.7
50.0
31.7
85.0
50.0
70.0
53.3
10
100
100
100
100
pada beberapa karakter seperti tinggi tanaman yang diamati pada 4 MST, 10 MST
dan 20 MST. Jumlah cabang yang diamati pada 10 MST dan 20 MST. Analisis
tanah dilakukan di awal penelitian setelah pengolahan lahan. Hasil tersebut
disajikan pada Lampiran 12.
23
24
60
50
40
30
(d)
10
0
Kontrol
P.6 Jam
P.9 Jam
P.12 Jam
(c)
(b)
(a)
20
(d)
(c)
(b)(a)
4 MST
10 MST
Umur
20 MST
Gambar 5.1.
Grafik Rata-rata Tinggi Tanaman.
Huruf yang sama pada satu garis dalam grafik berarti tidak berbeda nyata
(P 0,05)
Perlakuan EMS 1% dengan lama perendaman berbeda berpengaruh nyata
(P 0,05) terhadap jumlah cabang tanaman cabai rawit. Jumlah cabang paling
banyak terdapat pada kontrol pada 10 MST. Semakin lama perendaman bebih
25
cabai rawit dengan EMS 1%, jumlah cabang akan semakin sedikit pada 10 MST.
Pada 20 MST perlakuan perendaman selama 6 jam memiliki jumlah cabang paling
banyak (Tabel 5.2).
Tabel 5.2
Jumlah Cabang per Tanaman
Perlakuan
10 Minggu
20 Minggu
Kontrol
4,3 0,2(c)
20,7 0,5(a)
P.6 Jam
3,2 0,1(b)
21,6 0,2(b)
P.9 Jam
2,8 0,0(a)
21,4 0,1(ab)
P.12 Jam
2,6 0,0(a)
20,9 0,1(ab)
Kandungan
26
Tabel 5.3
Kandungan Klorofil a, Klorofil b, dan Klorofil Total pada Daun Tanaman Cabai
Rawit pada 5 MST
Perlakuan
Klorofil a(mg/L)
Kontrol
19.3 0.5(b)
19.8 0.7(ab)
39.1 1.1(b)
P.6 jam
18.5 0.6(b)
20.9 0.8(b)
39.3 0.9(b)
P.9 jam
17.9 0.5(b)
20.6 0.7(ab)
38.5 1.2(b)
P.12 jam
16.2 0.6(a)
18.0 1.1(a)
34.2 1.4(a)
Tabel 5.4
menunjukkan bahwa terdapat korelasi Pearson yang positif dan signifikan antara
tinggi tanaman dengan jumlah cabang serta jumlah cabang dengan jumlah bunga
tanaman cabai rawit pada kontrol dan perlakuan 1% EMS dengan perendaman
berbeda. Tingkat korelasi Pearson yang terjadi antara kedua variabel tesebut
adalah korelasi kuat sampai dengan sangat kuat. Korelasi yang paling kuat terjadi
27
antara tinggi tanaman dengan jumlah cabang serta jumlah cabang dengan jumlah
bunga yang diberi perlakuan 1% EMS perendaman benih cabai selama 9 jam.
Tabel 5.4
Nilai Korelasi Karakter Tanaman Cabai Rawit pada 12 MST
Nilai Korelasi Pearson Antar Karakter
Perlakuan Tinggi dengan Jumlah
Jumlah Cabang dengan
Cabang
Jumlah Bunga
Kontrol
0,626*
0,888*
P.6 Jam
0,780*
0,817*
P.9 Jam
0,872*
0,958*
P.12 Jam
0,805*
0,910*
*Signifikan pada tingkat kepercayaan 95%.
5.5
diamati pada jumlah bunga pada 10 MST dan 20 MST, sedangkan jumlah total
buah diamati pada 24 MST. Selain itu juga dilakukan pengamatan umur 50%
tanaman berbunga dan berbuah serta viabilitas polen.
