Anda di halaman 1dari 38

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Pembangunan ekonomi merupakan proses multidimensional yang mencakup
berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat dan
institusi - institusi Nasional, disamping tetap mengejar akselerasi pertumbuhan
ekonomi, penanganan ketimpangan pendapatan, serta pengentasan kemiskinan.
Pembangunan ekonomi memiliki tiga tujuan inti antara lain peningkatan
ketersediaan serta perluasan distribusi berbagai barang kebutuhan hidup,
peningkatan standar hidup (pendapatan, penyediaan lapangan kerja, perbaikan
kualitas pendidikan, peningkatan perhatian atas nilai-nilai kultural dan
kemanusiaan) dan perluasan pilihan-pilihan ekonomis dan sosial (Todaro, 2006).
Salah satu indikator untuk menilai keberhasilan dari pembangunan ekonomi
suatu negara adalah dilihat dari kesempatan kerja yang diciptakan dari
pembangunan

ekonomi.

Namun,

upaya

untuk

mengentaskan

masalah

pengangguran masih belum berhasil. Perluasan penyerapan tenaga kerja


diperlukan untuk mengimbangi laju pertumbuhan penduduk usia muda yang
masuk ke pasar tenaga kerja. Ketidak seimbangan antara pertumbuhan angkatan
kerja dan penciptaan lapangan kerja akan menyebabkan tingginya angka
pengangguran.

Kemudian,

meningkatnya

angka

pengangguran

akan

mengakibatkan pemborosan sumber daya dan potensi angkatan kerja yang ada,
meningkatnya beban masyarakat, merupakan sumber utama kemiskinan dan
mendorong

terjadinya

peningkatan

keresahan

sosial,

serta

manghambat

pembangunan ekonomi dalam jangka panjang (Depnakertrans, 2004).


Menurut Kusumosuwidho (1981), kegiatan ekonomi harus tumbuh dan
berkembang lebih cepat dari pertambahan jumlah orang yang mencari pekerjaan.
Keadaan ini sangat diperlukan untuk memperkecil tingkat pengangguran terbuka
(open employment).
1

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Provinsi Banten pada tahun


2007, sebanyak 31.573 penduduk Cilegon menganggur dari jumlah penduduk
338.027 jiwa. Pada tahun 2008 jumlah penduduk 343.599 jiwa, 29.171 jiwa
adalah penganggura. pada tahun 2009 jumlah pengangguran 29.22 jiwa dari
jumlah penduduk 349.162 jiwa, pada tahun 2010 sebanyak 37.397 jiwa adalah
pengangguran dari jumlah penduduk 374.559 jiwa. Tahun 2011, jumlah penduduk
Kota Cilegon 374.559 jiwa, 24.426 jiwa adalah pengangguran.
Pertumbuhan ekonomi daerah yang dicerminkan oleh laju pertumbuhan
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yang diharapkan dapat menciptakan
lapangan kerja baru ternyata tidak mampu merealisasikan harapan. Tambahan
tenaga kerja yang terserap relatif kecil. Angka penganguran masih saja tinggi. Hal
ini terjadi antara lain karena adanya pengaruh serikat kerja dan intervensi
pemerintah dalam penentuan upah minimum. Sebab lain adalah banyaknya
pencari kerja dengan tingkat pendidikan tertentu tidak sesuai dengan yang
dibutuhkan pasar kerja.Kondisi

yang

ideal

dari

pertumbuhan

ekonomi

terhadap pertumbuhan tenaga kerja adalah ketika pertumbuhan ekonomi mampu


menambah penggunaan tenaga kerja secara lebih besar (Dimas, 2009).
1.2 Rumusan Masalah
Penyerapan

tenaga

kerja

merupakan

suatu

kondisi

adanya

permintaan tenaga kerja yang tercermin dari tersedianya lapangan kerja


sehingga penduduk yang bersedia dan mampu bekerja dapat memperoleh
pekerjaan. peningkatan penyerapan tenaga kerja dapat mengurangi tingkat
pengangguran.
Perekonomian Kota Cilegon belum mampu memperluas lapangan kerja,
hal ini ditunjukkan dengan lebih besarnya jumlah angkatan kerja daripada jumlah
kesempatan kerja pada sector formal. Kondisi ini berimplikasi pada tingginya
tingkat pengangguran, yakni rata-rata mencapai 17 persen per tahun sejak tahun
2007 hingga 2011. Angka ini jauh lebih besar dibandingkan dengan tingkat
pengangguran normal yang sebesar 4 persen, yakni jumlah pengangguran yang
2

wajar terjadi dalam perekonomian. Oleh karena itu, perlu dianalisis lebih lanjut
mengenai penyerapan tenaga kerja di Kota Cilegon.
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan dari penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Untuk menganalisis penyerapan tenaga kerja di sektor industri maupun
sektor perdagangan di Kota Cilegon.
2. Untuk merumuskan kebijakan yang terkait dengan penyerapan tenaga
kerja di Kota Cilegon.
1.3.2 Manfaat Penelitian
Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Menjadi

masukan

atau

input

bagi

pengambil

keputusan

dan

instansiinstansi terkait dalam perumusan kebijakan yang menyangkut


perluasan penyerapan tenaga kerja dan pengurangan pengangguran di Kota
Cilegon.
2. Memberi referensi dan gambaran yang mungkin akan berguna dikalangan
akademis fakultas ekonomi dalam melanjutkan penelitian yang sejenis
yang berkaitan dengan penelitian ini.
3. Sebagai bahan ilmu pengetahuan dan menambah wawasan bagi penulis.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori


2.1.1 Tenaga Kerja
Menurut Badan Pusat Statistik, Tenaga Kerja adalah penduduk usia kerja
(15 tahun atau lebih) yang bekerja atau punya pekerjaan namun sementara tidak
bekerja, dan yang sedang mencari pekerjaan.
Berdasarkan UU No. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, yang
disebut tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna
menghasilkan barang dan jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun
untuk masyarakat.
Menurut Simanjuntak (1998), tenaga kerja mencakup penduduk yang
sudah atau sedang bekerja, yang sedang mencari pekerjaan dan yang melakukan
kegiatan lain seperti bersekolah dan mengurus rumah tangga. Pencari kerja,
bersekolah, dan mengurus rumah tangga walaupun tidak bekerja, tetapi mereka
secara fisik mampu dan sewaktu-waktu dapat ikut bekerja. Mulyadi (2003)
menyatakan bahwa tenaga kerja adalah penduduk dalam usia kerja (berusia 15-64
tahun) atau jumlah penduduk dalam suatu negara yang dapat memproduksi barang
dan jasa jika ada permintaan terhadap tenaga kerja mereka dan jika mereka mau
berpartisipasi dalam aktifitas tersebut.
Pengertian tenaga kerja dan bukan tenaga kerja dibedakan hanya oleh
batas umur. Pada awalnya batasan umur penggolongan tenaga kerja di Indonesia
sejak tahun 1971 adalah bilamana seseorang sudah berumur 10 tahun atau lebih.
Pemilihan batasan umur ini berdasarkan kenyataan bahwa dalam umur tersebut
sudah banyak penduduk bekerja atau mencari pekerjaan. Dengan bertambahnya
kegiatan pendidikan dan penetapan kebijakan wajib belajar 9 tahun, maka jumlah
penduduk dalam usia sekolah yang bekerja berkurang. Oleh karena itu, semenjak
dilaksanakan SAKERNAS (Survei Angkatan Kerja Nasional) tahun 2001, batas
umur penggolongan kerja yang semula 10 tahun atau lebih dirubah menjadi 15
tahun atau lebih. Indonesia tidak menggunakan batas umur maksimum dalam
4

pengelompokkan usia kerja karena belum mempunyai jaminan sosial nasional.


