Anda di halaman 1dari 43

BAB III

TATA CARA DAN HAMBATAN PERIHAL PENANGKAPAN YANG


DILAKUKAN PENYIDIK ( PADA SUATU PERKARA PIDANA) KHUSUSNYA
DI WILAYAH HUKUM POLISI SEKTOR KOTA MEDAN BARU

A. Persyaratan Penangkapan
Jangka waktu penangkapan hanya berlaku paling lama untuk jangka waktu 1 hari
(24 jam). Sebelum dilakukan suatu penangkapan oleh pihak kepolisian maka terdapat
syarat materiil dan syarat formil yang harus dipenuhi terlebih dahulu. Yang dimaksud
dengan syarat materiil adalah adanya suatu bukti permulaan yang cukup bahwa
terdapat suatu tindak pidana. Sedangkan syarat formil adalah adanya surat tugas, surat
perintah penangkapan serta tembusannya. Apabila dalam waktu lebih dari 1 x 24 jam,
tersangka tetap diperiksa dan tidak ada surat perintah untuk melakukan penahanan,
maka tersangka berhak untuk segera dilepaskan.
Perintah penangkapan menurut ketentuan pasal 17 KUHAP dilakukan terhadap
seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang
cukup. Berdasarkan penjelasan pasal 17 KUHAP, definsi dari bukti permulaan yang
cukupialah bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana sesuai dengan

Universitas Sumatera Utara

ketentuan pasal 1 butir .Pasal ini menunjukan bahwa perintah penagkapan tidak dapat
dilakukan dengan sewenang-wenang, tetapi ditujukan kepada mereka yang betul-betul
melakukan tindak pidana.
Disamping itu ada pendapat lain mengenai "bukti permulaan yang cukup" , yaitu
menurut Darwan Prints, SH, dalam bukunya Hukum Acara Pidana dalam praktek,
Penerbit Djambatan dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, cetakan revisi
tahun 2002, halaman 50-51, bukti permulaan yang cukup adalah :
Menurut Surat Keputusan Kapolri SK No. Pol. SKEEP/04/I/1982.
Kapolri dalam surat keputusannya No. Pol.SKEEP/04/I1982,tanggal 18
Februari menentukan bahwa, bukti permulaan yang cukup itu adalah bukti yang
merupakan keterangan dan data yang terkandung di dalam dua di antara:
1.

Laporan Polisi;

2.

Berita Acara Pemeriksaan di TKP;

3.

Laporan Hasil Penyelidikan;

4.

Keterangan Saksi/saksi ahli; dan

5.

Barang Bukti.

Yang telah disimpulkan menunjukan telah terjadi tindak pidana kejahatan. 21


Menurut drs. P. A. F Lamintang, SH
Bukti permulaan yang cukup dalam rumusan pasal 17 KUHAP itu harus
diartikan sebagai bukti-bukti minimal, berupa alat-alat bukti seperti dimaksud dalam
Pasal 184 (1) KUHAP, yang dapat menjamin bahwa Penyidik tidak akan menjadi
terpaksa untuk menghentikan penyidikannya terhadap seseorang yang disangka
melakukan tindak pidana setelah terhadap orang tersebut dilakukan penangkapan. 22
Menurut Rapat Kerja MAKEHJAPOL tanggal 21 Maret 1984
21
22

