Anda di halaman 1dari 5

NENEK MOYANG BANGSA INDONESIA DAN

HASIL KEBUDAYAANNYA

DISUSUN OLEH :
NAMA

: SUPRIYANTO

KELAS

: XI TKR C

SMK CIPTA KARYA PREMBUN


Tahun Ajaran 2014/2015

Nenek Moyang Bangsa Indonesia


Siapakah Nenek Moyang Bangsa Indonesia
PERTANYAAN tersebut dapat dikaji dari ilmu arkeologi, ilmu linguistik, ilmu
antropologi budaya, ilmu paleoantropologi, dan ilmu genetika. Para ahli purbakala telah
menelusurinya dan meneliti endapan tanah purba 1,5 juta tahun yang lalu. Endapan
purba tersebut dikenal dengan nama plestosen bawah dan ditemukan di kawasan Jawa
Tengah dan Jawa Timur. Dari fosil-fosil yang terdapat di endapan purba tersebut para
ahli dapat meneliti perikehidupan manusia purba.

Dari peta distribusi geografis, ada jenis makhluk yang bernama


homo erectus. Makhluk ini menunjukkan bahwa nusantara kita adalah daerah migrasi
makhluk ini. Mereka tersebar dari Afrika sampai ke nusantara kita. Homo erectus
diperkirakan lahir di Afrika, 1,7 juta tahun yang lalu. Wujud makhluk ini seperti monyet
besar.
Apakah nenek moyang manusia Indonesia adalah makhluk homo erectus ini? Bukan!
Makhluk yang berwujud mendekati kera tersebut sudah punah. Tidak punya keturunan
lagi. Dan itu sudah terjadi berabad-abad yang lalu.
Nenek moyang manusia konon, dari makhluk yang bernama homo sapiens, yang lahir
ratusan ribu tahun silam. Fosil-fosil homo sapiens ditemukan di gua-gua purba, zaman
pra sejarah. Mereka hidup di gua-gua, pada era helosen. Jadi makhluk homo erectus dan
homo sapiens tidak punya hubungan darah. Homo sapiens bukan keturunan homo
erectus. Lebih tegas lagi dari kajian ilmu kepurbakalaan dapat diketahui bahwa
manusia bukan keturunan kera! Tentunya termasuk manusia yang berdiam di nusantara
ini. Demikian menurut kajian ilmu, bukan dari kajian yang lain.

Dari Ilmu Linguistik


Dari kajian ilmu linguistik atau ilmu bahasa, bangsa Indonesia adalah penutur bahasa
Austronesia. Sekitar 5.000 tahun lalu, bahasa ini sudah digunakan oleh manusia di
nusantara. Bahasa ini konon akar dari bahasa Melayu. Bahasa Austronesia memiliki
penyebaran paling luas di dunia, khususnya sebelum zaman penjajahan oleh bangsa
Eropa terhadap bangsa-bangsa Asia-Afrika.
Bahasa Austronesia berkembang menjadi 1.200 bahasa lokal, dari Madagaskar, Afrika, di
barat sampai di Pulau Paskah di timur, dari Taiwan di utara sampai Selandia Baru di
selatan . Penyebaran bahasa Austronesia lebih luas dibanding penyebaran bahasa Indo
Eropa, Aria Barat, dan Aria Timur atau Semit.

Keturunan Bahasa Austronesia tumbuh dan berkembang ratusan tahun dan digunakan
oleh 300 juta manusia di Asia Timur dan Asia Pasifik. Para penutur bahasa Austronesia,
beragam, misalnya mulai dari para nelayan, pelaut, pedagang, bangsawan, pengeliling
dunia, sampai kaum petani di pedalaman. Sekitar 80 juta manusia penutur bahasa
Austronesia hidup di kepulauan nusantara dan kepulauan Pasifik.
Jadi siapa nenek moyang manusia yang bertutur dengan menggunakan bahasa
Austronesia yang tinggal di nusantara itu? Masih menjadi kontroversi di kalangan para
ahli. Pendapat mereka bermacam ragam, ada yang mengatakan dari Formusa (Taiwan),
Hainan (Hongkong), Yunan (China Selatan), Filipina, atau Jepang.

