Anda di halaman 1dari 35

BAB I

LAPORAN KASUS
I.1. ANAMNESIS
1. IDENTITAS PENDERITA
Nama

: Sdr. AR

Umur

: 17 tahun

Agama

: Islam

Pekerjaan

: Pelajar

Status

: Belum menikah

Alamat

: Kupangsari RT 02/ RW 09 Ambarawa Kabupaten Semarang

No.RM

: 018429-2012

Tanggal masuk

: 19 November 2014

Tanggal pulang

: 25 November 2014

Kelompok pasien : BPJS PBI


Pasien bangsal

: TERATAI

2. DATA DASAR
a. Keluhan utama : Demam
b. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang dengan keluhan demam sejak 5 hari sebelum masuk
rumah sakit. Demam dirasakan naik turun, dan meningkat pada malam hari.
Keluhan tersebut disertai dengan adanya buang air besar yang cair seperti air,
warna feses berwarna kuning kecoklatan, tidak berlendir, tidak ada darah.
BAB cair sudah dirasakan selama 3 hari, namun saat ini, 1 hari terakhir belum
BAB lagi . Penurunan nafsu makan (+), tubuh terasa lemas (+), sakit kepala

(+). Sakit kepala dirasakan seperti cekot-cekot, dan dirasakan hilang timbul.
Mual (+), muntah (-). BAK berwarna seperti teh, yang dirasakan sejak 3 hari
SMRS. nyeri saat BAK (-), terasa panas saat BAK (-). Gusi berdarah (-),
mimisan (-).
c.

Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat dengan keluhan yang sama
Riwayat Hipertensi
Riwayat Diabetes Melitus
Riwayat Asma
Riwayat Alergi

: Disangkal
: Disangkal
: Disangkal
: Disangkal
: Disangkal

d. Riwayat Penyakit pada Anggota Keluarga


Riwayat dengan keluhan yang sama : Disangkal
Riwayat hipertensi
: Disangkal
Riwayat Asma
: Disangkal
Riwayat Alergi
: Disangkal
Riwayat Diabetes Melitus
: Disangkal
e. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien adalah seorang pelajar, dengan pekerjaan orang tua sebagai
wiraswasta. Pasien termasuk kedalam kelompok pasien BPJS PBI.
f. Riwayat penggunaan obat
Sebelumnya pasien telah berobat ke puskesmas, namun tidak ada
perbaikan, dan telah mendapatkan obat berupa paracetamol dan antibiotik.
g. Riwayat kebiasaan
Pasien mengaku sering jajan dikantin disekolah dan jajanan disekitar
sekolah. Sebelum sakit pasien mengaku beberapa minggu terakhir, tengah
sibuk dalam kegiatan ekskul disekolahnya, sehingga waktu istirahat berkurang
h.
1)
2)
3)
4)

dan sering jajan diluar.


Anamnesis sistem
Kepala
: sakit kepala +
Mata
: Kabur -/- , gatal -/- , kuning +/+ , sekret -/Hidung
: Tersumbat -, keluar darah - , keluar lendir - , gatal Telinga
: Penurunan pendengaran -, berdenging -, keluar secret

5)
6)
7)
8)

atau darah
Mulut
Tenggorokan
Sistem respirasi
Kardiovaskular

: Bibir kering -, gusi mudah berdarah


: Rasa kering dan gatal -, serak -, sukar menelan : Sesak -, batuk -, dahak - , nyeri dada -, mengi
: Berdebar-debar - , nyeri dada -

9) Gastrointestinal

: Nyeri -, mual -, sebah -, cepat haus (-) nafsu makan

menurun + , diare (+), BAB warna cerah -, BAB berdarah 10) Genitourinaria
: Nyeri saat bak -, panas saat bak -, sulit keluar pada
awal BAK - , BAK menetes -, warna seperti teh +,
10) Ekstremitas

nanah -, gatal
: Lemas , nyeri sendi -, edema pitting -, kesemutan -

I.2. PEMERIKSAAN FISIK


A.

Keadaan Umum

Sakit sedang, compos mentis

B.

Status gizi

BB

65 kg

TB

170 cm

BMI

22,5 kg/ m2

Kesan
Tanda Vital

: Status gizi normoweight

Tensi : 121/70 mmHg


Nadi : 80 x/menit, isi dan tegangan cukup, reguler
Frekuensi Respirasi : 24 x/menit
Suhu : 38,1 0C

C.

Kulit

Warna sawo matang, ikterik (-), anemis (-)

D.

Kepala

Bentuk mesocephal, rambut warna hitam

E.

Mata

Konjunctiva pucat (-/-), sklera ikterik (+/+), pupil


isokor dengan diameter 3 mm/3 mm, refleks cahaya
(+/+)

F.

Mulut

Sianosis (-), gusi berdarah (-), kering (-) pucat

(-),

coated tongue (+), papil lidah atrofi (-) stomatitis


(-), luka pada sudut bibir (-)
G.

Leher

JVP tidak meningkat, trakea di tengah, simetris,


pembesaran

tiroid

(-),

pembesaran

limfonodi

cervical (-)
H.

Thorax

Bentuk normochest, simetris, retraksi intercostal

(-), pernafasan torakoabdominal, sela iga melebar


(-), pembesaran KGB axilla (-/-)
Jantung :
Inspeksi

Iktus kordis tidak tampak

Palpasi
Iktus cordis tidak teraba
Perkusi

Batas jantung kanan atas SIC II linea parasternalis


dextra
Batas

jantung

kanan

bawah

SIC

IV

linea

parasternalis dextra
Batas jantung kiri atas SIC II linea parasternalis
sinistra
Batas jantung kiri bawah SIC V linea media
clavicularis sinistra
Auskultasi

Bunyi jantung I-II , reguler, gallop (-), bising


murmur (-).

Pulmo :
Inspeksi

Statis

Normochest, simetris

Dinamis

Pengembangan dada kanan = kiri, sela iga tidak


melebar, retraksi intercostal (-)

Palpasi

Pergerakan dada kanan = kiri, fremitus raba kanan


= kiri

Perkusi

Auskultasi

K. Punggung

Kanan

Sonor

Kiri

Sonor

Kanan

Suara dasar vesikuler (+/+), Rhonki (-)

Kiri

Suara dasar vesikuler (+/+), Rhonki (-)


kifosis (-), lordosis (-), skoliosis (-)

L. Abdomen
Inspeksi

Dinding perut simetris, venektasi

(-), caput

medusae (-)
Auskultasi

Bising usus (+) normal

Perkusi

Timpani pada seluruh lapang abdomen

Palpasi

Nyeri tekan (-), teraba pembesaran hepar 3cm


dibawah

arcus

costae,

permukaan

rata,

konsistensi lunak, tepi tumpul, dan tidak


terdapat nyeri tekan pada hepar.
M. Genitourinaria
N.

sekret (-), radang (-)

Ekstremitas
Superior dekstra

Pitting edema (-), spoon nail (-), kuku pucat (-),


clubing finger (-), palmar eritema (-), palmar ikterik
(-)

Superior sinistra

Pitting edema (-) spoon nail (-), kuku pucat (-),


clubing finger (-), palmar eritema (-), palmar ikterik
(-)

Inferior dekstra

Pitting edema (-), spoon nail (-) kuku pucat (-),


clubing finger (-), nyeri genu (-), oedem genu (-),
plantar pedis ikterik (-)

Inferior Sinistra

Pitting edema (-), spoon nail (-) kuku pucat (-),


clubing finger (-), nyeri genu (-), oedem genu (-),
plantar pedis ikterik (-)

1.3.

RESUME
Pasien datang dengan keluhan demam yang dirasakan sejak 5 hari SMRS. Demam
dirasakan naik turun, suhu meningkat pada malam hari. Demam disertai dengan adanya
diare yang dirasakan selama 3 hari, namun 1 hari terakhir telah berhenti. Feses berwarna
kuning kecoklatan, tidak berlendir, dan tidak berdarah. Penurunan nafsu makan (+), tubuh
terasa lemas (+), sakit kepala (+), mual (+). BAK berwarna seperti teh, yang dirasakan
sejak 3 hari SMRS.
Pemeriksaan fisik ditemukan Tensi : 120/70 mmHg, Nadi : 80 x/menit, isi dan
tegangan cukup, reguler, Frekuensi Respirasi : 24 x/menit, Suhu : 38,1 0C. Sklera mata
ikterik +/+, coated tounge (+). Pada palpasi abdomen ditemukan pembesaran hepar 3cm
dibawah arcus costae, permukaan rata, konsistensi lunak, tepi tumpul, dan tidak terdapat
nyeri tekan pada hepar.

