I. PENDAHULUAN
Pembangunan sumberdaya alam dan lingkungan hidup seyogyanya menjadi
acuan bagi kegiatan berbagai sektor pembangunan agar tercipta keseimbangan dan
kelestarian fungsi sumberdaya alam dan lingkungan hidup sehingga keberlanjutan
pembangunan tetap terjamin.
Pola pemanfaatan sumberdaya alam seharusnya dapat memberikan akses
kepada segenap masyarakat, bukan terpusat pada beberapa kelompok masyarakat
dan golongan tertentu, dengan demikian pola pemanfaatan sumberdaya alam harus
memberi kesempatan dan peran serta aktif masyarakat, serta meningkatkan
kemampuan masyarakat untuk mengelola sumberdaya alam secara berkelanjutan.
Peranan pemerintah dalam perumusan kebijakan pengelolaan sumberdaya
alam harus dapat dioptimalkan, karena sumberdaya alam sangat penting peranannya
terutama dalam rangka meningkatkan pendapatan negara melalui mekanisme pajak,
retribusi dan bagi hasil yang jelas dan adil, serta perlindungan dari bencana ekologis.
Sejalan dengan otonomi daerah, pendelegasian secara bertahap wewenang
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam pengelolaan sumberdaya alam
dimaksudkan untuk meningkatkan peranan masyarakat lokal dan tetap terjaganya
fungsi lingkungan.
Peraturan perundang-undangan yang mengatur pengelolaan sumberdaya
alam harus dapat mengurangi tumpang tindih peraturan penguasaan dan
pemanfaatan sumberdaya alam dan keselarasan peran antara pusat dan daerah serta
antar sektor. Selain itu peran serta aktif masyarakat dalam akses dan kontrol
sumberdaya alam harus lebih optimal karena dapat melindungi hak-hak publik dan
hak-hak adat.
Meningkatnya intensitas kegiatan penduduk dan industri perlu dikendalikan
untuk mengurangi kadar kerusakan lingkungan di banyak daerah antara lain
pencemaran industri, pembuangan limbah yang tidak memenuhi persyaratan teknis
dan kesehatan, penggunaan bahan bakar yang tidak aman bagi lingkungan, kegiatan
pertanian, penangkapan ikan dan pengelolaan hutan yang mengabaikan daya dukung
dan daya tampung lingkungan.
Dengan memperhatikan permasalahan dan kondisi sumberdaya alam dan
lingkungan hidup dewasa ini, maka kebijakan di bidang pengelolaan sumberdaya alam
dan lingkungan hidup ditujukan pada upaya :
(1) mengelola sumberdaya alam, baik yang dapat diperbaharui maupun yang tidak
dapat diperbaharui melalui penerapan teknologi ramah lingkungan dengan
memperhatikan daya dukung dan daya tampungnya;
(2) menegakkan hukum secara adil dan konsisten untuk menghindari perusakan
sumberdaya alam dan pencemaran lingkungan;
(3) mendelegasikan kewenangan dan tanggung jawab kepada pemerintah daerah
dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup secara bertahap;
(4) memberdayakan masyarakat dan kekuatan ekonomi dalam pengelolaan
sumberdaya alam dan lingkungan hidup bagi peningkatan kesejahteraan
masyarakat lokal;
(5) menerapkan secara efektif penggunaan indikator-indikator untuk mengetahui
keberhasilan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup;
(6) memelihara kawasan konservasi yang sudah ada dan menetapkan kawasan
konservasi baru di wilayah tertentu; dan
(7) mengikutsertakan masyarakat dalam rangka menanggulangi permasalahan
lingkungan global.
Sasaran yang ingin dicapai adalah terwujudnya pengelolaan sumberdaya
alam yang berkelanjutan dan berwawasan keadilan seiring meningkatnya
kesejahteraan masyarakat serta meningkatnya kualitas lingkungan hidup sesuai
dengan baku mutu lingkungan yang ditetapkan, serta terwujudnya keadilan antar
generasi, antar dunia usaha dan masyarakat, dan antar negara maju dengan negara
berkembang dalam pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang
optimal.