Hanya sebagian kecil penduduk Indonesia yang menerima tunjangan di hari tua,
yaitu pegawai negeri dan sebagian kecil pegawai perusahaan swasta.
Tenaga kerja merupakan penduduk yang berumur didalam batas usia kerja.
Tenaga kerja dibagi dalam dua kelompok yaitu angkatan kerja dan bukan
angkatan kerja. Angkatan kerja adalah penduduk dalam usia kerja yang terlibat
atau berusaha untuk terlibat dalam kegiatan produktif yaitu memproduksi barang
dan jasa. Angkatan kerja terdiri dari golongan bekerja serta golongan menganggur
dan mencari pekerjaan.
Bukan angkatan kerja adalah penduduk dalam usia kerja yang tidak
bekerja, tidak mempunyai pekerjaan dan sedang tidak mencari pekerjaan. Bukan
angkatan kerja terdiri dari golongan yang bersekolah, golongan yang mengurus
rumah tangga dan golongan lain-lain atau penerima pendapatan. Ketiga golongan
dalam kelompok ini sewaktu-waktu dapat menawarkan jasanya untuk bekerja.
Oleh sebab itu, kelompok ini sering juga dinamakan sebagai angkatan kerja
potensial (potensial labor force).
Angkatan kerja dalam suatu perekonomian digambarkan sebagai
penawaran tenaga kerja yang tersedia dalam pasar tenaga kerja. Angkatan kerja
dibedakan menjadi dua subkelompok yaitu pekerja dan penganggur. Pekerja
adalah orangorang yang bekerja, mencakup orang yang mempunyai pekerjaan dan
memang sedang bekerja serta orang yang mempunyai pekerjaan namun untuk
sementara waktu sedang tidak bekerja. Dikategorikan sebagai pekerja apabila
waktu minimum bekerja yaitu selama satu jam selama seminggu yang lalu untuk
kegiatan produktif sebelum pencacahan dilakukan. Adapun yang dimaksud
dengan penganggur adalah orang yang tidak mempunyai pekerjaan atau berusaha
mencari kerja dan belum bekerja minimal satu jam selama seminggu yang lalu
sebelum dilakukan pencacahan.
Golongan bekerja dibedakan pula menjadi dua dua subkelompok yaitu
bekerja penuh dan setengah pengangguran. Menurut pendekatan pemanfaatan
tenaga kerja, bekerja penuh adalah pemanfaatan tenaga kerja secara optimal dari
segi jam kerja maupun keahlian. Sedangkan setengah menganggur adalah mereka
5

yang kurang dimanfaatkan dalam bekerja diukur dari segi jam kerja, produktivitas
tenaga kerja dan penghasilan yang diperoleh.
Pengangguran adalah bagian dari angkatan kerja yang sekarang ini tidak
bekerja dan sedang aktif mencari pekerjaan. Banyak sedikitnya pengangguran
dapat mencerminkan baik buruknya suatu perekonomian. Indeks yang dipakai
adalah tingkat pengangguran yang merupakan persentase jumlah orang yang
sedang mencari pekerjaan terhadap jumlah orang yang menawarkan tenaga
kerjanya (Kusumosuwidho, 1981). Menurut Dimas dan Nenik Woyanti (2009),
pengangguran

masih

dikategorikan

wajar

atau

normal

selama

indeks

pengangguran masih dibawah 4%. Indeks pengangguran dapat dirumuskan


sebagai berikut:

IP=

x 100%

Menurut Mankiw (2003), ada dua alasan penyebab adanya pengangguran.


Pertama, dibutuhkannya waktu untuk mencocokkan antara para pekerja dengan
pekerjaan (pengangguran friksional). Alasan kedua yaitu gagalnya upah
melakukan penyesuaian sampai suatu kondisi dimana penawaran kerja sama
dengan permintaannya, sehingga terjadi ketidak seimbangan dalam pasar tenaga
kerja.
2.1.1.1 Penyerapan Tenaga Kerja

Penyerapan tenaga kerja adalah banyaknya lapangan kerja yang sudah


terisi yang tercermin dari banyaknya jumlah penduduk bekerja. Penduduk yang
bekerja terserap dan tersebar di berbagai sektor perekonomian. Terserapnya
penduduk bekerja disebabkan oleh adanya permintaan akan tenaga kerja. Oleh
karena itu, penyerapan tenaga kerja dapat dikatakan sebagai permintaan tenaga
kerja (Kuncoro, 2002).

2.1.1.2 Permintaan Tenaga Kerja


Permintaan adalah

suatu

hubungan antar

harga

dan

kuantitas.

Sehubungan dengan tenaga kerja, permintaan tenaga kerja adalah hubungan


antar tingkat upah (harga tenaga kerja) dan kuantitas tenaga kerja yang
dikehendaki untuk dipekerjakan dalam jangka waktu tertentu.
Permintaan perusahaan terhadap tenaga kerja berbeda dengan permintaan
konsumen terhadap barang dan jasa. Orang membeli barang karena barang itu
memberikan nikmat (utility) kepada si pembeli. Sementara pengusaha
mempekerjakan seseorang karena membantu memproduksikan barang atau
jasa untuk dijual kepada konsumen. Oleh karena itu, kenaikan permintaan
perusahaan terhadap tenaga kerja tergantung dari kenaikan permintaan
masyarakat akan barang yang diproduksinya. Permintaan akan tenaga kerja yang
seperti itu disebut derived demand (Simanjuntak, 1998).
Permintaan tenaga kerja berkaitan dengan jumlah tenaga kerja yang
dibutuhkan oleh perusahan atau instansi tertentu, dimana keuntungan usaha yang
didapat akan memberikan hasil yang maksimum. Secara umum permintaan
tenaga kerja dipengaruhi oleh:
1. Perubahan tingkat upah
Perubahan tingkat upah akan mempengaruhi tinggi rendahnya biaya
produksi perusahaan. Apabila digunakan asumsi tingkat upah naik maka akan
terjadi hal-hal sebagai berikut:
a. Naiknya tingkat upah akan menaikkan biaya produksi perusahaan,
selanjutnya akan meningkatkan pula harga per unit produksi. Biasanya
konsumen akan memberikan respon yang cepat apabila terjadi
kenaikan harga barang, yaitu mengurangi konsumsi atau bahkan
tidak membeli sama sekali (untuk barang sekunder dan tersier). Dalam
jangka pendek kenaikan upah diantisipasi perusahaan dengan mengurangi
produksinya. Turunnya target produksi mengakibatkan bekurangnya
tenaga kerja yang dibutuhkan.

Penurunan

jumlah

tenaga

kerja

karena turunnya skala produksi disebut dengan efek skala produksi atau
7

scale effect.
b. Kenaikan tingkat upah dalam jangka panjang akan direspon oleh
perusahaan dengan penyesuaian terhadap input yang digunakan.
Perusahaan akan menggunakan teknologi padat modal untuk proses
produksinya dan menggantikan tenaga kerja dengan barang-barang
modal seperti mesin dan lain-lain. Kondisi ini terjadi bila tingkat
upah naik dengan asumsi harga barang-barang modal lainnya tetap.
Penurunan penggunaan jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan karena
adanya penggantian atau penambahan penggunaan mesin-mesin disebut
efek substitusi tenaga kerja atau substitution effect (capital intensive).

Dampak kenaikkan tingkat upah terhadap permintaan tenaga kerja


dalam jangka pendek maupun jangka panjang ditunjukkan oleh Gambar 2.2.

Gambar 2.2 menjelaskan bahwa kenaikkan upah akan mendapatkan respon yang
berbeda pada permintaan tenaga kerja dalam jangka pendek dan jangka panjang.
8

Kurva permintaan tenaga kerja dalam jangka panjang lebih landai atau elastis
daripada kurva permintaan tenaga kerja dalam jangka pendek. Hal ini
disebabkan karena dalam jangka panjang kenaikan upah akan disikapi
perusahaan dengan mengkombinasikan penggunaan modal dan tenaga kerja yang
memberikan biaya yang paling rendah. Oleh karena itu, perusahaan akan
mengurangi penggunaan tenaga kerja sehubungan dengan upah tenaga kerja
yang naik dan perusahaan akan menambah modal untuk mengimbangi
pengurangan penggunaan tenaga kerja tersebut.

a. Perubahan permintaan hasil produksi oleh konsumen


Apabila permintaan akan hasil produksi perusahaan meningkat, perusahaan
cenderung untuk menambah kapasitas produksinya. Untuk maksud tersebut
perusahaan akan menambah penggunaan tenaga kerjanya.
b. Harga barang modal turun
Apabila harga barang modal turun, maka biaya produksi turun dan tentunya
mengakibatkan harga jual barang per unit ikut turun. Pada keadaan ini
perusahaan akan cenderung meningkatkan produksi karena permintaan hasil
produksi bertambah besar, akibatnya permintaan tenaga kerja meningkat pula.

