Anda di halaman 1dari 4

SUDUT PANDANG

1.

Sudut Pandang Orang Pertama Tunggal.

Penulis sebagai pelaku sekaligus narator yang menggunakan kata ganti aku.
A. Aku sebagai tokoh utama.
Penulis adalah aku sebagai tokoh utama cerita dan mengisahkan dirinya sendiri, tindakan,
dan kejadian disekitarnya. Pembaca akan menerima cerita sesuai dengan yang dilihat,
didengar, dialami, dan dirasakan aku sebagai narator sekaligus pusat cerita.
Contoh:
Seorang lelaki tua memanggilku sepuluh menit lalu di ruang pribadinya di lantai paling atas
pada gedung megah biru dunker, inti kampusku. Dia duduk pongah di kursi busa berukir
khas jepara dibalik meja. Senyumnya mahal, semahal kursi itu. Kucoba duduk santai
dihadapnya, sambil melirik buku yang tadi dibantingnya. Gagasan, itu tulisan di sudut kanan
atas sampul depan. Mendesah sebelum kualirkan mata ke tanda pengenal meja disebelah
buku itu, tulisan cerlang bereja Rektor pongah menatapku. Kulengoskan kepala keluar
jendela, sementara mulutnya terus mengumpat. Soal buku itu, tentu juga soal aku. (Rektor
Itu Ayahmu, Sayang? Ardyan Amroellah)
Catatan:
Tokoh aku tak mungkin mengungkapkan perasaan atau pikiran tokoh lain kecuali dengan
perkiraan.
Penulis harus memahami tokoh aku sesuai karakternya. Misalnya soal bahasa, perlu
dilihat apakah aku adalah orang tua atau anak muda. Itu akan mempengaruhi gaya
bahasa yang diucapkan.
Mengenali dengan baik karakter aku adalah keharusan..
B.
Aku sebagai tokoh bukan utama.
Penulis adalah aku dalam cerita tapi bukan tokoh utama. Keberadaan aku hanya
sebagai saksi/kawan tokoh utama. Aku adalah narator yang menceritakan kisah yang
dialami tokoh lain yang menjadi tokoh utama.
Contoh:
Aku sudah mengetahui wajahnya sejak lama, sejak sekitar dua tahun lalu. Seminggu sekali
dia datang ke salon itu, selalu. Aku kerap tertawa saat ingat kali pertama aku melihatnya.
Lusuh, kusam, dekil, sama sekali tak berwarna. Tapi aku tahu, dia bak mutiara jatuh dalam
kotoran dan ketakberuntungan. Tinggal membasuhnya saja sebelum moncernya kembali.
Dan rupanya dia tahu bagaimana cara memelihara diri. Terbukti, tak ada tanda kekusaman
yang muncul. Aih, aku jadi iri. (Mimpimu Apa? Ardyan Amroellah)
Catatan:
Teknik ini hampir mirip dengan Sudut Pandang Orang Ketiga. Hanya saja narator ikut terlibat
sebagai tokoh.
Aku hanya mengomentari apa yang dilihat dan didengar saja. Aku bisa mengungkap apa
yang dirasakan atau dipikirkan tokoh utama, tapi hanya berupa dugaan dan kemungkinan
berdasar apa yang aku amati dari tokoh utama.

2.

Sudut Pandang Orang Pertama Jamak

Ini mirip dengan Sudut Pandang Orang Pertama Tunggal, hanya saja menggunakan kata
ganti kami. Narator menjadi seseorang dalam cerita yang bicara mewakili beberapa orang
atau sekelompok orang.
Contoh:
Siang itu kami berkerumun di teras masjid, membahas isu hangat yang merebak di pondok.
Secara beruntun, barang-barang kami hilang. Mi instan, uang, buku, hingga celana dalam.
Hal terakhir itu sangat keterlaluan. Ajaibnya, kami berempat sama. Celana dalam kami
habis. Percayalah, hanya sarung yang kami pakai saat ini. (Ronaldo Dari Brazil Anin
Mashud)
3.