Perlakuan 1% EMS dengan perendaman yang berbeda tidak berpengaruh
nyata (P 0,05) terhadap umur 50% berbunga dan 50% berbuah cabai rawit pada
perlakuan dan tanaman kontrol (Tabel 5.5).
Tabel 5.5
Rata-rata Umur 50% Berbunga dan Berbuah
Perlakuan
50 % Berbunga (Hari)
Kontrol
42,0 0,0(a)
56,0 0,0(a)
P.6 Jam
42,0 0,0(a)
56,0 0,0(a)
P.9 Jam
44,3 2,3(a)
56,0 0,0(a)
P.12 Jam
46,6 2,9(a)
60,6 2,9(a)
28
Jumlah bunga tanaman cabai rawit yang diberi perlakuan 1% EMS dengan
lama perendaman yang berbeda secara umum lebih sedikit dibandingkan kontrol
pada 10 MST. Perlakuan 1% EMS dengan lama perendaman berbeda berpengaruh
nyata (P 0,05) terhadap jumlah bunga pada 10 MST dan 20 MST. Pada 10 MST
jumlah bunga paling banyak dihasilkan oleh perlakuan kontrol, sedangkan pada 20
MST jumlah bunga paling banyak pada perlakuan perendaman selama 9 jam dan
tidak berbeda dengan perlakuan lainnya jika dibandingkan dengan kontrol (Tabel
5.6).
Perlakuan
Tabel 5.6
Jumlah Bunga per Tanaman Cabai Rawit
10 Minggu
20 Minggu
Kontrol
2,6
0,1(b)
13,5 0,2(a)
P.6 Jam
2,3
0,0(ab)
15,8 0,5(b)
P.9 Jam
2,3
0,0(a)
16,2 0,3(b)
P.12 Jam
2,3
0,1(a)
15,4 0,2(b)
29
Tabel 5.7
Jumlah Total Buah per Tanaman Cabai Rawit
Perlakuan
24 Minggu
Kontrol
52,9
0,9(a)
P.6 Jam
59,3
0,6(b)
P.9 Jam
60,1
0,6(b)
P.12 Jam
59,9
0,5(b)
Kontrol
74.3 0.4(a)
P.6 jam
81.2 0.7(c)
P.9 jam
78.9 0.2(b)
P.12 jam
80.6 0.4(c)
30
Gambar 5.2
Polen Tanaman Cabai Rawit (Capsicum Frutescens L.)
Keterangan: Perbesaran mikroskop 4x10, X adalah polen
tidak viabel, Y adalah polen viabel.
5.6
MST terlihat bahwa perlakuan 1% EMS dengan perendaman 6 jam dan 12 jam
mampu bertahan hidup 100%, sedangkan pada perlakuan perendaman 9 jam yaitu
83,33. Pada kontrol persentase kelulushidupan paling kecil yaitu 80,56. Pada 24
MST, persentase kelulushidupan tanaman cabai rawit mengalami penurunan
hanya pada kontrol yaitu 72,22 (Tabel 5.9).
Tabel 5.9
Persentase Kelulushidupan Tanaman Cabai Rawit
Jumlah Tanaman Yang Hidup (%)
Perlakuan
12 Minggu
24 Minggu
Kontrol
80,56
72,22
P.6 Jam
100,00
100,00
P.9 Jam
83,33
83,33
P.12 Jam
100,00
100,00
BAB VI
PEMBAHASAN
6.1
31
32
Perlakuan
makin rendah nilai potensial air. Meningkatnya potensial osmotik, EMS akan
menurunkan potensial air sehingga akan menyulitkan benih mendapatkan air.
Konsentrasi EMS yang lebih tinggi dapat menurunkan potensial air di luar benih
dan oleh karena itu benih tidak dapat melakukan imbibisi air yang cukup untuk
perkecambahan (Singh dan Kole, 2005).
