LAPORAN KASUS
I.1. ANAMNESIS
1. IDENTITAS PENDERITA
Nama
: Sdr. AR
Umur
: 17 tahun
Agama
: Islam
Pekerjaan
: Pelajar
Status
: Belum menikah
Alamat
No.RM
: 018429-2012
Tanggal masuk
: 19 November 2014
Tanggal pulang
: 25 November 2014
: TERATAI
2. DATA DASAR
a. Keluhan utama : Demam
b. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang dengan keluhan demam sejak 5 hari sebelum masuk
rumah sakit. Demam dirasakan naik turun, dan meningkat pada malam hari.
Keluhan tersebut disertai dengan adanya buang air besar yang cair seperti air,
warna feses berwarna kuning kecoklatan, tidak berlendir, tidak ada darah.
BAB cair sudah dirasakan selama 3 hari, namun saat ini, 1 hari terakhir belum
BAB lagi . Penurunan nafsu makan (+), tubuh terasa lemas (+), sakit kepala
(+). Sakit kepala dirasakan seperti cekot-cekot, dan dirasakan hilang timbul.
Mual (+), muntah (-). BAK berwarna seperti teh, yang dirasakan sejak 3 hari
SMRS. nyeri saat BAK (-), terasa panas saat BAK (-). Gusi berdarah (-),
mimisan (-).
c.
: Disangkal
: Disangkal
: Disangkal
: Disangkal
: Disangkal
5)
6)
7)
8)
atau darah
Mulut
Tenggorokan
Sistem respirasi
Kardiovaskular
9) Gastrointestinal
menurun + , diare (+), BAB warna cerah -, BAB berdarah 10) Genitourinaria
: Nyeri saat bak -, panas saat bak -, sulit keluar pada
awal BAK - , BAK menetes -, warna seperti teh +,
10) Ekstremitas
nanah -, gatal
: Lemas , nyeri sendi -, edema pitting -, kesemutan -
Keadaan Umum
B.
Status gizi
BB
65 kg
TB
170 cm
BMI
22,5 kg/ m2
Kesan
Tanda Vital
C.
Kulit
D.
Kepala
E.
Mata
F.
Mulut
(-),
Leher
tiroid
(-),
pembesaran
limfonodi
cervical (-)
H.
Thorax
Palpasi
Iktus cordis tidak teraba
Perkusi
jantung
kanan
bawah
SIC
IV
linea
parasternalis dextra
Batas jantung kiri atas SIC II linea parasternalis
sinistra
Batas jantung kiri bawah SIC V linea media
clavicularis sinistra
Auskultasi
Pulmo :
Inspeksi
Statis
Normochest, simetris
Dinamis
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
K. Punggung
Kanan
Sonor
Kiri
Sonor
Kanan
Kiri
L. Abdomen
Inspeksi
(-), caput
medusae (-)
Auskultasi
Perkusi
Palpasi
arcus
costae,
permukaan
rata,
Ekstremitas
Superior dekstra
Superior sinistra
Inferior dekstra
Inferior Sinistra
1.3.
RESUME
Pasien datang dengan keluhan demam yang dirasakan sejak 5 hari SMRS. Demam
dirasakan naik turun, suhu meningkat pada malam hari. Demam disertai dengan adanya
diare yang dirasakan selama 3 hari, namun 1 hari terakhir telah berhenti. Feses berwarna
kuning kecoklatan, tidak berlendir, dan tidak berdarah. Penurunan nafsu makan (+), tubuh
terasa lemas (+), sakit kepala (+), mual (+). BAK berwarna seperti teh, yang dirasakan
sejak 3 hari SMRS.
Pemeriksaan fisik ditemukan Tensi : 120/70 mmHg, Nadi : 80 x/menit, isi dan
tegangan cukup, reguler, Frekuensi Respirasi : 24 x/menit, Suhu : 38,1 0C. Sklera mata
ikterik +/+, coated tounge (+). Pada palpasi abdomen ditemukan pembesaran hepar 3cm
dibawah arcus costae, permukaan rata, konsistensi lunak, tepi tumpul, dan tidak terdapat
nyeri tekan pada hepar.
I.4. ASSESSMENT
Observasi febris hari ke-5 dd/ suspek demam tifoid; DHF
Suspek hepatitis akut dd/ hepatitis tifosa; hepatitis virus; hepatitis drug induced
I.5. PLANNING
Darah rutin
Feses rutin
Uji Widal
Anti salmonella IgM
Anti dengue IgM dan IgG
SGOT dan SGPT
IgM anti HAV, HbsAg, anti HCV
I.6. TERAPI
Non farmakologi
- Bed rest absolut
- Menjaga hygiene diri dan makanan
- Diet lunak
Farmakologi
-
Infus RL 20 tpm
Injeksi Ceftriaxone 3x1
Paracetamol 500 mg 3x1
Curcuma 2x1
Subject
Demam
Object
Assessment
Planning
- Infus RL 20 tpm
6
suhu meningkat
febris
hari
- Injeksi
S: 40,1C
ke-6
dd/
Ceftriaxone
Sklera
hari, pusing (+), Kepala/Leher:
suspek
3x1
ikterik
+/+,
lidah
Paracetamol
500
mual
(+),
demam tifoid
mg 3x1
- Hepatitis akut
kotor (+)
muntah
(-),
Curcuma
2x1
Thorax :
dd/ suspek
BAK berwarna
cor : BJ I-II reguler
hepatitis
pulmo: SDV +/+, suara
seperti teh, BAB
tifosa,
- Rencana
tambahan (-)
normal,
gusi
pemeriksaan:
Abd : BU (+), Nyeri
hepatitis
berdarah
(-),
anti
tekan
(-),
teraba
virus,
mimisan (-).
