Anda di halaman 1dari 17

REFERAT

STEVEN JOHNSON SYNDROME


BAB I
PENDAHULUAN
Sindrom Stevens-Johnson merupakan kelainan pada kulit yang serius, di mana kulit
dan selaput lendir bereaksi keras terhadap obat atau infeksi.[1] Seringkali, Stevens-Johnson
sindrom diawali dengan gejala mirip flu, diikuti dengan ruam merah atau keunguan yang
menyakitkan yang menyebar dan lecet, akhirnya menyebabkan lapisan atas kulit mati. [1]
Penyebab pasti dari SSJ saat ini belum diketahui namun ditemukan beberapa hal yang
memicu timbulnya SSJ seperti obat-obatan atau infeksi virus. [2] Mekanisme terjadinya
sindrom pada SSJ adalah reaksi hipersensitif terhadap zat yang memicunya. [2]
Sindrom Stevens-Johnson adalah suatu kondisi medis darurat yang biasanya
membutuhkan perawatan di rumah sakit.[1] Perawatan berfokus pada menghilangkan
penyebab yang mendasari, mengontrol gejala dan mengurangi komplikasi.[1]
Tujuan penulisan referat ini adalah untuk mengetahui manifestasi SJS dan
tatalaksananya

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Definisi
Sindrom Steven-Johnson (SSJ) merupakan suatu kumpulan gejala klinis erupsi
mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit berupa eritema, vesikel/ bula,
dapat disertai purpura yang mengenai kulit, selaput lendir orifisium serta mata disertai gejala
umum bervariasi dari ringan sampai berat.[3]
Menurut Websters New World Medical Dictionary, SSJ didefinisikan sebagai reaksi
alergi sistemik (sistemik = menyerang keseluruhan tubuh) dengan karakteristik berupa rash
atau kemerahan yang mengenai kulit dan selaput lendir, termasuk selaput lendir mulut.
Penyakit ini disebabkan oleh reaksi hipersensitif (alergi) terhadap obat atau virus tertentu.[3]

Nama ini berasal dari Dr. Albert Mason Stevens dan Dr. Frank Chambliss
Johnson, dokter anak di Amerika pada tahun 1922 bersama-sama mempublikasikan
kumpulan gejala ini dalam American Journal Penyakit Anak.[4]
Sinonimnya antara lain : sindrom de Friessinger- Rendu [3], eritema poliform bulosa [3],
sindrom mukokutaneo-okular [3] , dermatostomatitis [3], eritema eksudativum multiform mayor
[5]

, eritema multiformis tipe Herba [6], dan ektodermosis erosiva pluriorifisialis [6].

II.2. Epidemiologi
Sindrom Stevens-Johnson adalah suatu kondisi yang jarang terjadi, di

Amerika

Serikat, terdapat 300 kejadian melaporkan sekitar 2,6 menjadi 6,1 kasus per juta orang per
tahun.[4] Kondisi ini sering terjadi pada orang dewasa dibandingkan pada anak-anak.[4] Kasus
ini telah dilaporkan terjadi pada anak-anak berumur 3 bulan. [7] Perempuan lebih sering
terkena daripada pria dengan rasio 2:3.[4] SSJ juga telah dilaporkan lebih sering terjadi pada
ras Kaukasia.[7]
Suatu studi di Jerman barat melaporkan insiden SSJ dan NET 0,93 dan 1,1 kasus
perjuta populasi pertahun.[8] SSJ dan NET dapat terjadi pada semua ras. Studi epidemiologi
menunjukkan bahwa wanita lebih banyak dari pria, dengan rasio pria dibanding wanita
berkisar antara 0,5:0,7 (Mockenhaupt,1998; Klein, 2006).[8]
Di Indonesia jarang terjadi, hanya sekitar 1-6 per juta orang. Dengan kata lain, ratarata jumlah kasus sindrom ini hanya sekitar 0,03%.[3] Penelitian menunjukkan bahwa SSJ
adalah kasus yang langka. Hanya 1 dari 2000 orang yang mengkonsumsi antibiotik penisilin
yang terkena SSJ.[3]
II. 3. Etiologi
Terdapat empat kategori etiologi yaitu (1) infeksi, (2) drug-induced, (3) keganasan,
dan (4) idiopatik.[7]

Pada anak-anak lebih sering disebabkan karena infeksi daripada keganasan atau reaksi

terhadap suatu obat.[7]


Oxicam NSAID dan sulfonamides yang paling sering terlibat di negara-negara barat.