2.1.1.3 Pasar Tenaga Kerja

Menurut Simanjuntak (1998), pasar kerja adalah seluruh aktivitas dan


pelaku-pelaku yang mempertemukan pencari kerja dan lowongan kerja. Pasar
tenaga kerja dibutuhkan karena dalam kenyataannya terdapat banyak perbedaanperbedaan di kalangan pencari kerja dan di antara lowongan kerja. Perbedaanperbadaan tersebut antara lain:
a. Pencari kerja mempunyai tingkat pendidikan, keterampilan, kemampuan
dan sikap pribadi yang berbeda.
9

b. Setiap perusahaan menghadapi lingkungan yang berbeda: luaran (output),


masukan (input), manajamen, teknologi, lokasi, pasar, dll, sehingga
mempunyai kemampuan yang berbeda dalam memberikan tingkat upah,
jaminan sosial dan lingkungan pekerjaan.
Baik

pengusaha

maupun

pencari

kerja

sama-sama

mempunyai

informasi yang terbatas mengenai hal-hal yang dikemukakan dalam butir (a) dan
(b). Keseimbangan antara permintaan dan penawaran tenaga kerja akan terjadi
apabila pencari kerja menerima pekerjaan yang ditawarkan pada tingkat
upah tertentu (W0) dan perusahaan bersedia mempekerjakan tenaga kerja pada
tingkat upah itu pula. Pada titik keseimbangan E, kedua pihak (pencari kerja dan
perusahaan) memiliki nilai kepuasan yang sama, dan pada tingkat upah W0
banyaknya tenaga kerja yang diminta maupun yang ditawarkan adalah seimbang,
yaitu sama dengan L0. Titik keseimbangan E akan akan berubah apabila
terjadi gangguan dipasar tenaga kerja sehingga mempengaruhi pergeseran kurva
permintaan atau penawaran tenaga kerja.

2.1.2 Teori UpahMinimum


Upah menurut Tjiptoherijanto (1990) adalah suatu penerimaan sebagai
imbalan dari pengusaha kepada pekerja untuk suatu pekerjaan atau jasa yang
telah atau akan dilakukan dan dinyatakan atau dinilai dalam bentuk uang
yang ditetapkan atas dasar suatu persetujuan atau peraturan perundangundangan serta dibayarkan atas dasar suatu perjanjian kerja antara pengusaha
dengan pekerja termasuk tunjangan, baik untuk pekerja sendiri maupun
untuk keluarganya.
Dalam persaingan murni pasar tenaga kerja, tingkat upah ditentukan
oleh kekuatan pasar, sehingga seorang pekerja akan menerima upah berdasarkan
kekuatan permintaan dan penawaran tenaga kerja dalam pasar tenaga kerja.
Namun, dalam kenyataannya tingkat upah sangat bervariasi. Hal ini
disebabkan antara lain oleh (Kertonogoro, 2001):
a. Penawar atau peminta tenaga kerja mempunyai kekuatan lebih

10

di pasar tenaga kerja, sehingga ikut mempengaruhi upah (bukan


price taker).
b. Berbagai intervensi yang dilakukan di pasar tenaga kerja oleh
pemerintah, serikat pekerja dan pengusaha.
c. Faktor-faktor non moneter seperti lokasi pekerjaan dan kondisi kerja
(risiko, keselamatan dan kesehatan).

d.

Diskriminasi baik secara aktual maupun yang siprepsesikan


berdasarkan gender, umur, ras dan suku baik secara nyata maupun
secara teresembunyi. Upah

minimum

adalah

upah

yang

ditetapkan secara minimum regional, sektoral regional maupun


sub sektoral. Dalam hal ini upah minimum adalah upah pokok dan
tunjangan. Upah minimum ditetapkan berdasarkan persetujuan
dewan pengupahan yang terdiri dari pemerintah, pengusaha dan
serikat pekerja. Tujuan dari
adalah
dapat

untuk

memenuhi

mengangkat

derajat

ditetapkannya
standar

upah

minimum

hidup minimum sehingga

penduduk

berpendapatan

rendah

(Tjiptoherijanto, 1990).
Kebijakan upah minimum di Indonesia tertuang dalam Peraturan Menteri Tenaga
Kerja Nomor : Per-01/Men/1999 dan UU Ketenagakerjaan No. 13 tahun 2003.
Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja
Nomor : Per-01/Men/1999 tentang Upah Minimum adalah upah bulanan
terendah yang terdiri dari upah pokok termasuk tunjangan tetap. Yang dimaksud
dengan tunjangan tetap adalah suatu jumlah imbalan yang diterima pekerja
secara tetap dan teratur pembayarannya, yang tidak dikaitkan dengan kehadiran
ataupun pencapaian prestasi tertentu. Tujuan dari penetapan upah minimum
adalah untuk mewujudkan penghasilan yang layak bagi pekerja. Beberapa hal
yang menjadi bahan pertimbangan termasuk meningkatkan kesejahteraan para
pekerja tanpa menafikkan produktifitas perusahaan dan kemajuannya, termasuk
juga pertimbangan mengenai kondisi ekonomi secara umum.
Secara empiris ada tiga komponen yang dianggap mempengaruhi
11

besarnya upah minimum, yaitu (Tjiptoherijanto, 1990):


a. Kebutuhan Fisik Minimum
Adalah kebutuhan pokok seseorang yang diperlukan untuk mempertahankan
kondisi fisik dan mentalnya agar dapat menjalankan fungsinya sebagai salah
satu faktor produksi. Kebutuhan ini merupakan kebutuhan yang minimum
baik ditinjau dari segi jumlah maupun dari segi mutu barang dan jasa yang
dibutuhkan, sehingga merupakan kebutuhan yang tidak dapat dihindari atau
dikurangi lagi seperti makan, minum, bahan bakar, perumahan, pakaian, dll.
b. Indeks Harga Konsumen
Merupakan petunjuk mengenai naik turunnya harga kebutuhan hidup.
Naiknya harga kebutuhan hidup ini secara tidak langsung mencerminkan
tingkat inflasi. Data IHK mencakup 160 macam barang yang dibagi menjadi
empat kelompok pengeluaran, yaitu: makanan, sandang, perumahan dan
aneka.
c. Pertumbuhan Ekonomi Daerah
Pertumbuhan ekonomi suatu daerah mencerminkan keadaan perekonomian
di

suatu

daerah.

Keadaan

perekonomian

ini

akan

mempengaruhi

pertumbuhan dan kondisi perusahaan yang beroperasi didaerah yang


bersangkutan. Semakin tinggi tingkat pertumbuhan perekonomian di sutu
daerah, maka semakin besar pula kesempatan berkembang bagi perusahaanperusahaan yang beroperasi di daerah tersebut.
2.1.3 PDRB
PDRB merupakan penjumlahan nilai output bersih perekonomian yang
ditimbulkan oleh seluruh kegiatan ekonomi di suatu wilayah tertentu (provinsi dan
kabupaten /kota), dan dalam satu kurun waktu tertentu (satu tahun kelender).
Kegiatan ekonomi yang dimaksud kegiatan pertanian, pertambangan, industri
pengolahan, sampai dengan jasa.
Dalam penghitungannya, untuk menghindari hitung ganda, nilai output
bersih diberi nama secara spesifik, yaitu nilai tambah (value added). Demikian
12

juga, harga yang digunakan dalam perhitungan ini adalah harga produsen.
Penilaian pada harga konsumen akan menghilangkan PDRB subsektor
perdagangan dan sebagian subsektor pengangkutan.
2.1.3.1 Penghitungan PDRB
Hasil penghitungan PDRB disajikan menjadi dua bagian yaitu
1. PDRB Atas Harga Berlaku, dan
2. PDRB Atas Harga Konstan Tahun 2000.
1. Penghitungan Atas Dasar Harga Berlaku
PDRB atas dasar harga berlaku merupakan jumlah seluruh NTB atau nilai
barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh unit-unit produksi dalam suatu periode
tertentu, biasanya satu tahun, yang dinilai dengan harga tahun yang bersangkutan.
NTB atas dasar harga berlaku yang didapat dari pengurangan NPB/Output
dengan biaya antara masing-masing dinilai atas dasar harga berlaku. NTB
menggambarkan perubahan volume/kuantum produksi yang dihasilkan dan
tingkat perubahan harga dari masing-masing kegiatan, subsektor, dan sektor.
Mengingat sifat barang dan jasa yang dihasilkan oleh setiap sektor, maka
penilaian NPB/Output dilakukan sebagai berikut :
1. Untuk sektor primer yang produksinya bisa diperoleh secara langsung dari
alam seperti pertanian, pertambangan dan penggalian, pertama kali dicari
kuantum produksi dengan satuan standar yang biasa digunakan. Setelah itu
ditentukan kualitas dari jenis barang yang dihasilkan. Satuan dan kualitas
yang dipergunakan tidak selalu sama antara satu kabupaten/ kota dengan
kabupaten/kota lainnya. Selain itu diperlukan juga data harga per unit/satuan
dari barang yang dihasilkan. Harga yang dipergunakan adalah harga
produsen, yaitu harga yang diterima oleh produsen atau harga yang terjadi
pada transaksi pertama antara produsen dengan pembeli/konsumen.
NPB/Output atas dasar harga berlaku merupakan perkalian antara kuantum
13