Jayakumar dan Selvaraj (2003) menyatakan bahwa tingginya konsentrasi
EMS dapat menghancurkan promotor pertumbuhan, meningkatkan penghambat
33
34
pada
DNA,
melalui
perubahan
pasangan
basa
GC-AT
yang
35
6.3
36
nitrogen, magnesium, fosfor, mangan, Cu, Zn, sulfur dan oksigen. Hasil analisis
tanah pada Lampiran 12, menunjukkan bahwa kandungan posfor tanah sangat
tinggi. Unsur fosfor komponen penting penyusun senyawa ATP yang berperan
sebagai sumber energi pada reaksi gelap fotosintesis sedangkan nitrogen dan
magnesium yang diketahui sebagai unsur yang mutlak harus tersedia pada
pembentukan klorofil (Dwijoseputro 1986).
Rendahnya kandungan klorofil pada perlakuan diduga disebabkan oleh
efek toksik dari EMS yang mengakibatkan perubahan pada basa DNA. Perubahan
pada gen akan berdampak pada perubahan fungsi sel tanaman (Khan et al., 2009).
Menurut Lichtenthaler dan Wellburn (1983), mutagen EMS pada perendaman
yang lama dapat menghambat proses biosintesis klorofil. Hal yang sama dengan
temuan yang menyatakan bahwa perlakuan konsentrasi dan perendaman mutagen
EMS yang meningkat mengakibatkan penurunan kandungan klorofil a, klorofil b
dan total pada tanaman kacang hijau (Svetlana, 2004). Pada hasil penelitian
Srivastava dan Pandey (2012), menunjukan tanaman safflower (Carthamus
tinctorius L.) yang diberi perlakuan EMS dengan lama perendaman berbeda
menghasilkan kandungan klorofil a dan klorofil b, lebih rendah dengan waktu
perendaman lebih lama. Kandungan klorofil total menurun dari 11.83g/ml pada
kontrol menjadi 6.36g/ml pada perlakuan selama 7 jam.
37
Hasil yang diperoleh pada penelitian ini berbeda dengan temuan yang
menyatakan bahwa mutagen dapat menyebabkan peningkatan jumlah klorofil
pada daun (Harahap, 2005). Penelitian Pande et al., (2012) menyebutkan
kombinasi perlakuan mutagen sinar X 25 Kr
positif dan signifikan antara tinggi tanaman dengan jumlah cabang dan jumlah
cabang dengan jumlah bunga tanaman cabai rawit pada kontrol dan setiap
perlakuan perendaman benih cabai dengan EMS 1%. Korelasi Pearson yang
positif dengan nilai r yang paling kuat terjadi antara tinggi tanaman dengan
jumlah cabang tanaman rawit yang diberi perlakuan perendaman benih cabai
dengan EMS 1% selama 9 jam. Semakin tinggi tanaman akan meningkatkan
pertumbuhan tunas sehingga akan mampu memperbanyak jumlah cabang
(Hermansyah dan Inoriah, 2009).
38
jumlah
cabang
terjadi
karena
hilangnya
dominasi
apikal
yang diamati meliputi jumlah bunga pada 10 MST dan 20 MST, sedangkan untuk
jumlah total buah diamati pada 24 MST. Selain itu juga dilakukan pengamatan
39
terhadap viabilitas polen, umur 50% tanaman berbunga dan umur 50% tanaman
berbuah.
Pada penelitian ini perlakuan perendaman berbeda tidak berpengaruh
terhadap umur 50% berbunga dan umur 50% berbuah. Hal ini disebabkan umur
berbunga dan berbuah tidak mutlak dipengaruhi oleh perlakuan mutagen, tetapi
juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan yang ada di antaranya suhu, cahaya,
kelembaban dan curah hujan yang mendukung kondisi lingkungan tanaman cabai
yang menyebabkan pertumbuhan dan perkembangan normal, sehingga mampu
merangsang pembentukan bunga (Conger et al., 1977). Spesies tanaman memiliki
kemampuan berbeda dalam menanggapi pengaruh mutagen (Mensah et al., 2007).
Hal tersebut mengakibatkan umur berbunga dan berbuah dengan perlakuan 1%
EMS tidak menunjukkan hasil perbedaan yang nyata.