salmonella
pembesaran
hepar
hepatitis
IgM
3cm dibawah arcus
drug induced
pada
malam
costae,
permukaan
rata,
konsistensi
tekan
pada
hepar.
Ekstremitas: ptekie (-)
Pemeriksaan darah rutin:
Eosinofil
0,0
(menurun), SGOT 43
(meningkat),
SGPT
61 (meningkat), Anti
Dengue IgM dan IgG
21-11-2014
Demam
(-)
(+), TD: 130/100 mmHg, N: - Observasi
suhu meningkat
pada
malam
(+),
muntah
(-),
- Infus RL 20 tpm
- Injeksi
febris
hari
66
x/mnt,
RR:
Ceftriaxone
ke-6
dd/
20x/mnt, S: 39C
3x1
Kepala/Leher:
Sklera
- Paracetamol 500
suspek
mg 3x1
ikterik +/+, lidah
demam tifoid
- Curcuma 2x1
- Hepatitis akut
kotor (+)
Thorax :
cor : BJ I-II reguler
pulmo: SDV +/+, suara
seperti teh, BAB
BAK berwarna
normal,
gusi
tambahan (-)
dd/
suspek
hepatitis
tifosa,
- Rencana
pemeriksaan:
7
berdarah
mimisan (-).
hepatitis
anti
(-),
teraba
virus,
salmonella
pembesaran
hepar
hepatitis
IgM
tekan
permukaan
rata,
konsistensi
drug induced
tekan
pada
hepar.
Ekstremitas: ptekie (-)
22-11-2014
pembesaran
- Infus RL 20 tpm
- Injeksi
Ceftriaxone
3x1
- Paracetamol 500
mg 3x1
- Curcuma 2x1
hepar
permukaan
rata,
konsistensi
tekan
pada
hepar.
Ekstremitas: ptekie (-)
Pemeriksaan serologi:
Anti Salmonella IgM:
4 (positif lemah).
8
23-11-2014
pembesaran
- Infus RL 20 tpm
- Injeksi
Ceftriaxone
3x1
- Paracetamol 500
mg 3x1
- Curcuma 2x1
hepar
permukaan
rata,
konsistensi
24-11-2014
tekan
pada
hepar.
Ekstremitas: ptekie (-)
Demam (-) sejak TD: 110/60 mmHg, N: - Demam tifoid
- Suspek
semalam, pusing
103
x/mnt,
RR:
Hepatitis dd/
(+), mual dan
24x/mnt, S: 35,6 C
hepatitis
Sklera
muntah
(-), Kepala/Leher:
tifosa,
ikterik +/+ minimal,
BAK dan BAB
hepatitis
lidah kotor (+)
normal.
Thorax :
virus,
cor : BJ I-II reguler
hepatitis
pulmo: SDV +/+, suara
drug induced
tambahan (-)
- Infus RL 20 tpm
- Injeksi
Ceftriaxone
3x1
- Paracetamol 500
mg 3x1
- Curcuma 2x1
(-),
teraba
pembesaran
hepar
costae,
permukaan
rata,
konsistensi
25-11-2014
tekan
pada
hepar.
Ekstremitas: ptekie (-)
Demam (-) sejak TD: 110/60 mmHg, N: - Demam tifoid
- Hepatitis akut
1 hari yang lalu,
103
x/mnt,
RR:
dd/ suspek
pusing (-), mual
24x/mnt, S: 35,6 C
hepatitis
Sklera
dan muntah (-), Kepala/Leher:
tifosa,
ikterik +/+ minimal
BAK dan BAB
Thorax :
hepatitis
normal.
cor : BJ I-II reguler
virus,
pulmo: SDV +/+, suara
hepatitis
tambahan (-)
Abd : BU (+), Nyeri
tekan
(-),
teraba
pembesaran
hepar
- Infus RL 20 tpm
- Injeksi
Ceftriaxone
3x1
- Paracetamol 500
mg 3x1
- Curcuma 2x1
drug induced
permukaan
rata,
konsistensi
tekan
pada
hepar.