I.4. ASSESSMENT
Observasi febris hari ke-5 dd/ suspek demam tifoid; DHF
Suspek hepatitis akut dd/ hepatitis tifosa; hepatitis virus; hepatitis drug induced
I.5. PLANNING
Darah rutin
Feses rutin
Uji Widal
Anti salmonella IgM
Anti dengue IgM dan IgG
SGOT dan SGPT
IgM anti HAV, HbsAg, anti HCV
I.6. TERAPI
Non farmakologi
- Bed rest absolut
- Menjaga hygiene diri dan makanan
- Diet lunak
Farmakologi
-

Infus RL 20 tpm
Injeksi Ceftriaxone 3x1
Paracetamol 500 mg 3x1
Curcuma 2x1

I.7. PENELUSURAN (FOLLOW UP) tanggal 20 November 25


November 2014
Tanggal
20-11-2014

Subject
Demam

Object

Assessment

(+), TD: 110/80 mmHg, N: - Observasi

Planning
- Infus RL 20 tpm
6

suhu meningkat

66x/mnt, RR: 17x/mnt,

febris

hari

- Injeksi
S: 40,1C
ke-6
dd/
Ceftriaxone
Sklera
hari, pusing (+), Kepala/Leher:
suspek
3x1
ikterik
+/+,
lidah
Paracetamol
500
mual
(+),
demam tifoid
mg 3x1
- Hepatitis akut
kotor (+)
muntah
(-),
Curcuma
2x1
Thorax :
dd/ suspek
BAK berwarna
cor : BJ I-II reguler
hepatitis
pulmo: SDV +/+, suara
seperti teh, BAB
tifosa,
- Rencana
tambahan (-)
normal,
gusi
pemeriksaan:
Abd : BU (+), Nyeri
hepatitis
berdarah
(-),
anti
tekan
(-),
teraba
virus,
mimisan (-).
salmonella
pembesaran
hepar
hepatitis
IgM
3cm dibawah arcus
drug induced
pada

malam

costae,

permukaan

rata,

konsistensi

lunak, tepi tumpul,


dan tidak terdapat
nyeri

tekan

pada

hepar.
Ekstremitas: ptekie (-)
Pemeriksaan darah rutin:
Eosinofil

0,0

(menurun), SGOT 43
(meningkat),

SGPT

61 (meningkat), Anti
Dengue IgM dan IgG
21-11-2014

Demam

(-)
(+), TD: 130/100 mmHg, N: - Observasi

suhu meningkat
pada

malam

hari, pusing (+),


mual

(+),

muntah

(-),

- Infus RL 20 tpm
- Injeksi
febris
hari
66
x/mnt,
RR:
Ceftriaxone
ke-6
dd/
20x/mnt, S: 39C
3x1
Kepala/Leher:
Sklera
- Paracetamol 500
suspek
mg 3x1
ikterik +/+, lidah
demam tifoid
- Curcuma 2x1
- Hepatitis akut
kotor (+)

Thorax :
cor : BJ I-II reguler
pulmo: SDV +/+, suara
seperti teh, BAB
BAK berwarna
normal,

gusi

tambahan (-)

dd/

suspek

hepatitis
tifosa,

- Rencana
pemeriksaan:
7

berdarah
mimisan (-).

(-), Abd : BU (+), Nyeri

hepatitis

anti

(-),

teraba

virus,

salmonella

pembesaran

hepar

hepatitis

IgM

tekan

3cm dibawah arcus


costae,

permukaan

rata,

konsistensi

drug induced

lunak, tepi tumpul,


dan tidak terdapat
nyeri

tekan

pada

hepar.
Ekstremitas: ptekie (-)
22-11-2014

(+), TD: 110/70 mmHg, N: - Demam tifoid


- Hepatitis akut
suhu meningkat
66
x/mnt,
RR:
dd/ suspek
pada
malam
24x/mnt, S: 38,6 C
hepatitis
Sklera
hari, pusing (+), Kepala/Leher:
tifosa,
ikterik +/+ minimal,
mual
(+),
hepatitis
lidah kotor (+)
muntah
(-),
Thorax :
virus,
BAK dan BAB
cor : BJ I-II reguler
hepatitis
pulmo: SDV +/+, suara
normal,
gusi
drug induced
tambahan (-)
berdarah
(-),
Abd : BU (+), Nyeri
mimisan (-).
tekan
(-),
teraba
Demam

pembesaran

- Infus RL 20 tpm
- Injeksi
Ceftriaxone
3x1
- Paracetamol 500
mg 3x1
- Curcuma 2x1

hepar

3cm dibawah arcus


costae,

permukaan

rata,

konsistensi

lunak, tepi tumpul,


dan tidak terdapat
nyeri

tekan

pada

hepar.
Ekstremitas: ptekie (-)
Pemeriksaan serologi:
Anti Salmonella IgM:
4 (positif lemah).
8

23-11-2014

(+), TD: 130/90 mmHg, N: - Demam tifoid


- Suspek
suhu meningkat
66
x/mnt,
RR:
Hepatitis
pada
malam
24x/mnt, S: 38,4 C
akut
dd/
Sklera
hari, pusing (+), Kepala/Leher:
suspek
ikterik +/+ minimal,
mual
(+),
hepatitis
lidah kotor (+)
muntah
(-),
Thorax :
tifosa,
BAK dan BAB
cor : BJ I-II reguler
hepatitis
pulmo: SDV +/+, suara
normal,
gusi
virus,
tambahan (-)
berdarah
(-),
Abd : BU (+), Nyeri
hepatitis
mimisan (-).
drug induced
tekan
(-),
teraba
Demam

pembesaran

- Infus RL 20 tpm
- Injeksi
Ceftriaxone
3x1
- Paracetamol 500
mg 3x1
- Curcuma 2x1

hepar

3cm dibawah arcus


costae,

permukaan

rata,

konsistensi

lunak, tepi tumpul,


dan tidak terdapat
nyeri

24-11-2014

tekan

pada

hepar.
Ekstremitas: ptekie (-)
Demam (-) sejak TD: 110/60 mmHg, N: - Demam tifoid
- Suspek
semalam, pusing
103
x/mnt,
RR:
Hepatitis dd/
(+), mual dan
24x/mnt, S: 35,6 C
hepatitis
Sklera
muntah
(-), Kepala/Leher:
tifosa,
ikterik +/+ minimal,
BAK dan BAB
hepatitis
lidah kotor (+)
normal.
Thorax :
virus,
cor : BJ I-II reguler
hepatitis
pulmo: SDV +/+, suara
drug induced
tambahan (-)

- Infus RL 20 tpm
- Injeksi
Ceftriaxone
3x1
- Paracetamol 500
mg 3x1
- Curcuma 2x1

Abd : BU (+), Nyeri


tekan

(-),

teraba

pembesaran

hepar

3cm dibawah arcus

costae,

permukaan

rata,

konsistensi

lunak, tepi tumpul,


dan tidak terdapat
nyeri

25-11-2014

tekan

pada

hepar.
Ekstremitas: ptekie (-)
Demam (-) sejak TD: 110/60 mmHg, N: - Demam tifoid
- Hepatitis akut
1 hari yang lalu,
103
x/mnt,
RR:
dd/ suspek
pusing (-), mual
24x/mnt, S: 35,6 C
hepatitis
Sklera
dan muntah (-), Kepala/Leher:
tifosa,
ikterik +/+ minimal
BAK dan BAB
Thorax :
hepatitis
normal.
cor : BJ I-II reguler
virus,
pulmo: SDV +/+, suara
hepatitis
tambahan (-)
Abd : BU (+), Nyeri
tekan

(-),

teraba

pembesaran

hepar

- Infus RL 20 tpm
- Injeksi
Ceftriaxone
3x1
- Paracetamol 500
mg 3x1
- Curcuma 2x1

drug induced

3cm dibawah arcus


costae,

permukaan

rata,

konsistensi

lunak, tepi tumpul,


dan tidak terdapat
nyeri

tekan

pada

hepar.
Ekstremitas: ptekie (-)
1.8. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan Darah Rutin (tanggal 20-11-2014)
Pemeriksaan