Di Asia Tenggara, allopurinol adalah yang paling sering.[7]


Obat seperti sulfa, fenitoin, atau penisilin telah ditentukan sebelumnya, ditemukan
lebih dari dua pertiga dari semua pasien dengan sindrom Stevens-Johnson (SSJ).
Antikonvulsi karbamazepin, asam valproat, lamotrigin, dan barbiturat juga telah
terlibat. Mockenhapupt et al menekankan bahwa antikonvulsi-induced SSJ terjadi
2

pada 60 hari pertama penggunaan. Hallgren et al melaporkan ciprofloxacin dapat


menginduksi sindrom Stevens Johnson pada pasien muda di Swedia. Metry et al
melaporkan sindrom Stevens Johnson terjadi pada 2 pasien HIV yang diobati dengan
nevirapine. Para penulis berspekulasi bahwa masalah ini dapat juga disebabkan oleh

non nukleosida reverse transcriptase inhibitor yaitu indinavir.[7]


Infeksi virus yang telah dilaporkan menyebabkan SSJ adalah herpes simplex virus
(HSV), AIDS, infeksi virus coxsackie, influenza, hepatitis, gondok, venereum

lymphogranuloma (LGV), infeksi rickettsia, dan variola.[7]


Penyebab bakteri adalah grup A beta streptokokus, difteri, brucellosis, mikobakteri,
Mycoplasma pneumoniae, tularemia, dan tifus. Sebuah kasus baru-baru ini dilaporkan

SSJ timbul setelah infeksi Mycoplasma pneumoniae.[7]


Coccidioidomycosis, dermatofitosis, dan histoplasmosis adalah kemungkinan yang

disebabkan oleh jamur.[7]


Malaria dan trikomoniasis telah dilaporkan sebagai penyebab protozoa.[7]
Pada anak-anak, Epstein-Barr virus dan enterovirus telah diidentifikasi.[7]
Berbagai karsinoma dan limfoma telah dikaitkan.[7]
Sindrom Stevens-Johnson (SSJ) adalah idiopatik pada 25-50% kasus.[7]

Sumber:http://ww

w.ebmedicine.ne

t/topics.php?

paction=showTopicSeg&topic_id=54&seg_id=1021 [9]

II.3. Patogenesis

Patogenesisnya masih belum jelas walaupun sering dihubungkan dengan reaksi alergi
tipe III dan IV.[3] Reaksi alergi tipe III terjadi akibat terbentuknya kompleks antigen-antibodi
yang membentuk mikropresipitasi sehingga terjadi aktivasi sistem komplemen. [3] Akibatnya
terjadi akumulasi neutrofil yang kemudian melepaskan lisozim dan menyebabkan kerusakan
jaringan pada organ sasaran (target organ).

[3]

Reaksi alergi tipe IV terjadi akibat limfosit T

yang tersensitisasi oleh suatu antigen, berkontak kembali dengan antigen yang sama
kemudian limfokin dilepaskan sehingga terjadi reaksi radang.[3]

Reaksi

Hipersensitivitas

Tipe

III

(Reaksi

Kompleks

Imun)

Antibodi yang berikatan dengan antigen akan membentuk kompleks antigen antibodi.
Kompleks antigen antibodi ini mengendap pada salah satu tempat dalam jaringan
tubuh. Akibat endapan kompleks antigen-antibodi dalam jaringan atau pembuluh
darah maka kompleks tersebut mengaktifkan komplemen yang kemudian melepas
berbagai mediator terutama macrophage chemotactic factor. Makrofag yang
dikerahkan ke tempat tersebut akan merusak jaringan di sekitarnya dan
mengakibatkan reaksi radang.[10]

Reaksi

Hipersensitivitas

Tipe

IV

(Reaksi

Alergi

Seluler

Tipe

Lambat)