Perlakuan 1% EMS dengan lama perendaman berbeda berpengaruh nyata
(P 0,05) terhadap jumlah bunga dan jumlah total buah. Pada perlakuan
perendaman berbeda memiliki jumlah bunga dan jumlah total buah lebih tinggi
dibandingkan dengan kontrol. Dhakshanamoorthy et al., (2010) menyebutkan
bahwa hormon florigen dominan bertanggung jawab untuk masa pembungaan dan
kematangan buah dibandingkan pengaruh mutagen. Jabeen dan Mirza ( 2002),
menyatakan bahwa mutasi pada gen yang terlibat saat berbunga dan akan
berpengaruh dalam pengembangan buah. Jabeen dan Mirza (2002), menemukan
bahwa jumlah maksimum rata-rata buah tercatat pada perlakuan EMS 0,1% dan
jumlah rata-rata minimal buah tercatat pada tanaman yang diberikan perlakuan
EMS 0,01%.
40
sebagai akibat iradiasi gamma disebutkan oleh banyak peneliti (Dubey et al.,
2007; Mishra et al., 2007; Sharma dan Mishra, 2007). Peningkatan jumlah total
buah per tanaman pada perlakuan 1% EMS menunjukkan keuntungan dari segi
produksi buah.
Perlakuan dengan 1% EMS menghasilkan viabilitas polen lebih tinggi
dibandingkan kontrol.
paling tinggi dan tidak berbeda dengan perlakuan 12 jam (Tabel 5.8). Hasil
tersebut menunjukkan bahwa perlakuan dengan lama perendaman tertentu dapat
meningkatkan viabilitas polen tanaman. Menurut Kulkarni (2011) konsentrasi
EMS 0,1% dapat meningkatkan fertilitas polen Imacrotyloma uniflorum L. hingga
86,4% apabila perendaman dilakukan selama 6 jam. Sedangkan pada penelitian
Sakin dan Sencar (2002) penurunan fertilitas gandum durum generasi M1 bisa
mencapai lebih dari 50% pada perlakuan perendaman benih dengan EMS
konsentrasi 0,01% selama 3 jam.
6.6
perlakuan EMS 1 % (Tabel 5.9). Pada minggu ke-24 MST persentase tanaman
yang hidup berkisar 72 % sampai 100%. Perlakuan perendaman 6 jam dan 12 jam
menunjukkan persentase tanaman hidup yang paling tinggi yaitu 100%. Pada
perlakuan perendaman 9 jam menurun menjadi 83,33. Persentase kelulushidupan
tanaman cabai rawit paling rendah pada kontrol yaitu 72,22.
Peningkatan
41
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
7.1
Simpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah diuraikan dapat disimpulkan
bahwa:
1.
2.
3.
7.2
Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka disarankan untuk
42
43
Penanaman generasi kedua perlu dilakukan untuk menguji segregasi sifat dan
melakukan seleksi.
DAFTAR PUSTAKA
Alcantara, T.P., Bosland P.W., and Smith, D.W. 1996. Ethyl Methane Sulfonate
Induced Mutagenesis of Capsicum annuum. Journal Heredity. 87 (2):39
41.
Alka and Khan, S. 2011. Induced Variation in Quantitative Traits Due to
Chemical Mutagen (Hydrazine Hydrate) Treatment in Lentil (Lens
culinaris Medik.). Indian Stream Researh Journal. 1 (7):1-11.
Al-Qurainy, F., and Khan, S. 2009. Mutagenic Effects of Sodium Azide and its
Application in Crop Improvement. World Applied Sciences Journal. 7 (2):
220-226.
Arumingtyas E., dan Indriyani, S. 2005. Induksi Viabilitas Genetika Percabangan
Tanaman Kenaf (Hibiscus cannabinus L.) dengan Mutagen Kimia Ethyl
Methane Sulfonate (EMS). Natural Journal. 8 (1):57-71.
