Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN
Autis merupakan suatu kumpulan sindrom akibat kerusakan saraf. Penyakit ini
mengganggu

perkembangan anak. Diagnosisnya diketahui dari gejala-gejala yang

tampak, ditunjukkan dengan adanya penyimpangan perkembangan.


Untuk mendiagnosis gangguan autis tidak memerlukan pemeriksaan yang
canggih, seperti brain mapping, CT-scan, dan MRI. Pemeriksaan-pemeriksaan itu hanya
dilakukan jika ada indikasi tambahan, misalnya anak sering kejang, baru dilakukan brain
mapping atau EEG untuk melihat apakah mengidap epilepsi.

BAB II
PEMBAHASAN
SEKILAS SEJARAH AUTIS
Autis bukanlah masalah baru, karena sudah ada sejak zaman dahulu. Kalau kita
membaca cerita-cerita lama, kita mungkin pernah membaca tentang anak yang dianggap
aneh karena sejak lahir sudah menunjukkan gejala-gejala tidak normal. Ia meronta jika
digendong, selalu menangis di malam hari, dan banyak tidur di siang hari. Ia bicara
sendiri dengan bahasa yang tidak dapat dimengerti orang-orang di sekitarnya. Kalau
marah ia menjadi agresif, menyerang, mencakar, menjambak, menggigit, atau menyakiti
diri sendiri. Ia tertawa sendiri seolah-olah ada yang mengajaknya bercanda. Maka para
orang tua di Barat mengatakan bahwa anak ini anak tertukar (a changeling) dengan
anak peri jahat dan karena tidak bisa menyesuaikan diri dalam kehidupan manusia,
jadilah dia anak yang aneh. Kalau dipikir dengan baik maka anak yang dianggap tertukar
ini bisa jadi anak autistik yang telah menunjukkan gejala autis sejak lahir.
DIAGNOSIS AUTIS
World Health Organization (WHO) telah merumuskan kriteria diagnosis autis.
Rumusan ini dipakai di seluruh dunia, yang dikenal dengan ICD-10 (International
Classification of Disease) 1993.
Rumusan diagnosis lainnya yang dapat dipakai menjadi panduan adalah DSM-IV
(Diagnostic and Statistical Manual) 1994, yang dibuat oleh grup psikiatri Amerika
Serikat. Isi ICD-10 maupun DSM-IV sebenarnya sama.

Kriteria Autis Masa Kanak


Jika orang tua sudah mengetahui kriteria anak autis sejak dini maka gejala autis dapat
dengan mudah dideteksi.
Berikut ini kriteria autis masa kanak-kanak:
1. Harus ada minimum dua gejala dari (a), dan masing-masing satu gejala dari (b)
dan (c).
a. Gangguan kualitatif dalam interaksi sosial yang timbal-balik
Tidak mampu menjalin interaksi sosial yang memadai, seperti kontak mata
sangat kurang, ekspresi muka kurang hidup, dan gerak-geriknya kurang
tertuju.
Tidak dapat bermain dengan teman sebaya.
Tidak dapat merasakan apa yang dirasakan orang lain.
Kurangnya hubungan sosial dan emosional yang timbal balik.
b. Gangguan kualitatif dalam bidang komunikasi
Bicara terlambat atau sama sekali tidak berkembang (tidak ada usaha untuk
mengimbangi komunikasi dengan cara lain selain berbicara).
Jika bisa bicara, bicaranya tidak dipakai untuk komunikasi.
Sering menggunakan bahasa yang aneh dan diulang-ulang.
Cara bermain kurang variatif, kurang imajinatif, dan kurang bisa meniru.
c. Suatu pola yang dipertahankan dan diulang-ulang dalam perilaku, minat dan
kegiatan.
Mempertahankan satu permintaan atau lebih, dengan cara yang khas dan
berlebihan.
Terpaku pada suatu kegiatan yang ritualistik atau rutinitas yang tidak ada
gunanya.
Ada gerakan-gerakan aneh yang khas dan diulang-ulang.
Seringkali sangat terpukau pada benda.