II. ARAH KEBIJAKAN
Untuk mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan di atas, GBHN 1999
mengamanatkan bahwa :
1) Mengelola sumberdaya alam dan memelihara daya dukungnya agar bermanfaat
bagi peningkatan kesejahteraan rakyat dari generasi ke generasi;
2) Meningkatkan pemanfaatan potensi sumberdaya alam dan lingkungan hidup
dengan melakukan konservasi, rehabilitasi dan penghematan penggunaan,
dengan menerapkan teknologi ramah lingkungan;
3) Menerapkan indikator-indikator yang memungkinkan pelestarian kemampuan
keterbaharuan dalam pengelolaan sumberdaya alam yang dapat diperbaharui
untuk mencegah kerusakan yang tidak dapat balik;
4) Mendelegasikan secara bertahap wewenang peperintah pusat kepada pemerintah
daerah dalam pelaksanaan pengelolaan sumberdaya alam secara selektif dan
pemeliharaan lingkungan hidup dengan kualitas ekosistem tetap terjaga yang
diatur dengan Undang-Undang;
5) Mendayagunakan sumberdaya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat
dengan memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup,
Kesebandingan:
Tindakan yang membatasi perdagangan tidak boleh
melampaui batas yang memang diperlukan untuk melindungi lingkungan.
Subsidioritas: Jika kepentingan lingkungan sudah terpenuhi tanpa tindakan
yang mempengaruhi perdagangan, maka tindakan yang mengganggu
perdagangan harus ditiadakan.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Beberapa pokok pemikiran yang mendasari ISO seri 14000 adalah sebagai berikut:
1.
2.
3.
4.
5.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
10
(5) Tanggapan dan masukan harus sudah diterima oleh Panitia Teknis Perumusan
Standar paling lambat 14 hari sebelum Forum Konsensus diselenggarakan.
4.2.4. Forum Konsensus
(1)
(2)
(3)
11
(2)
(5)
(6)
(7)
4
Sertifikasi Sistem Manajemen Lingkungan, Sertifikasi Label Lingkungan, Sertifikasi
Hasil Uji serta Sertifikasi auditor Lingkungan dilaksanakan oleh lembaga-lembaga
Sertifikasi.
a. Sertifikasi Sistem Manajemen Lingkungan dilaksanakan oleh Lembaga
Sertifikasi Sistem Manajemen Lingkungan
b. Sertifikasi Label Lingkungan dilaksanakan oleh Lembaga Sertifikasi Label
Lingkungan
c. Sertifikasi Auditor Lingkungan dilaksanakan oleh Lembaga Sertifikasi
Personil Lingkungan.
d. Sertifikasi Hasil Uji dilaksanakan oleh Laboratorium Penguji.
12
13
14
5.
Setiap organisasi, tanpa batasan bidang kegiatan, jenis kegiatan, skala kegiatan
dan status organisasi, dapat mengimplementasikan Sistem Pengelolaan Lingkungan
tersebut untuk mencapai kinerja lingkungan yang lebih baik secara sistematis.
lmplementasi sistem tersebut bersifat sukarela dan berperan sebagai alat pengelolaan
untuk memanajemen organisasi masing-masing.
5.1. AMDAL dalam Pengelolaan Lingkungan
Setiap kegiatan pembangunan secara potensial mempunyai dampak terhadap
lingkungan.
Dampak-dampak ini harus dipelajari untuk merencanakan upaya
mitigasinya. Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 1993 (PP 51/1993) tentang Analisis
Mengenal Dampak Lingkungan (AMDAL) menyatakan bahwa studi tersebut harus
merupakan bagian dari studi kelayakan dan menghasilkan dokumen-dokumen
sebagai berikut:
1. Kerangka Acuan (KA) ANDAL, yang memuat lingkup studi ANDAL yang
dihasilkan dari proses pelingkupan.
2. Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL), yang merupakan inti studi AMDAL.
ANDAL memuat pembahasan yang rinci dan mendalam tentang studi
terhadap dampak penting kegiatan yang diusulkan.
3. Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL), yang memuat usaha-usaha yang
harus dilakukan untuk mitigasi setiap dampak lingkungan dari kegiatan yang
diusulkan.
4. Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL), yang memuat rencana
pemantauan dampak lingkungan yang akan timbul.
RKL dan RPL merupakan persyaratan mandatory menurut PP 51/1993,
sebagai bagian kelengkapan dokumen AMDAL bagi kegiatan wajib AMDAL. Untuk
kegiatan yang tidak wajib AMDAL, penanggulangan dampak lingkungan yang timbul
memerlukan:
1. Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL)
2. Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL)
3. Pertanggung-jawaban pelaksanaan audit, antara auditor dan manajemen
organisasi.