produksi dengan harga masing-masing komoditi

pada tahun yang

bersangkutan. Selain menghitung nilai produksi utama, dihitung pula nilai


produksi ikutan yang dihasilkan dengan anggapan mempunyai nilai ekonomi.
Produksi ikutan yang dimaksudkan adalah produksi ikutan yang benar-benar
dihasilkan sehubungan dengan proses produksi utamanya.
2. Untuk sektor sekunder yang terdiri dari sektor industri pengolahan, listrik, gas
dan air minum, dan sektor konstruksi, penghitungannya sama dengan sektor
primer. Data yang diperlukan adalah kuantum produksi yang dihasilkan serta
harga produsen masing-masing kegiatan, subsektor dan sektor yang
bersangkutan. NPB/Output atas dasar harga berlaku merupakan perkalian
antara kuantum produksi dengan harga masing-masing komoditi pada tahun
yang bersangkutan. Selain itu dihitung juga produksi jasa yang digunakan
sebagai pelengkap dan tergabung menjadi satu kesatuan usaha dengan
produksi utamanya.
3. Untuk sektor-sektor yang secara umum produksinya berupa jasa seperti sektor
perdagangan,restoran dan hotel; pengangkutan dan komunikasi; bank dan
lembaga keuangan lainnya; sewa rumah dan jasa perusahaan; serta
pemerintah dan jasa -jasa, untuk penghitungan kuantum produksinya
dilakukan dengan mencari indikator produksi yang sesuai dengan masingmasing kegiatan, subsektor, dan sektor. Pemilihan indikator produksi
didasarkan pada karakteristik jasa yang dihasilkan serta disesuaikan dengan
data penunjang lainnya yang tersedia. Selain itu diperlukan juga indikator
harga dari masing-masing kegiatan, subsektor dan sektor yang bersangkutan.
NPB/Output atas dasar harga berlaku merupakan perkalian antar indikator
harga masing-masing komoditi/jasa pada tahun yang bersangkutan.
2. Penghitungan Atas Dasar Harga Konstan
Penghitungan atas dasar harga konstan pengertiannya sama dengan atas
dasar harga berlaku, tetapi penilaiannya dilakukan dengan harga suatu tahun dasar
tertentu.

NTB

atas

dasar

harga

konstan
14

menggambarkan

perubahan

volume/kuantum produksi saja. Pengaruh perubahan harga telah dihilangkan


dengan cara menilai dengan harga suatu tahun dasar tertentu. Penghitungan atas
dasar konstan berguna untuk melihat pertumbuhan ekonomi secara kesuluruhan
atau sektoral. Juga untuk melihat perubahan struktur perekonomian suatu daerah
dari tahun ke tahun.
2.1.4 Hubungan Antar Variabel
Penyerapan tenaga kerja atau permintaan tenaga kerja pada dasarnya
tergantung pada besarnya permintaan masyarakat terhadap output yang
dihasilkan. Semakin besar permintaan terhadap output, maka akan semakin besar
pula permintaan akan tenaga kerja. Apabila terjadi peningkatan permintaan tenaga
kerja, maka dapat dikatakan bahwa penyerapan tenaga kerja juga meningkat.
2.1.4.1 Hubungan Upah dengan Penyerapan tenaga kerja
Menurut UU no 13 Tahun 2003, upah adalah hak pekerja atau buruh yang
diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau
pemberi kerja kepada pekerja atau buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut
suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk
tunjangan bagi pekerja atau buruh dan keluarganya atas suatu pekerja dan/atau
jasa yang telah atau akan dilakukan. Besarnya upah ditentukan berdasarkan
perjanjian antara pengusaha dengan pekerja atau serikat kerja.
Peraturan Pemerintah No. 5 tahun 2003 mendefinisikan upah sebagai hak
pekerja yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari
pengusaha kepada pekerja atas suatu pekerjaan atau jasa yang telah atau akan
dilakukan. Ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja,
kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi
pekerja dan keluarganya.

15

Landasan sistem pengupahan di Indonesia adalah UUD Pasal 27 ayat 2


dan penjabarannya dalam hubungan industrial pancasila. Sistem pengupahan
pada prinsipnya haruslah :
1. Mempunyai fungsi sosial yakni mampu menjamin kehidupan yang layak
bagi pekerja dan keluarganya.
2. Mencerminkan pemberian imbalan terhadap hasil kerja seseorang
3. Memuat pemberian intensif yang mendorong peningkatan produktivitas
tenaga kerja dan pendapatan nasional.
Upah dibayarkan oleh perusahaan kepada pekerja berdasarkan tambahan
output sehubungan dengan penambahan seorang karyawan atau disebut VMPPL
(Value Marginal Physical of Labor). Persamaannya dapat ditulis sebagai berikut
(Simanjuntak, 1998):
VMPPL = P x MPPL = Upah..............................................................

(2.8)

Tingkat upah memiliki hubungan negatif dengan penyerapan tenaga kerja.


Menurut Simanjuntak (1998), upah dipandang sebagai beban oleh
perusahaan karena semakin besar tingkat upah akan semakin kecil proporsi
keuntungan yang dinikmati oleh perusahaan. Oleh karena itu, kenaikkan tingkat
upah direspon oleh perusahaan dengan menurunkan jumlah tenaga kerja.

16

Sesuai dengan penelitian Kuncoro (2002), bahwa besarnya tenaga kerja


yang diserap dipengaruhi oleh tingkat upah riil. Menurut teori permintaan tenaga
kerja, kuantitas tenaga kerja yang diminta akan menurun sebagai akibat dari
kenaikkan upah. Apabila tingkat upah naik, sedangkan input lainnya tetap, berarti
harga tenaga kerja relatif lebih mahal dari pada input lain. Situasi ini mendorong
pengusaha untuk mengurangi penggunaan tenaga kerja yang harganya relatif
mahal dengan input-input lain yang harga relatifnya lebih murah guna
mempertahankan keuntungan yang maksimum.
2.1.4.2 Hubungan PDRB dengan Penyerapan Tenaga Kerja
Indikator yang sering dipakai untuk menilai kinerja perekonomian suatu
negara adalah Produk Domestik Bruto (PDB), sedangkan indikator untuk melihat
kinerja ekonomi suatu wilayah dalam suatu negara tertentu digunakan PDRB
(Produk Domestik Regional Bruto), yang merupakan keseluruhan nilai tambah
yang timbul akibat adanya berbagai aktivitas ekonomi yang dilakukan dalam
suatu wilayah terutama yang dikaitkan dengan kemampuan wilayah tersebut
dalam mengelola sumber daya yang dimiliki. Disebut domestik karena
menyangkut batas wilayah dan dinamakan bruto karena telah memasukkan
komponen penyusutan dalam perhitungannya. PDRB secara umum disebut juga
agregat ekonomi, maksudnya angka besaran total yang menunjukkan prestasi
ekonomi suatu wilayah. Dari agregat ekonomi ini selanjutnya dapat diukur
pertumbuhan ekonomi. Untuk menghitung pertumbuhan ekonomi riil terlebih
dahulu harus dihilangkan pengaruh perubahan harga yang melekat pada angkaangka agregat ekonomi menurut harga berlaku sehingga terbentuk harga agregat
ekonomi menurut harga konstan.
Penelitian Okun (1980) dalam Dornbusch (1991) di Amerika Serikat yang
dilatarbelakangi anggapan bahwa dari waktu ke waktu angkatan kerja mengalami
pertumbuhan sehingga pengangguran akan naik kecuali jika output riil maupun
kesempatan kerja mengalami pertumbuhan yang cukup pesat. Dalam bentuk
pertumbuhan, Okun membuktikan bahwa tingkat pengangguran akan turun
17