Reaksi ini melibatkan limfosit. Limfosit T yang tersensitasi mengadakan reaksi


dengan antigen. Reaksi ini disebut reaksi tipe lambat karena baru timbul 12-48 jam
setelah terpajan antigen. Dalam hal ini tidak ada peran antibodi. Akibat sensitisasi
tersebut sel Th1 melepaskan limfokin antara lain MIF, MAF. Makrofag yang
diaktifkan melepas berbagai mediator (sitokin, enzim, dsb) sehingga dapat
menyebabkan kerusakan jaringan.[10].[11]
Stevens-Johnson Syndrome merupakan penyakit hipersensitivitas yang diperantarai
oleh kompleks imun yang mungkin disebabkan oleh beberapa jenis obat, infeksi virus, dan
keganasan. Kokain saat ini ditambahkan dalam daftar obat yang mampu menyebabkan
sindroma ini. Hingga sebagian kasus yang terdeteksi, tidak terdapat etiologi spesifik yang
dapat diidentifikasi.[7]
Di Asia Timur, sindroma yang disebabkan carbamazepine dan fenitoin dihubungkan
erat dengan (alel B*1502 dari HLA-B). Sebuah studi di Eropa menemukan bahwa petanda
gen hanya relevan untuk Asia Timur. Berdasarkan dari temuan di Asia, dilakukan penelitian
serupa di Eropa, 61% SJS/TEN yang diinduksi allopurinol membawa HLA-B58 (alel B*5801
frekuensi fenotif di Eropa umumnya 3%), mengindikasikan bahwa resiko alel berbeda antar
suku/etnik, lokus HLA-B berhubungan erat dengan gen yang berhubungan.[7]
4

II.4. Gejala klinis


Sindrom ini jarang dijumpai pada usia 3 tahun ke bawah karena imunitas belum
begitu berkembang.[12] Keadaan umumnya bervariasi dari ringan sampai berat. Pada yang
berat kesadarannya menurun, pasien dapat soporous sampai koma. [12] Mulainya penyakit akut
dapat disertai gejala prodormal berkisar antara 1-14 hari berupa demam tinggi, malese, nyeri
kepala, batuk, pilek, nyeri tenggorokan, sakit menelan, nyeri dada, muntah, pegal otot, dan
atralgia yang sangat bervariasi.[3]
Pada SSJ ini terlihat trias kelainan berupa : kelainan kulit, kelainan selaput lendir di
orifisium, dan kelainan mata.[12]
a. Kelainan kulit
Lesi dimulai sebagai makula yang berkembang menjadi papula, vesikula, bullae, dan plak
urtikaria. Pusat lesi ini mungkin vesikel, purpura, atau nekrotik. Lesi memiliki gambaran
yang khas, dianggap patognomonik. Namun, berbeda dengan erythema multiforme, lesi
ini hanya memiliki dua zona warna. Inti lesi dapat berupa vesikel, purpura, atau nekrotik,
dikelilingi oleh eritema macular. Lesi ini di sebut lesi targetoid. Lesi mungkin menjadi
bulosa dan kemudian pecah menyebabkan erosi yang luas, meninggalkan kulit yang
gundul sehingga terjadi peluruhan yang ekstensif. Sehingga kulit menjadi rentan terhadap
infeksi sekunder.[7]
Pada bentuk yang berat kelainannya generalisata. [12] Kulit lepuh sangat longgar dan
mudah lepas bila digosok. Pada sindrom Stevens-Johnson, kurang dari 10% dari
permukaan tubuh yang mengelupas. Sedangkan pada necrolysis epidermis toksik, 30%
atau lebih dari permukaan tubuh yang mengelupas. Daerah kulit yang terkena akan terasa
sakit. Pada beberapa orang, rambut dan kuku rontok.[13]

Peluruhan luas epidermis dari sindrom Stevens-Johnson.


Sumber : http://emedicine.medscape.com/article/756523-overview [7]

Gambar 1

Gambar 2

Gambar 3

Keterangan : eritema-deskuamasi (gb.1), eritema-erosi-krusta-hemoragic (gb.2) , dan


plak(gb.3).
Sumber : http://www.dermis.net/dermisroot/en/30254/diagnose.htm
6

[6]

b. Kelainan selaput lendir di orifisium


Kelainan selaput lendir yang tersering adalah mukosa mulut (100%), kemudian disusul
oleh kelainan di lubang alat genital (50%), sedangkan di lubang hidung (8%), dan anus
(4%).[12] Kelainannya berupa vesikel dan bula yang cepat memecah hingga menjadi erosi
dan ekskoriasi dan krusta kehitaman. [13] Di mukosa mulut dapat terbentuk
pseudomembran. Di bibir kelainan yang sering tampak ialah krusta hitam yang tebal.
Stomatitis ulseratif dan krusta hemoragis merupakan gambaran utama. [12] Kerusakan pada
lapisan mulut biasanya sangat menyakitkan dan mengurangi kemampuan pasien untuk
makan atau minum dan sulit menutup mulut sehingga air liurnya menetes. [13] Lesi di
mukosa mulut dapat juga terdapat di faring, traktus respiratorius bagian atas, dan
esofagus. Adanya pseudomembran di faring dapat menyebabkan keluhan sukar bernafas.
[12]