Sudut Pandang Orang Kedua

Penulis adalah narator yang sedang berbicara kepada kata ganti kamu dan
menggambarkan apa yang dilakukan kamu atau kau atau anda.
Contoh:
Ini hari pertamamu masuk kerja. Harus sempurna! Maka jadi sejak tiga sejam lalu, kau sibuk
bolak-balik di depan cermin. Mengecek baju, rambut, sampai riasan di wajahmu. Lalu
setelah kau memulaskan lipgloss sebagai sentuhan final yang kau rasa akan memesona
teman-teman barumu di kantor nanti, kau mengambil parfum. Menyemprotkannya di
belakang telinga, pergelangan tangan, selangkangan, dan ke udara. Sedetik berikutnya, kau
melewati udara beraroma lili dan lavender itu, berharap supaya wanginya menempel di
rambut dan blazer barumu. (Novel The Girls Guide to Hunting and Fishing Melissa Bank)
Catatan;
Pembaca diperlakukan sebagai pelaku utama sehingga membuatnya menjadi merasa dekat
dengan cerita karena seolah menjadi tokoh utama
Penulis harus konsisten tak menyebut aku untuk berbicara dengan tokoh utama.
4.

Sudut Pandang Orang Ketiga Tunggal.

Penulis ada di luar cerita tak terlibat dalam cerita. Penulis juga menampilkan para tokoh
dengan menyebut namanya atau kata ganti dia.
A. Sudut Pandang Orang Ketiga Mahatahu.
Penulis seperti Tuhan dalam karyanya, yang mengetahui segala hal tentang semua tokoh,
peristiwa, tindakan, termasuk motif. Penulis juga bebas berpindah dari satu tokoh ke tokoh
lain. Bahkan bebas mengungkapkan apa yang ada dipikiran serta perasaan para tokohnya.
Contoh:
Ibrahim?!
Ya, Ibrahim. Seperti itulah tugasnya setelah dipanggil pulang
Jawaban itu tak memuaskan, Ranju masih dliputi ketakpercayaan saat si guide bertudung
memintanya melanjutkan jalan. Secepat Ranju berkedip, secepat itu Ranju menjumpai
pantai di matanya. Dan itu membuat Ranju mulai percaya ini tak dunia? Tidak, hatinya
masih penuh logika. Meski Ranju ingat, dia tadi berjalan diatas air, dia tadi menghirup susu
di parit kecil pinggir jalan, dia tadi menatap wanitawanita elok yang menyapa genit. Ranju
bermainmain di pikiran sampaisampai si guide bertudun menyentak lengannya. Ranju

terpaku diluar pagar sebuah rumah kecil serupa rumah keluarga Amerika kelas menengah.
(Lelaki Di Tengah Lapangan Ardyan Amroellah)
B. Sudut Pandang Orang Ketiga Terbatas.
Penulis melukiskan segala apa yang dialami tokoh hanya terbatas pada satu orang atau
dalam jumlah yang sangat terbatas. Penulis tak leluasa berpindah dari satu tokoh ke tokoh
lainnya. Melainkan terikat hanya pada satu atau dua tokoh saja.
Contoh:
Selalu ada cita di dalam benaknya, untuk mabuk dan menyeret kaki di tengah malam,
menyusuri Jalan Braga menuju penginapan. Dia akan menikmati bagaimana lampu-lampu
jalan berpendar seperti kunang yang bimbang; garis-garis bangunan pertokoan yang
berderet tak putus acap kali menghilang dari pandangan; dan trotoar pun terasa
bergelombang seperti sisa ombak yang menepi ke pantai. (Lagu Malam Braga Kurnia
Effendi)
C. Sudut Pandang Orang Ketiga Objektif
Narator melukiskan semua tindakan tokoh dalam cerita namun tak mengungkapkan apa
yang dipikirkan serta dirasakan oleh tokoh cerita. Penulis hanya boleh menduga apa yang
dipikirkan, atau dirasakan oleh tokoh ceritanya.
Contoh:
Si lelaki tua bangkit dari kursinya, perlahan mengeluarkan pundi kulit dari kantung,
membayar minuman dan meninggalkan persenan setengah peseta. Si pelayan mengikutinya
dengan mata ketika si lelaki tua keluar. Seorang lelaki yang sangat tua yang berjalan
terhuyung tetapi tetap dengan penuh harga diri.
Kenapa tak kau biarkan saja dia minum sampai puas? tanya si pelayan lain. Mereka
berdua menurunkan semua tirai. Belum jam setengah dua. lanjutnya.
Aku ingin cepat pulang dan tidur. (Tempat yang Bersih Terang Ernst Hemingway)
5.