Hasil

Nilai Rujukan

Satuan

Hemoglobin

14.4

13.5 17.5

g/dl

Lekosit

7,0

4 - 10

Ribu

Eritrosit

4.63

56

Juta

Darah rutin

10

Hematokrit

42.1

37 - 45

Trombosit

207

150 - 400

Ribu

MCV

90.9

82 - 98

Mikro m3

MCH

31.1

>= 27

Pg

MCHC

34.2

32 - 36

g/dl

RDW

12.5

10 -16

MPV

7.8

7 - 11

Mikro m3

Limfosit

2.3

1.0 4.5

10^3/mikroL

Monosit

0.8

0.4 3.1

10^3/mikroL

Eosinofil

0.0

0.04-0.8

10^3/mikroL

Basofil

0.0

0 - 0.2

10^3/mikroL

Neutrofil

3.9

1.8 -7.5

10^3/mikroL

Limfosit %

32.8

25 40

Monosit %

11.0 (H)

28

Eosinofil %

0.6 (L)

2-4

Basofil %

0.5

0 -1

Neutrofil%

55.1

50-70

PCT

0.162

0.2 0.5

PDW

13.2

10 - 18

b. Pemeriksaan Kimia Klinik dan Serologi (tanggal 20-11-2014 dan 22-11-2014)


Pemeriksaan
Kimia Klinik
SGOT
SGPT
Serologi
Anti Dengue IgG
Anti Dengue IgM
Anti Salmonella IgM

Hasil

Nilai Rujukan

Satuan

43 (H)
61 (H)

U/L
IU/L

NEGATIF
NEGATIF
4

2 : negatif
3 : boderline
4-5 : positif lemah
6 : positif kuat
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

11

II.1. Demam Tifoid


II.1.1. Definisi Demam Tifoid
Demam tifoid (tifus abdominalis, enteric fever) adalah penyakit infeksi akut yang
biasanya terdapat pada saluran pencernaan dengan gejala demam yang lebih dari 7 hari,
gangguan pada saluran pencernaan dengan atau tanpa gangguan kesadaran.
II.1.2. Epidemiologi Demam Tifoid
Demam tifoid terjadi di seluruh dunia, terutama di negara-negara berkembang dengan
kondisi sanitasi yang buruk. Demam tifoid endemik di Asia, Afrika, Amerika Latin, Karibia,
dan Oceania, dan 80% kasus berasal dari Bangladesh, China, India, Indonesia, Laos, Nepal,
Pakistan, atau Vietnam. Demam tifoid menginfeksi sekitar 21,6 juta orang (kejadian 3,6 per
1.000 penduduk) dan membunuh sekitar 200.000 orang setiap tahun.
Kebanyakan kasus-kasus demam tifoid dilaporkan melibatkan anak-anak usia sekolah
dan dewasa muda. Presentasi dalam kelompok usia ini mungkin atipikal, mulai dari penyakit
demam ringan sampai kejang berat, dan infeksi typhi S mungkin tidak dikenali.
54% kasus demam tifoid di Amerika Serikat dilaporkan antara tahun 1999 dan 2006
terjadi pada laki-laki.
II.1.3. Etiologi Demam Tifoid
Demam tifoid disebabkan oleh Salmonella typhi (S. typhi) atau Salmonella paratyphi
dari Genus Salmonella. Bakteri ini termasuk basil gram negatif, berflagel, dan tidak berspora.
Bakteri ini dapat hidup sampai beberapa minggu di alam bebas seperti di dalam air, es,
sampah dan debu. Bakteri ini dapat mati dengan pemanasan (suhu 60 oC) selama 15 20
menit, pasteurisasi, pendidihan dan khlorinisasi. S. typhi memiliki 3 macam antigen yaitu
antigen O (somatik berupa kompleks polisakarida), antigen H (flagel), dan antigen Vi. Dalam
serum penderita demam tifoid akan terbentuk antibodi terhadap ketiga macam antigen
tersebut disebut aglutinin.
1. Antigen O (Antigen somatik), yaitu terletak pada lapisan luar dari tubuh kuman. Bagian
ini mempunyai struktur kimia lipopolisakarida atau disebut juga endotoksin. Antigen ini
tahan terhadap panas dan alkohol tetapi tidak tahan terhadap formaldehid.
2. Antigen H (Antigen Flagella), yang terletak pada flagella, fimbriae atau pili dari
kuman. Antigen ini mempunyai struktur kimia suatu protein dan tahan terhadap
formaldehid tetapi tidak tahan terhadap panas dan alkohol.

12

3. Antigen Vi yang terletak pada kapsul (envelope) dari kuman yang dapat melindungi
kuman terhadap fagositosis.
II.1.5. Faktor Yang Mempengaruhi Penularan Demam Tifoid
a. Faktor Host
Manusia adalah sebagai reservoir bagi kuman Salmonella thypi. Terjadinya penularan
Salmonella thypi sebagian besar melalui makanan/minuman yang tercemar oleh kuman
yang berasal dari penderita atau carrier yang biasanya keluar bersama dengan tinja atau
urine. Dapat juga terjadi trasmisi transplasental dari seorang ibu hamil yang berada
dalam bakterimia kepada bayinya.
b. Faktor Agent
Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella thypi. Jumlah kuman yang dapat
menimbulkan infeksi adalah sebanyak 105 109 kuman yang tertelan melalui makanan
dan minuman yang terkontaminasi. Semakin besar jumlah Salmonella thypi yang
tertelan, maka semakin pendek masa inkubasi penyakit demam tifoid.
c. Faktor Environment
Demam tifoid merupakan penyakit infeksi yang dijumpai secara luas di daerah tropis
terutama di daerah dengan kualitas sumber air yang tidak memadai dengan standar
hygiene dan sanitasi yang rendah. Beberapa hal yang mempercepat terjadinya
penyebaran demam tifoid adalah urbanisasi, kepadatan penduduk, sumber air minum
dan standart hygiene industri pengolahan makanan yang masih rendah.
II.1.4. Patogenesis Demam Tifoid
Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi masuk kedalam tubuh manusia melalui
makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam lambung dan
sebagian lagi masuk ke usus halus dan berkembang biak. Bila respon imunitas humoral
mukosa IgA usus kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel terutama sel M dan
selanjutnya ke lamina propia. Imunulogi. Humoral lokal, di usus diproduksi IgA
sekretorik yang berfungsi mencegah melekatnya salmonella pada mukosa
usus. Sementara humoral sistemik, diproduksi IgM dan IgG untuk
memudahkan fagositosis Salmonella oleh makrofag. Seluler berfungsi
untuk membunuh Salmonalla intraseluler.
Di lamina propia kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama
oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya
dibawa ke plaque Peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika.
13

Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang terdapat di dalam makrofag ini masuk ke
dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakterimia pertama yang asimtomatik) dan menyebar
ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman
meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid
dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi yang mengakibatkan bakterimia yang
kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik, seperti
demam, malaise, mialgia, sakit kepala dan sakit perut.
Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan
bersama cairan empedu diekskresikan secara intermiten ke dalam lumen usus. Sebagian
kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi kedalam sirkulasi setelah
menembus usus. Proses yang sama berulang kembali, berhubung makrofag telah teraktivasi
dan hiperaktif maka saat fagositosis kuman Salmonella terjadi pelepasan mediator inflamasi
yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi ssistemik.
Dalam plak Peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasia jaringan (S.
typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat, hiperplasia jaringan,
dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah
sekitar plak Peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasia akibat akumulasi sel-sel
mononuklear di dinding usus. Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga
ke lapisan otot, serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi.
Kekambuhan dapat terjadi bila kuman masih menetap dalam organ-organ sistem
retikuloendotelial dan berkesempatan untuk berproliferasi kembali. Menetapnya Salmonella
dalam tubuh manusia diistilahkan sebagai pembawa kuman atau carrier.
II.1.5. Gambaran Klinis
Masa inkubasi demam tifoid antara 10 14 hari. Setelah masa inkubasi maka
ditemukan gejala prodromal, yaitu perasaan tidak enak badan, lesu, nyeri kepala, pusing dan
tidak bersemangat. Pada minggu 1 dapat terjadi demam (suhu berkisar 39-400C), nyeri
kepala, pusing, nteri otot, anoreksia, mual muntah, konstipasi, diare, perasaan tidak enak di
perut, batuk dan epiktasis. Minggu 2 gejala menjadi lebih jelas, demam, bradikardi relatif
(adalah peningkatan suhu 1oC tidak diikuti peningkatan denyut nadi 8 x/menit), lidah khas
berwarna putih, hepatomegali, splenomegali, gangguan kesadaran.
a. Demam
Pada kasus-kasus yang khas, demam berlangsung 3 minggu. Bersifat febris
remiten dan suhu tidak berapa tinggi. Selama minggu pertama, suhu tubuh
14