2. Adanya keterlambatan atau gangguan dalam interaksi sosial, bicara dan berbahasa,
dan cara bermain yang kurang variatif sebelum umur tiga tahun.
3. Tidak disebabkan oleh sindrom rett atau gangguan disintegratif masa kanak-kanak.
Dengan mempelajari kriteria diagnostik DSM-IV, orang tua bisa mendiagnosis
sendiri, apakah anaknya autis atau tidak.
Seorang ibu yang berpengalaman dan cermat tentu bisa melihat perubahan pada
anaknya jika sesuatu terjadi, seperti jika bayinya menolak kontak mata, lebih senang
main sendiri, tidak responsif terhadap suara, dan bicaranya tidak berkembang normal.
Kadang-kadang anak autis pun dapat berkembang normal. Namun, pada usia
tertentu terjadi gangguan perkembangan dan akhirnya mengalami kemunduran. Jika
kondisi ini terjadi, orang tua harus mencurigainya dan waspada. Segera konsultasikan
dengan ahlinya untuk menghindari kesalahan diagnosis.
Memang, terkadang kesalahan diagnosis masih terjadi. Hal ini disebabkan
seringnya gangguan atau penyakit lain yang menyertai autis, misalnya hiperaktivitas,
epilepsi, retardasi mental, dan sindroma Down. Seringkali perhatian perhatian tertuju
pada gangguan penyerta sehingga gangguan autis sendiri luput terdiagnosis. Tentu, hal ini
merugikan karena terapi atau penatalaksanaan akhirnya hanya tertuju pada gangguan
penyerta.
TERAPI AUTIS
Terapi autis harus terpadu.
Gangguan di otak tidak dapat disembuhkan. It isnt curable but treatable (tidak
dapat disembuhkan, tapi dapat ditanggulangi), dengan terapi dini, terpadu, dan intensif.
Gejala-gejala autis dapat dikurangi, bahkan dihilangkan sehingga anak dapat bergaul
secara normal, tumbuh sebagai orang dewasa yang sehat, berkarya, bahkan membina
keluarga. Hal ini dikarenakan intervensi dini membuat sel-sel otak baru tumbuh, menutup
sel-sel lama yang rusak.

Jika anak autis tidak atau terlambat mendapat intervensi hingga dewasa maka
gejala autis bisa menjadi semakin parah, bahkan tidak tertanggulangi. Melalui beberapa
terapi, anak autis akan mengalami kemajuan seperti anak normal lainnya. Keberhasilan
terapi tergantung beberapa faktor berikut ini:
Berat ringannya gejala, tergantung pada berat-ringannya gangguan dalam sel otak.
Makin muda umur anak saat terapi dimulai, semakin besar kemungkinan berhasil.
Umur ideal adalah 2-5 tahun, saat sel otak masih bisa dirangsang untuk membentuk
cabang-cabang neuron baru.
Makin cerdas anak makin cepat menangkap hal-hal yang diajarkan.
Kemampuan bicara dan berbahasa, tidak semua penyandang autis berhasil
mengembangkan fungsi bicara dan berbahasa. Dua puluh persen penyandang autis
tidak mampu berbicara seumur hidup, sedangkan sisanya ada yang bisa berbicara
tetapi sulit dan kaku, ada pula yang bisa bicara lancar. Tentu saja, mereka yang fungsi
bicaranya dan berbahasanya baik akan lebih mudah diajar berkomunikasi. Anak autis
yang tidak bisa bicara (non verbal) bisa diajarkan keterampilan komunikasi cara lain,
yaitu dengan mesin tik, gambar-gambar (PEC, COMPIC), atau bahasa isyarat.
Intensitas terapi yaitu terapi harus dilakukan sangat intensif. Sebaiknya terapi formal
dilakukan 4-8 jam sehari. Di samping itu, seluruh keluarga pun harus ikut terlibat
melakukan komunikasi dengan anak, sejak anak bangun pagi hingga tidur si malam
hari.
Berbagai jenis terapi bagi anak autis, antara lain terapi perilaku (behavior
therapy), terapi okupasi, terapi wicara (speech therapy), terapi biomedis, terapi
medikamentosa, dan pendidikan khusus. Sebaiknya, sebelum terapi setiap anak mendapat
evaluasi lengkap dari dokter dan terapis, dengan kurikulum individual berdasarkan
kebutuhan dan kemampuan anak dalam setiap bidangnya. Berikut ini beberapa terapi bagi
anak autis:
1. Terapi medikamentosa
Terapi ini dilakukan dengan obat-obatan yang bertujuan memperbaiki komunikasi,
memperbaiki respon terhadap lingkungan, dan menghilangkan perilaku aneh serta

