BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Definisi
Sindrom Steven-Johnson (SSJ) merupakan suatu kumpulan gejala klinis erupsi
mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit berupa eritema, vesikel/ bula,
dapat disertai purpura yang mengenai kulit, selaput lendir orifisium serta mata disertai gejala
umum bervariasi dari ringan sampai berat.[3]
Menurut Websters New World Medical Dictionary, SSJ didefinisikan sebagai reaksi
alergi sistemik (sistemik = menyerang keseluruhan tubuh) dengan karakteristik berupa rash
atau kemerahan yang mengenai kulit dan selaput lendir, termasuk selaput lendir mulut.
Penyakit ini disebabkan oleh reaksi hipersensitif (alergi) terhadap obat atau virus tertentu.[3]
Nama ini berasal dari Dr. Albert Mason Stevens dan Dr. Frank Chambliss
Johnson, dokter anak di Amerika pada tahun 1922 bersama-sama mempublikasikan
kumpulan gejala ini dalam American Journal Penyakit Anak.[4]
Sinonimnya antara lain : sindrom de Friessinger- Rendu [3], eritema poliform bulosa [3],
sindrom mukokutaneo-okular [3] , dermatostomatitis [3], eritema eksudativum multiform mayor
[5]
, eritema multiformis tipe Herba [6], dan ektodermosis erosiva pluriorifisialis [6].
II.2. Epidemiologi
Sindrom Stevens-Johnson adalah suatu kondisi yang jarang terjadi, di
Amerika
Serikat, terdapat 300 kejadian melaporkan sekitar 2,6 menjadi 6,1 kasus per juta orang per
tahun.[4] Kondisi ini sering terjadi pada orang dewasa dibandingkan pada anak-anak.[4] Kasus
ini telah dilaporkan terjadi pada anak-anak berumur 3 bulan. [7] Perempuan lebih sering
terkena daripada pria dengan rasio 2:3.[4] SSJ juga telah dilaporkan lebih sering terjadi pada
ras Kaukasia.[7]
Suatu studi di Jerman barat melaporkan insiden SSJ dan NET 0,93 dan 1,1 kasus
perjuta populasi pertahun.[8] SSJ dan NET dapat terjadi pada semua ras. Studi epidemiologi
menunjukkan bahwa wanita lebih banyak dari pria, dengan rasio pria dibanding wanita
berkisar antara 0,5:0,7 (Mockenhaupt,1998; Klein, 2006).[8]
Di Indonesia jarang terjadi, hanya sekitar 1-6 per juta orang. Dengan kata lain, ratarata jumlah kasus sindrom ini hanya sekitar 0,03%.[3] Penelitian menunjukkan bahwa SSJ
adalah kasus yang langka. Hanya 1 dari 2000 orang yang mengkonsumsi antibiotik penisilin
yang terkena SSJ.[3]
II. 3. Etiologi
Terdapat empat kategori etiologi yaitu (1) infeksi, (2) drug-induced, (3) keganasan,
dan (4) idiopatik.[7]
Pada anak-anak lebih sering disebabkan karena infeksi daripada keganasan atau reaksi
Sumber:http://ww
w.ebmedicine.ne
t/topics.php?
paction=showTopicSeg&topic_id=54&seg_id=1021 [9]
II.3. Patogenesis
Patogenesisnya masih belum jelas walaupun sering dihubungkan dengan reaksi alergi
tipe III dan IV.[3] Reaksi alergi tipe III terjadi akibat terbentuknya kompleks antigen-antibodi
yang membentuk mikropresipitasi sehingga terjadi aktivasi sistem komplemen. [3] Akibatnya
terjadi akumulasi neutrofil yang kemudian melepaskan lisozim dan menyebabkan kerusakan
jaringan pada organ sasaran (target organ).
[3]
yang tersensitisasi oleh suatu antigen, berkontak kembali dengan antigen yang sama
kemudian limfokin dilepaskan sehingga terjadi reaksi radang.[3]
Reaksi
Hipersensitivitas
Tipe
III
(Reaksi
Kompleks
Imun)
Antibodi yang berikatan dengan antigen akan membentuk kompleks antigen antibodi.