berangsurangsur meningkat setiap hari, biasanya menurun pada pagi hari dan
meningkat lagi pada sore dan malam hari. Dalam minggu kedua, penderita terus berada
dalam keadaan demam. Dalam minggu ketiga suhu tubuh beraangsur-angsur turun dan
normal kembali pada akhir minggu ketiga.
b. Gangguan pada saluran cerna
Pada mulut terdapat nafas berbau tidak sedap. Bibir kering dan pecah-pecah
(ragaden) . Lidah ditutupi selaput putih kotor (coated tongue), ujung dan tepinya
kemerahan, jarang disertai tremor. Pada abdomen mungkin ditemukan keadaan perut
kembung (meteorismus). Hati dan limpa membesar disertai nyeri pada perabaan.
Biasanya didapatkan konstipasi, akan tetapi mungkin pula normal bahkan dapat terjadi
diare.
c. Gangguan kesadaran
Umumnya kesadaran penderita menurun walaupun tidak berapa dalam, yaitu
apatis sampai somnolen. Jarang terjadi sopor, koma atau gelisah.
II.1.6. Diagnosis Demam Tifoid
Diagnosis dini demam tifoid dan pemberian terapi yang tepat bermanfaat untuk
mendapatkan hasil yang cepat dan optimal sehingga dapat mencegah terjadinya komplikasi.2
Pengetahuan mengenai gambaran klinis penyakit sangat penting untuk membantu mendeteksi
dini penyakit ini.8 Pada kasus-kasus tertentu, dibutuhkan pemeriksaan tambahan dari
laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis. Diagnosis pasti demam tifoid
berdasarkan pemeriksaan laboratorium didasarkan pada 3 prinsip, yaitu: Isolasi bakteri,
deteksi antigen mikroba, titrasi antibodi terhadap organisme penyebab.
a. Diagnosis klinik
Diagnosis klinis penyakit ini sering tidak tepat, karena gejala klinis yang khas pada demam
tifoid tidak ditemukan atau gejala yang sama dapat juga ditemukan pada penyakit lain.
Diagnosis klinis demam tifoid sering kali terlewatkan karena pada penyakit dengan demam
beberapa hari tidak diperkirakan kemungkinan diagnosis demam tifoid.
b. Pemeriksaan Laboratorium
1. Pemeriksaan rutin
Hematologi
Kadar hemoglobin dapat normal atau menurun bila terjadi penyulit perdarahan

usus atau perforasi.


Hitung leukosit sering rendah (leukopenia), tetapi dapat pula normal atau tinggi.
Hitung jenis leukosit: sering neutropenia dengan limfositosis relatif.
LED ( Laju Endap Darah ) : Meningkat
Jumlah trombosit normal atau menurun (trombositopenia).
15

Urinalis
Protein: bervariasi dari negatif sampai positif (akibat demam)
Leukosit dan eritrosit normal; bila meningkat kemungkinan terjadi penyulit.
Kimia Klinik
Enzim hati (SGOT, SGPT) sering meningkat dengan gambaran peradangan sampai
hepatitis akut, tetapi akan kembali normal setelah sembuh.
2. Imunologi
Uji Widal
Uji Widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi (aglutinin).
Aglutinin yang spesifik terhadap Salmonella typhi terdapat dalam serum penderita
demam tifoid, pada orang yang pernah tertular Salmonella typhi dan pada orang yang
pernah mendapatkan vaksin demam tifoid. Antigen yang digunakan pada uij Widal adlah
suspensi Salmonella typhi yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Tujuan dari
uji Widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita yang diduga
menderita demam tifoid.
Dari ketiga aglutinin (aglutinin O, H, dan Vi), hanya aglutinin O dan H yang
ditentukan titernya untuk diagnosis. Semakin tinggi titer aglutininnya, semakin besar pula
kemungkinan didiagnosis sebagai penderita demam tifoid. Pada infeksi yang aktif, titer
aglutinin akan meningkat pada pemeriksaan ulang yang dilakukan selang waktu paling
sedikit 5 hari. Peningkatan titer aglutinin empat kali lipat selama 2 sampai 3 minggu
memastikan diagnosis demam tifoid.
Biasanya pembentukan aglutinin mulai dijumpai pada hari 6-8 dan antibodi terhadap
antigen H dijumpai pada hari 10-12 setelah sakit. Pada orang yang telah sembuh, antibodi
O masih tetap dapat dijumpai setelah 4-6 bulan dan antibodi H setelah 10-12 bulan.
Karena itu, Widal bukanlah pemeriksaan untuk menentukan kesembuhan penyakit.
Interpretasi hasil uji Widal adalah sebagai berikut :
a) Titer O yang tinggi ( > 160) menunjukkan adanya infeksi akut
b) Titer H yang tinggi ( > 160) menunjukkan telah mendapat imunisasi atau pernah
menderita infeksi
c) Titer antibodi yang tinggi terhadap antigen Vi terjadi pada carrier.
Hasil uji ini dipengaruhi oleh banyak faktor sehingga dapat memberikan hasil
positif palsu atau negatif palsu. Hasil positif palsu dapat disebabkan oleh faktorfaktor, antara lain pernah mendapatkan vaksinasi, reaksi silang dengan spesies lain
(Enterobacteriaceae sp), reaksi anamnestik (pernah sakit), dan adanya faktor
rheumatoid (RF). Hasil negatif palsu dapat disebabkan oleh karena antara lain
penderita sudah mendapatkan terapi antibiotika, waktu pengambilan darah kurang dari
1 minggu sakit, keadaan umum pasien yang buruk, dan adanya penyakit imunologik
lain.
16

Uji TUBEX
Uji tubex merupakan uji aglutinasi kompetitif semi kuantitatif kolometrik yang. Pada

intinya mendeteksi adanya antibodi anti-S typhi O9 pada serum pasien, dengan cara
menghambat ikatan antara IgM anti-O9 yang terkonjugasi pada partikel latex yang
berwarna dengan lipopolisakarida S.typhi yang terkonjugasi pada partikel magnetik latex.
Jika hasil uji tubex positif maka menunjukkan terdapat infeksi Salmonella serogroup D
walaupun tidak secara spesifik menunjukkan pada S. typhi., sedangkan jika hasil uji tubex
negatif kemungkinan menunjukkan terdapat infeksi oleh S.paratyphi atau penyakit lain.
Deteksi terhadap anti O9 dapat dilakukan lebih dini, yaitu pada hari ke 4-5 untuk
infeksi primer dan hari ke 2-3 untuk infeksi sekunder. Perlu diketahui bahwa uji Tubex
hanya dapat mendeteksi IgM dan tidak dapat mendeteksi IgG sehingga tidak dapat
dipergunakan sebagai modalitas untuk mendeteksi infeksi lampau.
Interpretasi hasil Tubex adalah sebagai berikut:

Skor
<2
3

Negatif
Borderline

Interpretasi
Tidak menunjuk infeksi tifoid aktif
Pengukuran tidak disimpulkan. Ulangi
pengujian,
lakukan

4-5
6

Positif lemah
positif kuat

bila

masih

pengulangan

meragukan

beberapa

hari

kemudian.
Menunjukkan infeksi tifoid aktif
Indikasi kuat infeksi tifoid

Elisa Salmonella typhi/ paratyphi lgG dan lgM


Pemeriksaan ini merupakan uji imunologik yang lebih baru, yang
dianggap lebih sensitif dan spesifik dibandingkan uji Widal untuk mendeteksi demam
Tifoid/ Paratifoid. Sebagai tes cepat (Rapid Test) hasilnya juga dapat segera di
ketahui. Diagnosis Demam Typhoid/ Paratyphoid dinyatakan 1/ bila lgM positif
menandakan infeksi akut; 2/ jika lgG positif menandakan pernah kontak/ pernah
terinfeksi/ reinfeksi/ daerah endemik.