sebesar 0,4 persen setiap laju pertumbuhan PDB riil sebesar 1 persen per tahun.
Hukum Okun ini merupakan hasil dari penelitian empiris sehingga hukum
tersebut bukan merupakan hukum yang tetap, karena angka estimasi atas
hubungan antara trend laju pertumbuhan output dan tingkat pengangguran akan
berubah dari waktu ke waktu.
Pertumbuhan ekonomi yang meningkat memerlukan tenaga kerja
tambahan sebagai faktor produksi untuk memenuhi permintaan agregat yang
meningkat. Kondisi seperti ini terutama akan terjadi pada struktur perekonomian
yang memiliki corak padat karya (labour intensive). Apabila struktur
perekonomian suatu wilayah adalah capital intensive (padat modal), maka
pertumbuhan ekonomi hanya akan meningkatkan kebutuhan modal dan tidak akan
menyerap banyak tenaga kerja.
2.2 Penelitian Terdahulu
Tinjauan pustaka dari penelitian terdahulu dijelaskan secara sistematis tentang
hasil-hasil

penelitian

yang

didapat

oleh

peneliti

terdahulu

dan

berhubungan dengan penelitian yang dilakukan. Hasil penelitian terdahulu


diuraikan pada Tabel 2.2.
Tabel 2.2
Penelitian Terdahulu
No
1

Judul dan Penulis


Judul:
Upah Sistem
Bagi Hasil dan
Penyerapan
Tenaga Kerja

Metodologi
Data:

Penulis:
Haryo Kuncoro

Variabel:

Data
panel
Jenis data: sekunder

Dependen

Tahun: 2002

Variabel:
18

Hasil Penelitian
a. Variabel upah
lebih besar
berpengaruh pada
penyerapan tenaga
kerja di industri
tembakau daripada
industri alas kaki.
Hal ini disebabkan
industri tembakau
bersifat padat
karya dan pada

Jumlah tenaga yang terserap


Independen

Variabel:
a. Upah
b. Output
c. Variabel dummy
perubahan
teknologi

b. Ouput
signifikan
berpengaruh
positif terhadap
penyerapan tenaga
kerja

Alat
Analisis:
Error Correction Model (ECM)
Model
Analisis:
Model
kerja

Permintaan

yang
digunakan
fungsi permintaan
kerja versi Naive

tenaga
adalah
tenaga

lnLd = 0 + 1 ln W + 2 lnQ +
P

3T + 4PS +
Dimana
:
Ld
kerja

= Penyerapan tenaga

w/p = Upah

riil
Q
Output

T
Teknologi
-

PS
19

=
=

industri alas kaki


walaupun cukup
menyerap banyak
tenaga kerja
namun input
modal masih tetap
dominan.

Keuntungan

perusahaan
2

Judul : Analisis
Penyerapan Tenaga
Kerja Pada Industri
Kecil (Studi Industri
Mebel di Kota
Semarang)
Penulis:
M.Taufik
Zamrowi

Tahun: 2007

a. a. Variabel
upah/gaji
berpengaruh
Jenis Data : Primer dan Sekunder negative dan
signifikan
Variabel :
terhadap
permintaan tenaga
- Dependen variabel:
kerja.
Penyerapan tenaga kerja
2.
a. b. Variabel
- Independen Variabel:
produktivitas
a. Tingkat upah
berpengaruh
b. Produktivitas tenaga
negatif
kerja c. Modal
b. dan signifikan
d. Pengeluaran tenaga
terhadap
kerja non upah
permintaan tenaga
Alat Analisis:
kerja.
regresi linier berganda
c.
Model Analisis:
d. c. Variabel modal
LnY = Ln 0 + 1LnX1 + 2LnX2
berpengaruh
positif
+ 3LnX3 + 4LnX4 +
e. dan signifikan
Dimana:
terhadap
Y = Jumlah tenaga kerja
permintaan tenaga
yang terserap dalam
kerja.
sebulan
f.
X1 = Tingkat upah pekerja
X2 = Produktivitas tenaga kerja g. d. Variabel non
upah sentra
X3 = Modal kerja
berpengaruh
X4 = Pengeluaran tenaga
negatif dan
kerja non upah
signifikan
o = ntersep
terhadap
1, 2, 3, 4 = koefisien regresi
permintaan tenaga
parsial
kerja.
h.
= faktor pengganggu
i. e. Secara simultan
atau bersama-sama
variabel non upah,
modal, tingkat
upah atau gaji dan
produktivitas
mempunyai
pengaruh yang
positif dan
signifikan.
j.
k. f. Variabel yang
Data : time series pada tahun
2002-2004

20

Judul:
Penyerapan
Tenaga Kerja di
DKI Jakarta
Penulis: Dimas
dan Nenik
Woyanti
Tahun: 2009

Data:
Time series tahun 1990-2004
Jenis data: sekunder
Variabel:
- Dependen Variabel:
Jumlah tenaga yang terserap
- Independen Variabel:
a. PDRB
b. Upah riil
c. Investasi riil
Alat analisis:
OLS (Ordinary Least Square)
Model Analisis:
LnY = 0 + i Ln X1 + i Ln
X2+ i Ln X3 +

paling dominan
dalam
mempengaruhi
penyerapan tenaga
kerja pada industri
kecil mebel di
Kota Semarang
adalah variabel
modal
a. Variabel PDRB
signifikan
berpengaruh
positif terhadap
penyerapan tenaga
kerja.
b. Variabel upah
riil dan
investasi riil
signifikan
berpengaruh
negatif
terhadap
penyerapan
tenaga kerja.

Dimana:
- 0 = Intersep
- 1 = koefisien regresi
yang ditaksir
- Y
= Penyerapan
tenaga kerja
(Orang)
- X1 = PDRB (Rp Juta)
- X2 = Upah riil
- X3 = Investasi riil
- = faktor gangguan
stokastik
- Ln = logaritma natural

2.3 Kerangka Berfikir


Berdasarkan latar belakang dan landasan teori di atas, maka kerangka
pemikiran dalam penelitian ini adalah: PDRB dan upah minimum Kota
21

merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi penyerapan tenaga kerja di Kota


Cilegon.
Gambar 1.1
Kerangka Pemikiran Teoritis

Upah Minimum

Penyerapan
Tenaga Kerja

PDRB
2.4 Hipotesis Penelitian

Hipotesis adalah jawaban sementara atau kesimpulan yang diambil untuk


menjawab permasalahan yang diajukan dalam suatu penelitian yang sebenarnya
masih harus diuji secara impiris. Hipotesis yang dimaksud merupakan
dugaan yang mungkin benar atau salah. Berdasarkan landasan teori, maka
hipotesis dari penelitian ini adalah:
a. PDRB berpengaruh positif terhadap penyerapan tenaga kerja di
Kota cilegon.
b. Upah minimum diduga berpengaruh secara negatif terhadap
penyerapan tenaga kerja di Kota Cilegon.

22

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Definisi Operasional Variabel Penelitian


Definisi

operasional

merupakan

petunjuk

bagaimana

variabel-

variabel dalam penelitian diukur. Untuk memperjelas dan mempermudah


pemahaman terhadap variabel-variabel yang akan dianalisis dalam penelitian ini,
maka perlu dirumuskan definisi operasional yaitu sebagai berikut:
a. Penyerapan Tenaga Kerja (Y)
Penyerapan tenaga kerja adalah banyaknya lapangan kerja yang sudah
terisi yang tercermin dari banyaknya jumlah penduduk bekerja di Kota
Cilegon. Jumlah penduduk bekerja atau bisa disebut dengan pekerja
dinyatakan dalam satuan orang.
b. Upah (X1)
Upah adalah biaya tenaga kerja yang dibayarkan kepada pekerja sebagai
imbalan atas pekerjaan atau jasa yang telah dilakukan terhadap pemberi
kerja. Dalam penelitian ini upah yang digunakan adalah Upah
Minimum Kabupaten/Kota (UMK) Kota Cilegon per tahun yang diterima
oleh pekerja dengan satuan rupiah.
23

c. PDRB (X2)
Produk Domestik Regoinal Bruto (PDRB) yakni jumlah barang dan jasa yang
dihasilkan oleh seluruh kegiatan ekonomi di Kota Cilegon antara tahun 2003
2012 atas dasar harga konstan.