Ashok, Y.P., Sharma,P., and Yadav, A. 1995. Effect of Different Ethyl Methane
Sulfonate Treatments on Pollen Viability and Fruit Rot Incidence in Bell
Pepper. Annal of Agricultural Research. 16 (3):442-444.
Biber, P.D. 2007. Evaluating a Chlorophyll Content Meter on Three Coastal
Wetland Plant Species. Journal of Agricultural Food and Environmental
Sciences. 1 (2):1-11.
Biro Pusat Statistik. 2011. Production of Fruits in Indonesia. Jakarta: Biro Pusat
Statistik.p.34-35.
Brookes, M. 1998. Day of the Mutators. New Scientist. 2 (1):38-42.
Cahyono, B. 2003. Cabai Rawit. Yogyakarta: Kanisius.p.28-32.
Cassaret, A. P. 1961. Radiation Biology. Preatice. Hall Inc. Englewood Clif : New
Jersey. Dalam Hartati, S. 2000. Penampilan Genotip Tanaman Tomat
(Lycopersicum esculentum Mill.) Hasil Mutasi Buatan pada Kondisi Stress
Air dan Kondisi Optimal. Agrosains. 2 (2):79-82.
Chen, M., Choi,Y., and Rodermel, D.F. 2000. Mutation in the Arabidosis VAR2
Locus Leaf Variegations Due to the Loss of Chloroplast FtsH protease.
Plant Journal. 22 (7):303-313.
Chopra, V.L. 2005. Mutagenesis: Investigating the Process and Processing the
Outcome for Crop Improvement. Current Science. 89 (2):353-359.
44
45
Conger, B.V., Konzak, C.F., and Nilan, R.A. 1977. Radiation sensitivity and
modifying factors. Manual on Mutation Breeding, 2nd Ed. (Technical
Reports Series No. 119), IAEA, Vienna.p.40.
Deshpande, K.N., Mehetre, S.S., and Pingle, S.D. 2010. Effect of Different
Mutagens for Induction of Mutations in Mulberry. Asian Journal Biology
Science. 10 (1):104-108.
Dhakshanamoorthy, D., Selvaraj, R., and Chidambaram, A. 2010. Physical and
Chemical Mutagenesis in Jatropha curcas L. to Induce Variability in Seed
Germination, Growth and Yield Traits. Journal Plant Biology. 55 (2):113125.
Dubey A.K., Yadav, J.R., and Singh, B. 2007. Studies on Induced Mutations by
Gamma Irradiation in Okra (Abelmoschus esculentus (L.) Monch.).
Progressive Agriculture. 7 (2):46-48.
Dwijoseputro G. 1994. Pengantar fisiologi tumbuhan. Jakarta : Gramedia.p.36.
Harahap F. 2005. Induksi Variasi Genetik Tanaman Manggis (Garcinia
mangostana) dengan Radiasi Sinar Gamma.[Disertasi]. Bogor : Institut
Pertanian Bogor.
Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia Jilid III. Jakarta: Yayasan Sarana
Wana Jaya.p.38-40
Hendriyani, I.S., dan Setiari, N. 2009. Kandungan Klorofil dan Pertumbuhan
Kacang Panjang (Vigna sinensis) pada Tingkat Penyediaan Air yang
Berbeda. Journal Sains and Mathematics. 17 (3):145-150.
Hermansyah, Y., dan Inoriah, E. 2009. Penggunaan Pupuk Daun dan Manipulasi
Jumlah Cabang yang Ditinggalkan pada Panen Kedua Tanaman Nilam.
Akta Agrosia. 12 (2):194-203.
Hidayat, E. B. 1994. Sonchus L. In: Siernonsma, J .S. and Piluek, K. (ed): Plant
Resources of South East Asia. Bogor Indonesia: PROSEA. p.260-262.
Hidema, J., Makino, A., Kurita, Y., Mae, T., and Ohjima, K. 1992. Changes in the
Level of Chlorophyll and Light-harvesting Chlorophyll a/b Protein PS II
in Rice Leaves Agent Under Different Irradiances from Full Expansion
Through Senescense. Plant and Cell Physiology. 33 (8):1209-1214.