3. Mikrobiologi
Kultur (Gall culture/ Biakan empedu)
Uji ini merupakan baku emas (gold standard) untuk pemeriksaan Demam Typhoid/
paratyphoid. Interpretasi hasil: jika hasil positif maka diagnosis pasti untuk Demam

17

Tifoid/ Paratifoid. Sebalikanya jika hasil negatif, belum tentu bukan Demam Tifoid/
Paratifoid, karena hasil biakan negatif palsu dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu
antara lain jumlah darah terlalu sedikit kurang dari 2mL), darah tidak segera dimasukan
ke dalam medial Gall (darah dibiarkan membeku dalam spuit sehingga kuman
terperangkap di dalam bekuan), saat pengambilan darah masih dalam minggu- 1 sakit,
sudah mendapatkan terapi antibiotika, dan sudah mendapat vaksinasi. Kekurangan uji ini
adalah hasilnya tidak dapat segera diketahui karena perlu waktu untuk pertumbuhan
kuman (biasanya positif antara 2-7hari, bila belum ada pertumbuhan koloni ditunggu
sampai 7 hari). Pilihan bahan spesimen yang digunakan pada awal sakit adalah darah,
kemudian untuk stadium lanjut/ carrier digunakan urin dan tinja.

II.1.7. Tatalaksana Demam Tifoid


Terapi pada demam tifoid adalah untuk mencapai keadaan bebas demam dan gejala,
mencegah komplikasi, dan menghindari kematian. Yang juga tidak kalah penting adalah
eradikasi total bakeri untuk mencegah kekambuhan dan keadaan carrier.
1. Tirah Baring
Titah baring dan perawatan profesional bertujuan untuk mencegah komplikasi. Tirah
baring dengan perawatan sepenuhnya di tempat tidur, seperti makan, minum, mandi,
buang air kecil dan buang air besar akan membantu dan mempercepat masa penyembuhan.
Dalam perawatan perlu sekali dijaga kebersihan tempat tidur, pakaian, dan perlengkapan
yang dipakai.
Pasien harus tirah baring absolut sampai minimal 7 hari bebas demam atau kurang lebih
selama 14 hari. Maksud tirah baring adalah untuk mencegah terjadinya komplikasi
perdarahan usus atau perforasi usus. Mobilisasi pesien harus dilakukan secara bertahap,
sesuai dengan pulihnya kekuatan pasien.
Pasien dengan kesadaran menurun, posisi tubuhnya harus diubah-ubah pada waktuwaktu tertentu untuk menghindari komplikasi pneumonia hipostatik dan dekubitus.
Defekasi dan buang air kecil harus diperhatikan karena kadang-kadang terjadi obstipasi
dan retensi air kemih.
2. Managemen Nutrisi
Penderita penyakit demam Tifoid selama menjalani perawatan haruslah mengikuti
petunjuk diet yang dianjurkan oleh dokter untuk di konsumsi, antara lain :

Makanan yang cukup cairan, kalori, vitamin & protein.

Tidak mengandung banyak serat.

Tidak merangsang dan tidak menimbulkan banyak gas.


18

Makanan lunak diberikan selama istirahat.


Makanan dengan rendah serat dan rendah sisa bertujuan untuk memberikan makanan

sesuai kebutuhan gizi yang sedikit mungkin meninggalkan sisa sehingga dapat membatasi
volume feses, dan tidak merangsang saluran cerna. Pemberian bubur saring, juga
ditujukan untuk menghindari terjadinya komplikasi perdarahan saluran cerna atau
perforasi usus.
Untuk kembali ke makanan "normal", lakukan secara bertahap bersamaan dengan
mobilisasi. Misalnya hari pertama dan kedua makanan lunak, hari ke-3 makanan biasa,
dan seterusnya.
3. Medikamentosa
Pengobatan simtomatik diberikan untuk menekan gejala-gejala simtomatik yang
dijumpai seperti demam, diare, sembelit, mual, muntah, dan meteorismus. Sembelit bila
lebih dari 3 hari perlu dibantu dengan paraffin atau lavase dengan glistering. Obat bentuk
laksan ataupun enema tidak dianjurkan karena dapat memberikan akibat perdarahan
maupun perforasi intestinal.
Pengobatan suportif dimaksudkan untuk memperbaiki keadaan penderita, misalnya
pemberian cairan, elektrolit, bila terjadi gangguan keseimbangan cairan, vitamin, dan
mineral yang dibutuhkan oleh tubuh dan kortikosteroid untuk mempercepat penurunan
demam.
a. Antibiotik
Pemberian antimikroba dengan tujuan menghentikan dan mencegah penyebaran
kuman.
1. Kloramfenikol
Di era pre-antibiotik, angka mortalitas dari demam tifoid masih tinggi sekitar 15%.
Terapi dengan kloramfenikol diperkenalkan pada 1948, mengubah perjalanan penyakit,
menurunkan angka mortalitas hingga <1% dan durasi demam dari 14-28 hari menjadi 3-5
hari. Dosis untuk orang dewasa adalah 4 kali 500 mg perhari oral atau intravena, sampai
7 hari bebas demam. Penyuntikan intramuskular tidak dianjurkan karena hidrolisis ester
tidak dapat diramalkan dan tempat suntikan terasa nyeri. Kloramfenikol menjadi obat
pilihan untuk demam enterik hingga munculnya resistensi pada tahun 1970. Tingginya
angka kekambuhan (10-25%), masa penyakit yang memanjang dan karier kronik,
toksisitas terhadap sumsum tulang (anemia aplastik), angka mortalitas yang tinggi di
beberapa negara berkembang merupakan perhatian terhadap kloramfenikol. Kekambuhan
dapat diobati dengan obat yang sama. Penurunan demam terjadi rata-rata pada hari ke-5.
19

2. Tiamfenikol
Dosis dan efektifitas tiamfenikol pada demam tifoid hampir sama dengan
kloramfenikol, akan tetapi komplikasi hematologi seperti kemungkinan terjadinya
anemia aplastik lebih rendah dibandingkan dengan kloramfenikol. Dosis tiamfenikol
adalah 4 x 500 mg, demam rata-rata menurun pada hari ke-6.

3. Quinolon
Quinolon memiliki aktivitas tinggi terhadap Salmonellae invitro, dengan efektif
penetrasi terhadap makrofag, mencapai konsentrasi tinggi di usus dan lumen empedu,
dan memiliki potensi yang tinggi diantara antibiotik lain dalam terapi demam tifoid.
Ciprofloksasin terbukti memiliki efektivitas yang tingi, tidak ada karier S. Typhi yang
muncul, faktanya, pada studi lainnya, indikasi utama untuk menggunakan antibiotik
quinolon. Ciprofloksasin juga telah ditemukan memiliki efek terapi terhadap strain
S.typhi dan S.paratyphi MDR. Resistensi terhadap ciprofloksasin mulai muncul
khususnya di daerah India. Quinolon lainnya, seperti ofloxacin, norfloxacin dan
pefloxacin, terbukti efektif dalam percobaan klinis skala kecil. Terapi singkat dengan
ofloxacin (10-15 mg/kg dibagi dua selama 2-3 hari) muncul lebih simpel, aman dan
efektif dalam terapi inkomplit MDR demam tifoid. Demam pada umumnya turun pada
hari ke-3 atau menjelang hari ke-4.
4. Sefalosporin Generasi 1
Cefotaxim, ceftriaxon, dan cefoperazon telah digunakan untuk mengobati demam
tifoid, dengan pemberian selama 3 hari memberikan efek terapi sama dengan regimen
obat yang diberikan 10-14 hari. Respon yang baik juga dilaporkan dengan pemberian
ceftriaxon selama 5-7 hari, tetapi laporan angka kekambuhan ditemukan tidak lengkap.
Obat-obat ini sebaiknya diberikan untuk kasus resisten quinolon. Direkomendasikan
diberikan untuk 10-14 hari.
5. Antibiotik lainnya
Beberapa studi kecil telah melaporkan kesuksesan pengobatan demam tifoid dengan
aztreonam, antibiotik monobaktam. Antibiotik ini menunjukan lebih efektif daripada
kloramfenikol dalam membasmi organisme dalam darah. Penelitian prospektif di
Malaysia terhenti akibat tingginya kegagalan dengan aztreonam. Azitromycin, antibiotik
makrolida baru diberikan dengan dosis 1 gr sekali sehari selama 5 hari juga bermanfaat
20

untuk pengobatan demam tifoid. Keuntungan lainnya penggunaan aztreonam dan


azitromycin adalah kedua obat ini dapat digunakan pada anak-anak, ibu hamil dan
menyusui.

Tabel 2. Obat dan Dosis Antibiotik untuk Demam Tifoid


First-line antibiotics

Second-line
antibiotics
(fluoroquinolon)

Obat
Kloramfenikol
TrimetoprimSulfametoksazol

Dosis
500 mg 4x sehari
160/800 mg 2 x
sehari, 4-20 mg/kg,
bagi 2 dosis.