Din Muhamad, S.H.1987 : 12


drs.P.A.F.Lamintang,SH.1984 : 117

Universitas Sumatera Utara

Bukti permulaan yang cukup seyogyanya minimal: Laporan Polisi ditambah


salah satu alat bukti lainnya. 23
Adapun pihak yang berwenang hak melakukan penangkapan menurut KUHAP adalah:
Penyidik yaitu :
1. Pejabat polisi Negara RI yang minimal berpangkat inspektur Dua (Ipda).
2. Pejabat pegawai negeri sipil yang diberi wewenang khusus UU, yang sekurangkurangnya berpangkat Pengatur Muda Tingkat I (Golongan II/b atau yang
disamakan dengan itu).
Penyidik pembantu, yaitu :
1. Pejabat kepolisian Negara RI dengan pangkat minimal brigadier dua (Bripda).
2. Pejabat pegawai negeri sipil di lingkungan kepolisian Negara RI yang minimal
berpangkat Pengatur Muda (Golongan II/a atau yang disamakan dengan itu).
Kecuali tertangkap tangan melakukan tindak pidana, warga negara berhak menolak
penangkapan atas dirinya yang dilakukan oleh pihak diluar ketentuan diatas.
Warga negara yang diduga sebagai tersangka dalam peristiwa pidana berhak
melihat dan meminta surat tugas dan surat perintah penangkapan terhadap dirinya. Hal
ini sebagaimana ketentuan pasal 18 ayat (1) KUHAP yang menyatakan :
Pelaksanaan tugas penangkapan. dilakukan oleh petugas kepolisian negara
Republik Indonesia dan petugas tersebut wajib :
1. Menyerahkan Surat Perintah Penangkapan kepada tersangka, yang memuat
identitas tersangka (nama lengkap, umur, pekerjaan, dan agama) dan alasan
penangkapan yang dilakukan atas diri tersangka dan uraian singkat perkara
kejahatan yang dipersangkakan, serta tempat tersangka diperiksa.

23

Din Muhamad, S.H.1987 : 12

Universitas Sumatera Utara

2. Menyerahkan tembusan Surat Perintah Penangkapan kepada keluarga tersangka,


sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) KUHAP, segera setelah
penangkapan terhadap tersangka dilakukan.
Saat dilakukan penangkapan terhadap tersangka, tersangka berhak bebas dari segala
tindakan penyiksaan ataupun intimidasi dalam bentuk apapun dari aparat yang
menangkapnya.
Dalam hal tertangkap tangan, penangkapan dapat dilakukan tanpa Surat Perintah
Penangkapan. Akan tetapi Petugas atau Orang lain yang menangkapnya wajib
menyerahkan tersangka dan barang bukti kepada penyidik atau penyelidik pembantu
terdekat. Penangkapan hanya dapat dilakukan paling lama untuk satu hari ( 24 jam ).
Untuk Kasus narkotika dan Psikotropika, status tersangka yang tertangkap tangan
waktunya 1 x 24 jam, dan dapat diperpanjang 2x24 jam, hal ini diatur dalam pasal 67
UU No 22 thn 1997 yang kemudian menjadi tahanan tersangka oleh penyidik 20 hari,
dan perpanjangan untuk kejaksaan 40 hari.
Bagi tersangka yang melakukan pelanggaran tidak diadakan penangkapan, kecuali
apabila

ia

telah

dipanggil

secara

sah

dua

kali

berturut-turut

dan

tidak

mengindahkannya, tanpa alasan yang sah ( Pasal 9 KUHAP ). Sedangkan untuk Tindak
Pidana Khusus seperti Tindak Pidana Narkotika, Tindak Pidana Korupsi Tindak Pidana
Ekonomi, dan lain-lain, penangkapan dapat dilakukan oleh jaksa selaku penyidik untuk
paling lama satu tahun.

B. Penahanan tersangka dalam keadaan tertangkap tangan.


Tertangkap tangan adalah tertangkapnya seorang pada waktu sedang melakukan
tindak pidana, atau dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan,
atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang

Universitas Sumatera Utara

melakukannya, atau apabila sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga
keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana itu yang menunjukkan bahwa
ia adalah pelakunya atau turut melakukan atau membantu melakukan tindak pidana itu
(pasal 1 butir 9 KUHAP).

