Syukri La Ranti
I.
PENDAHULUAN
Gangguan panik merupakan salah satu jenis gangguan cemas kronik yang ditandai
oleh serangan panik parah yang berulang dan tak terduga, frekuensi serangannya
bervariasi mulai dari beberapa kali serangan dalam setahun hingga beberapa
serangan dalam sehari. Serangan panik dapat pula terjadi pada jenis gangguan
cemas yang lain, namun hanya pada gangguan panik, serangan terjadi meskipun
tidak terdapat faktor presipitasi yang jelas.1,2,3,4,5
Gangguan panik dapat timbul bersama gangguan mood, dengan gejala mood
secara potensial meningkatkan onset serangan panik. Gangguan panik juga bisa
didiagnosis dengan atau tanpa agoraphobia. Selain itu gangguan panik juga
biasanya menyertai penyakit somatik (comorbid) seperti PPOK, IBS, migraine, dan
meningkatkan frekuensi serangan jantung. Oleh karena itu skrening dan
pemeriksaan yang tepat terhadap gangguan panik sangat dibutuhkan untuk efikasi
terapi, efisiensi biaya dan waktu pengobatan.1,2,3
Pasien gangguan panik sering ditemukan pada mereka yang berada pada usia
produktif yakni antara 18-45 tahun. Selain itu penderita gangguan panik lebih
umum ditemukan pada wanita, terutama mereka yang belum menikah serta wanita
post-partum, serangan panik jarang ditemukan pada wanita hamil.1,2,3,5
II.
Selama serangan panik pasien senantiasa berkeinginan untuk kabur dan merasa
ajalnya hampir menjelang akibat perasaan terkecekik dan berdebar-debar. Gejala
lain yang dapat timbul pada serangan panik adalah sakit kepala, tangan terasa
dingin, timbulnya pemikiran-pemikiran yang mengganggu, dan merenung.1,3,4,5
Terdapat 2 tipe diagnosis gangguan panik, yakni gangguan panik tanpa agorafobia
dan yang disertai agorafobia. Diagnosis dieksklusi bila serangan panik terjadi pada
kondisi di bawah pengaruh obat atau terjadi karena didahului gangguan mental
lainnya.1,2,3,4,5
III.
PEMICU PANIK
Salah satu upaya untuk mengatasi gangguan panik adalah dengan cara
menjauhkan pasien dari segala pemicu gangguan panik. Adapun beberapa pemicu
gangguan panik antara lain:
Cedera (oleh sebab kecelakaan atau operasi)
Penyakit somatik
Adanya konflik dengan orang lain
Penggunaan ganja
Penyalahgunaan stimulan seperti caffeine, decongestant, cocaine dan obatobatan simpatomimetik (seperti amfetamin, MDMA)
Berada pada tempat-tempat tertutp atau tempat umum (terutama pada
gangguan panik yang disertai agoraphobia)
Penggunaan sertraline, yang dapat menginduksi pasien gangguan panik yang
awalnya asimptomatik
Sindrom putus obat golongan SSRI, yang dapat mendinduksi gejala-gejala yang
menyerupai gangguan panik.
Pada beberapa penelitian, gejala-gejala serangan panik sering timbul pada pasien
penderita gangguan panik yang mengalami hiperventilasi, menginhalasi CO2,
konsumsi caffeine, atau yang mendapat injekasi natrium laktat hipertonis atau
larutan salin hipertonis, kolesistokinin, isoproterenol, fulamazenil, atau
naltrexone.1,5
IV.
ETIOLOGI
Etiologi sangat berperan dalam proses pemberian terapi pada pasien dengan
gangguan panik. Beberapa penelitian menunjukkan gangguan panik dapat
diturunkan akibat disfungsi neurokimia dengan perkiraan tingkat heritabilitasnya
(heritability) 0,3-0,6%. Meskipun begitu, hingga kini analisis segregasi masih belum
PENATALAKSANAAN
Terapi Medikasi
Terdapat 3 golongan besar obat yang dianjurkan untuk mengatasi gangguan panik,
yakni golongan SSRI, trisiklik, dan MAOI (Monoamine oxidase inhibitor). Sedangkan
golongan benzodiazepin hingga saat ini masih dianggap kontoversial dalam terapi
gangguan panik.1,2,3,4,5
2.a.
Fluoxetine dalam salut memiliki masa paruh waktu yang panjang sehingga cocok
digunakan untuk pasien yang kurang patuh minum obat. Selain itu waktu paruh
yang panjang dapat meminimalisir efek withdrawl yang dapat terjadi ketika pasien
lelah atau tiba-tiba menghentikan penggunaan SSRI.1,3
Contoh Obat Golongan SSRI
Fluoxetine (Prozac)
Fluoxetine secara selektif menghambat reuptake seotonin presinaptik, dengan efek
minimal atau tanpa efek sama sekali terhadap reuptake norepinephrine atau
dopamine.
Paroxetine (Paxil, Paxil CR)
Ini merupakan SSRI alternatif yang bersifat sedasi karena cara kerjanya berupakan
inhibitor selektif yang poten terhadap serotonin neuronal dan memiliki efek yang
lemah terhadap reuptake norepinephrine dan dopamine.