3.2 Jenis dan Sumber Data


Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder
berupa deret berkala (time series) dan data primer. Data sekunder adalah data
yang bukan diusahakan sendiri pengumpulannya oleh peneliti. Data sekunder
biasanya telah dikumpulkan

oleh

lembaga

pengumpul

data

dan

dipublikasikan kepada masyarakat pengguna data. Sedangkan data primer adalah


data yang dikumpulkan dan diolah sendiri oleh suatu organisasi atau perorangan
langsung dari objeknya. Pada penelitian ini data sekunder diperoleh dari
Badan Pusat Statistik Provinsi Banten dan Kota Cilegon (BPS).
Dalam penelitian ini digunakan data yang dimulai dari tahun 2003 hingga
2012.
3.3 Metode Analisis Data
3.3.1 Uji Asumsi Klasik
Dalam melakukan analisis regresi berganda dengan metode OLS, maka
pengujian model terhadap asumsi klasik harus dilakukan. Uji asumsi klasik
tersebut antara lain sebagai berikut:
3.3.1.1 Uji Normalitas
Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi,
variabel pengganggu memiliki distribusi normal atau tidak. Dalam penelitian ini,
untuk menguji apakah distribusi data normal atau tidak digunakan uji Jarque2

Bera atau J-B Test. J-B Test membandingkan antara nilai J-B ( hitung)
2

terhadap tabel (Chi-Square). Rumus yang digunakan (Insukindro, 2004)


adalah:

24

JB = (N-k)/6 . [S + (K-3) ] ...........................................................(3.1)


dimana:
S = Swekness dari stochastic term error
K = Kurtosis dari stochastic term error
k = Banyaknya koefisien yang digunakan dalam persamaan
N = Jumlah observasi
2

Jika nilai J-B Test lebih besar dari tabel, maka stochastic term error dari
regresi tidak mengikuti distribusi normal.

3.3.1.2 Uji Multikolinearitas


Metode perhitungan ini digunakan untuk menghitung apakah ada korelasi
antar variabel independen. Jika terjadi korelasi, maka dikatakan terdapat
multikolinearitas ( Singgih Santoso, 1999).
Pedoman untuk multikolinearitas yang baik adalah dengan melihat angka
toleransi dan angka faktor inflasi varian (VIF) yang berada di sekitar angka 1.
Selain itu pengujian multikolinearitas dapat dilihat dari nilai R2 yang tinggi, F
hitung yang tinggi dan t hitung yang ternyata signifikan, serta uji matrik korelasi
yang menunjukkan sampai seberapa besar hubungan antar variable yang dipakai
dalam model regresi. Jika pada koefisien korelasi antar dua variabel yang
mempengaruhi tinggi, lebih dari 0,8 maka multikolinearitas merupakan masalah
serius (Damodar Gujarati, 1997).
3.3.1.3 Uji Heteroskedastisitas
Heteroskedastisitas adalah suatu kondisi dimana variasi gangguan (i)
untuk setiap variabel independen adalah tidak konstan dari satu pengamatan

25

ke pengamatan lain. Heteroskedastisitas dapat diketahui salah satunya dengan


melakukan Uji Park. Uji Park menggunakan logaritma natural dari residual
sebagai variabel dependennya. Dimana kriteria pengujiannya adalah dengan
melihat nilai probabilitas dari Uji-t. Apabila signifikan (<0,05), maka
model regresi terkena heteroskedastisitas (Winarno, 2007).
3.3.1.4 Uji Autokolerasi
Autokorelasi adalah suatu keadaan dimana kesalahan penggangguan dari
periode tertentu (t) berkorelasi dengan kesalahan pengganggu dari periode
sebelumnya (t-1). Pada kondisi ini kesalahan pengganggu tidak bebas tetapi
satu sama lain saling berhubungan.
Mendeteksi ada atau tidaknya autokolerasi dapat menggunakan Uji
Langrange Multuplier (LM Test). Dalam uji ini apabila nilai probabilitas
dari obs*R

tidak signifikan (< 0,05), maka dapat disimpulkan adanya

autokolerasi (Insukindro, 2004).


3.4 Model Analisis
Alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis regresi
berganda dengan metode Ordinary Least Square (OLS) atau metode kuadrat
kecil biasa dengan software Eviews. Metode OLS berusaha meminimalkan
penyimpangan hasil perhitungan (regresi) terhadap kondisi aktual.
Berdasarkan penelitian sebelumnya, maka perumusan model fungsi
penyerapan tenaga kerja yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
Model awal persamaan penyerapan tenaga kerja yang digunakan adalah
sebagaiberikut:
Y= o. X1 . X2 .
1

= Penyerapan tenaga kerja

X1

= PDRB

X2

= Upah Minimum Kota

Mengingat bahwa dalam memilih persamaan haruslah memenuhi kriteria


26

BLUE

(Best

Linear

Unbiased

Estimator),

maka

persamaan

(3.2)

di

transformasikan kedalam bentuk logaritma natural sehingga persamaan fungsi


penyerapan tenaga kerja menjadi sebagai berikut:
Y = 0 + 1 X1 + 2 X2 +

= Penyerapan tenaga kerja di Kota Cilegon (jiwa)

X1

= PDRB (Rp)

X2

= Upah Minimum Kota (Rp)

= Konstanta

=Koefisien untuk mengukur pengaruh atau elastisitas

PDRB
2

=Koefisien untuk mengukur pengaruh atau elastisitas


Upah minimum kota

= Disturbance error atau variabel penganggu

Keunggulan

lain

melakukan

transformasi

kedalam

bentuk

logaritma natural yakni untuk mengurangi adanya gejala heteroskedastisitas dan


mengetahui kepekaan antar variabel dimana koefisien kemiringan i mengukur
elastisitas dari Y sebagai variabel dependen terhadap X sebagai variabel
independen, yaitu persentase perubahan dalam Y akibat persentase perubahan
dalam X (Insukindro, 2004).
3.5 Uji Statistik Analisis Regresi
3.5.1 Uji Koefisien Determinasi (R2)
Kebaikan

model

yang

telah

digunakan

dapat

diketahui

dari

2
model koefisien determinasi (R Adjusted) yaitu dengan menunjukkan besarnya
daya menerangkan dari variabel independen terhadap variabel dependen pada
model tersebut. Nilai R

Adjusted berkisar antara 0 < R

< 1. Semakin besar

2
nilai R Adjusted, maka hubungan kedua variabel semakin kuat atau model
27

2
tersebut dikatakan baik. Sedangkan nilai R Adjusted yang bernilai mendekati 0
berarti tidak ada hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen.
3.5.2 Uji Hipotesis secara Parsial (Uji-t)
Digunakan

untuk

menunjukkan

apakah

masing-masing

variabel

independen berpengaruh terhadap variabel dependen. Perumusan hipotesisnya


adalah :
Ho, i = 0, ( i=1,2,3,4) = variabel independen secara parsial tidak berpengaruh
secara signifikan terhadap variabel dependen.
H1, i < 0, ( i=1,4) = variabel independen secara parsial berpengaruh negatif
secara signifikan terhadap variable dependen.
Atau
H1, i >0, ( i=2,3)= variabel independen secara parsial berpengaruh positif secara
signifikan terhadap variable dependen.
Dalam pengujian hipotesis dengan uji t ini digunakan rumus sebagai berikut :

dimana:
i

= Koefisien regresi

Se(i)

= Standart error koefisien regresi sedangkan kriteria pengujiannya


adalah sebagai berikut:

Apabila t hitung > t statistik, maka Ho ditolak dan Hi diterima.

Apabila t hitung < t statistik, maka Ho diterima dan Hi ditolak.