Kelainan pada lubang alat genital akan menyebabkan sulit buang air kecil disertai rasa

sakit. Kadang-kadang selaput lendir saluran pencernaan dan pernapasan juga terlibat,
menyebabkan diare dan sesak napas.[13]

Gambar 2

Gambar 2

Gambar 3

Keterangan : vesikel-krusta (gb.1), eritema-erosi (palatum durum) (gb.2), dan krusta


(gb.3).
Sumber : http://www.dermis.net/dermisroot/en/30254/diagnose.htm

[6]

c. Kelainan mata
Kelainan mata, merupakan 80% diantara semua kasus, yang tersering ialah konjungtivitis
kataralis.[12] Selain itu juga dapat berupa konjungtivitis purulen, blefarokonjungtivitis,
perdarahan, simblefaron, ulkus kornea, iritis, iridosiklitis, kelopak mata edema, penuh
dengan nanah sehingga sulit dibuka, dan disertai rasa sakit. [13] Pada kasus berat terjadi
erosi dan perforasi kornea yang dapat menyebabkan kebutaan. [3] Cedera mukosa okuler
merupakan faktor pencetus yang menyebabkan terjadinya ocular cicatricial pemphigoid,
merupakan inflamasi kronik dari mukosa okuler yang menyebabkan kebutaan. Waktu
yang diperlukan mulai onset sampai terjadinya ocular cicatricial pemphigoid bervariasi
mulai dari beberapa bulan sampai 31 tahun.[3]

Gambar 3

Gambar 2

Keterangan : eritema-erosi (gb.1) dan konjungtivitis (gb.2)


Sumber : 1. http://en.wikipedia.org/wiki/Stevens%E2%80%93Johnson_syndrome [4]
2. http://www.dermis.net/dermisroot/en/30254/diagnose.htm

[6]

II.5. Diagnosa
Diagnosis ditujukan terhadap manifestasi yang sesuai dengan trias kelainan kulit,
mukosa, mata, serta hubungannya dengan faktor penyebab yang secara klinis terdapat lesi
berbentuk target, iris atau mata sapi disertai gejala prodormal. Selain itu didukung
pemeriksaan laboratorium antara lain pemeriksaan darah tepi, pemeriksaan imunologik,
biakan kuman serta uji resistensi dari darah dan tempat lesi, serta pemeriksaan histopatologik
8

biopsi kulit. Anemia dapat dijumpai pada kasus berat dengan perdarahan, leukosit biasanya
normal atau sedikit meninggi bila meninggi penyebabnya adalah infeksi sekunder, terdapat
peningkatan eosinofil jika penyebabnya alergi. Kadar IgG dan IgM dapat meninggi, C3 dan
C4 normal atau sedikit menurun dan dapat dideteksi adanya kompleks imun yang beredar.
Biopsi kulit direncanakan bila lesi klasik tak ada. [3] Gambaran histopatologinya sesuai dengan
eritema multiforme, bervariasi dari perubahan dermal yang ringan sampai nekrolisis
epidermal yang menyeluruh. Kelainan berupa :[12]
Infiltrat sel mononuklear di sekitar pembuluh darah dermis superfisial
Edema dan ekstravasasi sel darah merah di dermis papilar
Degenerasi hidropik lapisan basalis sampai terbentuk vesikel subepidermal
Nekrosis sel epidermal di adneksa
Spongiosis dan edema intrasel di epidermis
Selain itu dapat dilakukan pemeriksaan imunofluoresensi untuk membantu
membedakan sindrom Steven Johnson dengan penyakit kulit dengan lepuh subepidermal
lainnya. Menentukan fungsi ginjal dan mengevaluasi adanya darah dalam urin. Pemeriksaan
elektrolit di lakukan untuk mengetahui apakah terjadi gangguan keseimbangan asam basa.
Pemeriksaan bronchoscopy, esophagogastro duodenoscopy (EGD), dan kolonoskopi dapat
dilakukan. Dan fototoraks untuk mengetahui adanya komplikasi pneumonitis.[7]
II.6. Diagnosis banding

Nekrolisis Epidermal Toksik (NET)


Dimana manifestasi klinis hampir serupa tetapi keadaan umum NET terlihat
lebih buruk daripada SSJ.[2] Pada penyakit ini terdapat epidermolisis yang menyeluruh
yaitu lebih dari 30% epidermis yang terkelupas (tanda Nikolsky positif).[13]

Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (Ritter disease)


Pada penyakit ini lesi kulit ditandai dengan krusta yang mengelupas pada
kulit. .[2] Biasanya mukosa jarang terkena.[12]

Etiologi

SSSS
Staphylococcus aureus,

NET
Obat
9

SSJ
Obat, infeksi,

infeksi mata, infeksi THT

Reaksi graft vs host

keganasan, post
vaksinasi, radiasi,

Pasien
Gejala klinis

Anak-anak, bayi < 5 tahun


Eritem muka, leher,
inguinal, axila (24 jam)
generalis (24-48 jam)

bula dinding kendur.


Epidermolisis
Nikolsky sign +
Mukosa jarang
PA : celah pada sratum
granulosum

Dewasa
Akut
Gejala prodormal
KU buruk
Eritem generalisata,
vesikel, bula, purpura
Kulit, mukosa bibirmulut, orifisium
genital
Epidermolisis +
Nikolsky sign +
PA : celah pada
subepidermal

makanan.
Dewasa, anak > 3 tahun
Gejala prodormal
Trias :
Kulit: eritem, vesikel,
bula dan purpura,
Mukosa:orifisium
mulut, faring, traktus
respiratorius,
esophagus
(pseudomembran)
Mata
Epidermolisis
Nikolsky sign
PA : kelainan dermis
sedikit sampai

Komplikasi

Selulitis, pneumonia,

Akut Tubular Nekrosis

nekrolisis epidermal
Bronkopneumonia

septikemia
Sumber : Buku Ajar Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Edisi 5, 2007. [12]

Eritema multiforme (EM)


Onset mendadak progresif cepat, distribusi simetris, mengenai kulit dan / atau
mukokutan, dengan perubahan warna konsentris dalam beberapa atau semua lesi. Lesi
menyebar secara sentripetal yaitu mengenai telapak tangan dan telapak kaki,
punggung tangan, dan permukaan ekstensor ekstremitas dan wajah. Pada keadaan
berat mengenai seluruh tubuh. [7]
Gejala prodromal terjadi pada 50% kasus, biasanya 1-14 hari sebelum lesi
kulit berkembang. Gejala berupa demam, malaise, mialgia, arthralgia, sakit kepala,
sakit tenggorokan, batuk, mual, muntah, dan diare. Timbul sensasi terbakar di daerah
yang terkena. [7]

10

Lesi berupa eritem, meluas menjadi makula atau papula berevolusi menjadi
lesi yang khas bentuk iris (target lesion), terdiri 3 bagian yaitu bagian tengah berupa
vesikel atau eritema keunguan dikelilingi lingkaran konsentris yang pucat kemudian
lingkaran yang merah. Vesikulobulosa berkembang dalam makula yang sudah ada
sebelumnya, papula, atau bercak. Keterlibatan mata terjadi pada 10% kasus EM,
konjungtivitis purulen kebanyakan bilateral dengan lakrimasi yang meningkat.
Membran mukosa terjadi pada sekitar 25% dari kasus EM, biasanya ringan, dan
biasanya melibatkan rongga mulut.[7]

Sumber:

http://www.ebmedicine.net/topics.php?

paction=showTopicSeg&topic_id=54&seg_id=1021 [9]
II.7. Komplikasi
Komplikasi tersering ialah bronkopneumonia, sekitar 16%. Komplikasi lain ialah
kehilangan cairan/ darah, gangguan keseimbangan elektrolit dan syok, pada mata dapat
terjadi ulserasi kornea, uveitis anterior, kebutaan karena gangguan lakrimasi.

[12]

Pada

gastroenterologi teriadi esofageal striktur, pada genitourinari dapat terjadi nekrosis tubular
ginjal, gagal ginjal, jaringan parut pada penis, vagina stenosis, dan pada kutaneus terdapat
jaringan parut dan deformitas kosmetik. Infeksi dapat kambuh karena penyembuhan ulserasi
yang lambat.[7]
II.8. Pengobatan