Sertraline (Zoloft)
Cara kerjanya mirip fluoxetine namun memiliki efek inhibisi yang lemah pada
reuptake norephinephrine dan dopamine neuronal.
Fluvoxamine (Luvox, Luvox CR)
Fluoxamine merupakan inhibitor selektif yang juga poten pada reuptake serotonin
neuronal serta secara signifikan tidak berikatan pada alfa-adrenergik, histamine
atau reseptor kolinergik sehingga efek sampingnya lebih sedikit dibanding obatobatan jeis trisiklik.
Citalopram (Celexa)
Citalopram meningkatkan aktivitas serotonin melalui inhibisi selektif reuptake
serotonin pada membran neuronal. Efek samping antikolinergik obat ini lebih
sedikit.
Escitalopram (Lexapro)
Escitalopram merupakan enantiomer citalopram. Mekanisme kerjanya mirip dengan
citalopram.
Efek Samping SSRI
Efek samping SSRI biasanya timbul selama 1-4 minggu pertama ketika tubuh mulai
mencoba beradaptasi dengan obat (kecuali efek samping seksual yang timbul pada
fase akhir pengobatan). Biasanya penggunaan SSRI mencapai 6-8 minggu ketika
obat mulai mendekat potensi terapi yang menyeluruh. Adapun beberapa efek
samping SSRI antara lain: anhedonia, insomnia, nyeri kepala, tinitus, apati, retensi
urin, perubahan pada perilaku seksual, penurunan berat badan, mual, muntah dan
yang ditakutkan adalah efek sampinng keinginan bunuh diri dan meningkatkan
perasaan depresi pada awal pengobatan.1,3
Dosis Alprazolam
Dewasa: 0.25-0.5 mg 3x/hr, dapat ditingkatkan dengan interval 3-4 hr s/d maks 4
mg/hr dalam dosis terbagi. Lansia, pasien lemah fisik dan disfungsi hati berat: 0.25
mg 2-3x/hr
Interaksi Alprazolam
Efek ditingkatkan oleh depresan SS, alkohol, barbiturat. Eksresi dihambat ole
simetidin
Kemasan Alprazolam
Tablet 0.5 mg x 10 x10
Diazepam (Valium, Diastat, Diazepam Intensol)
Diazepam meruapakan salah satu jenis benzodiazepin yang potensinya rendah.
Namun dapat digunakan untuk mengatasi serangan panik.
Interaksi Obat
Adapun beberapa interaksi obat yang harus diperhatikan pada penggunaan terapi
medikasi gangguan panik antara lain:6
Obat anti-panik trisiklik (Imipramine/Clomipramine) +
Haloperidol(Phenothiazine) = mengurangi kecepatan ekskresi dari trisiklik sehingga
kadar dalam plasma meningkat, sebagai akibatnya dapat terjadi potensiasi efek
samping antikolinergik seperti ileus paralitik, disuria, gangguan absorbsi dan lainlain.
Obat trisiklik/SSRI + CNS Depressant (alkohol, opioid, benzodiazepine, dll)
menyebabkan potensiasi efek sedasi dan penelanan terhadap pusat pernapasan
bahkan dapat terjadi gagal napas.
Obat trisklik/SSRI + Obat simpatomimetik (derivat amfetamin) = dapat
membahayakan kondisi jantung.
Obat trisiklik/SSRI + MAOI tidak boleh diberikan bersamaan karena dapat terjadi
Serotonin Malignant Syndrome. Perubahan penggunaan trisiklik/SSRI menjadi MAOI
atau sebaliknya harus menunggu waktu sekitar 2-4 minggu untuk wash out period.
Obat trisiklik + SSRI, dapat meningkatkan toksisitas obat trisiklik.
4.
VI.
KESIMPULAN
jenis lain menjadi terapi lini kedua. CBT saja mungkin efektif digunakan untuk terapi
jangka panjang, namun efikasi terapi dapat bertambah serta tingkat relaps dapat
berkurang jika CBT dikombniasikan dengan terapi medikasi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Memon MA. Panic disorder. Updated on March 2011. [Cited on June 2011].
Available from: http://emedicine.medscape.com/article/287913-overview
2.
Cloos JM. Treatment of panic disorder. Updated on January 2005. [Cited on June
2011]. Available from: http://www.medscape.com/viewarticle/497207_1
3. Saddock BJ & Saddock VA. Panic disorder and agoraphobia. In: Kaplan &
Sadock's Synopsis of Psychiatry: Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry, 10th Ed.
USA: Lippincott Williams & Wilkins; 2007. Sec.16.2
4. Greist JH &Jefferson JW. Anxiety disorder. In: Review of General Psychiatry. 5th
Ed. Baltimore: Vishal. 2000. Cp.21.
5. McLean PD & Woody SR. Panic diorder and agoraphobia. In: Anxiety Disorders in
Adults. Vancouver: Oxford University Press; 2001. Cp.5
6. Maslim R Obat anti-panik. Dalam: Penggunaan Klinis Obat Psikotropika. Edisi
Ketiga. Jakarta: PT Nuh Jaya; 2007. Hal.52-56
You might also like:
Makalah Distosia
Linkwithin
Labels: EMEDICINE, improbable topic, jiwa, refarat, refarat jiwa jam 7/05/2011
03.47.00 AM