Kompleks antigen antibodi ini mengendap pada salah satu tempat dalam jaringan
tubuh. Akibat endapan kompleks antigen-antibodi dalam jaringan atau pembuluh
darah maka kompleks tersebut mengaktifkan komplemen yang kemudian melepas
berbagai mediator terutama macrophage chemotactic factor. Makrofag yang
dikerahkan ke tempat tersebut akan merusak jaringan di sekitarnya dan
mengakibatkan reaksi radang.[10]
Reaksi
Hipersensitivitas
Tipe
IV
(Reaksi
Alergi
Seluler
Tipe
Lambat)
Gambar 1
Gambar 2
Gambar 3
[6]
Kelainan pada lubang alat genital akan menyebabkan sulit buang air kecil disertai rasa
sakit. Kadang-kadang selaput lendir saluran pencernaan dan pernapasan juga terlibat,
menyebabkan diare dan sesak napas.[13]
Gambar 2
Gambar 2
Gambar 3
[6]
c. Kelainan mata
Kelainan mata, merupakan 80% diantara semua kasus, yang tersering ialah konjungtivitis
kataralis.[12] Selain itu juga dapat berupa konjungtivitis purulen, blefarokonjungtivitis,
perdarahan, simblefaron, ulkus kornea, iritis, iridosiklitis, kelopak mata edema, penuh
dengan nanah sehingga sulit dibuka, dan disertai rasa sakit. [13] Pada kasus berat terjadi
erosi dan perforasi kornea yang dapat menyebabkan kebutaan. [3] Cedera mukosa okuler
merupakan faktor pencetus yang menyebabkan terjadinya ocular cicatricial pemphigoid,
merupakan inflamasi kronik dari mukosa okuler yang menyebabkan kebutaan. Waktu
yang diperlukan mulai onset sampai terjadinya ocular cicatricial pemphigoid bervariasi
mulai dari beberapa bulan sampai 31 tahun.[3]
Gambar 3
Gambar 2
[6]
II.5. Diagnosa
Diagnosis ditujukan terhadap manifestasi yang sesuai dengan trias kelainan kulit,
mukosa, mata, serta hubungannya dengan faktor penyebab yang secara klinis terdapat lesi
berbentuk target, iris atau mata sapi disertai gejala prodormal. Selain itu didukung
pemeriksaan laboratorium antara lain pemeriksaan darah tepi, pemeriksaan imunologik,
biakan kuman serta uji resistensi dari darah dan tempat lesi, serta pemeriksaan histopatologik
8
biopsi kulit. Anemia dapat dijumpai pada kasus berat dengan perdarahan, leukosit biasanya
normal atau sedikit meninggi bila meninggi penyebabnya adalah infeksi sekunder, terdapat
peningkatan eosinofil jika penyebabnya alergi. Kadar IgG dan IgM dapat meninggi, C3 dan
C4 normal atau sedikit menurun dan dapat dideteksi adanya kompleks imun yang beredar.
Biopsi kulit direncanakan bila lesi klasik tak ada. [3] Gambaran histopatologinya sesuai dengan
eritema multiforme, bervariasi dari perubahan dermal yang ringan sampai nekrolisis
epidermal yang menyeluruh. Kelainan berupa :[12]
Infiltrat sel mononuklear di sekitar pembuluh darah dermis superfisial
Edema dan ekstravasasi sel darah merah di dermis papilar
Degenerasi hidropik lapisan basalis sampai terbentuk vesikel subepidermal
Nekrosis sel epidermal di adneksa
Spongiosis dan edema intrasel di epidermis
Selain itu dapat dilakukan pemeriksaan imunofluoresensi untuk membantu
membedakan sindrom Steven Johnson dengan penyakit kulit dengan lepuh subepidermal
lainnya. Menentukan fungsi ginjal dan mengevaluasi adanya darah dalam urin. Pemeriksaan
elektrolit di lakukan untuk mengetahui apakah terjadi gangguan keseimbangan asam basa.
Pemeriksaan bronchoscopy, esophagogastro duodenoscopy (EGD), dan kolonoskopi dapat
dilakukan. Dan fototoraks untuk mengetahui adanya komplikasi pneumonitis.[7]
II.6. Diagnosis banding
Etiologi
SSSS
Staphylococcus aureus,
NET
Obat
9
SSJ
Obat, infeksi,
keganasan, post
vaksinasi, radiasi,
Pasien
Gejala klinis
Dewasa
Akut
Gejala prodormal
KU buruk
Eritem generalisata,
vesikel, bula, purpura
Kulit, mukosa bibirmulut, orifisium
genital
Epidermolisis +
Nikolsky sign +
PA : celah pada
subepidermal
makanan.
Dewasa, anak > 3 tahun
Gejala prodormal
Trias :
Kulit: eritem, vesikel,
bula dan purpura,
Mukosa:orifisium
mulut, faring, traktus
respiratorius,
esophagus
(pseudomembran)
Mata
Epidermolisis
Nikolsky sign
PA : kelainan dermis
sedikit sampai
Komplikasi
Selulitis, pneumonia,
nekrolisis epidermal
Bronkopneumonia
septikemia
Sumber : Buku Ajar Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Edisi 5, 2007. [12]
10
Lesi berupa eritem, meluas menjadi makula atau papula berevolusi menjadi
lesi yang khas bentuk iris (target lesion), terdiri 3 bagian yaitu bagian tengah berupa
vesikel atau eritema keunguan dikelilingi lingkaran konsentris yang pucat kemudian
lingkaran yang merah. Vesikulobulosa berkembang dalam makula yang sudah ada
sebelumnya, papula, atau bercak. Keterlibatan mata terjadi pada 10% kasus EM,
konjungtivitis purulen kebanyakan bilateral dengan lakrimasi yang meningkat.