3.5.3 Uji Signifikansi Simultan (Uji F)

28

Digunakan untuk menunjukkan apakah keseluruhan variabel independen


berpengaruh terhadap variabel dependen. Perumusan hipotesisnya adalah sebagai
berikut :
a. Ho = seluruh variabel independen tidak berpengaruh secara signifikan
terhadap variabel dependen.
b. Hi = seluruh variabel independen berpengaruh secara signifikan terhadap
variabel dependen.
Rumus yang digunakan dalam uji F ini adalah sebagai berikut:

= Koefisien determinasi

= Jumlah observasi

= Jumlah variable

Sedangkan kriteria pengujiannya adalah sebagai berikut:


Apabila F hitung < F tabel, maka H1 ditolak dan Ho diterima.
Apabila F hitung > F tabel, maka H1 diterima dan Ho ditolak.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Kota Cilegon


4.1.1 Kondisi Geografis
Kota Cilegon merupakan kota otonomi yang secara yuridis dibentuk
berdasarkan UU No.15/1999. Sebagai kota yang berada di ujung barat Pulau Jawa,
Kota Cilegon merupakan pintu gerbang utama yang menghubungkan Pulau Jawa
dengan Sumatera.
Secara geografis, Kota ini berada pada koordinat 5522460407
Lintang Selatan dan 1055405 1060511 Bujur Timur, yang dibatasi oleh :
Sebelah Barat : Selat Sunda
29

Sebelah Utara : Kab. Serang


Sebelah Timur : Kab. Serang
Sebelah Selatan : Kab. Serang
Dengan luas 175,5 Km2, Kota Cilegon dibagi ke dalam 8 (delapan)
kecamatan dan 43 kelurahan. Kota Cilegon memiliki iklim tropis dengan
temperatur berkisar antara 21,9C 33,5C dan curah hujan rata-rata 100 mm per
bulan.
4.1.2

Perkembangan Produk Domestik Regional Bruto Atas harga Konstan


di Kota Cilegon
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan salah satu

pencerminan kemajuan ekonomi suatu daerah, yang didefinisikan sebagai


keseluruhan nilai tambah barang dan jasa yang dihasilkan dalam waktu satu tahun
di wilayah tersebut. Pendapatan regional per kapita atau PDRB perkapita sering
digunakan sebagai salah satu indikator tingkat kemajuan atau tingkat
kesejahteraan

penduduk

pada

suatu

wilayah.

Dengan

berkembangnya

perekonomian tentunya berdampak pada tingkat kesejahteraan penduduk.


Sejalan dengan perkembangan Kota Cilegon, kegiatan, pertumbuhan serta
perkembangan ekonominya juga semakin pesat. Pertumbuhan ekonomi Kota
Cilegon dapat dihitung berdasarkan nilai PDRB atas dasar harga konstan yang
berarti bahwa nilai PDRB dihitung berdasarkan nilai semua barang dan jasa yang
berlaku pada tahun dasar. Maksud perhitungan ini adalah untuk mengetahui
pertumbuhan rill ekonomi yang nilainya telah terbebas dari pengaruh harga baik
inflasi maupun deflasi.
Berdasarkan data pada tabel 4.1 menunjukkan bahwa pertumbuhan
ekonomi Kota Cilegon terus berfluktuasi setiap tahunnya. Laju pertumbuhan
ekonomi Kota Cilegon antara tahun 2004-2012 berada pada kisaran 4-6%, bahkan
pada tahun 2012 pertumbuhan ekonomi Kota Cilegon tercatat sebesar 6,82%. Hal
ini terjadi karena adanya pertumbuhan positif dari sektor-sektor ekonomi,
terutama sektor industri pengolahan dan disusul oleh sektor perdagangan, hotel,
restoran, sektor listrik dan gas dan beberapa sektor lainnya.
30

PDRB Kota Cilegon atas dasar harga konstan tahun 2000 pada tahun 2008
sebesar 11.047.32 milyar rupiah atau meningkat sekitar 5,02%, lebih tinggi
dibandingkan dengan tahun 2007, sedangkan untuk PDRB tahun 2010 sebesar
17.111.19 milyar rupiah atau meningkat sekitar 5,69 persen, lebih tinggi di
bandingkan dengan tahun 2009.
Tabel 4.1
PDRB menurut harga konstan 2000 Kota Cilegon Tahun 2004-2012
(juta)
Tahun
PDRB
2003
8.281.367,51
2004
8.886.737,29
2005
9.440.708,14
2006
9.972.846,95
2007
10.518.939,33
2008
11.047.320,64
2009
11.580.598,11
2010
17.111.197,18
2011
18.288.289,69
2012
19.470.568,33
Sumber : Kota Cilegon Dalam Angka 2004-2012

4.1.3 Perkembangan Penyerapan Tenaga Kerja di Kota Cilegon


Penyerapan tenaga kerja adalah banyaknya lapangan kerja yang sudah terisi
yang tercermin dari banyaknya jumlah penduduk bekerja di Kota Cilegon.
Jumlah penduduk bekerja atau bisa disebut dengan pekerja dinyatakan
dalam satuan orang. Jumlah penyerapan tenaga kerja di Kota cilegon dapat
dilihat pada tabel 4.2.
Situasi ketenagakerjaan di Kota Cilegon pada tahun 2010 menunjukan
terjadinya peningkatan angkatan kerja dibandingkan tahun sebelumnya dengan
persentase angkatan kerja tercatat sebesar 65,60 persen. Sektor yang menyerap
tenaga kerja terbanyak adalah sektor perdagangan, rumah makan dan jas
31

akomodasi yaitu sebesar 26,90 persen, diikuti oleh sektor industri sebesar 23,76
persen dan sektor jasa-jasa sebear 17,67 persen.
Pada tahun 2012 persentase angkatan kerja tercatat sebesar 65,74 persen,
tetapi sektor industri hanya menyerap tenga kerja sebanyak 18,90 persen.
Tabel 4.2
Penyerapan Tenaga Kerja di Kota Cilegon Tahun 2004-2012
(jiwa)
Tahun
Penyerapan Tenaga Kerja
2003
107.673
2004
112.353
2005
120.557
2006
115.183
2007
115.183
2008
127.241
2009
130.787
2010
151.129
2011
161.448
2012
159.760
Sumber : Kota Cilegon Dalam Angka Tahun 2003-2012
4.1.4 Perkembangan Upah Minimum Kota Cilegon
UMK Kota Cilegon dari tahun 2003 sampai 2012 selalu mengalami
kenaikan di karenakan kebutuhan akan hidup yang selalu meningkat. Pada tahun
2006 UMK kota Cilegon mengalami kenaikan sebesar 20,54 persen menjadi
835.937, Pada tahun 2008 UMK di Kota Cilegon mengalami kenaikan sebesar
7,34 persen dari tahun sebelumnya.

Tabel 4.3 akan memperlihatkan upah

minimum kota cilegon dari tahun 2003-2012


tabel 4.3
Upah Minimum Kota Cilegon Tahun 2003-2012
(Rp)
tahun
2003
2004
2005
2006
2007

UMK
635.000
650.000
693.500
835.937
905.000
32

2008
2009
2010
2011
2012
4.2 Hasil Uji Statistik

971.400
1.099.000
1.174.000
1.224.000
1.340.000

Pada penelitian ini perhitungan atau pengolahan data dilakukan dengan


menggunakan software Eviews 7 terhadap variabel dependen Penyerapan Tenaga
Kerja (Y) dan variabel independen Upah Minimum Kabupaten/Kota (X1) dan
Produk Domestik Regional Bruto/ PDRB (X2) Kota Cilegon

dengan

menggunakan data time series dari tahun 2003 sampai 2012.


Berdasarkan data-data yang diperoleh dan telah diolah, pada penelitian ini
didapatkan hasil sebagai berikut :

Tabel 4.4
Rekapitulasi Data Hasil Regresi Linear Berganda
Dampak UMK dan PDRB terhadap Penyerapan Tenaga Kerja
Di Kota Cilegon (2003-2012)
Dependent Variable: PENYERAPAN_TENAGA_KERJA
Method: Least Squares
Date: 06/22/14 Time: 03:20
Sample: 2003 2012
Included observations: 10
Variable

Coefficient

Std. Error

t-Statistic

Prob.