11

Pertama, dan paling penting adalah harus segera menghentikan penggunaan obat
penyebab yang dicurigai. Dengan tindakan ini, kita dapat mencegah keburukan. Orang
dengan SSJ biasanya dirawat inap.[2] Bila mungkin, pasien NET dirawat dalam unit rawat
luka bakar, dan kewaspadaan dilakukan secara ketat untuk menghindari infeksi. Pasien SSJ
biasanya dirawat di ICU. Perawatan membutuhkan pendekatan tim, yang melibatkan spesialis
luka bakar, penyakit dalam, mata, dan kulit. Cairan elektrolit dan makanan dengan kalori
tinggi harus diberi melalui infus untuk membantu pemulihan. Antibiotik diberikan bila
dibutuhkan untuk mencegah infeksi sekunder seperti sepsis.[2]
Ada keraguan mengenai penggunaan kortikosteroid untuk mengobati SSJ/NET.
Beberapa dokter berpendapat bahwa kortikosteroid dosis tinggi dalam beberapa hari pertama
memberi manfaat; yang lain beranggap bahwa obat ini sebaiknya tidak dipakai.[2] Obat ini
menekankan sistem kekebalan tubuh, yang meningkatkan risiko terjadinya infeksi yang
gawat, apalagi pada ODHA dengan sistem kekebalan yang sudah lemah.[2]
Pada umumnya penderita SSJ datang dengan keadaan umum berat sehingga terapi
yang diberikan biasanya adalah : [2]

Segera menghentikan penggunaan obat penyebab yang dicurigai. [2]

Kortikosteroid parenteral: deksamentason dosis awal 1mg/kg BB bolus, kemudian


selama 3 hari 0,2-0,5 mg/kg BB tiap 6 jam. Penggunaan steroid sistemik masih
kontroversi, ada yang mengganggap bahwa penggunaan steroid sistemik pada anak
bisa menyebabkan penyembuhan yang lambat dan efek samping yang signifikan,
namun ada juga yang menganggap steroid menguntungkan dan menyelamatkan

nyawa. [2]
Antibiotik spektrum luas, selanjutnya berdasarkan hasil biakan dan uji resistensi
kuman dari sediaan lesi kulit dan darah. Antibiotika yang diberikan jarang
menimbulkan alergi,

berspektrum luas, bersifat bakterisidal dan tidak bersifat

nefrotoksik, misalnya klindamisin intravena 8-16 mg/kg/hari intravena, diberikan 2


kali/hari. Selain itu obat lain juga dapat digunakan misalnya siprofloksasin 2 x 400

mg iv dan seftriakson 2 g iv sehari. [2]


Antihistamin bila perlu. Terutama bila ada rasa gatal. Feniramin hidrogen
maleat(Avil) dapat diberikan dengan dosis untuk usia 1-3 tahun 7,5 mg/dosis, untuk
usia 3-12 tahun 15 mg/dosis, diberikan 3 kali/hari. Sedangkan untuk cetirizin dapat
diberikan dosis untuk usia anak 2-5 tahun : 2.5 mg/dosis,1 kali/hari, > 6 tahun : 5-10
mg/dosis, 1 kali/hari. [2]

12

Pada SSJ yang berat diiberikan terapi cairan dan elektrolit, serta diet tinggi kalori dan
protein secara parenteral. Dapat diberikan infus, misalnya dekstrose 5%, Nacl 9%,

dan Ringer laktat berbanding 1:1:1 dalam satu labu, setiap 8 jam.[12]
Bula di kulit dirawat dengan kompres basah larutan Burowi.[3]
Pada daerah erosi dan ekskoriasi dapat diberikan krim sulfodiazin perak.[12]

Pada kasus purpura yang luas dapat pula ditambahkan vitamin C 500 mg atau 1000
mg iv sehari.[12]

Lesi mulut diberi kenalog in orabase, betadine gargle, dan untuk bibir yang
kelainannya berupa krusta tebal kehitaman dapat diberikan emolien misalnya krim
urea 10%.[12]

Pemberian obat tetes mata baik antibiotik maupun yang bersifat garam fisiologis
setiap 2 jam, untuk mencegah timbulnya infeksi sekunder dan terjadinya kekeringan

pada bola mata.[2]


Pemberian obat salep dapat diberikan pada malam hari untuk mencegah terjadinya

perlekatan konjungtiva.[2]
Intravena Imunoglobulin (IVIG). Dengan dosis 0,2-0,75 g / kg berat badan per hari
selama empat hari berturut-turut. Pemberian IVIG akan menghambat reseptor FAS
dalam proses kematian keratinosit yang dimediasi FAS.[14]

Transfusi darah 300 cc selama 2 hari jika tidak ada perbaikan dalam 2 hari.[13]
Efek transfusi darah (whole blood) ialah imunorestorasi. Bila terdapat leukopenia
prognosisnya menjadi buruk, setelah pemberian transfusi leukosit cepat menjadi
normal. Selain itu darah juga mengandung banyak sitokin dan leukosit, jadi
meningkatkan daya tahan tubuh.[12]
Indikasi pemberian transfusi darah pada SSJ dan NET ialah :[12]
-

Bila telah diobati dengan dosis adekuat setelah 2 hari belum ada perbaikan.