Membran mukosa terjadi pada sekitar 25% dari kasus EM, biasanya ringan, dan
biasanya melibatkan rongga mulut.[7]
Sumber:
http://www.ebmedicine.net/topics.php?
paction=showTopicSeg&topic_id=54&seg_id=1021 [9]
II.7. Komplikasi
Komplikasi tersering ialah bronkopneumonia, sekitar 16%. Komplikasi lain ialah
kehilangan cairan/ darah, gangguan keseimbangan elektrolit dan syok, pada mata dapat
terjadi ulserasi kornea, uveitis anterior, kebutaan karena gangguan lakrimasi.
[12]
Pada
gastroenterologi teriadi esofageal striktur, pada genitourinari dapat terjadi nekrosis tubular
ginjal, gagal ginjal, jaringan parut pada penis, vagina stenosis, dan pada kutaneus terdapat
jaringan parut dan deformitas kosmetik. Infeksi dapat kambuh karena penyembuhan ulserasi
yang lambat.[7]
II.8. Pengobatan
11
Pertama, dan paling penting adalah harus segera menghentikan penggunaan obat
penyebab yang dicurigai. Dengan tindakan ini, kita dapat mencegah keburukan. Orang
dengan SSJ biasanya dirawat inap.[2] Bila mungkin, pasien NET dirawat dalam unit rawat
luka bakar, dan kewaspadaan dilakukan secara ketat untuk menghindari infeksi. Pasien SSJ
biasanya dirawat di ICU. Perawatan membutuhkan pendekatan tim, yang melibatkan spesialis
luka bakar, penyakit dalam, mata, dan kulit. Cairan elektrolit dan makanan dengan kalori
tinggi harus diberi melalui infus untuk membantu pemulihan. Antibiotik diberikan bila
dibutuhkan untuk mencegah infeksi sekunder seperti sepsis.[2]
Ada keraguan mengenai penggunaan kortikosteroid untuk mengobati SSJ/NET.
Beberapa dokter berpendapat bahwa kortikosteroid dosis tinggi dalam beberapa hari pertama
memberi manfaat; yang lain beranggap bahwa obat ini sebaiknya tidak dipakai.[2] Obat ini
menekankan sistem kekebalan tubuh, yang meningkatkan risiko terjadinya infeksi yang
gawat, apalagi pada ODHA dengan sistem kekebalan yang sudah lemah.[2]
Pada umumnya penderita SSJ datang dengan keadaan umum berat sehingga terapi
yang diberikan biasanya adalah : [2]
nyawa. [2]
Antibiotik spektrum luas, selanjutnya berdasarkan hasil biakan dan uji resistensi
kuman dari sediaan lesi kulit dan darah. Antibiotika yang diberikan jarang
menimbulkan alergi,
12
Pada SSJ yang berat diiberikan terapi cairan dan elektrolit, serta diet tinggi kalori dan
protein secara parenteral. Dapat diberikan infus, misalnya dekstrose 5%, Nacl 9%,
dan Ringer laktat berbanding 1:1:1 dalam satu labu, setiap 8 jam.[12]
Bula di kulit dirawat dengan kompres basah larutan Burowi.[3]
Pada daerah erosi dan ekskoriasi dapat diberikan krim sulfodiazin perak.[12]
Pada kasus purpura yang luas dapat pula ditambahkan vitamin C 500 mg atau 1000
mg iv sehari.[12]
Lesi mulut diberi kenalog in orabase, betadine gargle, dan untuk bibir yang
kelainannya berupa krusta tebal kehitaman dapat diberikan emolien misalnya krim
urea 10%.[12]
Pemberian obat tetes mata baik antibiotik maupun yang bersifat garam fisiologis
setiap 2 jam, untuk mencegah timbulnya infeksi sekunder dan terjadinya kekeringan
perlekatan konjungtiva.[2]
Intravena Imunoglobulin (IVIG). Dengan dosis 0,2-0,75 g / kg berat badan per hari
selama empat hari berturut-turut. Pemberian IVIG akan menghambat reseptor FAS
dalam proses kematian keratinosit yang dimediasi FAS.[14]
Transfusi darah 300 cc selama 2 hari jika tidak ada perbaikan dalam 2 hari.[13]
Efek transfusi darah (whole blood) ialah imunorestorasi. Bila terdapat leukopenia
prognosisnya menjadi buruk, setelah pemberian transfusi leukosit cepat menjadi
normal. Selain itu darah juga mengandung banyak sitokin dan leukosit, jadi
meningkatkan daya tahan tubuh.[12]
Indikasi pemberian transfusi darah pada SSJ dan NET ialah :[12]
-
Bila telah diobati dengan dosis adekuat setelah 2 hari belum ada perbaikan.