4. Komunikasi temuan-temuan audit.
5. Kompetensi audit.
6. Bagaimana audit akan dilaksanakan.
Sebagai dasar pelaksanaan Audit Lingkungan di Indonesia, telah dikeluarkan
Kepmen LH No. 42/MENLH/11/1994 tentang Prinsip-Prinsip dan Pedoman Umum
Audit Lingkungan. Dalam Lampiran Kepmen LH No. 41/94 tersebut didefinisikan
15
bahwa:
"Audit lingkungan adalah suatu alat pengelolaan yang meliputi evaluasi secara
sistematik terdokumentasi, periodik dan obyektif tentang bagaimana suatu
kinerja organisasi, sistem pengelolaan dan pemantauan dengan tujuan
memfasilitasi kontrol pengelolaan terhadap pelaksanaan upaya pengendalian
dampak lingkungan dan pengkajian kelayakan usaha atau kegiatan terhadap
peraturan perundang-undangan tentang pengelolaan lingkungan".
"Audit Lingkungan suatu usaha atau kegiatan merupakan perangkat
pengelolaan yang dilakukan secara internal oleh suatu usaha atau kegiatan
sebagai tanggungjawab pengelolaan dan pemantauan lingkungannya. Audit
lingkungan bukan merupakan pemeriksaan resmi yang diharuskan oleh suatu
peraturan perundang-undangan, melainkan suatu usaha proaktif yang
diIaksanakan secara sadar untuk mengidentifikasi permasalahan lingkungan
yang akan timbul sehingga dapat dilakukan upaya-upaya pencegahannya".
Peraturan tersebut menggaris-bawahi pentingnya implementasi suatu sistem
pengelolaan lingkungan untuk meningkatkan kinerja lingkungan. Hal ini selaras
dengan substansi dari ISO seri 14000.
5.2. Produksi Bersih dalam Pengelolaan Lingkungan
Berdasarkan pengalaman pelaksanaan upaya pengendalian dampak
lingkungan selama ini, dapat dikaji beberapa pokok penting sebagai berikut:
1. Produksi limbah terus meningkat.
2. Karakteristik limbah semakin kompleks sehingga limbah semakin sulit
diolah.
3. Biaya pengolahan dan pembuangan limbah semakin mahal.
4. Mengolah limbah ternyata lebih mahal daripada mencegah terbentuknya
limbah.
5. Pengolahan limbah hanya memindahkan limbah dari satu media ke media
lainnya.
6. Pencemaran lingkungan terus berlanjut.
7. Peraturan yang ada masih terfokus pada pengolahan dan pembuangan
limbah dan belum mencakup usaha-usaha pencegahannya.
8. Adanya dampak globalisasi terhadap daya saing produk di pasar
lnternasional.
Berdasarkan hal~hal tersebut di atas, maka pengendalian dampak lingkungan
harus berpola proaktif dengan urutan prioritas:
1. Prinsip pencegahan pencemaran (pollution prevention)
2. Pengendalian pencemaran (pollution control),
3. Remediasi (remediation).
16
17
Baku mutu limbah cair adalah batas kadar yang diperbolehkan bagi zat atau
bahan pencemar untuk dibuang dari sumber pencemaran ke dalam air pada sumber
air , sehingga tidak mengakibatkan dilampauinya baku mutu air.
Baku mutu udara ambien adalah batas kadar yang diperbolehkan bagi zat atau
bahan pencemar terdapat di udara, namun tidak menimbulkan gangguan terhadap
makhluk hidup, tumbuh-tumbuhan dan atau benda
Baku mutu udara emisi adalah batas kadar yang diperbolehkan bagi zat atau
bahan pencemar untuk dikeluarkan dari sumber pencemaran ke udara, sehingga
tidak mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien
Baku mutu air laut adalah batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi atau
komponen lain yang ada atau harus ada , dan zat atau bahan pencemar yang
ditenggang adanya dalam air laut.
6.2. Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kawasan Industri
(KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN RIDUP,
03/MENLH/l/1998)
NOMOR:
KEP-
Dalam rangka untuk melestarikan lingkungan hidup agar tetap bermanfaat bagi
manusia serta makhluk hidup lainnya perlu dilakukan pengendalian terhadap
pembuangan limbah cair ke media lingkungan. Kegiatan pembuangan limbah cair oleh
kawasan industri mempunyai potensi menimbulkan pencemaran lingkungan hidup,
oleh karena itu perlu dilakukan pengendalian.
Untuk melaksanakan pengendalian pencemaran air sebagaimana telah
ditetapkan dalam Pasal 15 Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1990 tentang
Pengendatian Pencemaran Air, perlu ditetapkan lebih lanjut Baku Mutu Limbah Cair.
Kawasan Industri adalah kawasan tempat pemusatan kegiatan industri yang
dilengkapi dengan prasarana dan sarana penunjang yang dikembangkan dan dikelola
oleh Perusahaan Kawasan hidustri yang telah memiliki Izin Usaha Kawasan Industri.
