Anda di halaman 1dari 5

Keberhasilan suatu bangsa dapat dilihat dari kualitas pendidikan yang ada di negara

tersebut. Pendidikan mempunyai peranan penting dalam meningkatkan kualitas sumber daya
manusia Indonesia, agar menjadi manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, mandiri, bertanggungjawab, maju, cerdas,
terampil, kreatif, produktif, sehat jasmani dan rohani serta berperan dalam pembangunan
bangsa dan negara.
Rata-rata pendidikan penduduk Indonesia masih sangat rendah, hal ini dapat dilihat dalam
Tatak Prapti Uliyati (2005):
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa 61% penduduk Indonesia di atas 15
tahun hanya berpendidikan SD ke bawah, 22% diantaranya bahkan tidak pernah lulus SD
atau tidak sekolah sama sekali.
Sedangkan menurut Survei Sosial dan Ekonomi Nasional (Susenas) 2003, angka buta
aksara penduduk Indonesia juga masih tinggi. Menurut data Susenas, angka buta aksara usia
15 tahun ke atas masih mencapai 10,12%.
Susenas 2003 juga mengamati Angka Partisipasi Sekolah (APS) yaitu bahwa rasio
penduduk yang bersekolah menurut kelompok usia sekolah masih belum sebagaimana yang
diharapkan. Susenas 2003 menunjukkan bahwa APS untuk penduduk usia 7-12 tahun sudah
mencapai 96,4%, namun APS penduduk usia 13-15 tahun baru mencapai 81,0%.
Angka-angka tersebut mengindikasikan masih rendahnya kesadaran masyarakat terhadap
pendidikan yang berakibat pada rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia. Melihat
kenyataan ini, maka pendidikan harus dilaksanakan sebaik-baiknya sehingga memperoleh
hasil yang diharapkan.
Harapan tersebut terdapat dalam dasar, fungsi dan tujuan pendidikan nasional yang
tercantum pada Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 pasal 3, yang
berbunyi:
Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman
dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang emokratis serta bertanggungjawab.
Untuk itu pendidikan harus mendapat perhatian dan penanganan yang lebih baik dari semua
pihak, baik dari pemerintah, lembaga pendidikan, pendidik, maupun keluarga. Sekolah sebagai
salah satu lembaga pendidikan harus mampu menyelenggarakan kegiatan pembelajaran agar
dapat mencapai tujuan yang ditetapkan. Namun, pada kenyataannya proses penyelenggaraan
kegiatan pembelajaran bukanlah hal yang mudah. Guru, siswa, maupun lingkungan belajar di
sekolah merupakan faktor terkait yang sangat menentukan keberhasilan dalam pencapaian tujuan.
Badan Standar Pendidikan Nasional (BSPN), (2006: 3) menjelaskan bahwa pengembangan
kurikulum yang digunakan saat ini, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), ditujukan