C
UMK
PDRB

69045.45
0.007683
0.004315

6023.725
0.015241
0.000919

11.46225
0.504098
4.696105

0.0000
0.6297
0.0022

R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
Sum squared resid

0.963520
0.953097
4371.712
1.34E+08

Mean dependent var


S.D. dependent var
Akaike info criterion
Schwarz criterion
33

130131.4
20186.07
19.84702
19.93780

Log likelihood
F-statistic
Prob(F-statistic)

-96.23511
92.44293
0.000009

Hannan-Quinn criter. 19.74744


Durbin-Watson stat
2.274792

4.3 Pengujian Hipotesis


4.3.1 Koefisien Determinasi (R2)
Koefisien determinasi (R2) pada intinya mengukur seberapa jauh
kemampuan model dalam menerangkan variasi variabel dependen. Nilai koefisien
determinasi adalah nol dan satu. Nilai R2 yang kecil berarti kemampuan variabelvariabel independen dalam menjelaskan variasi variabel dependen amat terbatas.
Nilai yang mendekati satu berarti variabel-variabel independen memberikan
hampir semua informasi yang dibutuhkan untuk memprediksi variasi variabel
dependen.
Berdasarkan tabel hasil regresi diatas (tabel 4.4) pengaruh variabel Upah
Minimum Kabupaten/Kota (X1) dan Produk Domestik Regional Bruto/ PDRB
(X2) terhadap Penyerapan Tenaga Kerja (Y) diperoleh nilai R2 sebesar 0.963520.
Hal ini berarti variasi variabel independen (bebas) yaitu variabel Upah Minimum
Kabupaten/Kota

(X1) dan Produk Domestik Regional Bruto/ PDRB (X2)

menjelaskan variasi variabel dependen yaitu Penyerapan Tenaga Kerja di Kota


Cilegon sebesar 96,35 persen. Adapun sisanya variasi variabel lain dijelaskan
diluar model yang tidak dimasukkan dalam model estimasi, atau disebabkan oleh
disturbance error sebesar 3,65 persen.

4.3.2 Deteksi Signifikansi Simultan (Uji Statistik F)

34

Pengujian terhadap pengaruh semua variabel independen di dalam model


dapat dilakukan dengan uji simultan (uji F). Uji statistik F pada dasarnya
menunjukkan apakah semua variabel independen yang dimasukkan dalam model
mempunyai pengaruh secara bersama-sama terhadap variabel dependen.
Dari

hasil

regresi

pengaruh

variabel

variable

Upah

Minimum

Kabupaten/Kota (X1) dan Produk Domestik Regional Bruto/ PDRB (X2) terhadap
Penyerapan Tenaga Kerja (Y) di Kota Cilegon, maka diperoleh F-tabel sebesar
11,46 sedangkan F-hitung sebesar 92.44293 dan nilai probabilitas F-statistik
0.000009. Maka dapat disimpulkan bahwa variabel independen secara bersamasama berpengaruh terhadap variabel dependen (F-hitung > F-tabel). Dalam hal ini
variabel Upah Minimum Kabupaten/Kota (X1) dan Produk Domestik Regional
Bruto/ PDRB (X2) secara bersama-sama mampu memberikan pengaruh yang
signifikan Penyerapan Tenaga Kerja (Y) di Kota Cilegon.

4.3.3 Deteksi Signifikansi Parameter Individual (Uji Statistik t)


Uji statistik t pada dasarnya menunjukkan seberapa jauh pengaruh masingmasing variabel independen secara individual dalam menerangkan variasi variabel
dependen. Dalam regresi pengaruh variabel Upah Minimum Kabupaten/Kota (X1)
dan Produk Domestik Regional Bruto/ PDRB (X2) terhadap Penyerapan Tenaga
Kerja (Y) di Kota Cilegon, dengan :5% berdasarkan nilai t-tabel tersebut dan
dengan asumsi t-hitung > t-tabel, variabel independen yang signifikan terhadap
variabel penyerapan tenaga kerja adalah produk domestik regional bruto/ PDRB
(t-hitung dengan nilai probabilitas = 0.0022) sementara variabel yang tidak

35

berpengaruh signifikan adalah Upah Minimum Kabupaten/Kota (t-hitung dengan


nilai probabilitas = 0.6297).
BAB V
PENUTUP
5.1

Kesimpulan
Berdasarkan pada hasil penelitian dan analisis mengenai Pengaruh Upah

Minimum Kota Cilegon dan Pendapatan Domestik Regional Bruto Terhadap


Penyerapan Tenaga Kerja Di Kota Cilegon (periode tahun 2003-2012), maka
diperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Hasil Koefisien determinasi (R2) penelitian menunjukan bahwa besarnya
R2 cukup tinggi yaitu 0.963520. Dimana 96,35 persen variasi variabel
dependen yaitu penyerapan tenaga kerja dapat dijelaskan dengan baik oleh
variabel-variabel independen yang meliputi upah minimum kota cilegon
dan produk domestik regional bruto.
2. Dari hasil estimasi regresi yang sudah dilakukan diketahui bahwa variabel
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) berpengaruh signifikan
terhadap penyerapan tenaga kerja sedangkan upah minimum kota cilegon
tidak berpengaruh signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja. Hal ini
sesuai dengan hipotesis awal penelitian yang menyebutkan bahwa variabel
PDRB berpengaruh positif dan signifikan terhadap penyerapan tenaga
kerja.
3. Hasil uji F menunjukan bahwa F-hitung > F-tabel berarti secara
keseluruhan variabel independen dalam penelitian yaitu upah minimum

36

kota cilegon dan produk domestik regional bruto secara bersama-sama


mempengaruhi penyerapan tenaga kerja sebagai variabel dependent.
4. Hasil uji t menunjukan bahwa variabel upah minimum kota cilegon
mempunyai hubungan yang tidak signifikan terhadap penyerapan tenaga
kerja. Sedangkan variabel PDRB berpengaruh signifikan terhadap
penyerapan tenaga kerja.
5.2 Kritik & Saran
Berdasarkan kesimpulan dari hasil penelitian di atas, maka pada bagian ini
dikemukakan beberapa saran dan rekomendasi sebagai berikut:
a. Penetapan standar upah minimum oleh pemerintah masing-masing
kabupaten/kota di wilayah provinsi banten perlu dilakukan secara tepat
hingga batas tingkat upah tertentu agar pihak perusahaan tidak
merasa dirugikan dalam membayar tenaga kerja. Dalam konteks ini,
upah

yang

adil

bukanlah

upah

yang

menjamin

buruh/karyawan/pegawai mampu memenuhi kebutuhan hidupnya,


melainkan

upah

yang

tepat

sama

dengan

kontribusi

buruh/karyawan/pegawai terhadap perusahaan atau produktivitasnya.


Jika

yang

menjadi

masalah

adalah

bagaimana

melindungi

buruh/karyawan, maka pemerintah harus memberikan perlindungan


yaitu buruh/karyawan/pegawai mendapatkan upah sesuai dengan
produktivitasnya.
b. Dibutuhkan upaya pemerintah daerah provinsi banten secara lebih
insentif untuk mengelola penyerapan tenaga kerja agar masyarakat
37

yang belum bekerja bisa mendapat pekerjaan sehingga akan


berdampak

pada

meningkatnya

kesejahteraan

daerah

dan

berkurangnya kesenjangan yang terjadi di eradesentralisasi fiskal.


c. Pemerintah perlu mengadakan perbaikan atas regulasi, pengalokasian,
pengkoordinasian misalnya dengan penyederhanaan manajemen
keuangan baik di tingkat pusat maupun di daerah serta kerjasama/
koordinasi yang baik antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah/
kota agar upaya untuk menyeimbangkan kualitas dan kuantitas hidup
masyarakat di seluruh wilayah di Indonesia dapat terlaksana dengan
optimal.
d. Pada hasil estimasi model, PDRB memberikan nilai elastisitas yang
paling besar diantara variabel lainnya. Berdasarkan hasil ini maka
diharapkan pemerintah kota cilegon dengan kewenangannya masingmasing untuk terus mengoptimalkan aktivitas sektor tersebut agar
produksi atas barang dan jasa yang dihasilkan menjadi lebih besar
sehingga pertumbuhan ekonomi (PDRB) di kedua sektor tersebut
meningkat lebih cepat. Adapun cara yang dapat dilakukan adalah
pemerintah kota cilegon memberikan kemudahan birokrasi perizinan
yang pro bisnis dalam mendirikan perusahaan, khusus untuk produk
manufaktur harus melarang ekspor barang mentah ataupun setengah
jadi tanpa diolah menjadi barang jadi, tersedia infrastruktur pendukung
produksi dan distribusi barang yang lebih memadai.

38

Anda mungkin juga menyukai