IAEA, 1997. Manual on Mutation Breeding. Technical Report Series, No.119.
Vienna: Internasional Atomic Energy Agency.p.98-103.
46
Imelda, M., Deswina, P., Hartati, S., Estiati, A., and Atmowijoyo, S. 2000.
Chemical Mutation by Ethyl Methane Sulfonate (EMS) for Bunchy Top
Virus Resistence in Banana. Annales Bogorienses. 38 (3):205-211.
Jabeen, N., and Mirza, B. 2002. Ethyl Methane Sulfonate Enhances Genetic
Variability in Capsicum annuum. Asian Journal of Plant Sciences. 1 (4):
425-428.
Jayakumar S., and Selvaraj R. 2003. Mutagenic Effectiveness and Efficiency of
Gamma Rays and Ethyl Methane Sulphonate in Sunflower (Helianthus
annus L.). Madras Jurnal Agriculture. 90 (1):574-576.
Koethoff, M., Sandel. E.B., and Merhan, E.J. 1989. Quantitative Chemical
Analysis. Fourth Edition, New York : Macmillan Publishing.p.36-39.
Kulkami, G. B. 2011. Efect of Mutagen on Pollen Fertility and Other Paramenter
in Horse Gram (Imacrotyloma uniflorum (Lam) Verdcourt). Bioscience
Discovery. 2 (1):146-150.
Kumar, G., and Yadav, R.S. 2010. EMS Induced Genomic Disorders in Sesame
(Sesamum indicum L.). Romanian Journal Of Biology Plant Biology. 55
(2):97104.
Lichtenthaler, H.K., and Wellburn, R.R. 1983. Determination of Total
Carotenoids and Chlorophylls a and b of Leaf Extracts in Different
Solvents. Biochemical Society Transaction. 11 (7):591-592.
Loveless, A.R. 1991. Prinsip Prinsip Biologi Tumbuhan Untuk Daerah Tropik.
Jilid 1.Jakarta : PT. Gramedia Pustaka.p.33-35.
Mahandjiev, A., Kosturkova, G., and Mihov, M. 2001. Enrichment of Pisum
sativum Gene Resources through Combined use of Physical and Chemical
Mutagens. Israel Journal of Plant Sciences. 49 (4):279-284.
47
Pande, S., and Khetmalas, M. 2012. Biological Effect of Sodium Azide and
Colchicine on Seed Germination and Callus Induction in Stevia
rebaudiana. Asian Journal of Experimental Biological Sciences. 3 (1): 9398.
Pharmawati M., Defiani M.R., and Suada I.K. 2013. Ethyl Methanesulfonate
Delayed Germination and Altered Seedling Morphology of Capsicum
annuum L. Proceedings 4th International Conference on Biosciences and
Biotechnology.
Pitojo, S. 2003. Benih Cabai. Yogyakarta: Kanisius.p.23-24.
Poerba Y.S. 2000. Pengaruh Mutagen Ethyl Methan Sulfonate (EMS) Terhadap
Pertumbuhan Sonchus arvensis (L.) Pada Generasi M1. Seminar Nasional
Biologi XVI. Bandung.p.25-32.
Purwati, R.D., Budi, U., dan Sudarsono, S. 2007. Penggunaan Asam Fusarat
dalam Seleksi in vitro untuk Resistensi terhadap Fusarium oxysporum f.sp.
cubense. Jurnal Littri. 7 (2):80-91.
Purwati, R.D., Sudjindro, K.E., dan Sudarsono, S. 2008. Keragaman Genetika
Varian Abaka yang Diinduksi dengan Ethyl Methane Sulphonate (EMS).
Jurnal Littri. 15 (4):152-161.
Puspita, D. S., Ashari, S., dan Haryono, D. 2010. Respon Awal Pertumbuhan
Vegetatif Tanaman Durian (Durio zibethinus Murr.) Terhadap Pemberian
Pupuk Anorganik. Malang : Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya.p.