Adapun unsur dari pasal tersebut di atas, adalah :


1. Tertangkapnya seseorang. Hal ini berarti ada orang yang tertangkap
2. Pada waktu sedang melakukan Tindak Pidana. Artinya, orang itu tertangkap selaku
melakukan tindak pidana itu.
3. Atau segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan. Artinya si pelaku
tertangkap beberapa saat setelah melakukan tindak pidana. Segera berarti bahwa
jarak antara terjadinya tindak pidana dan tertangkapnya si pelaku tidak terlalu lama,
sehingga tidak ada keragu-raguan, bahwa tersangka adalah pelakunya.
4. Atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang
melakukannya. Artinya pelaku ketika melakukan perbuatan pidananya terlihat oleh
khalayak ramai, lalu diserukan sebagai pelakunya dan ketika ia melarikan diri
ditangkap oleh orang ramai tersebut.
5. Atau sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga keras telah
dipergunakan untuk melakukan tindak pidana, yang menunjukkan bahwa ia adalah
pelakunya atau turut melakukan atau membantu melakukan tindak pidana itu.
Artinya tidak berapa lama atau jarak antara terjadinya tindak pidan dengan
ditemukannya bukti-bukti,

bahwa dia adalah

pelaku/pembantu/turut

serta

melakukan tindak pidana itu. Dalam hal ini yang ditemukan padanya adalah alat
yang dipergunakan untuk melakukan tindak pidana tersebut, seperti : Bong alat

Universitas Sumatera Utara

yang dipakai untuk menggunakan sabu-sabu atau parang yang digunakan untuk
membunuh orang atau dan lain-lainnya sesuai dengan pasal 184 KUHAP.
Dalam hal tertangkap tangan, khalayak atau orang yang menangkap tersangka tidak
boleh main hakim sendiri, tetapi segera setelah segera berhasil menangkap tersangka,
mereka harus secepatnya menyerahkannya kepada penyidik atau polisi terdekat, guna
pengusutan lebih lanjut.
HIR menyebutkan tertangkap tangan ini dengan nama kedapatan tengah berbuat,
yaitu bila kejahatan/tindak pidana kedapatan sedang dilakukan, atau bila dengan segera
kedapatan sesudah dilakukan, atau bila dengan segera sesudah itu ada orang diserukan
oleh suara ramai sebagai orang yang melakukannya, atau bila padanya kedapatan
barang-barang, senjata-senjata, alat perkakas atau surat-surat yang menunjukkan bahwa
kejahatan

atau

pelanggaran

itu

ia

yang

melaksanakannya

atau

membantu

melakukannya.
Dalam hal kedapatan tengah melakukan suatu kejahatan /tindak pidana, maka
tiap-tiap pegawai kekuasaan umum wajib, dan tiap-tiap orang berhak menahan si
tertuduh dan akan membawanya kepada salah seorang pegawai penuntut umum atau
kepada seorang jaksa pembantu (HIR Pasal 60 ayat 1).
Sementara menurut KUHAP Tersangka dalam tindak pidana Umum harus
diserahkan kepada polisi, selaku penyidik tunggal dalam hal tindak pidana Umum.
Dalam hal penahanan tersangka yang tertangkap tangan ini, setelah tersangka
tertangkap tengah berbuat atau setelah berbuat atau memiliki barang bukti maka ia
harus diserahkan dan ditahan selama 3x24 jam untuk kepentingan penyidikan lebih
lanjut. Hal tertangkap tangan dapat disesuaikan dengan Peraturan :

Pasal 65 ayat 7 UU No. 22 Tahun 1997 menangkap dan menahan orang yang
disangka melakukan tindak pidana narkotika dan,

Universitas Sumatera Utara

Pasal 69 ayat 5 UU No. 22 Tahun 1997 Untuk keperluan penyidikan,


penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, penyidik menyisihkan
sebagian barang sitaan untuk diperiksa atau diteliti di laboratorium tertentu yang
ditunjuk oleh Menteri Kesehatan, dan dilaksanakan selambat-lambatnya dalam
waktu 3 X 24 (tiga kali dua puluh empat) jam sejak dilakukan penyitaan.