Bila terdapat purpura generalisata

Jika terdapat leukopenia

Setelah sembuh dari SSJ tidak boleh menggunakan kembali agen atau senyawa yang
penyebab. Obat dari kelas farmakologis yang sama dapat digunakan asalkan obat tersebut
secara struktural berbeda dengan obat penyebabnya. [7] Karena faktor genetik diduga berperan
dalam kerusakan kulit dan timbulnya lepuh akibat obat, sehingga obat yang dicurigai tidak

13

boleh digunakan dalam darah pasien. Tidak ada statistik khusus tentang risiko penggunaan
ulang obat yang salah atau kemungkinan desensitisasi pada pasien dengan SSJ.[7]
II.9. Konsultasi
Konsultasi ke bagian oftalmologi untuk kelainan pada mata. Biasanya dokter mata
memberikan airmata artifisial, atau gentamisin tetes mata bila ada dugaan infeksi sekunder.
Secara rutin pasien juga kita konsultasi ke bagian kulit dan kelamin untuk perawatan yang
komprehensif. Konsultasi ke bagian bedah plastik sehubungan dengan perawatan lesi kulit
terbuka yang biasanya dirawat sebagaimana luka bakar.
II.10. Prognosis
SSJ adalah penyakit dengan morbiditas yang tinggi, yang berpotensi mengancam
nyawa. Tingkat mortalitas adalah 5%, jika ditangani dengan cepat dan tepat, maka prognosis
cukup memuaskan.[4]
Lesi biasanya akan sembuh dalam 1-2 minggu, kecuali bila terjadi infeksi sekunder.
Sebagian besar pasien sembuh tanpa gejala sisa.[7]
Bila terdapat purpura yang luas dan leukopenia prognosisnya lebih buruk. Pada
keadaan umum yang buruk dan terdapat bronkopneumonia, dapat menyebabkan
[12]

kematian.

Pengembangan gejala sisa yang serius, seperti kegagalan pernafasan, gagal ginjal, dan

kebutaan, menentukan prognosis.[7] Sampai dengan 15% dari semua pasien dengan sindrom
Stevens-Johnson (SSJ) meninggal akibat kondisi ini. Bakteremia dan sepsis meningkatkan
resiko kematian.[7]
Nilai SCORTEN merupakan sejumlah variable yang digunakan untuk meramalkan
faktor risiko terjadinya kematian pada SSJ dan dan juga pada TEN.[7]
Skor SCORTEN

Faktor prognosis
Umur > 40 tahun

Skor mortalitas
SCORTEN 0-1 > 3.2%

Keganasan

SCORTEN 2 > 12.1%

Denyut jantung > 120 x/menit

SCORTEN 3 > 35,3%

Persentase detasemen epidermis >

SCORTEN 4 > 58.3%

SCORTEN 5 atau lebih > 90%

10%

BUN level >10 mmol/L

14

Kadar glukosa serum > 14 mmol / L

Kadar bikarbonat < 20 mmol / L

BAB III
KESIMPULAN

Sindrom Steven-Johnson (SSJ) merupakan suatu kumpulan gejala klinis erupsi


mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit, mukosa orifisium serta mata
disertai gejala umum yang bervariasi dari ringan sampai berat. Etiologi SSJ sukar ditentukan
dengan pasti, pada umumnya sering berkaitan dengan respon imun terhadap obat yang paling
sering adalah oxicam NSAID, sulfonamide, fenitoin, dan penisilin. Patogenesis SSJ sampai
saat ini belum jelas walaupun sering dihubungkan dengan reaksi hipersensitivitas tipe III dan
reaksi hipersensitivitas tipe IV.
SSJ menyebabkan pengelupasan kulit kurang dari 10% permukaan tubuh, pada
selaput lendir dapat menimbulkan krusta kehitaman, dan pada mata menyebabkan
konjungtivitis purulenta. Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang khas untuk mendiagnosis
SSJ kecuali pemeriksaan histopatologis. Diagnosis banding dari Sindrom Steven Johnson