Ekstremitas: ptekie (-)
1.8. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan Darah Rutin (tanggal 20-11-2014)
Pemeriksaan
Hasil
Nilai Rujukan
Satuan
Hemoglobin
14.4
13.5 17.5
g/dl
Lekosit
7,0
4 - 10
Ribu
Eritrosit
4.63
56
Juta
Darah rutin
10
Hematokrit
42.1
37 - 45
Trombosit
207
150 - 400
Ribu
MCV
90.9
82 - 98
Mikro m3
MCH
31.1
>= 27
Pg
MCHC
34.2
32 - 36
g/dl
RDW
12.5
10 -16
MPV
7.8
7 - 11
Mikro m3
Limfosit
2.3
1.0 4.5
10^3/mikroL
Monosit
0.8
0.4 3.1
10^3/mikroL
Eosinofil
0.0
0.04-0.8
10^3/mikroL
Basofil
0.0
0 - 0.2
10^3/mikroL
Neutrofil
3.9
1.8 -7.5
10^3/mikroL
Limfosit %
32.8
25 40
Monosit %
11.0 (H)
28
Eosinofil %
0.6 (L)
2-4
Basofil %
0.5
0 -1
Neutrofil%
55.1
50-70
PCT
0.162
0.2 0.5
PDW
13.2
10 - 18
Hasil
Nilai Rujukan
Satuan
43 (H)
61 (H)
U/L
IU/L
NEGATIF
NEGATIF
4
2 : negatif
3 : boderline
4-5 : positif lemah
6 : positif kuat
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
11
12
3. Antigen Vi yang terletak pada kapsul (envelope) dari kuman yang dapat melindungi
kuman terhadap fagositosis.
II.1.5. Faktor Yang Mempengaruhi Penularan Demam Tifoid
a. Faktor Host
Manusia adalah sebagai reservoir bagi kuman Salmonella thypi. Terjadinya penularan
Salmonella thypi sebagian besar melalui makanan/minuman yang tercemar oleh kuman
yang berasal dari penderita atau carrier yang biasanya keluar bersama dengan tinja atau
urine. Dapat juga terjadi trasmisi transplasental dari seorang ibu hamil yang berada
dalam bakterimia kepada bayinya.
b. Faktor Agent
Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella thypi. Jumlah kuman yang dapat
menimbulkan infeksi adalah sebanyak 105 109 kuman yang tertelan melalui makanan
dan minuman yang terkontaminasi. Semakin besar jumlah Salmonella thypi yang
tertelan, maka semakin pendek masa inkubasi penyakit demam tifoid.
c. Faktor Environment
Demam tifoid merupakan penyakit infeksi yang dijumpai secara luas di daerah tropis
terutama di daerah dengan kualitas sumber air yang tidak memadai dengan standar
hygiene dan sanitasi yang rendah. Beberapa hal yang mempercepat terjadinya
penyebaran demam tifoid adalah urbanisasi, kepadatan penduduk, sumber air minum
dan standart hygiene industri pengolahan makanan yang masih rendah.
II.1.4. Patogenesis Demam Tifoid
Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi masuk kedalam tubuh manusia melalui
makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam lambung dan
sebagian lagi masuk ke usus halus dan berkembang biak. Bila respon imunitas humoral
mukosa IgA usus kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel terutama sel M dan
selanjutnya ke lamina propia. Imunulogi. Humoral lokal, di usus diproduksi IgA
sekretorik yang berfungsi mencegah melekatnya salmonella pada mukosa
usus. Sementara humoral sistemik, diproduksi IgM dan IgG untuk
memudahkan fagositosis Salmonella oleh makrofag. Seluler berfungsi
untuk membunuh Salmonalla intraseluler.
Di lamina propia kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama
oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya
dibawa ke plaque Peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika.
13
Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang terdapat di dalam makrofag ini masuk ke
dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakterimia pertama yang asimtomatik) dan menyebar
ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman
meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid
dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi yang mengakibatkan bakterimia yang
kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik, seperti
demam, malaise, mialgia, sakit kepala dan sakit perut.
Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan
bersama cairan empedu diekskresikan secara intermiten ke dalam lumen usus. Sebagian
kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi kedalam sirkulasi setelah
menembus usus. Proses yang sama berulang kembali, berhubung makrofag telah teraktivasi
dan hiperaktif maka saat fagositosis kuman Salmonella terjadi pelepasan mediator inflamasi
yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi ssistemik.
Dalam plak Peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasia jaringan (S.
typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat, hiperplasia jaringan,
dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah
sekitar plak Peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasia akibat akumulasi sel-sel
mononuklear di dinding usus. Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga
ke lapisan otot, serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi.
Kekambuhan dapat terjadi bila kuman masih menetap dalam organ-organ sistem
retikuloendotelial dan berkesempatan untuk berproliferasi kembali. Menetapnya Salmonella
dalam tubuh manusia diistilahkan sebagai pembawa kuman atau carrier.