Tersangka yang tertangkap tangan waktu penahanannya 1 x 24 jam, dan dapat


diperpanjang 2x24 jam, hal ini diatur dalam pasal 67 UU No 22 thn 1997 yang
kemudian menjadi tahanan tersangka oleh penyidik 20 hari, dan perpanjangan untuk
kejaksaan 40 hari.

C. Penangkapan untuk Kepentingan Penuntutan dan Peradilan.


Definisi penangkapan menurut pasal 1 butir 20 KUHAP adalah suatu tindakan
penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa
apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau
peradilan.
Penangkapan dilakukan untuk kepentingan penuntutan dan peradilan yang dimulai dari
penyelidikan dan penyidikan untuk mendapatkan bukti permulaan yang kemudian
dilakukannya penangkapan.
Dalam hal melakukan penangkapan, Hak Asasi Tersangka harus sangat
diperhatikan agar tidak terjadi kekerasan atau pun pelanggaran HAM terhadap
tersangka guna kepentingan penuntutan dan peradilan.
HIR dinilai dan belum memberikan jaminan dan perlindungan terhadap hak
asasi manusia, maka dalam KUHAP dicantumkannya jaminan perlindungan
HAM/tersangka dan terdakwa seperti yang termuat dalam The Universal Declaration
of Human Rights serta The International Covenant on Civil and Political Rights

Universitas Sumatera Utara

beserta Optional Protocolnya, khususnya yang termuat dalam Article 9, 10

serta

Article 11. Asas yang mengatur perlindungan terhadap hak-hak tersangka/terdakwa


sebagaimana ditentukan dalam The Universal Declaration of Human Rights telah
diletakkan di dalam UU tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman,
yaitu UU Nomor 14 Tahun 1970 yang telah dicabut dan diganti dengan UU Nomor: 4
Tahun 2004, selanjutnya dalam Penjelasan Umum dari KUHAP memperinci asas-asas
tersebut sebagai berikut:
1. Perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum,
2. Penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan hanya dilakukan
berdasarkan perintah tertulis oleh yang berwenang dan dengan cara yang diatur
dengan Undang-Undang;
3. Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di
muka sidang Pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan
Pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap;
4. Kepada seorang yang ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan
yang berdasarkan UU dan atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau
hukum yang diterapkan wajib diberi ganti kerugian dan rehabilitasi sejak tingkat
penyidikan dan para pejabat penegak hukum yang dengan sengaja atau karena
kelalaiannya menyebabkan asas hukum tersebut dilanggar, dituntut, dipidana
dan atau dikenakan hukum administrasi;
5. Peradilan yang harus dilakukan dengan cepat, sederhana dan biaya ringan serta
bebas, jujur dan tidak memihak;
6. Setiap orang yang tersangkut perkara wajib diberi kesempatan memperoleh
bantuan hukum;