15

yaitu Nekrolisis Epidermal Toksik, Staphylococcal Scalded Skin Syndrom, dan Eritema
Multiforme. Dan komplikasi pada SSJ yang paling sering terjadi adalah bronkopneumonia.
Penanganan Sindrom Steven Johnson dilakukan dengan menghentikan obat
penyebab, memberi terapi cairan dan elektrolit, serta kalori dan protein secara parenteral pada
penderita dengan keadaan umum berat. Penggunaan steroid sistemik masih kontroversi. IVIG
dapat diberikan untuk mencegah kerusakan kulit yang lebih lanjut dan antibiotik spektrum
luas untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder.
SSJ adalah penyakit dengan morbiditas yang tinggi, yang berpotensi mengancam
nyawa. Jika ditangani dengan cepat dan tepat, maka prognosis cukup memuaskan. Pada kasus
ini tingkat mortalitas dapat ditentukan dengan nilai SCORTEN.

DAFTAR PUSTAKA

1. Staff mayo clinic : Stevens-Johnson syndrome. Diakses tanggal : 30 Mei 2010. Diunduh
dari : http://www. mayoclinic.com/health/Stevens-johnson-syndrome/ds0094
2. Allan, dr. : Referat sindrom stevens Johnson. Diakses tanggal : 30 Mei 2010. Diunduh
dari : http://www.scribd.com/doc/16796718/Referat-Steven-Johnson
3. Anonym. Diakses tanggal : 1 Juni 2010. Diunduh dari : http://hajaddb.co.cc/sindromstevens-johnson-ssj
4. Wikipedia : Stevens-Johnson syndrome. Direvisi terakhir : 28 Mei 2010. Diakses
tanggal : 31 Mei 2010. Diunduh dari : http://en.wikipedia.org/wiki/Stevens
%E2%80%93Johnson_syndrome
5. Mansjoer, A. Suprohaita. Wardhani, WI. Setiowulan, W. Erupsi Alergi Obat. Kapita
Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jilid 2. Media Aesculapius. Jakarta 2002 : 136-138.
16

6. Anonym. Diakses tanggal 30 Mei 2010. Diunduh dari :


http://www.dermis.net/dermisroot/en/30254/diagnose.htm
7. Parrillo J Steven, DO, FACOEP, FACEP : Stevens-Johnson Syndrome. Direvisi terakhir
25 Mei 2010. Di akses tanggal : 30 Mei 2010. Diunduh dari :
http://emedicine.medscape.com/article/756523-overview
8. Yusra Pintaningrum, Ari Baskoro, Agung Pranoto : Penatalaksanaan penderita Sindroma
Stevens-Johnson dan Toxic Necrolysis Epidermal. Dikutip tanggal :31 Mei 2010.
Diunduh dari : http://arekkardiounair.blogspot.com/2008/09/penatalaksanaan-seorangpenderita.html
9. Anonym. Diakses tanggal : 10 Juni 2010. Diunduh dari :
http://www.ebmedicine.net/topics.php?paction=showTopicSeg&topic_id=54&seg
id=1021
10. Lee A, Thomson J. Drug-induced skin. In: Adverse Drug Reactions, 2nd ed.
Pharmaceutical Press. 2006. Diakses tanggal : 1 Juni 2010. Diunduh dari :
http://drugsafety.adisonline.com/pt/re/drs/pdf
11. Ariyanto Harsono, Anang Endaryanto : Sindrom stevens Johnson. Diakses tanggal : 30
Mei 2010. Diunduh dari : http://ummusalma.wordpress.com/2007/02/17/sindrom-stevenjohnson/#more-34
12. Djuanda, A. Hamzah, M. Sindrom Stevens Johnson. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.
Edisi 5. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta 2007 : 163166.
13. Peter C. Schalock, MD : Stevens-Johnson Syndrome (SJS) and Necrolysis Epidermal
Toxic. The merck manual. 2006. Dikutip tanggal : 30 Mei 2010. Diunduh dari :
http://www.merck.com/mmhe/sec18/ch203/ch203e.html
14. Pierre-Dominique Ghislain MD, Jean-Claude Roujeau MD : Pengobatan reaksi obat yang
parah: Stevens-Johnson Syndrome, Toxic epidermal dan sindrom hipersensitif Necrolysis.
Dermatology Online Journal 8(1): 5. 2002. Dikutip tanggal : 30 Mei 2010. Diunduh dari :
http://dermatology.cdlib.org/DOJvol8num1/reviews/drugrxn/ghislain.html

17

Anda mungkin juga menyukai