Sudut Pandang Orang Ketiga Jamak

Penulis menuturkan cerita berdasarkan persepsi atau kacamata kolektif. Penulis akan
menyebut para tokohnya dengan menggunakan kata ganti orang ketiga jamak; mereka.
Contoh:
Pada suatu hari, ketika mereka berjalan-jalan dengan Don Vigiliani dan beberapa anak lelaki
dari kelompok pemuda. Dalam perjalanan pulang, mereka melihat ibu mereka di sebuah
kafe di pinggir kota. Dia sedang duduk di dalam kafe itu; mereka melihatnya melalui sebuah
jendela dan seorang pria duduk bersamanya. Ibu mereka meletakkan syal tartarnya di atas
meja. (Ibu Natalia Ginzburg)
6.

Sudut Pandang Campuran

Penulis menempatkan dirinya bergantian dari satu tokoh ke tokoh lainnya dengan sudut
pandang yang berbeda-beda. aku, kamu, kami, mereka, dan atau dia.
Catatan:
Biasanya teknik ini dipakai dalam cerita yang membutuhkan halaman banyak.
Perlu ketelitian dalam setiap fragmen saat penulis mengubah sudut pandang.
SUDUT PANDANG ORANG KEDUA: PENJELASAN KHUSUS

Dibandingkan unsurunsur pembentuk cerita lainnya, penulispenulis Indonesia cenderung


lambat dalam mengeksperimen dan membarui penggunaan sudut pandang dalam
penerapannya pada karya. Selama ini secara umum kita hanya mengenal dua macam sudut
pandang, yaitu Sudut Pandang Orang Pertama dan Sudut Pandang Orang Ketiga. Sama
sekali tak ada teori dan penggunaan Sudut Pandang Orang Kedua. Mengapa seperti itu?
Jawaban semua penulis ratarata sama. Sulit.
Sebagai gambaran singkat. Misalnya seseorang yang bernama Andi, bercerita kepada
temannya, Budi. Ada dua kemungkinan: Andi menceritakan dirinya dengan berkata, Pagi ini
aku berangkat pagi. Dalam hal ini, Andi menggunakan sudut pandang orang pertama (aku).
Kemungkinan kedua, Andi menceritakan orang lain. Misalnya dengan, Tadi siang dia makan
siang. Di sini, Andi menggunakan sudut pandang orang ketiga (dia).
MUNGKINKAH ANDI BERCERITA KEPADA BUDI TENTANG BUDI?
Dalam keadaan normal, kejadian semacam ini mustahil terjadi sebab apa yang dialami Budi
tentunya Budi sendiri yang lebih tahu. Hal itu seperti mengharapkan dalang bercerita soal
Arjuna kepada Arjuna yang menontonnya. Jelas Arjuna lebih tahu kisah dirinya sendiri
dibanding dalang. Itu jika normal. Jika tak normal apakah bisa? Dan bagaimana praktiknya
jika bisa?
Kembali ke pengandaian diatas. Jawabannya adalah bisa saja ketika Arjuna kehilangan
informasi tentang dirinya atau kejadian yang dialaminya, karena mungkin dia pingsan atau
tidur, lalu Arjuna minta keterangan dalang sehingga dalang akan menginformasikan, Waktu
tidur tadi kau berjalan keluar kamar, tapi matamu meram. Kondisi terakhir ini dapat
melahirkan sudut pandang orang kedua (kau, kamu) asalkan dalang konsisten tak menyebut
dirinya sebagai aku.
Dalam bentuk cerita, pembaca hanya akan melihat Arjuna yang disapa dengan kata ganti
kau, sedangkan dalang tak terlihat dan dianggap oleh pembaca sebagai penulis cerita. Jika
dalang tergoda untuk memasukkan dirinya ke dalam peristiwa, misalnya dengan
menambahkan, Lalu aku menepuk pundakmu, maka sudut pandang berubah menjadi
orang pertama. Tetapi sudut pandang akan tetap orang kedua jika dalang menceritakan
dirinya tidak dengan kata ganti orang pertama, misalnya dengan mengatakan, Lalu
seseorang menepuk pundakmu.

Anda mungkin juga menyukai