Universitas Sumatera Utara

7. Kepada seorang tersangka, sejak saat dilakukan penangkapan dan atau


penahanan selain wajib diberitahu dakwaan dan dasar hukum apa yang
didakwakan kepadanya, juga wajib diberitahukan haknya itu termasuk hak
untuk menghubungi dan minta bantuan penasehat hukum dll. Pengakuan dan
perlindungan terhadap hak tersangka/terdakwa diatur kembali dalam Pasal 17
s.d. Pasal 19 UU Nomor: 39 Tahun 1999 Tentang HAM.
Sebagai perwujudan asas yang memberi perlindungan tehadap hakhak azasi
manusia sebagai tersangka atau terdakwa dalam keseimbangannya dengan kepentingan
umum dan sekaligus merupakan perbedaan yang fundamental dengan HIR (hukum
acara pidana lama), dalam KUHAP seseorang terdakwa tidak dapat dibebani kewajiban
pembuktian karena Penuntut Umum yang mengajukan tuduhan terhadap terdakwa,
maka Penuntut Umumlah yang dibebani tugas pembuktian kesalahan terdakwa dengan
upayaupaya pembuktian yang diperkenankan oleh undangundang.
Sebagai seseorang tersangka/terdakwa yang belum dinyatakan bersalah
diberikan hak untuk segera mendapatkan pemeriksaan dalam phase penyidikan, hak
segera mendapat pemeriksaan oleh Pengadilan dan mendapat putusan seadiladilnya,
hak untuk diberi tahu tentang apa yang disangkakan/didakwakan kepadanya dengan
bahasa yang dimengerti olehnya, hak untuk menyiapkan pembelaan, hak untuk
mendapat juru bahasa, hak untuk mendapatkan bantuan hukum dan hak untuk
mendapatkan kunjungan keluarganya dan kerohanian, serta hak ganti kerugian jika
ternyata penangkapan, penahanan, penuntutan/peradilan ternyata tidak berdasarkan UU
atau ternyata orangnya salah.
Sebaliknya kepada penyidik dan/atau penuntut umum diberikan syarat yang
berat, yaitu batasan-batasan dan syarat-syarat yang logis dan definitif, misalnya untuk
dapat atau tidaknya menentukan status sebagai tersangka harus berdasarkan bukti

Universitas Sumatera Utara

permulaan yang patut (Pasal 1 Angka 14 KUHAP). Demikian halnya dalam


dilakukannya upaya paksa terhadap hak dasar seseorang seperti penangkapan,
penahanan, penggeledahan badan dan rumah, penyitaan dan pemeriksaan/pembukaan
surat dalam proses setiap perkara pidana, ditentukan disamping harus berdasarkan
proses yang definitif juga dengan syarat materiil yang harus dipenuhi oleh penyidik
agar tidak dilakukan secara sewenang-wenang yang kesemuanya dibawah pengawasan
ketua pengadilan negeri setempat. baik melalui pemberian ijin atau dengan cara
pembatalan upaya paksa tersebut atas permintaan tersangka dengan praperadilan.
Ijin Ketua Pengadilan
Penyidik dalam melakukan penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan surat
berdasarkan Pasal 33, 38, 43 dan Pasal 47 harus berdasarkan Ijin Ketua/Wakil
Pengadilan Negeri setempat (untuk selanjutnya kami singkat dengan Pengadilan saja).
Ijin Penggeladahan, penyitaan dan pemeriksaan surat dari Pengadilan tidak jarang
disalah artikan sebagai birokrasi yang bertele-tele dan mempersulit penyidikan perkara.
Namun yang berkembang sekarang ini bahwa ijin tersebut dianggap sebagai kewajiban
dari Pengadilan untuk mengeluarkan dan sebaliknya adalah menjadi suatu hak penyidik
polisi atau jaksa yang harus dikeluarkan oleh Pengadilan. Demikian halnya ijin
perpanjangan penahanan oleh Jaksa kepada penyidik dianggap sebagai kewajiban bagi
Jaksa dan hak penyidik Polisi, atau ijin pengadilan untuk perpanjangan penahanan
khusus guna keperluan penyidikan dan atau penuntutan
Kurangnya pemahaman dan penghayatan Ketua/Wakil Pengadilan atas dasar,
makna dan tujuan dari memberikan ijin penggeledahan, penyitaan dan pembukaan surat
sehingga salah mengamalkan dan dalam kenyataannya justru ada anggapan bahwa ijin
tersebut hanya sekedar formalitas atau tindakan administratif karena yang menanggung
resikonya atau yang bertanggung jawab adalah penyidik atau yang mengajukan