Ampicillin/Amoxycillin

1000-2000 mg 4x
Oral, IM, IV
sehari;
50-100

Ciprofloxacin

Norfloxacin

Cephalosporin

Rute
Oral, IV
Oral, IV

mg/kg, bagi 4 dosis


500
mg
2x Oral, IV
sehari/200 mg 2x
sehari selama 10-14
hari
400 mg, 2x sehari
Oral
selama 10 hari

Pefloxacin

400 mg , 2x sehari
selama 10 hari

Oral, IV

Ofloxacin

400 mg, 2 x sehari


selama 14 hari

Oral

Levofloxacin

500 mg, 2 x sehari


selama 14 hari

Ceftriaxon

1-2 gr 2x sehari; 50- IM, IV


75 mg/kg: dibagi 12 dosis selama 7-10
hari

Cefotaxim

1-2 gr 2 x sehari 40- IM, IV


80 mg/kg: dibagi 23 dosis selama 14
hari
21

Antibiotik lainnya

Cefoperazon

1-2 gr 2 x sehari 50- IM, IV


100 mg/kg: dibagi 2
dosis selama 14 hari

Cefixim

200-400 mg sehari
Oral
sekali/2 x sehari 10
mg/kg bagi 1-2
dosis
selama 14 hari
1 gr/2-4 x sehari; IM
50-70 mg/kg:

Aztreonam

Azithromycin

1 gr sekali sehari;
5 - 10 mg/kg

Oral

Tabel 3. Rekomendasi Antibiotik Untuk Demam Tifoid Menurut WHO dan Bhutta
Kerentanan

Treatment Optimal
Obat
Dosis/h
(mg/kg)

Lama

Obat

pengob

Dosis/h

Lama

(mg/kg)

pengobatan

atan
Demam tifoid tanpa komplikasi
Fully
Fluoroquinolone
(seperti ofloksasin
sensitive
atau
Multidrug
resistence
Quinolone

15

5-7*

Kloramfenikol
Amoksisilin
TMP-SMX

50-75
75-100
8-40

14-21
14
14

ciprofloksasin)
Fluoroquinolone

15

5-7

azitromisin

8-10

atau
Cefixime
Azitromisin atau
Ceftriaxone

15-20
8-10
75

7-14
7
10-14

Cefixime

15-20

7-14

20

7-14

100
100
8/40

14-21
14
14

Cefixime
resistance
Demam tifoid berat yang memerlukan pengobatan parenteral
Fully
Fluoroquinolone
15
10-14
Kloramfenikol
(seperti
Ampisilin
sensitive
TMP-SMX
ofloksasin)
Multidrug
resistence
Quinolone
resistance

Fluoroquinolone

15

Ceftriaxone atau

60

Cefotaxime

10-14

Ceftriaxone atau
Cefotaxime

60
80

7
10-14

10-14

Flouroquinolone

20

14

80

*3 hari pengobatan juga dapat efektif, terutamaa di daerah yang tidak endemik

22

Pengobatan optimum untuk resistensi quinolone pada demam tifoid belum dapat ditentukan.

Azitromisin, sefalosporin generasi ke III, atau pengobatan selama 10-14 dengan


flouroquinolone dosis tinggi cukup efektif. Kombinasi keduanya masih dievaluasi.
Pada penelitian yang dilakukan di Jakarta pada tahun 2002-2008 didapatkan hasil
bahwa beberapa antibiotika yang biasa digunakan para klinisi di Indonesia masih
memiliki efek terapi diatas 90 terhadap S.typhi dan S.paratyphi.
Tabel. 4 Persentase pengaruh antibiotik terhadap S.typhi
Antibiotik
Ceftriaxon

%
92,6

Kloramfenikol

94,1

Tetrasiklin Trimetoprim-Sulfametoksazol

100

Ciprofloksasin

100

Levofloksasin

100

II.1.8. Komplikasi Demam Tifoid


Sebagai suatu penyakit sistemik maka hampir semua organ utama tubuh dapat diserang
dan berbagai komplikasi serius dapat terjadi. Beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada
demam tifoid yaitu:

Komplikasi Intestinal
Komplikasi intestinal yang dapat terjadi, yaitu perdarahan intestinal perforasi usus,
ileus paralitik, pankreatitis.
Perdarahan intestinal
Pada plak peyeri usus yang terinfeksi (terutama ileum terminalis) dapat terbentuk
tukan/luka berbentuk lonjong dan memanjang terhadap sumbu usus. Bila luka
menembus lumen usus dan mengenai pembuluh darah maka terjadi perdarahan.
Selanjutnya bila tukak menembus dinding usus maka perforasi dapat terjadi. Selain
karena faktor luka, perdarahan juga dapat terjadi karena gangguan koagulasi darah
(KID) atau gabungan kedua faktor. Sekitar 25% penderita demam tifoid dapat
mengalami perdarahan minor yang tidak membutuhkan transfusi darah. Perdarahan
hebat dapat terjadi hingga penderita mengalami syok. Secara klinis perdarahan akut
darurat bedah ditegakan bila terdapat perdarahan sebanyak 5ml/kgBB/jam dengan
faktor hemostasis dalam batas normal. Jika penanganan terlambat, mortalitas cukup
tinggi sekitar 10 - 32%, bahkan ada yang melaporkan sampai 80 %. Bila transfusi
23

yang diberikan tidak dapat mengimbangi perdarahan yang terjadi, maka tindakan
bedah perlu dipertimbangkan.
Perforasi usus
Terjadi pada sekitar 3% dari penderita yang dirawat. Biasanya timbul pada minggu
ketiga namun dapat pula terjadi pada minggu pertama. Selain gejala umum demam
tifoid yang biasa terjadi maka penderita demam tifoid dengan perforasi mengeluh
nyeri perut yang hebat terutama di daerah kuadran kanan bawah yang kemudian
menyebar ke seluruh perut dan disertai dengan tanda-tanda ileus. Bising usus
melemah pada 50% penderita dan pekak hati terkadang tidak ditemukan karena
adanya udara bebas diabdomen. Tanda-tanda perforasi lainnya adalah nadi cepat,
tekanan darah turun, dan bahkan dapat syok. Leukositosis dengan pergeseran ke kiri
dapat menyokong adanya perforasi. Bila pada gambaran foto polos abdomen
(BNO/3 posisi) ditemukan udara pada rongga peritoneum atau subdiafragma kanan,
maka hal ini merupakan nilai yang cukup menentukan terdapatnya perforasi usus
pada demam tifoid. Beberapa faktor yang dapat meningkatkan kejadian perforasi
adalah umur (biasanya 20-30 tahun), lama demam, modalitas pengobatan, beratnya
penyakit, dan mobilitas penderita. Antibiotik diberikan secara selektif bukan hanya
untuk mengobati kuman S. Typhi tetapi juga untuk mengatasi kuman yang bersifat
fakultatif dan aerobik pada flora usus. Umumnya diberikan antibiotik spektrum luas
dengan kombinasi kloramfenikol dan ampisilin intravena. Untuk kontaminasi usus
dapat diberikan gentamisin/metronidazol. Cairan harus diberikan dalam jumlah yang
cukup serta penderita dipuasakan dan dipasang nasogastric tube. Transfusi darah
dapat diberikan bila terdapat kehilangan darah akibat perdarahan intestinal.

Komplikasi ekstra intestinal


Komplikasi hematologi Komplikasi hematologik berupa trombositopenia, hipofibrinogenemia, peningkatan protombin time, peningkatan partial thromboplastin time,
peningkatan fibrin degradation product sampai koagulasi intravaskular diseminata
(KID) dapatditemukan pada kebanyakan pasien demam tifoid.
Trombositopenia
Trombositopenia sering dijumpai, hal ini mungkin terjadi karena menurunnya
produksi trombosit di sum-sum tulang selama proses infeksi atau meningkatnya
destruksi trombosit di sistem retikuloendotelial. Obat-obatan juga memiliki peranan.
Penyebab KID pada demam tifoid belumlah jelas. Hal-hal yang sering dikemukakan
adalah endotoksinmengaktifkan beberapa sistem biologik, koagulasi dan fibrinolisis.
Pelepasan kinin, prostaglandin dan histamin menyebabkan vasokontriksi dan
24