antara lain agar dapat memberi kesempatan peserta didik, dalam hal ini siswa, untuk belajar
membangun dan menemukan jati diri melalui proses belajar yang aktif, kreatif, efektif dan
menyenangkan sehingga guru sebagai pendidik dituntut untuk dapat menemukan suatu proses
pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan untuk membantu siswa dalam upaya
pencapaian prestasi belajar yang optimal dan dapat memberikan pengalaman belajar yang
melibatkan proses mental dan fisik melalui interaksi antar siswa, siswa dengan guru,
lingkungan, dan sumber belajar lainnya. Namun, sampai saat ini tampak bahwa proses
pembelajaran yang ada di sekolah hanyalah pembelajaran satu arah, di mana pembelajaran
hanya sekedar transfer pengetahuan kepada siswa untuk pencapaian tujuan pada aspek kognitif.
Siswa ke sekolah hanya melaksanakan prinsip DDCH, yaitu Duduk, Dengar, Catat, Hafal
sehingga keterlibatan siswa sangat kurang saat proses pembelajaran berlangsung. Akibatnya
suasana kelas terasa sepi, monoton, membosankan dan tidak menyenangkan.
Kebosanan siswa terhadap proses pembelajaran yang diterapkan guru dapat menimbulkan
motivasi belajarnya menurun. Motivasi belajar rendah menyebabkan hasil belajar siswa
menjadi tidak optimal, seperti yang yang diungkapkan Shawn M. Glynn, Taasoobshirazi,
dan Brickman (2009) dalam Journal of Research in Science Teaching, menyatakan bahwa
Motivation is the internal state that arouse, directs, and sustains goal-oriented behaviour.
Motivasi merupakan keadaan internal yang dapat membangkitkan, mengarahkan dan menjadi
landasan perilaku seseorang dalam mencapai suatu tujuan. Dalam kegiatan belajar, motivasi
dapat dikatakan sebagai penggerak di dalam diri siswa yang menimbulkan kegiatan belajar
sehingga dapat mencapai tujuan yang diharapkan. Motivasi merupakan salah satu faktor
internal yang mempengaruhi keberhasilan siswa dalam proses belajar. Motivasi dapat berasal
dari dalam siswa (motivasi intrinsik) dan dari luar siswa (motivasi ekstrinsik). Hasil belajar
akan menjadi optimal, kalau ada motivasi. Namun, keberhasilan proses belajar siswa tidak
hanya dipengaruhi oleh motivasi belajar saja. Keberhasilan siswa dalam belajar dapat
dipengaruhi oleh banyak faktor, secara garis besar adalah faktor internal dan faktor eksternal.
Faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam diri siswa, yaitu keadaan/ kondisi siswa
baik secara jasmani maupun rohani misalnya kecerdasan, sikap, bakat, dan motivasi. Faktor
yang ada di luar individu disebut faktor eksternal, antara lain faktor keluarga/keadaan rumah
tangga, faktor sekolah seperti metode pengajaran, dan faktor masyarakat.
Belajar IPA tidak hanya menekankan pada hasil akhir yang berupa pemahaman konsep
maupun pengetahuan yang diterima dari guru, tetapi juga disertai dengan adanya proses
ilmiah dan sikap ilmiah yang menyertai proses ilmiah itu sendiri sehingga diperlukan
aktivitas siswa dalam proses belajar itu sendiri. Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi
pengajar IPA untuk mengembangkan berbagai pendekatan dan metode pembelajaran yang tepat
untuk mengajar IPA, khususnya Fisika. Pada dasarnya tidak ada pendekatan dan metode
pembelajaran yang benar-benar tepat, sebab setiap pendekatan dan metode pembelajaran
pasti memiliki kelebihan dan kekurangan. Kebanyakan guru hanya menggunakan metode
ceramah dan pendekatan konsep secara terus menerus sehingga berkesan sangat
membosankan. Seperti yang diungkapkan oleh Handy Susanto (2006: 47), yang menyatakan
bahwa masih banyak guru-guru yang menggunakan pola mengajar yang tradisional yaitu
hanya mengajar menggunakan metoda ceramah dan bersifat satu arah (guru bicara, siswa

mendengar). Untuk dapat membangkitkan, meningkatkan, dan memelihara motivasi belajar


siswa maka guru perlu mengemas proses pembelajaran dengan pendekatan dan metode yang
tepat sesuai dengan karakteristik materi yang diajarkan. Padahal, belajar IPA merupakan suatu
proses yang kompleks.
Pendekatan pembelajaran merupakan jalan yang akan ditempuh oleh guru dan siswa dalam
mencapai tujuan instruksional tertentu. Pendekatan pembelajaran dilakukan sebagai srategi
yang dipandang tepat untuk memudahkan siswa memahami pelajaran dan juga belajar yang
menyenangkan. Pendekatan pembelajaran yang sudah umum dipakai antara lain pendekatan
konsep, proses, kooperatif, konstruktivisme, quantum learning, kontekstual dan sebagainya.
Pendekatan yang dapat digunakan dalam pembelajaran Fisika diantaranya adalah quantum
learningdan ketrampilan proses. Sedangakan metode yaitu cara yang digunakan guru, yang
menjalankan fungsinya merupakan alat untuk mencapai tujuan pembelajaran. Terdapat
beberapa macam metode pembelajaran, diantaranya: metode demonstrasi, eksprimen,
ceramah, tanya jawab, dan diskusi. Salah satu metode yang dapat digunakan dalam
pembelajaran Fisika adalah metode demonstrasi. Dalam penyajiannya, metode ini
menggunakan alat-alat peraga dan dilengkapi penjelasan lisan untuk menjelaskan dan
menunjukkan suatu konsep, prinsip, dan hukum dalam pembelajaran IPA.
Dengan pendekatan quantum learning melalui metode demonstrasi dimungkinkan tercipta
suatu kegiatan pembelajaran yang menyenangkan karena siswa belajar dalam suasana
lingkungan belajar yang nyaman, santai, aman dan menyenangkan. Selain itu, siswa juga
dapat terlibat dalam pendalaman konsep melalui demonstrasi yang dilakukan guru. Karena
kondisi yang menyenangkan ini maka secara otomatis akan membangkitkan motivasi siswa
untuk belajar.
Sedangkan dengan pendekatan ketrampilan proses melalui metode demonstrasi akan
memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengamati sehingga mendapat gambaran yang
jelas tentang apa yang dipelajari, dan akhirnya dapat menyimpulkan sendiri konsep yang
sedang dipelajari. Hal inilah yang akan membuat siswa merasa senang belajar Fisika dan
pada akhirnya akan membuat mereka paham dengan konsep-konsep Fisika. Pembelajaran
IPA di Sekolah Menengah Pertama (SMP) sebaiknya disajikan dengan kegiatan yang
menyenangkan yang disesuaikan dengan kondisi siswa.
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian
yang berjudul Pembelajaran Fisika Menggunakan Metode Demonstrasi Dengan Pendekatan
Quantum Learning dan Ketrampilan Proses Ditinjau Dari Motivasi Belajar Fisika Siswa SMP
Guru merupakan komponen penting dari tenaga kependidikan
yang memiliki tugas untuk melaksanakan proses pembelajaran. Seorang
guru diharapkan paham tentang strategi pembelajaran. Penggunaan
strategi