Universitas Sumatera Utara

permohonan ijin, sehingga Pengadilan tidak jarang menandatangani ijin tersebut dalam
keadaan kosong, yang pengisian diserahkan sepenuhnya kapada juru ketik.
Ketidak tahuan fungsi pemberian ijin dalam hal penyitaan, penggeledahan,
pembukaan surat dan perpanjangan penahanan tersebut sebagai lembaga kontrol atas
kesewenang-wenangan atau pelanggaran hak-hak dasar dari tersangka/terdakwa
merupakan kemunduran besar dari kommitmen penegakan HAM. Kurangnya
pemahaman dari maksud dan tujuan pemberian ijin-ijin di atas oleh pemberi ijin
tersebut merupakan andil besar dalam kemunduran dan kemerosotan dari kemampuan
penyidik dan jaksa penuntut umum menghormati serta melindungi hak asasi
terdakwa/terdakwa dalam melaksanakan tugas penyidikan dan penuntutan.
Pemberian Ijin penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaaan surat semakin tidak
diperhatikan dan tidak dianggap penting karena Ijin tersebut dapat diganti dengan
persetujuan

dari

Ketua

Pengadilan

Negeri

setelah

dilakukannya

penyitaan,

penggeledahan serta pemeriksaaan surat tersebut dengan alasan keadaan yang sangat
perlu dan mendesak dan tertangkap tangan. Dalam praktek permohonan yang
biasanya hanya dilampiri dengan berita acara penyitaan diajukan oleh penyidik untuk
mendapatkan

Persetujuan

Pengadilan

atas

penyitaan,

penggeledahan

serta

pemeriksaaan surat yang telah dilakukan penyidik sebelumnya hampir tidak pernah
ditolak oleh Pengadilan.
Tidak seperti halnya masalah penangkapan, penahanan serta penghentian
penyidikan/penuntutan yang keabsahannya dapat diuji melalui praperadilan, sedangkan
penyitaan, penggeledahan dan pemeriksaan surat tidak dapat diuji dan tidak
dimasukkan dalam materi praperadilan. Yang mana menurut penulis karena penyitaan,
penggeledahan maupun pemeriksaan surat tersebut sudah atas dasar

Ijin atau

pesetujuan Pengadilan.

Universitas Sumatera Utara

Pembuat UU Tentang KUHAP pada saat itu nampaknya sangat percaya kepada
pengadilan/ketua pengadilan akan mempunyai kemampuan untuk memahami serta
dapat mengemban sebagai benteng supaya tidak terjadinya pelanggaran hak asasi
tersangka/terdakwa oleh jaksa dan penyidik melalui alat control ijin/persetujuan
tersebut, sehingga tidak ada aturan untuk mengajukan keberatan jika ternyata
penyitaan, penggeledahan atau pemeriksaan surat itu dilakukan sewenang-wenang oleh
penyidik.
Diakui pembentuk UU untuk pertama sekali diundangkan bahwa KUHAP pada
hakekatnya baru merupakan bentuk formal, namun yang dapat merubah wajah
masyarakat Indonesia memberi jaminan dan perlindungan hak azasi atau menjadi lebih
berperi-kemanusiaan melalui KUHAP akan ditentukan dalam pelaksanaan dan
penyelenggaraannya oleh segenap anggota dari pada penegak hukum. Loebby Logman
mengatakan penerapan hukum hanya mencapai sasaran jika pelaksananya memahami
apa maksud dan tujuan dari pembentuk Undang-undang itu sendiri.
Pemberlakuan KUHAP untuk menggantikan HIR sebagai hukum acara pidana
dalam penjelasannya ditegaskan, karena HIR disamping tidak sesuai dengan Negara
Kesatuan (membedakan warga pribumi dan keturunan) juga tidak sesuai dengan asas
Negara Hukum yang menjamin hak asasi manusia dan hak-hak tersangka/terdakwa.
Hal ini dipertegas lagi dalam Penjelasan Pasal 33 KUHAP yang menyatakan, fungsi
pengawasan melalui pemberian Ijin Ketua Pengadilan Negeri kepada penyidik dalam
melakukan penggeledahan rumah guna untuk menjamin hak asasi seseorang atas rumah
kediamannya.
Pembuatan KUHAP yang melibatkan semua komponen seperti diuraiakan di
muka dan melalui perdebatan panjang akhirnya memberikan kepercayaan penuh
kepada ketua/wakil ketua pengadilan negeri sebagai pejuang hak asasi tersangka dan