kerusakan endotel pembuluh darah dan selanjutnya mengakibatkan perangsangan


mekanisme koagulasi; baik KID kompensata maupun dekompensata. Bila terjadi
KID dekompensata dapat diberikan transfusi darah, substitusi trombosit dan/atau
faktor-faktor koagulasi bahkan heparin, meskipun ada pula yang tidak sependapat
tentang manfaat pemberian heparin pada demam tifoid.
Hepatitis tifosa
Bila memenuhi 3 atau lebih criteria khosa (1990): hepatomegali, ikterik, kelainan
laboratorium (antara lain: bilirubin>30,6 umol/l; peningkatan SGOT/SGPT,
penurunan indeks PT), kelainan histopatologi. Pembengkakan hati ringan sampai
sedang dijumpai pada 50% kasus dengan demam tifoid dan lebih banyak dijumpai
karena S.typhi daripada S.paratyphi. untuk membedakan apakah hepatitis ini oleh
karena tifoid, virus, malaria, atau amuba maka perlu diperhatikan kelainan fisik,
parameter laboratorium, dan bila perlu histopatologik hatti. Pada demam tifoid
kenaikan enzim transaminase tidak relevan dengan kenaikan serum bilirubin (untuk
membedakan dengan hepatitis oleh karena virus). Hepatitis tifosa dapat terjadi pada
pasien dengan malnutrisi dan sistem imun yang kurang. Meskipun sangat jarang,
komplikasi hepatoensefalopati dapat terjadi.
Pankreatitis tifosa
Merupakan komplikasi yang jarang terjadi pada demam tifoid. Pankreatitis sendiri
dapat disebabkan oleh mediator proinflamasi, virus, bakteri, cacing, maupun zat-zat
farmakologi. Pemeriksaan enzim amilase dan lipase serta USG/CT scan dapat
membantu diagnosis penyakit ini dengan akurat. Penatalaksanaan pankreatitis tifosa
sama seperti penanganan pankreatitis pada umumnya; antibiotik yang diberikan
adalah antibiotik intravena seperti ceftriakson atau quinolon.
Miokarditi
Miokarditis terjadi pada 1-5% penderita demam tifoid sedangkan kelainan
elektrokardiografi (EKG) dapat terjadi pada 10-15% penderita. Pasien dengan
miokarditis biasanya tanpa gejala kardiovaskuler atau dapat berupa keluhan sakit
dada, gagal jantung kongestif, aritmia, atau syok kardiogenik. Sedangkan
perikarditis sangat jarang terjadi. Perubahan EKG yang menetap disertai aritmia
mempunyai prognosis yang buruk. Kelainan ini disebabkan kerusakan miokardium
oleh kuman S.typhi dan miokarditis sering sebagai penyebab kematian. Biasanya
pada pasien yang sakit berat, keadaan akut dan fulminan.
25

Manifestasi neuropsikiatrik/tifoid toksik


Manifestasi neuropsikiatrik dapat berupa delirium dengan atau tanpa kejang, semikoma atau koma, parkinson rigidity/transient parkinsonism, sindroma otak akut,
mioklonus generalisata, meningismus, skizofrenia sitotoksik, mania akut, hipomania,
ensefalomielitis, meningitis, polineuritis perifer, sindroma Guillen-Bare, dan
psikosis. Terkadang gejala demam tifoid diikuti suatu sindrom klinis berupa
gangguan atau penurunan kesadaran akut (kesadaran berkabut, aatis, delirium,
somnolen, sopor atau koma) dengan atau tanpa disertai kelainan neurologis lainnya
dan dalam pemeriksaancairan otak masih dalam batas normal. Sindrom klinik seperti
ini oleh beberapa peneliti disebut sebagai tifoid toksik, sedangkan penulis lainnya
menyebutkan dengan demam tifoid berat, demam tifoid ensefalopati, atau demam
tifoid dengan toksemia. Diduga faktor-faktor sosial ekonomi yang buruk, tingkat
pendidikan yang rendah, ras, kebangsaan, iklim, nutrisi, kebudayaan dan
kepercayaan (adat) yang masih terbelakang ikut mempermudah terjadinya hal
tersebut dan akibatnya meningkatkan angka kematian. Semua kasus tifoid toksik,
atas pertimbangan klinis sebagai demam tifoid berat, langsung diberikan pengobatan
kombinasi kloramfenikol 4 x 400 mg ditambah ampisilin 4 x 1 gram dan
deksametason 3 x 5 mg.

BAB III

AFTER CARE PATIENT

26

III.1. Definisi After Care Patient (ACP)


After Care Patient (ACP) adalah pelayanan rumah sakit untuk memberikan
pelayanan yang terintegritas dengan meninjau ke lingkungan demi menjamin
kesembuhan pasien dengan melihat permasalahan yang ada pada pasien dan
mengidentifikasi secara fungsi dalam anggota keluarga serta memberikan edukasi
kepada pasien agar dapat belajar hidup sehat.
III.2. Tujuan After Care Patient (ACP)
Tujuan untuk dilakukan after care patient selain untuk melihat perkembangan
pasien dalam pengelolaan pengobatan pasien dan kesembuhan pasien. Peneliti
bertujuan untuk memberikan edukasi pada pasien ini berupa :
1. Mengedukasi pasien agar istirahat yang cukup
2. Mengedukasi pasien agar makan makanan yang bergizi dan bernutrisi
3. Mengedukasi pasien agar pasien menjalankan jadwal makan yang teratur
4. Mengedukasi pasien agar berhenti merokok dan konsumsi alkohol
III.3. Permasalahan Pasien
III.3.1. Identifikasi Fungsi-Fungsi Keluarga
a.

Fungsi Biologis dan Reproduksi


Dari hasil wawancara didapatkan informasi bahwa saat ini
semua anggota keluarga sehat kecuali pasien. Anggota keluarga
lain tidak memiliki riwayat penyakit khusus. Pasien adalah seorang
laki-laki berusia 17 tahun dan belum menikah. Saat ini pasien
tinggal bersama orang tua dan kedua adiknya.
b. Fungsi Psikologis
Pasien tinggal bersama orang tua dan kedua adik pasien.
Kedua orang tua bekerja, ibunya bekerja sebagai pembantu rumah
tangga, sementara ayahnya bekerja sebagai buruh pabrik. Kontak
pasien dengan ayah dan ibunya cukup baik.

27

c. Fungsi Pendidikan
Pasien masih bersekolah pada tingkat SMA.

d. Fungsi Sosial
Pasien

tinggal

di

kawasan

perkampungan

yang

padat

penduduk. Pergaulan umumnya berasal dari kalangan menengah


kebawah dan hubungan sosial dengan warga cukup erat. Pasien
cukup sering berinteraksi dengan anak-anak seumurnya di sekitar
lingkungan rumah.
Di sekolah pasien aktif mengikuti kegiatan ekstrakulikuler dan
dapat bergaul dengan baik dengan teman-teman di sekolahnya.
e. Fungsi Ekonomi dan Pemenuhan Kebutuhan
Sumber penghasilan orang tua didapatkan dari penghasilan
ayah dan ibunya. Penghasilan per bulan orang tua pasien tidak
menentu, rata-rata sekitar Rp 1.000.000 - Rp 1.500.000 per bulan.
Penghasilan tersebut digunakan untuk pemenuhan kebutuhan
primer

dan

sekunder

pasien

beserta

kedua

adiknya.

Untuk

pengaturan penghasilan keluarga dilakukan oleh ibu pasien. Biaya


pelayanan kesehatan untuk keluarga pasien dapatkan dari BPJS PBI.
f. Fungsi Religius
Agama yang dianut pasien adalah Islam. Kegiatan ibadah
seluruh anggota keluarga rutin dilakukan setiap hari, ajaran ilmu
agama kepada seluruh keluarga pasien terlihat baik.
III.3.2. Pola Konsumsi Makan Pasien dan Keluarga
Frekuensi makan pasien dan keluarga biasanya 3x sehari
dengan jadwal yang tidak teratur. Pasien sangat sering jajan di luar,
terutama

di

sekolah

dibandingkan

makan

masakan

rumah.

Terkadang pasien lebih memilih untuk jajan di dekat sekolah


dibandingkan membawa bekal dari rumah. Pasien mengakui bahwa
jajanan sekolah dan seitar sekolah kurang higienis. Pasien jarang
mengkonsumsi sayur, buah dan susu sebagai gizi tambahan, karena
pasien tidak terlalu menyukai makanan-makanan tersebut.