21-24.
Rukmana, R.H 2002. Usaha Tani Cabai Rawit. Yogyakarta: Kanisius.p.31-33.
Sakin M. A and Sencar. 2002. The Effect of Different Doses of Gamma Ray and
EMS on Formation of Chlorophyll Mutation in Durum Wheat (Trticum
durum Desf.). Tarim Bilimleri Dergisi. 3 (1):15-21.
Salisbury, F. B., dan Ross, C. W. 1995. Fisiologi Tumbuhan Jilid 2. (Lukman,
D.R dan Sumaryono). Bandung: ITB.p.343.
Semangun, H. 2000. Penyakit-Penyakit Tanaman Hortikultura di Indonesia.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.p.32-35.
Setiadi, 1987. Bertanam Cabai. Jakarta: Penebar Swadaya.p.27-29.
Sharma B.K., and Mishra, M.N. 2007. Micro-Mutations for Fruit Number, Fruit
Length and Fruit Yield Characters in Gamma-Irradiated Generation of
48
49
LAMPIRAN
Derajat
Bebas
3
5
135
143
Jumlah
Kuadrat
189,283
1,884
89,332
280,498
Kuadrat
Tengah
63,094
0,377
0,662
F Signifikn
95,30 0,000*
0,569 0,723
Derajat
Bebas
Jumlah
Kuadrat
Kuadrat
Tengah
Signifikan
Perlakuan
873,668
291,229
76,289
0,000*
Kelompok
216,396
43,279
11,337
0,000*
Galat
135
515,354
3,817
Total
143
1605,438
Derajat
Bebas
Jumlah
Kuadrat
Kuadrat
Tengah
Perlakuan
Kelompok
Galat
Total
3
5
120
128
142,377
734,765
2178,074
3054,326
47,459
146,953
18,151
Signifikan
2,615
8,096
0,054
0,000*
Derajat
Bebas
Jumlah
Kuadrat
Kuadrat
Tengah
Perlakuan
Kelompok
Galat
Total
3
5
135
143
59,91
29,201
69,049
158,16
19,97
5,84
0,511
50
Signifikan
39,044
11,419
0,000*
0,000*
51
Derajat
Bebas
3
5
120
128
Jumlah
Kuadrat
15,603
89,339
276,741
381,349
Kuadrat
Tengah
5,201
17,868
2,306
F
2,255
7,748
Signifikan
0,085
0,000*
Derajat
Bebas
3
5
15
24
Jumlah
Kuadrat
22,458
42,875
63,292
77763,000
Kuadrat
Tengah
7,486
8,575
4,219
Sig.
1,774
2,032
0,195
0,132
Derajat
Bebas
Jumlah
Kuadrat
Kuadrat
Tengah
Sig.
3
5
15
24
98,000
65,333
196,000
121912,000
32,667
13,067
13,067
2,500
1,000
0,099
0,451
Derajat
Bebas
Jumlah
Kuadrat
Kuadrat
Tengah
Perlakuan
Kelompok
Galat
Total
3
5
135
143
2,965
11,451
54,743
69,16
0,988
2,29
0,406
Signifikan
2,438
5,648
0,067
0,000*
52
Derajat
Bebas
Jumlah
Kuadrat
Kuadrat
Tengah
Perlakuan
Kelompok
Galat
3
5
119
13,333
66,196
172,414
4,444
13,239
1,449
Total
127
253,617
Signifikan
3,067
9,138
0,031*
0,000*
Lampiran 10. Hasil ANOVA Jumlah Total Buah Tanaman Cabai Rawit 24 MST
Sumber
Keragaman
Perlakuan
Kelompok
Galat
Total
Derajat
Bebas
3
5
127
136
Jumlah
Kuadrat
1090.704
219.114
1830.156
466652.000
Kuadrat
Tengah
363.568
43.823
14.411
Sig.
25.229
3.041
0.000
0.013
53