II.1.5. Gambaran Klinis
Masa inkubasi demam tifoid antara 10 14 hari. Setelah masa inkubasi maka
ditemukan gejala prodromal, yaitu perasaan tidak enak badan, lesu, nyeri kepala, pusing dan
tidak bersemangat. Pada minggu 1 dapat terjadi demam (suhu berkisar 39-400C), nyeri
kepala, pusing, nteri otot, anoreksia, mual muntah, konstipasi, diare, perasaan tidak enak di
perut, batuk dan epiktasis. Minggu 2 gejala menjadi lebih jelas, demam, bradikardi relatif
(adalah peningkatan suhu 1oC tidak diikuti peningkatan denyut nadi 8 x/menit), lidah khas
berwarna putih, hepatomegali, splenomegali, gangguan kesadaran.
a. Demam
Pada kasus-kasus yang khas, demam berlangsung 3 minggu. Bersifat febris
remiten dan suhu tidak berapa tinggi. Selama minggu pertama, suhu tubuh
14
berangsurangsur meningkat setiap hari, biasanya menurun pada pagi hari dan
meningkat lagi pada sore dan malam hari. Dalam minggu kedua, penderita terus berada
dalam keadaan demam. Dalam minggu ketiga suhu tubuh beraangsur-angsur turun dan
normal kembali pada akhir minggu ketiga.
b. Gangguan pada saluran cerna
Pada mulut terdapat nafas berbau tidak sedap. Bibir kering dan pecah-pecah
(ragaden) . Lidah ditutupi selaput putih kotor (coated tongue), ujung dan tepinya
kemerahan, jarang disertai tremor. Pada abdomen mungkin ditemukan keadaan perut
kembung (meteorismus). Hati dan limpa membesar disertai nyeri pada perabaan.
Biasanya didapatkan konstipasi, akan tetapi mungkin pula normal bahkan dapat terjadi
diare.
c. Gangguan kesadaran
Umumnya kesadaran penderita menurun walaupun tidak berapa dalam, yaitu
apatis sampai somnolen. Jarang terjadi sopor, koma atau gelisah.
II.1.6. Diagnosis Demam Tifoid
Diagnosis dini demam tifoid dan pemberian terapi yang tepat bermanfaat untuk
mendapatkan hasil yang cepat dan optimal sehingga dapat mencegah terjadinya komplikasi.2
Pengetahuan mengenai gambaran klinis penyakit sangat penting untuk membantu mendeteksi
dini penyakit ini.8 Pada kasus-kasus tertentu, dibutuhkan pemeriksaan tambahan dari
laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis. Diagnosis pasti demam tifoid
berdasarkan pemeriksaan laboratorium didasarkan pada 3 prinsip, yaitu: Isolasi bakteri,
deteksi antigen mikroba, titrasi antibodi terhadap organisme penyebab.
a. Diagnosis klinik
Diagnosis klinis penyakit ini sering tidak tepat, karena gejala klinis yang khas pada demam
tifoid tidak ditemukan atau gejala yang sama dapat juga ditemukan pada penyakit lain.
Diagnosis klinis demam tifoid sering kali terlewatkan karena pada penyakit dengan demam
beberapa hari tidak diperkirakan kemungkinan diagnosis demam tifoid.
b. Pemeriksaan Laboratorium
1. Pemeriksaan rutin
Hematologi
Kadar hemoglobin dapat normal atau menurun bila terjadi penyulit perdarahan
Urinalis
Protein: bervariasi dari negatif sampai positif (akibat demam)
Leukosit dan eritrosit normal; bila meningkat kemungkinan terjadi penyulit.
Kimia Klinik
Enzim hati (SGOT, SGPT) sering meningkat dengan gambaran peradangan sampai
hepatitis akut, tetapi akan kembali normal setelah sembuh.
2. Imunologi
Uji Widal
Uji Widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi (aglutinin).
Aglutinin yang spesifik terhadap Salmonella typhi terdapat dalam serum penderita
demam tifoid, pada orang yang pernah tertular Salmonella typhi dan pada orang yang
pernah mendapatkan vaksin demam tifoid. Antigen yang digunakan pada uij Widal adlah
suspensi Salmonella typhi yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Tujuan dari
uji Widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita yang diduga
menderita demam tifoid.
Dari ketiga aglutinin (aglutinin O, H, dan Vi), hanya aglutinin O dan H yang
ditentukan titernya untuk diagnosis. Semakin tinggi titer aglutininnya, semakin besar pula
kemungkinan didiagnosis sebagai penderita demam tifoid. Pada infeksi yang aktif, titer
aglutinin akan meningkat pada pemeriksaan ulang yang dilakukan selang waktu paling
sedikit 5 hari. Peningkatan titer aglutinin empat kali lipat selama 2 sampai 3 minggu
memastikan diagnosis demam tifoid.
Biasanya pembentukan aglutinin mulai dijumpai pada hari 6-8 dan antibodi terhadap
antigen H dijumpai pada hari 10-12 setelah sakit. Pada orang yang telah sembuh, antibodi
O masih tetap dapat dijumpai setelah 4-6 bulan dan antibodi H setelah 10-12 bulan.
Karena itu, Widal bukanlah pemeriksaan untuk menentukan kesembuhan penyakit.