Setelah sembuh dari SSJ tidak boleh menggunakan kembali agen atau senyawa yang
penyebab. Obat dari kelas farmakologis yang sama dapat digunakan asalkan obat tersebut
secara struktural berbeda dengan obat penyebabnya. [7] Karena faktor genetik diduga berperan
dalam kerusakan kulit dan timbulnya lepuh akibat obat, sehingga obat yang dicurigai tidak
13
boleh digunakan dalam darah pasien. Tidak ada statistik khusus tentang risiko penggunaan
ulang obat yang salah atau kemungkinan desensitisasi pada pasien dengan SSJ.[7]
II.9. Konsultasi
Konsultasi ke bagian oftalmologi untuk kelainan pada mata. Biasanya dokter mata
memberikan airmata artifisial, atau gentamisin tetes mata bila ada dugaan infeksi sekunder.
Secara rutin pasien juga kita konsultasi ke bagian kulit dan kelamin untuk perawatan yang
komprehensif. Konsultasi ke bagian bedah plastik sehubungan dengan perawatan lesi kulit
terbuka yang biasanya dirawat sebagaimana luka bakar.
II.10. Prognosis
SSJ adalah penyakit dengan morbiditas yang tinggi, yang berpotensi mengancam
nyawa. Tingkat mortalitas adalah 5%, jika ditangani dengan cepat dan tepat, maka prognosis
cukup memuaskan.[4]
Lesi biasanya akan sembuh dalam 1-2 minggu, kecuali bila terjadi infeksi sekunder.
Sebagian besar pasien sembuh tanpa gejala sisa.[7]
Bila terdapat purpura yang luas dan leukopenia prognosisnya lebih buruk. Pada
keadaan umum yang buruk dan terdapat bronkopneumonia, dapat menyebabkan
[12]
kematian.
Pengembangan gejala sisa yang serius, seperti kegagalan pernafasan, gagal ginjal, dan
kebutaan, menentukan prognosis.[7] Sampai dengan 15% dari semua pasien dengan sindrom
Stevens-Johnson (SSJ) meninggal akibat kondisi ini. Bakteremia dan sepsis meningkatkan
resiko kematian.[7]
Nilai SCORTEN merupakan sejumlah variable yang digunakan untuk meramalkan
faktor risiko terjadinya kematian pada SSJ dan dan juga pada TEN.[7]
Skor SCORTEN
Faktor prognosis
Umur > 40 tahun
Skor mortalitas
SCORTEN 0-1 > 3.2%
Keganasan
10%
14
BAB III
KESIMPULAN
15
yaitu Nekrolisis Epidermal Toksik, Staphylococcal Scalded Skin Syndrom, dan Eritema
Multiforme. Dan komplikasi pada SSJ yang paling sering terjadi adalah bronkopneumonia.
Penanganan Sindrom Steven Johnson dilakukan dengan menghentikan obat
penyebab, memberi terapi cairan dan elektrolit, serta kalori dan protein secara parenteral pada
penderita dengan keadaan umum berat. Penggunaan steroid sistemik masih kontroversi. IVIG
dapat diberikan untuk mencegah kerusakan kulit yang lebih lanjut dan antibiotik spektrum
luas untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder.
SSJ adalah penyakit dengan morbiditas yang tinggi, yang berpotensi mengancam
nyawa. Jika ditangani dengan cepat dan tepat, maka prognosis cukup memuaskan. Pada kasus
ini tingkat mortalitas dapat ditentukan dengan nilai SCORTEN.
DAFTAR PUSTAKA
1. Staff mayo clinic : Stevens-Johnson syndrome. Diakses tanggal : 30 Mei 2010. Diunduh
dari : http://www. mayoclinic.com/health/Stevens-johnson-syndrome/ds0094
2. Allan, dr. : Referat sindrom stevens Johnson. Diakses tanggal : 30 Mei 2010. Diunduh
dari : http://www.scribd.com/doc/16796718/Referat-Steven-Johnson
3. Anonym. Diakses tanggal : 1 Juni 2010. Diunduh dari : http://hajaddb.co.cc/sindromstevens-johnson-ssj
4. Wikipedia : Stevens-Johnson syndrome. Direvisi terakhir : 28 Mei 2010. Diakses
tanggal : 31 Mei 2010. Diunduh dari : http://en.wikipedia.org/wiki/Stevens
%E2%80%93Johnson_syndrome
5. Mansjoer, A. Suprohaita. Wardhani, WI. Setiowulan, W. Erupsi Alergi Obat. Kapita
Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jilid 2. Media Aesculapius. Jakarta 2002 : 136-138.
16
17