Dari Bahasa Austrik


Ketua Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI) Harry Truman Simanjuntak pernah
berpendapat, rumpun bahasa Austronesia merupakan bagian dari bahasa Austrik. Bahasa
ini berawal dari daratan Asia, kemudian terbagi dua, yaitu Austro Asiatik dan
Austronesia.
Austro Asiatik menyebar ke daratan Asia, misalnya di Indo-China, Thailand, dan Munda
di India Selatan. Sedang bahasa Austronesia menyebar ke selatan dan di tenggara seperti
Indonesia, Filipina, Malaysia, sampai ke kepulauan Pasifik.
Menurut teori Model Out of Taiwan, bahasa Austronesia mulai mengkristal di Formusa
atau Taiwan. Penutur bahasa ini bermigrasi dari daratan China Selatan 6.000 tahun yang
lalu. Diperkirakan mereka berasal dari Fujian atau Guangdong, dua daerah di China
Selatan.
Proses kristalisasi bahasa Austronesia di Taiwan kemudian melahirkan budaya Da-penkeng. Budaya tersebut berkembang dan bercabang-cabang menjadi sejumlah dialek
lokal. Itu terjadi sekitar 4.700 tahun lalu. Pada masa Austronesia awal tersebut manusia
sudah mengerti memelihara babi dan anjing, sudah mengenal budidaya padi meski masih
sederhana, menanam ubi dan tebu, membuat kain dari kulit kayu, dan membuat gerabah..
Ratusan tahun kemudian budaya mereka meningkat lagi. Misalnya mulai menggunakan
peralatan dari batu dan tulang dan mulai membuat kano, perahu kecil dan sempit.
Sejumlah kelompok penutur bahasa Austronesia ini kemudian mulai berkelana ke
selatan, lewat lautan, dengan menggunakan perahu yang sederhana, yang lebih banyak
digerakkan oleh arus ombak lautan. Mereka terus bergerak ke arah selatan. Di antara
mereka ada yang bergerak kearah Asia Tenggara, sampai ke Filipina dan Kalimantan
Utara. Itu terjadi 4.500 tahun yang lalu.
Kelompok pemukim awal di Filipina atau di Kalimantan Utara ini akhirnya menciptakan
bahasa Proto Malayo Polynesia (PMP), yang merupakan cabang dari induknya, Proto
Austronesia.
Di kawasan baru tersebut perbendaharaan budaya mereka bertambah. Budidaya tanaman
yang berasal dari biji-bijian, mulai bertambah, misalnya mulai menanam kelapa, sagu,
sukun, dan pisang. Pada saat itu, perhubungan laut juga mulai meningkat. Teknologi