Interpretasi hasil uji Widal adalah sebagai berikut :
a) Titer O yang tinggi ( > 160) menunjukkan adanya infeksi akut
b) Titer H yang tinggi ( > 160) menunjukkan telah mendapat imunisasi atau pernah
menderita infeksi
c) Titer antibodi yang tinggi terhadap antigen Vi terjadi pada carrier.
Hasil uji ini dipengaruhi oleh banyak faktor sehingga dapat memberikan hasil
positif palsu atau negatif palsu. Hasil positif palsu dapat disebabkan oleh faktorfaktor, antara lain pernah mendapatkan vaksinasi, reaksi silang dengan spesies lain
(Enterobacteriaceae sp), reaksi anamnestik (pernah sakit), dan adanya faktor
rheumatoid (RF). Hasil negatif palsu dapat disebabkan oleh karena antara lain
penderita sudah mendapatkan terapi antibiotika, waktu pengambilan darah kurang dari
1 minggu sakit, keadaan umum pasien yang buruk, dan adanya penyakit imunologik
lain.
16
Uji TUBEX
Uji tubex merupakan uji aglutinasi kompetitif semi kuantitatif kolometrik yang. Pada
intinya mendeteksi adanya antibodi anti-S typhi O9 pada serum pasien, dengan cara
menghambat ikatan antara IgM anti-O9 yang terkonjugasi pada partikel latex yang
berwarna dengan lipopolisakarida S.typhi yang terkonjugasi pada partikel magnetik latex.
Jika hasil uji tubex positif maka menunjukkan terdapat infeksi Salmonella serogroup D
walaupun tidak secara spesifik menunjukkan pada S. typhi., sedangkan jika hasil uji tubex
negatif kemungkinan menunjukkan terdapat infeksi oleh S.paratyphi atau penyakit lain.
Deteksi terhadap anti O9 dapat dilakukan lebih dini, yaitu pada hari ke 4-5 untuk
infeksi primer dan hari ke 2-3 untuk infeksi sekunder. Perlu diketahui bahwa uji Tubex
hanya dapat mendeteksi IgM dan tidak dapat mendeteksi IgG sehingga tidak dapat
dipergunakan sebagai modalitas untuk mendeteksi infeksi lampau.
Interpretasi hasil Tubex adalah sebagai berikut:
Skor
<2
3
Negatif
Borderline
Interpretasi
Tidak menunjuk infeksi tifoid aktif
Pengukuran tidak disimpulkan. Ulangi
pengujian,
lakukan
4-5
6
Positif lemah
positif kuat
bila
masih
pengulangan
meragukan
beberapa
hari
kemudian.
Menunjukkan infeksi tifoid aktif
Indikasi kuat infeksi tifoid
3. Mikrobiologi
Kultur (Gall culture/ Biakan empedu)
Uji ini merupakan baku emas (gold standard) untuk pemeriksaan Demam Typhoid/
paratyphoid. Interpretasi hasil: jika hasil positif maka diagnosis pasti untuk Demam
17
Tifoid/ Paratifoid. Sebalikanya jika hasil negatif, belum tentu bukan Demam Tifoid/
Paratifoid, karena hasil biakan negatif palsu dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu
antara lain jumlah darah terlalu sedikit kurang dari 2mL), darah tidak segera dimasukan
ke dalam medial Gall (darah dibiarkan membeku dalam spuit sehingga kuman
terperangkap di dalam bekuan), saat pengambilan darah masih dalam minggu- 1 sakit,
sudah mendapatkan terapi antibiotika, dan sudah mendapat vaksinasi. Kekurangan uji ini
adalah hasilnya tidak dapat segera diketahui karena perlu waktu untuk pertumbuhan
kuman (biasanya positif antara 2-7hari, bila belum ada pertumbuhan koloni ditunggu
sampai 7 hari). Pilihan bahan spesimen yang digunakan pada awal sakit adalah darah,
kemudian untuk stadium lanjut/ carrier digunakan urin dan tinja.
sesuai kebutuhan gizi yang sedikit mungkin meninggalkan sisa sehingga dapat membatasi
volume feses, dan tidak merangsang saluran cerna. Pemberian bubur saring, juga
ditujukan untuk menghindari terjadinya komplikasi perdarahan saluran cerna atau
perforasi usus.
Untuk kembali ke makanan "normal", lakukan secara bertahap bersamaan dengan
mobilisasi. Misalnya hari pertama dan kedua makanan lunak, hari ke-3 makanan biasa,
dan seterusnya.
3. Medikamentosa
Pengobatan simtomatik diberikan untuk menekan gejala-gejala simtomatik yang
dijumpai seperti demam, diare, sembelit, mual, muntah, dan meteorismus. Sembelit bila
lebih dari 3 hari perlu dibantu dengan paraffin atau lavase dengan glistering. Obat bentuk
laksan ataupun enema tidak dianjurkan karena dapat memberikan akibat perdarahan
maupun perforasi intestinal.