diulang-ulang. Dalam kasus ini gangguan terjadi di otak sehingga obat-obatan yang
dipakai adalah yang bekerja di otak.
2. Terapi biomedis
Terapi ini bertujuan memperbaiki metabolisme tubuh melalui diet dan pemberian
suplemen. Terapi ini dilakukan berdasarkan banyaknya gangguan fungsi tubuh,
seperti gangguan pencernaan, alergi, daya tahan tubuh rentan, dan keracunan logam
berat. Berbagai gangguan fungsi tubuh ini akhirnya mempengaruhi fungsi otak.
3. Terapi wicara
Umumnya, terapi ini menjadi keharusan bagi anak autis karena mereka mengalami
keterlambatan bicara dan kesulitan berbahasa.
4. Terapi perilaku
Terapi ini bertujuan agar anak autis dapat mengurang perilaku tidak wajar dan
menggantinya dengan perilaku yang bisa diterima di masyarakat.
5. Terapi okupasi
Terapi ini bertujuan membantu anak autis yang mempunyai perkembangan motorik
kurang baik, antara lain gerak-geriknya kasar dan kurang luwes. Terapi okupasi akan
menguatkan, memperbaiki koordinasi, dan keterampilan otot halus anak.
Selain itu anak autis juga membutuhkan pendidikan khusus yaitu pendidikan
intelektual terstruktur yang diterapkan dengan sistem satu guru-satu anak. Sistem ini
paling efektif karena tidak mungkin anak autis memusatkan perhatian dalam satu kelas
besar.
PERAN ORANG TUA BAGI ANAK AUTIS
Banyak hal yang bisa dan harus dilakukan orang tua anak autis. Pertama,
memastikan diagnosis, sekaligus mengetahui ada tidaknya gangguan lain pada anak
untuk ikut diobati. Pilihlah dokter yang kompeten. Umumnya, adalah dokter anak yang
menangani autis, dokter saraf anak, dan dokter rehabilitasi medik.

Idealnya, orang tua harus membina komunikasi dengan dokter. Hal ini
dikarenakan kerjasama orang tua dengan dokter, keterbukaan orang tua tentang tentang
kondisi anak, dan kesediaan mengikuti aneka pengobatan atau treatment yang disarankan
akan mempengaruhi kemajuan anaknya dan merupakan sarat mutlak.
Komunikasi yang baik antara dokter dengan orang tua terlihat dari kemampuan
orang tua memperoleh informasi mengenai kondisi anak. Jadi, pada saat berobat bukan
hanya datang, anak diperiksa, diberi resep obat, lalu pulang. Jika itu yang terjadi, maka
waktu dan biaya yang dikeluarkan akan sia-sia.
Carilah dokter lain yang dapat memahami penyakit anak jika orang tua
menganggap dokter kurang kooperatif atau tidak memberikan konsultasi memadai.
Jangan fanatik pada satu dokter karena tidak selamanya seorang dokter benar secara
mutlak. Jika kondisi ini terjadi, bukan tidak mungkin orang tua akan buta pada apa yang
terjadi pada anaknya.
Hal yang tidak kalah penting adalah jangan bohongi dokter saat konsultasi,
misalnya menutup-nutupi salah satu gejala yang dialami anak. Kejujuran orangtua dalam
menceritakan kondisi keseharian anak akan sangat membantu dokter mengevaluasi
kondisi anak yang dapat mempengaruhi kemajuan anak.
Orang tua juga harus memperkaya pengetahuannya mengenai autis, terutama
pengetahuan mengenai terapi yang tepat dan sesuai dengan anak. Hal ini sangat penting
karena fasilitas terapi di Indonesia masih sangat terbatas dan ahlinya pun masih langka.
Selain itu, orang tua juga perlu menguasai terapi karena selalu bersama anak, sedangkan
pengajar atau terapis hanya sesaat dan saling bergantian. Berdasarkan pengalaman
beberapa ahli autis di Jakarta, orang tua yang ikut melaksanakan terapi secara intensif
terhadap anaknya, akan memperoleh hasil memuaskan, anak menunjukkan kemajuan
sangat pesat. Sebelum terapi dimulai, perlu diinformasikan bahwa orang tua juga terlibat
dan tidak ada terapi yang dilakukan tanpa persetujuan orang tua. Untuk mengoptimalkan
terapi, perlu adanya kerjasama orang tua dan pertemuan berkala antara orang tua dengan
terapis untuk mengevaluasi program aupun terapi itu sendiri.

Hal yang juga sangat membantu orang tua adalah bertemu dan berbicara dengan
sesama orang tua autis. Usahakan bergabung dalam parents support group. Selain untuk
berbagi rasa, juga untuk berbagi pengalaman, informasi, dan pengetahuan.
Selain orang tua juga harus bertindak selaku manager saat terapi dilakukan,
misalnya mempersiapkan kamar khusus, mencari dan mewawancarai terapis, mengatur
jadwal, melakukan evaluasi bersama tim, juga mampu memutuskan segala sesuatu yang
berkaitan dengan pendidikan, terapisan, dan pengobatan anak.
Terapis harus mempunyai perilaku profesional termasuk mematuhi jam kerja dan
menginformasikan jika mereka akan datang terlambat atau tidak datang.
Lingkungan rumah tangga juga dapat menjadi suatu lingkungan terapi yang ideal
bagi anak autis.

DAFTAR PUSTAKA
1. Bonny Danuatmaja: Terapi Anak Autis di Rumah. Puspa Swara, 2003.
2. Melly Budiman, dkk: Langkah Awal Menanggulangi Autis, Nirmala, 2002.

Anda mungkin juga menyukai