pelayaran mereka mulai canggih. Maka di antara mereka mulai ada yang bermigrasi ke
pulau-pulau di nusantara, misalnya ke Sulawesi dan Maluku. Bahkan ada yang sampai ke
pulau Mikronesia, Lautan Pasifik.
Dalam tahap selanjutrnya, puluhan tahun kemudian, mereka ada yang bermigrasi ke
Jawa, Sumatra, dan Semenanjung Malaka. Ke arah timur, mereka menuju ke Nusa
Tenggara, Maluku, Papua Barat, sampai ke kepulauan Bismarck. Di kawasan timur ini,
budaya tanaman biji-bijian mereka tinggalkan dan beralih ke budidaya berbagai tanaman
umbi-umbian. Bumi dan alam di nusantara bagian timur ternyata tidak cocok untuk
tanaman biji-bijian.
Menurut pakar arkeologi yang lain, Daud Ario Tanudirjo, persebaran para penutur Proto
Malayo Polynesia tersebut terjadi sekitar 4.000 hingga 3.300 tahun yang lalu. Hal itu
ditandai luasnya distribusi gerabah berpoles merah..
KEMAMPUAN mereka mengarungi lautan jarak jauh, mendorongnya untuk terus
mencari daerah baru yang kemungkinan lebih baik, atau lebih nyaman untuk hidup.
Mereka telah mengenal strategi lompat katak. Dari pulau yang satu melompat ke pulau
yang lain yang lebih dekat. Demikian seterusnya, sampai mereka tiba di pulau yang
paling jauh.
Bahasa Proto Malayo Polynesia tersebut berkembang di kawasan barat nusantara
sedangkan di kawasan Halmahera, Maluku, berkembang dan menjadi pusat bahasabahasa Proto Central Malayo Polynesi. Bahasa-bahasa Proto Eastern Malayo
Polynesia berkembang di daerah Kepala Burung, Papua Barat dan bahasa-bahasa Proto
Oceanic berkembang di Kepulauan Bismarck, Pasifik Barat dan sekitarnya.
Bentuk rumpun bahasa Austronesia ini tumbuh lebih menyerupai bentuk garu
ketimbang bentuk pohon. Mengapa? Karena semua proto-bahasa dalam bentuk ini, dari
Proto Malayo Polynesia hingga ke Proto Oceania menunjukkan kesamaan kognat yang
tinggi, yakni lebih dari 84 persen dari 200 pasangan kata. Demikian menurut pakar
arkeologi Daud Aris Tanudirjo.
Sementara itu menurut pakar bahasa Austronesia, Peter Bellwood, berbagai proto-bahasa
yang pernah tersebar dari Filipina sampai Kepulauan Bismarck, boleh dikatakan satu
bahasa, namun dengan sedikit perbedaan variasi dialek.

Austromelanesoid Mongoloid
Mungkin Anda bertanya, nama makhluk apa lagi ini? Apakah ini nenek moyang kita?
Jawabnya bukan! Sabar.
Dari hasil penemuan dan penelitian di pegunungan Sewu, bagian tengah Jawa TengahJawa Timur, para ahli menemukan kohabitasi, bercampurnya dua suku bangsa di suatu
wilayah, yaitu ras Australo-melanesid dengan ras Mongoloid dalam waktu yang hampir
bersamaan. Kohabitasi dua ras tersebut jauh sebelum datangnya para penutur Austronesia
yang berciri ras Mongoloid.

(1) Dalam situs purbakala di kawasan Jateng-Jatim tersebut ditemukan kerangka


Austromelanesoid yang dikubur dalam posisi terlipat. Di tempat yang sama juga
ditemukan kerangka Mongoloid dikubur dalam posisi terbujur.
(2) Penemuan kerangka manusia purba di daerah Wajak, dekat Tulungagung, Jawa
Timur, menunjukkan ciri-ciri ras Mongoloid pada bagian wajahnya, sekaligus
menunjukkan ciri-ciri ras Austromelanesid pada bentuk umum tengkoraknya. Dari bukti
tersebut dapat disimpulkan, bahwa nenek moyang bangsa Indonesia adalah
1. percampuran antara dua ras Austromelanesid dan Mongoloid yang mendiami
bumi nusantara ini, gelombang demi gelombang, dalam waktu berabad-abad,
kemudian bercampur dengan
2. rumpun Asia dari India,
3. bercampur lagi dengan rumpun Aria dari India, dan
4. bercampur lagi dengan bangsa Semit dari Eropa, di masa-masa modern
sesudahnya.Dari bukti-bukti arkeologis tersebut di atas maka orang akan sulit jika
menetapkan mana sebenarnya yang disebut bangsa Indonesia yang asli. Apalagi
sekarang! Zaman globalisasi. Kini dunia rasanya sudah menjadi satu. Kita
sekarang sudah menjadi satu warga negara, warga negara dunia.
Kemanusiaan yang adil dan beradab seperti yang diamanatkan oleh Sila ke-dua
Pancasila seharusnya sudah menjadi way of life semua bangsa di dunia.
Apapun ideologinya, apapun filosofinya, apapun agamanya.

Anda mungkin juga menyukai