Pengobatan suportif dimaksudkan untuk memperbaiki keadaan penderita, misalnya
pemberian cairan, elektrolit, bila terjadi gangguan keseimbangan cairan, vitamin, dan
mineral yang dibutuhkan oleh tubuh dan kortikosteroid untuk mempercepat penurunan
demam.
a. Antibiotik
Pemberian antimikroba dengan tujuan menghentikan dan mencegah penyebaran
kuman.
1. Kloramfenikol
Di era pre-antibiotik, angka mortalitas dari demam tifoid masih tinggi sekitar 15%.
Terapi dengan kloramfenikol diperkenalkan pada 1948, mengubah perjalanan penyakit,
menurunkan angka mortalitas hingga <1% dan durasi demam dari 14-28 hari menjadi 3-5
hari. Dosis untuk orang dewasa adalah 4 kali 500 mg perhari oral atau intravena, sampai
7 hari bebas demam. Penyuntikan intramuskular tidak dianjurkan karena hidrolisis ester
tidak dapat diramalkan dan tempat suntikan terasa nyeri. Kloramfenikol menjadi obat
pilihan untuk demam enterik hingga munculnya resistensi pada tahun 1970. Tingginya
angka kekambuhan (10-25%), masa penyakit yang memanjang dan karier kronik,
toksisitas terhadap sumsum tulang (anemia aplastik), angka mortalitas yang tinggi di
beberapa negara berkembang merupakan perhatian terhadap kloramfenikol. Kekambuhan
dapat diobati dengan obat yang sama. Penurunan demam terjadi rata-rata pada hari ke-5.
19
2. Tiamfenikol
Dosis dan efektifitas tiamfenikol pada demam tifoid hampir sama dengan
kloramfenikol, akan tetapi komplikasi hematologi seperti kemungkinan terjadinya
anemia aplastik lebih rendah dibandingkan dengan kloramfenikol. Dosis tiamfenikol
adalah 4 x 500 mg, demam rata-rata menurun pada hari ke-6.
3. Quinolon
Quinolon memiliki aktivitas tinggi terhadap Salmonellae invitro, dengan efektif
penetrasi terhadap makrofag, mencapai konsentrasi tinggi di usus dan lumen empedu,
dan memiliki potensi yang tinggi diantara antibiotik lain dalam terapi demam tifoid.
Ciprofloksasin terbukti memiliki efektivitas yang tingi, tidak ada karier S. Typhi yang
muncul, faktanya, pada studi lainnya, indikasi utama untuk menggunakan antibiotik
quinolon. Ciprofloksasin juga telah ditemukan memiliki efek terapi terhadap strain
S.typhi dan S.paratyphi MDR. Resistensi terhadap ciprofloksasin mulai muncul
khususnya di daerah India. Quinolon lainnya, seperti ofloxacin, norfloxacin dan
pefloxacin, terbukti efektif dalam percobaan klinis skala kecil. Terapi singkat dengan
ofloxacin (10-15 mg/kg dibagi dua selama 2-3 hari) muncul lebih simpel, aman dan
efektif dalam terapi inkomplit MDR demam tifoid. Demam pada umumnya turun pada
hari ke-3 atau menjelang hari ke-4.
4. Sefalosporin Generasi 1
Cefotaxim, ceftriaxon, dan cefoperazon telah digunakan untuk mengobati demam
tifoid, dengan pemberian selama 3 hari memberikan efek terapi sama dengan regimen
obat yang diberikan 10-14 hari. Respon yang baik juga dilaporkan dengan pemberian
ceftriaxon selama 5-7 hari, tetapi laporan angka kekambuhan ditemukan tidak lengkap.
Obat-obat ini sebaiknya diberikan untuk kasus resisten quinolon. Direkomendasikan
diberikan untuk 10-14 hari.
5. Antibiotik lainnya
Beberapa studi kecil telah melaporkan kesuksesan pengobatan demam tifoid dengan
aztreonam, antibiotik monobaktam. Antibiotik ini menunjukan lebih efektif daripada
kloramfenikol dalam membasmi organisme dalam darah. Penelitian prospektif di
Malaysia terhenti akibat tingginya kegagalan dengan aztreonam. Azitromycin, antibiotik
makrolida baru diberikan dengan dosis 1 gr sekali sehari selama 5 hari juga bermanfaat
20
Second-line
antibiotics
(fluoroquinolon)
Obat
Kloramfenikol
TrimetoprimSulfametoksazol
Dosis
500 mg 4x sehari
160/800 mg 2 x
sehari, 4-20 mg/kg,
bagi 2 dosis.