Universitas Sumatera Utara

atau terdakwa melalui pemberian ijin atau persetujuan sita dll supaya terhindar dari
perbuatan kesewenang-wenagan oleh penyidik polisi dan jaksa untuk pada saat
sekarang ini seolah-oleh disepakati untuk dilupakan para pendekar hukum kita,
misalnya Jaksa, Polisi dan Hakim kecuali para Advokat yang selalu dianggap opposan
dan tidak masuk dalam struktur namun selalu berjuang untuk kebenaran.
Ketua/Wakil Ketua Pengadilan Negeri sebagai pemegang mandat dan benteng
atas kesewenagan polisi dan jaksa dalam penyitaan dan lainnya hendak terlebih dulu
memeriksa berkas perkara secara teliti apakah sudah memenuhi persyaratan yang
ditetapkan oleh KUHAP atau belum, terutama ijin penyitaan terhadap benda yang
menjadi sumber mata pencarian tersangka/terdakwa seperti Angkot dll.
Praperadilan
Praperadilan adalah lembaga baru untuk melaksanakan wewenang Pengadilan
Negeri dalam hal memeriksa dan memutus (Pasal 1 Angka 10 Jo Pasal 77 KUHAP)
tentang:

sah

atau

tidaknya

penangkapan,

penahanan,

penghentian

penyidikan/penuntutan dan ganti kerugian dan atau rehabilitasi oleh yang perkara
pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan atau tidak diajukan ke
Pengadilan. Namun jika dilihat dari kewenangan praperadilan melalui putusannya
maka materi praperadilan selain yang disebutkan di atas juga dapat memutuskan
apakah benda yang disita masuk atau tidak masuk alat bukti (Pasal 82 KUHAP).
Untuk menentukan sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan, pertama
sekali dilihat atau dipertanyakan, apakah penahanan itu dilakukan oleh pejabat yang
berwenang untuk itu, selanjutnya apakah dilakukan sesuai dengan syarat matriil serta
harus dilakukan menurut cara/prosedur yang ditentukan dalam KUHAP.
Harus Dilakukan Oleh Pejabat Yang Berwenang

Universitas Sumatera Utara

Penangkapan dapat dilakukan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan,


penuntutan atau untuk persidangan harus berdasarkan Surat Perintah dari Panyidik,
sedangkan Pelaksana Tugas Penangkapan (bukan tertangkap tangan) dalam Pasal 18
Ayat 1 KUHAP ditentukan adalah Petugas Kepolisian RI. Berdasarkan aturan di atas
jelas pelaksana tugas penangkapan yang dilakukan oleh penyelidik atau penyidik
pembantu atau penyidik dengan Surat Perintah penyidik baik untuk kepentingan
penyelidikan, penyidikan, penuntutan atau persidangan adalah Pejabat Kepolisian RI
dengan Surat Tugas dan Surat Perintah Penangkapan, maka penangkapan yang
dilakukan oleh selain Petugas Kepolisian RI, seperti yang dilakukan oleh Jaksa selama
ini sebagaimana dibaca di berbagai media massa adalah tidak sah sama sekali.
Sehingga termohon dalam praperadilan dapat diajukan terhadap pejabat lainnya,
misalnya, TNI melakukan penangkapan/penahanan terhadap Sipil atau

Sat. Pol.

Pamong Praja (PP), Kejaksaan dan lainnya.