dalam

kegiatan

pembelajaran

sangat

diperlukan

untuk

mempermudah proses pembelajaran agar dapat mencapai hasil yang


optimal. Tanpa strategi yang jelas, proses pembelajaran tidak akan
terarah sehingga tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan sulit tercapai
secara optimal. Selain itu, proses pembelajaran
berlangsung
pembelajaran

secara

efektif

yang tepat.

dan efisien
Strategi

tidak

dapat

tanpa penerapan strategi

pembelajaran

tertentu dapat

diterapkan pada setiap pembelajaran disesuaikan dengan karakteristik


materi dan tujuan pembelajaran yang diharapkan (Wena, 2009: 2-3).
Paradigma lama dalam proses pembelajaran adalah guru memberi
pengetahuan pada siswa secara pasif. Banyak guru masih menganggap
paradigma lama ini sebagai satu-satunya alternatif yang menjadi acuan
dalam melaksanakan

kegiatan

pembelajaran.

Kebanyakan

guru

masih mengajar dengan strategi ceramah dan mengharapkan siswa


untuk duduk, diam, mendengarkan, mencatat, dan menghafal. Kondisi
pembelajaran seperti ini masih mendominasi proses pembelajaran pada
sebagian besar jenjang pendidikan. Hal yang seharusnya dilakukan
adalah meningkatkan keikutsertaan siswa secara aktif dalam proses
belajar

mengajar.

Aktifnya siswa

dalam

kegiatan

pembelajaran

diharapkan dapat meningkatkan hasil belajar siswa dan membuat


kegiatan pembelajaran lebih bermakna (Made Wena, 2009: 188-189).
Salah satu model pembelajaran yang dapat diterapkan guna
meningkatkan keikutsertaan siswa secara aktif dalam pembelajaran adalah
dengan menerapkan pembelajaran kooperatif. Pembelajaran kooperatif
akan memberi kesempatan pada siswa untuk bekerja sama dengan sesama
siswa dalam tugas-tugas

yang diberikan oleh guru. Pembelajaran

kooperatif dapat memberikan kesempatan bagi seorang siswa untuk


menjadi sumber belajar bagi teman-temannya yang lain. Lie (2005:
28-29)

menyatakan

bahwa falsafah

yang mendasari cooperative

learning adalah falsafah homo homini socius. Falsafah ini menekankan


bahwa

manusia

adalah

makhluk

social. Kerja sama merupakan

kebutuhan yang sangat penting artinya bagi keberlangsungan hidup


manusia. Model pembelajaran kooperatif tidak sama dengan hanya
sekedar belajar dalam kelompok. Terdapat unsur-unsur pembelajaran
kooperatif yang membedakannya dengan pembagian kelompok yang asalasalan. Pelaksanaan prosedur model pembelajaran kooperatif akan
memungkinkan guru dapat mengelola kelas dengan lebih efektif.

Anda mungkin juga menyukai