Ampicillin/Amoxycillin
1000-2000 mg 4x
Oral, IM, IV
sehari;
50-100
Ciprofloxacin
Norfloxacin
Cephalosporin
Rute
Oral, IV
Oral, IV
Pefloxacin
400 mg , 2x sehari
selama 10 hari
Oral, IV
Ofloxacin
Oral
Levofloxacin
Ceftriaxon
Cefotaxim
Antibiotik lainnya
Cefoperazon
Cefixim
200-400 mg sehari
Oral
sekali/2 x sehari 10
mg/kg bagi 1-2
dosis
selama 14 hari
1 gr/2-4 x sehari; IM
50-70 mg/kg:
Aztreonam
Azithromycin
1 gr sekali sehari;
5 - 10 mg/kg
Oral
Tabel 3. Rekomendasi Antibiotik Untuk Demam Tifoid Menurut WHO dan Bhutta
Kerentanan
Treatment Optimal
Obat
Dosis/h
(mg/kg)
Lama
Obat
pengob
Dosis/h
Lama
(mg/kg)
pengobatan
atan
Demam tifoid tanpa komplikasi
Fully
Fluoroquinolone
(seperti ofloksasin
sensitive
atau
Multidrug
resistence
Quinolone
15
5-7*
Kloramfenikol
Amoksisilin
TMP-SMX
50-75
75-100
8-40
14-21
14
14
ciprofloksasin)
Fluoroquinolone
15
5-7
azitromisin
8-10
atau
Cefixime
Azitromisin atau
Ceftriaxone
15-20
8-10
75
7-14
7
10-14
Cefixime
15-20
7-14
20
7-14
100
100
8/40
14-21
14
14
Cefixime
resistance
Demam tifoid berat yang memerlukan pengobatan parenteral
Fully
Fluoroquinolone
15
10-14
Kloramfenikol
(seperti
Ampisilin
sensitive
TMP-SMX
ofloksasin)
Multidrug
resistence
Quinolone
resistance
Fluoroquinolone
15
Ceftriaxone atau
60
Cefotaxime
10-14
Ceftriaxone atau
Cefotaxime
60
80
7
10-14
10-14
Flouroquinolone
20
14
80
*3 hari pengobatan juga dapat efektif, terutamaa di daerah yang tidak endemik
22
Pengobatan optimum untuk resistensi quinolone pada demam tifoid belum dapat ditentukan.
%
92,6
Kloramfenikol
94,1
Tetrasiklin Trimetoprim-Sulfametoksazol
100
Ciprofloksasin
100
Levofloksasin
100
Komplikasi Intestinal
Komplikasi intestinal yang dapat terjadi, yaitu perdarahan intestinal perforasi usus,
ileus paralitik, pankreatitis.
Perdarahan intestinal
Pada plak peyeri usus yang terinfeksi (terutama ileum terminalis) dapat terbentuk
tukan/luka berbentuk lonjong dan memanjang terhadap sumbu usus. Bila luka
menembus lumen usus dan mengenai pembuluh darah maka terjadi perdarahan.
Selanjutnya bila tukak menembus dinding usus maka perforasi dapat terjadi. Selain
karena faktor luka, perdarahan juga dapat terjadi karena gangguan koagulasi darah
(KID) atau gabungan kedua faktor. Sekitar 25% penderita demam tifoid dapat
mengalami perdarahan minor yang tidak membutuhkan transfusi darah. Perdarahan
hebat dapat terjadi hingga penderita mengalami syok. Secara klinis perdarahan akut
darurat bedah ditegakan bila terdapat perdarahan sebanyak 5ml/kgBB/jam dengan
faktor hemostasis dalam batas normal. Jika penanganan terlambat, mortalitas cukup
tinggi sekitar 10 - 32%, bahkan ada yang melaporkan sampai 80 %. Bila transfusi
23
yang diberikan tidak dapat mengimbangi perdarahan yang terjadi, maka tindakan
bedah perlu dipertimbangkan.
Perforasi usus
Terjadi pada sekitar 3% dari penderita yang dirawat. Biasanya timbul pada minggu
ketiga namun dapat pula terjadi pada minggu pertama. Selain gejala umum demam
tifoid yang biasa terjadi maka penderita demam tifoid dengan perforasi mengeluh
nyeri perut yang hebat terutama di daerah kuadran kanan bawah yang kemudian
menyebar ke seluruh perut dan disertai dengan tanda-tanda ileus. Bising usus
melemah pada 50% penderita dan pekak hati terkadang tidak ditemukan karena
adanya udara bebas diabdomen. Tanda-tanda perforasi lainnya adalah nadi cepat,
tekanan darah turun, dan bahkan dapat syok. Leukositosis dengan pergeseran ke kiri
dapat menyokong adanya perforasi. Bila pada gambaran foto polos abdomen
(BNO/3 posisi) ditemukan udara pada rongga peritoneum atau subdiafragma kanan,
maka hal ini merupakan nilai yang cukup menentukan terdapatnya perforasi usus
pada demam tifoid. Beberapa faktor yang dapat meningkatkan kejadian perforasi
adalah umur (biasanya 20-30 tahun), lama demam, modalitas pengobatan, beratnya
penyakit, dan mobilitas penderita. Antibiotik diberikan secara selektif bukan hanya
untuk mengobati kuman S. Typhi tetapi juga untuk mengatasi kuman yang bersifat
fakultatif dan aerobik pada flora usus. Umumnya diberikan antibiotik spektrum luas
dengan kombinasi kloramfenikol dan ampisilin intravena. Untuk kontaminasi usus
dapat diberikan gentamisin/metronidazol. Cairan harus diberikan dalam jumlah yang
cukup serta penderita dipuasakan dan dipasang nasogastric tube. Transfusi darah
dapat diberikan bila terdapat kehilangan darah akibat perdarahan intestinal.