Perusahaan Kawasan Industri adalah perusahaan yang mengusahakan
pengembangan dan/atau pengelolaan Kawasan Industri.
Baku Mutu Limbah Cair Kawasan Industri adalah batas maksimum limbah
cair yang diperbolehkan dibuang ke lingk-ungan hidup dari suatu Kawasan
Industri.
Limbah Cair Kawasan Industri adalah limbah dalam bentuk cair yang dihasilkan
oleh kegiatan Kawasan Industri yang dibuang ke lingkungan hidup dan diduga dapat
menurunkan kualitas lingkungan hidup.
Mutu Limbah Cair adalah keadaan limbah cair yang dinyatakan dengan debit,
kadar dan beban pencemar.
Debit maksimum adalah debit tertinggi yang masih diperbolehkan dibuang ke
lingkungan hidup.
Kadar maksimum adalah kadar tertinggi yang masih diperbolebkan dibuang ke
lingkungan hidup.
Beban pencemaran maksimum adalah beban pencemaran tertinggi yang masih
diperbolehkan dibuang ke lingkungan hidup.
18
Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kawasan Industri yang telah mempunyai Unit
Pengolah Limbah Terpusat adalah sebagaimana tersebut dalam Keputusan ini. Bagi
Kawasan Industri yang belum mempunyai Unit Pengolah Limbah Terpusat berlaku
Baku Mutu Limbah Cair bagi jenis-jenis industri sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. Kadar maksimum dari masing-masing parameter atau debit
limbah maksimum sebagaimana tersebut dalam Keputusan ini dapat dilampaui
sepanjang beban pencemaran maksimum tidak dilampaui (Pasal 2).
Gubemur dapat menetapkan parameter tambahan di luar parameter Baku
Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud dalam Keputusan ini dengan persetujuan
Menteri (Pasal 3).
Gubernur dapat menetapkan Baku Mutu Limbah Cair lebih ketat dari ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Keputusan ini. Apabila Gubemur tidak menetapkan
Baku Mutu Limbah Cair yang lebih ketat maka berlaku Baku Mutu Limbah Cair
sebagaimana diatur dalam Keputusan ini. (Pasal 4).
Apabila analisis mengenai dampak lingkungan untuk kawasan industri
mensyaratkan Baku Mutu Limbah Cair lebih ketat dari Baku Mutu Limbah Cair
Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, maka untuk kawasan industri tersebut
ditetapkan Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana yang dipersyaratkan oleh analisis
mengenai dampak lingkungan (Pasal 5 ).
Setiap penanggung jawab Perusahaan Kawasan lndustri wajib untuk (Pasal 6):
a. Melakukan pengelolaan limbah cair sehingga mutu limbah cair yang dibuang
ke lingkungan hidup tidak melampaui Baku Mutu Limbah Cair yang telah
ditetapkan;
b. Membuat saluran pembuangan limbah cair yang kedap air sehingga tidak
terjadi perembesan limbah cair ke lingkungan;
c. Memasang alat ukur debit atau laju alir limbah cair dan melakukan
pencatatan debit harian limbah cair tersebut;
d. Memeriksakan kadar parameter Baku Mutu Limbah Cair secara periodik
sekurang-kurangnya 1 (satu) kali dalam sebulan;
e. Memisahkan saluran pembuangan limbah air dengan limpasan air hujan;
f. Menyampaikan laporan tentang luas lahan yang terpakai, catatan debit
harian dan kadar parameter Baku Mutu Limbah Cair sekurang-kurangnya 6
bulan sekali kepada Kepala Bapedal, Bapedalda Tingkat I, Bapedalda
Tingkat II, Instansi Teknis yang membidangi kawasan industri, dan instansi
lain yang dianggap perlu sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Setiap penanggungjawab Perusahaan Kawasan industri dilarang melakukan
pengenceran limbah cair (Pasal 7).
Apabila Baku Mutu Limbah Cair kegiatan kawasan industri telah ditetapkan
sebelum Keputusan ini maka (Pasal 8):
19
(a) Baku Mutu Limbah Cairnya lebih ketat atau sama dengan Baku Mutu
Limbah Cair sebagaimana dimaksud dalam Keputusan ini dinyatakan tetap
berlaku;
(b) Baku Mutu Limbah Cairnya lebih longgar daripada Baku Mutu Limbah Cair
sebagaimana dimaksud dalam Keputusan ini wajib disesuaikan dengan
Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud dalam Keputusan ini
selambat-lambatnya 1 (satu) tahun setelah ditetapkannya Keputusan ini.
BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KAWASAN INDUSTRI
PARAMETER
KADAR MAKSIMUM
(mg/liter)
50
100
200
6.0 - 9.0
BOD5
COD
TSS
pH
BEBAN PENCEMARAN
MAKSIMUM
(kg/hari.Hari)
4.3
8.6
17.2
DEBIT LIMBAH CAIR MAKSIMUM: 1 L per detik per HA lahan kawasan yang terpakai.
PERHITUNGAN BEBAN PENCEMARAN MAKSIMUM UNTUK MENENTUKAN MUTU
LIMBAH CAIR
Penerapan baku mutu limbah cair pada pembuangan limbah cair melalui
penetapan beban pencemaran maksimum sebagaimana tercantum dalam Lampiran I
didasarkan pada juralah unsur pencemar yang terkadung dalam aliran limbah cair.
Untuk itu digunakan perbitungan sebagai berikut :
1.
Keterangan :
BPM = Beban Pencemaran Maksimum yang diperbolehkan, dinyatakan dalam kg
parameter per hari
(Cm)j = Kadar maksimum parameter j seperti tercantum dalam Lampiran I Keputusan
ini, dinyatakan dalam mg/I.
Dm = Debit limbah cair maksimum seperti tercantuin dalam Lampiran 1, dinyatakan
dalam L limbah cair per detik per hektare.
A
= Luas lahan kawasan yang terpakai, dinyatakan dalam hektare (HA)
f
= faktor konversi =
1 kg
24 x 3600 detik
20
.................
(II.2. 1)
Keterangan
BPA = Beban pencemaran sebenarnya, dinyatakan dalam kg parameter per hari
(CA)j = Kadar sebenarnya parameter j, dinyatakan dalam mg/l
DA
= Debit limbah cair sebenarnya, dinyatakan dalam liter/detik
f
= faktor konversi = 0,086
3.
Evaluasi
Penilaian beban pencemaran adalah :
BPA tidak boleh melewati BPM
4.
Contoh Penerapan
Data yang diambil dari lapanan untuk penerapan Baku Mutu Limbah Cair Kawasan
Industri adalah:
- Luas areal kawasan industri yang terbangun (A) [hektare,ha]
- Kadar sebenarnya (CA) untuk setiap parameter [mg/liter]
- Debit limbah hasil pengukuran (DA) [liter/detik]
Contoh perhitungan:
Suatu kawasan industri mempunvai luas lahan kawasan terpakai 1.500 hektar.
Parameter dari Lampiran 1 yang akan dijadikan contoh perhitungan adalah
parameter (j) BOD.
Dari Lampiran 1 diketahui :
- Debit maksimum yang diperbolehkan (Dm) = 1 liter/detik/ha
- Untuk parameter BOD diketahui:
Kadar maksimum (Cm) = 50 mg/liter
- Beban maksimum yang diperbolehkan = 4.3 kg/hari/ha
21
Data
Lapangan:
= Cm x Dm x f x A
= 50 x 1 x 0.086 x 1.500
= ( 4.3 kg/hari/ha ) x
1.500 ha
= 6.450 kg/hari
Dari contoh di atas BPA (5.160 kg/hari) lebih kecil dari pada BPM (6.450 kg/hari), jadi
untuk parameter BOD kawasan tersebut menenuhi Baku Mutu Limbah Cair.
22
DAFTAR PUSTAKA
Agenda 21 Indonesia. 1996. Menteri Negara Lingkungan Hidup
Brian Rothery. 1995. ISO 14000. Sistem Manajemen Lingkungan. Seri Manajemen
No. 179. PT. Pustaka Binaman Pressindo. Jakarta.
Canter, L.W. 1977. Environmental Impact Assessment. McGraw-Hill Book Company,
New York.
Canter, L.W. dan L.G.Hill. 1979. Handbook of Variables for Environmental Impact
Assessment. Ann Arbor Science, Publishers Inc, Ann Arbor, Michigan.
Chanlett, E.T. 1973. Environmental Protection. McGraw-Hill Book Company, new York.
Frenkiel, F.N. dan Goodall, D.W. 1976. Simulation Modelling of Environmental
Problems. John Wiley and Sons New York, USA.
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKuNGAN HIDUP NOMOR: KEP-03/ MENLH /
1/ 1998, TEINTANG BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KAWASAN INDUSTRI.
TANGGAL15 JANUARI 1998
Ott, W.R. 1978. Environmental Indices. Theory and Practice.Ann Arbor Science
Publishers Inc., Michigan.
Thomas, W.A. 1972. Indicators of Environmental Quality, Environmental Science
Research Series Vol 1. Plenum Press, New York, 1972.