28

III.3.3. Identifikasi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesehatan


a. Faktor Perilaku
Pasien kurang menyadari tentang perilaku hidup bersih dan
sehat serta tidak mengetahui apapun tentang penyakit yang
dideritanya sebelum mendapat penjelasan dari dokter maupun
tenaga kesehatan lain yang ikut serta merawat pasien. Pasien
memiliki kebiasaan jajan makanan ataupun minuman di luar yang
kehigienisannya kurang, Pasien tidak cukup sering melakukan
olahraga

secara

rutin,

dan

aktif

mengikuti

kegiatan

estkstrakulikuler. Pasien juga mengaku waktu istirahat tidak teratur,


ditambah lagi beberapa minggu yang lalu pasien juga mengaku
kurang istirahat karena rutin latihan untuk persiapan lomba
ekstrakulikuler di sekolahnya. Jika ada anggota keluarga yang sakit,
pasien dan keluarga langsung berobat ke rumah sakit Pendanaan
kesehatan melalui biaya BPJS PBI.
b. Faktor Non Perilaku
Sarana kesehatan di sekitar rumah cukup dekat. Rumah sakit
dapat ditempuh dengan angkutan umum.
III.3.4. Identifikasi Lingkungan Rumah
Pasien tinggal di kawasan pemukiman penduduk yang padat
penduduk. Pasien tinggal bersama orang tua dan kedua adik pasien.
Kawasan perumahan pasien merupakan kawasan perkampungan
biasa. Rumah pasien terbuat dari tembok dengan lantai ubin dan
atap genteng. Memiliki dua kamar tidur, satu ruang tamu, dapur
dan kamar mandi.
Rumah tersebut termasuk dalam kategori rumah yang cukup
sehat. Pencahayan dan ventilasi relatif cukup karena sebagian besar
ruangan memiliki jendela sehingga rumah terasa tidak lembab.
Kebersihan dan kerapian rumah relatif kurang. Banyak peralatan
rumah

tangga

yang

diletakkan

di

sembarang

tempat

dan

menumpuk sehingga memungkinkan untuk terbentuknya sarang


nyamuk dan debu.

29

Sumber air minum, air untuk mencuci dan masak didapat dari
air sumur timba. Dapur terlihat kotor dan berantakan. Di dalam
kamar mandi terdapat sebuah jamban jongkok dan bak mandi. Bak
mandi

terlihat

agak

kotor

dan

banyak

genangan

sehingga

memungkinkan nyamuk untuk tumbuh dan berkembang biak.


Saluran air dialirkan ke got depan rumah yang mengalir, air dan
kotoran dari jamban ditampung di septic tank.

III.3.5.

Diagnosis Fungsi-Fungsi Keluarga

a. Fungsi Biologis
Pasien laki-laki usia 17 tahun menderita Thypoid Fever dengan
keluhan demam sejak 5 hari dan dirasakan naik turun, disertai
dengan adanya sakit kepala, penurunan nafsu makan, dan BAK
yang berwarna seperti teh.
b. Fungsi Psikologis
Hubungan pasien dengan keluarga dan tetangga serta temanteman di sekolahnya cukup baik.
c. Fungsi sosial dan budaya
Dapat bersosialisasi terhadap lingkungan sekitar dengan baik.
d. Fungsi ekonomi dan pemenuhan kebutuhan
Perekonomian

pasien

cukup

untuk

memenuhi

kebutuhan

sehari-hari.
e. Fungsi penguasaan masalah dan kemampuan beradaptasi
Masalah

yang

berhubungan

dalam

keluarga

dibicarakan

dengan secara musyawarah.


f. Faktor perilaku
1. Pasien memiliki kebiasaan makan tidak teratur dengan gizi
tidak seimbang.
2. Pasien memiliki kebiasaan jajan sembarangan di luar terutama
di sekolah yang kehigienisannya kurang terjaga dan jarang
sekali makan masakan rumah.

30

3. Setiap harinya aktivitas pasien lebih banyak di luar rumah,


yaitu bersekolah, mengikuti kegiatan ekstrakulikuler, dan
bermain bersama dengan teman-temannya sehingga sedikit
waktu istirahat di rumah dan makan menjadi tidak teratur
serta membuat pasien sering jajan sembarangan.
4. Pasien tidak memiliki kebiasaan berolahraga.
5. Keadaan rumah yang kurang kebersihannya, memungkinkan
mudahnya mikroorganisme kembang dalam rumah
g. Faktor nonperilaku
Sarana pelayanan kesehatan dekat dari rumah.

III.6. Diagram Realita yang Ada Pada Keluarga

Lingkungan

Geneti
k

Kebersihan dan kerapian rumah


kurang

Derajat
kesehatan
Sdr. AR

Penderita

Yankes
Pelayanan
kesehatan

Perilaku

Penderita memiliki kebiasaan makan tidak


teratur.
Pasien makan makanan dengan gizi tidak
seimbang
Pasien
memiliki
kebiasaan
jajan
sembarangan yang kehigienisannya kurang
Pasien jarang berolah raga rutin

31

III.3.7. Risiko, Permasalahan dan Rencana Pembinaan Kesehatan


Keluarga

Risiko dan Masalah


Kesehatan
Thypoid Fever

Rencana Pembinaan

Sasaran

Edukasi dan konseling

Keluarga

tentang Thypoid Fever,

dan

pola istirahat yang baik

Pasien

dan
yang

jenis
baik

makanan
dikonsumsi

serta

dampak

berkepanjangan
kebiasaan

dari
jajan

sembarangan.
III.3.8. Pembinaan

Tanggal
27 November

Kegiatan
Penyuluhan tentang

Hasil Kegiatan
Pengetahuan tentang

2014

Thypoid Fever mulai

Thypoid

dari penyebab, tanda

meningkat.

dan

gejala

pencegahan

Fever

serta
dan

pengobatannya.
32

27 November

Memantau

Pasien

2014

perkembangan

menjalani pola hidup

intervensi yang telah

sehat.

diberikan

mulai

kepada

pasien.
III.3.9. Hasil Kegiatan
Tangg

Subje

al

Objektif

Assesm

ktif

Planning

ent

27/11/

Bada

TD: 120/80

Thypoid

14

mmHg,

Fever

terasa

80x/min,

lemas

RR:

20

jenis

makanan

(+)

x/min,

S:

bergizi

seimbang

N:

Edukasi:

istirahat

yang cukup, Jadwal


makan dan variasi

36.5 C.

serta berhenti jajan

28/07/

Lemas

TD: 120/70

13

(+)

mmHg,

sembarangan
Kontrol

mengalami keluhan
Edukasi:
Jadwal

N:

jika

makan dan variasi

80x/min,

jenis

makanan
seimbang

RR:

20

bergizi

x/min,

S:

serta berhenti jajan

36.5 C.

sembarangan
Kontrol

jika

mengalami keluhan

III.3.10. Kesimpulan Pembinaan Keluarga


1. Tingkat pemahaman
Pemahaman terhadap edukasi yang dilakukan cukup baik.
2. Faktor penyulit
33

Tidak ada.
3. Indikator keberhasilan
a. Pengetahuan pasien tentang Thypoid Fever meningkat sehingga
dapat membantu kesembuhan pasien.
b. Jadwal makan dan variasi jenis makanan bergizi seimbang mulai
dijalani pasien.
c. Kebersihan

dan

kerapian

lingkungan

rumah

mulai

dipertimbangkan pasien dan keluarga pasien.


d. Keinginan kuat untuk berhenti jajan sembarangan sudah dijalani
dan pasien mulai makan makanan sehat yang dimasak di rumah
serta membawa bekal makanan ketika pergi bersekolah.

DAFTAR PUSTAKA

1. WHO, The diagnosis, treatment and prevention of typhoid fever. 2003, Geneva:
Department of Vaccines and Biologicals.
2. Widodo, D., Demam tifoid buku ajar penyakit dalam 2009, jakarta: Interna publising.
3. Chau et al. Antimicrobial drug resistance of Salmonella enterica serovar typhi in asia
and molecular mechanism of reduced susceptibility to the fluoroquinolones. Antimicrob
Agents Chemother. 2007;51(12):4315-23.
4. Crump JA, Luby SP, Mintz ED. The global burden of typhoid fever. Bull World Health
Organ. May 2004;82(5):346-53.
5. Dutta TK, Beeresha, Ghotekar LH. Atypical manifestations of typhoid fever. J
Postgrad Med. Oct-Dec 2001;47(4):248-51.
6. Lynch MF, Blanton EM, Bulens S, Polyak C, Vojdani J, Stevenson J. Typhoid fever in
the United States, 1999-2006. JAMA. Aug 26 2009;302(8):859-65.
7. Bhutta ZA. Typhoid fever. In: Rakel RE, Bope ET, eds. Conn's current therapy.
Philadelphia PA: Saunders, 2006: 215-8.
8. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Edisi V 2009, Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
34

35

Anda mungkin juga menyukai