BAB III
26
27
c. Fungsi Pendidikan
Pasien masih bersekolah pada tingkat SMA.
d. Fungsi Sosial
Pasien
tinggal
di
kawasan
perkampungan
yang
padat
dan
sekunder
pasien
beserta
kedua
adiknya.
Untuk
di
sekolah
dibandingkan
makan
masakan
rumah.
28
secara
rutin,
dan
aktif
mengikuti
kegiatan
tangga
yang
diletakkan
di
sembarang
tempat
dan
29
Sumber air minum, air untuk mencuci dan masak didapat dari
air sumur timba. Dapur terlihat kotor dan berantakan. Di dalam
kamar mandi terdapat sebuah jamban jongkok dan bak mandi. Bak
mandi
terlihat
agak
kotor
dan
banyak
genangan
sehingga
III.3.5.
a. Fungsi Biologis
Pasien laki-laki usia 17 tahun menderita Thypoid Fever dengan
keluhan demam sejak 5 hari dan dirasakan naik turun, disertai
dengan adanya sakit kepala, penurunan nafsu makan, dan BAK
yang berwarna seperti teh.
b. Fungsi Psikologis
Hubungan pasien dengan keluarga dan tetangga serta temanteman di sekolahnya cukup baik.
c. Fungsi sosial dan budaya
Dapat bersosialisasi terhadap lingkungan sekitar dengan baik.
d. Fungsi ekonomi dan pemenuhan kebutuhan
Perekonomian
pasien
cukup
untuk
memenuhi
kebutuhan
sehari-hari.
e. Fungsi penguasaan masalah dan kemampuan beradaptasi
Masalah
yang
berhubungan
dalam
keluarga
dibicarakan
30
Lingkungan
Geneti
k
Derajat
kesehatan
Sdr. AR
Penderita
Yankes
Pelayanan
kesehatan
Perilaku
31
Rencana Pembinaan
Sasaran
Keluarga
dan
Pasien
dan
yang
jenis
baik
makanan
dikonsumsi
serta
dampak
berkepanjangan
kebiasaan
dari
jajan
sembarangan.
III.3.8. Pembinaan
Tanggal
27 November
Kegiatan
Penyuluhan tentang
Hasil Kegiatan
Pengetahuan tentang
2014
Thypoid
meningkat.
dan
gejala
pencegahan
Fever
serta
dan
pengobatannya.
32
27 November
Memantau
Pasien
2014
perkembangan
sehat.
diberikan
mulai
kepada
pasien.
III.3.9. Hasil Kegiatan
Tangg
Subje
al
Objektif
Assesm
ktif
Planning
ent
27/11/
Bada
TD: 120/80
Thypoid
14
mmHg,
Fever
terasa
80x/min,
lemas
RR:
20
jenis
makanan
(+)
x/min,
S:
bergizi
seimbang
N:
Edukasi:
istirahat
36.5 C.
28/07/
Lemas
TD: 120/70
13
(+)
mmHg,
sembarangan
Kontrol
mengalami keluhan
Edukasi:
Jadwal
N:
jika
80x/min,
jenis
makanan
seimbang
RR:
20
bergizi
x/min,
S:
36.5 C.
sembarangan
Kontrol
jika
mengalami keluhan
Tidak ada.
3. Indikator keberhasilan
a. Pengetahuan pasien tentang Thypoid Fever meningkat sehingga
dapat membantu kesembuhan pasien.
b. Jadwal makan dan variasi jenis makanan bergizi seimbang mulai
dijalani pasien.
c. Kebersihan
dan
kerapian
lingkungan
rumah
mulai
DAFTAR PUSTAKA
1. WHO, The diagnosis, treatment and prevention of typhoid fever. 2003, Geneva:
Department of Vaccines and Biologicals.
2. Widodo, D., Demam tifoid buku ajar penyakit dalam 2009, jakarta: Interna publising.
3. Chau et al. Antimicrobial drug resistance of Salmonella enterica serovar typhi in asia
and molecular mechanism of reduced susceptibility to the fluoroquinolones. Antimicrob
Agents Chemother. 2007;51(12):4315-23.
4. Crump JA, Luby SP, Mintz ED. The global burden of typhoid fever. Bull World Health
Organ. May 2004;82(5):346-53.
5. Dutta TK, Beeresha, Ghotekar LH. Atypical manifestations of typhoid fever. J
Postgrad Med. Oct-Dec 2001;47(4):248-51.
6. Lynch MF, Blanton EM, Bulens S, Polyak C, Vojdani J, Stevenson J. Typhoid fever in
the United States, 1999-2006. JAMA. Aug 26 2009;302(8):859-65.
7. Bhutta ZA. Typhoid fever. In: Rakel RE, Bope ET, eds. Conn's current therapy.
Philadelphia PA: Saunders, 2006: 215-8.
8. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Edisi V 2009, Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
34
35