Dalam penahanan yang berwenang untuk melakukan penahanan adalah
disesuaikan dengan kepentingannya, yaitu untuk kepentingan penyidikan dilakukan
oleh penyidik atau penyidik pembantu atas perintah penyidik, penahanan atau
penahanan lanjutan untuk kepentingan penuntutan dilakukan oleh penuntut umum,
sedangkan untuk kepentingan pemeriksaan hakim di sidang, pengadilan dengan
penetapannya berwenang melakukan penahanan ((Pasal 1 Angka 21 Jo Pasal 20
KUHAP).
Sedangkan penyidik menurut Pasal 1 Angka 1 Jo Pasal 6 KUHAP adalah
pejabat polisi Negara RI atau pejabat pengawai negeri sipil tertentu yang diberi
wewenang khusus oleh UU (dalam hal ini perlu digaris bawahi bahwa UU tidak sama
dengan Peraturan Perundang-undangan, sebab Peraturan Perundang-Undangan adalah
meliputi dan secara hierarki berdasarkan UU Nomor 10 Tahun 2004 adalah UUD RI

Universitas Sumatera Utara

1945; UU/Perpu; Peraturan Pemerintah; Peraturan Presiden; Peraturan Daerah) untuk


melakukan penyidikan. Sebaliknya penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik
dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam KUHAP untuk mencari serta
mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana
yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
Dengan ditentukannya secara definitif hanya ada dua penyidik yaitu Pejabat
Polisi RI dan PNS yang diberi wewenang khusus oleh Undang-undang. Sedangkan jika
ditinjau dari pengertian penyidikan yaitu serangkaian tindakan penyidik. Dengan
demikian penyidikan hanya dapat dilakukan oleh penyidik (Pejabat Polisi RI dan PNS
Tertentu) jika menggunakan KUHAP. Yang menjadi permasalahan sekarang ini adalah
adanya penyidikan yang dilakukan oleh yang bukan penyidik (Pejabat Polisi RI dan
PNS tertentu), yaitu penyidikan yang dilakukan oleh Jaksa terhadap tindak pidana
korupsi (bukan penyidik menurut KUHAP),

namun dalam penyidikan tidak

menggunakan ketentuan khusus acara pidana justru tetap dengan mempergunakan


KUHAP.
Dalam praktek Jaksa dalam melakukan penangkapan/penahanan untuk
kepentingan penyidikan didasarkan pada Pasal 284 Ayat 2 KUHAP Jo Pasal 17 PP
Nomor 27 Tahun 1983 yang menurut hemat penulis tidak tepat. Sebab dalam Pasal 284
Ayat 2 KUHAP ditentukan, dalam waktu dua tahun setelah KUHAP ini diundangkan,
maka terhadap semua perkara diberlakukan ketentuan KUHAP ini, dengan
pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana
tersebut pada UU tertentu sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi.
Dari ketentuan Pasal 284 Ayat 2 KUHAP sangat jelas ada 2 kategori secara
kumulatif untuk tidak memberlakukan KUHAP yaitu 1). dalam hal adanya ketentuan
khusus acara pidana dan 2). ketentuan khusus itu berdasarkan UU. Selanjutnya dalam

Universitas Sumatera Utara

penjelasan pasal tersebut diuraikan, Yang dimaksud dengan ketentuan khusus acara
pidana sebagaimana tersebut pada UU tertentu ialah ketentuan khusus acara pidana
sebagaimana tersebut pada, antara lain: UU Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika
dan UU Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika.

Harus Terpenuhi Syarat Materiil.


Seseorang yang dilaporkan atau diadukan tidak dengan sendirinya terlapor
tersebut menjadi tersangka, karena untuk dapat menetapkan seseorang/terlapor menjadi
tersangka menurut Pasal 1 Angka 14 KUHAP adalah seorang yang karena
perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai
pelaku tindak pidana. Selanjutnya tidak semuanya tersangka dengan sendirinya dapat
dilakukan penangkapan atau penahanan.
Menurut Pasal 1 Angka 20-21 ada dua syarat sah atau tidaknya penangkapan
dan/atau penahanan yaitu pertama, Dalam Hal yang diatur dalam KUHAP (syarat
materiil) dan yang kedua Menurut Cara yang diatur dalam KUHAP (syarat formil)
Salah satu syarat materiil untuk dapat dilakukan penangkapan adalah hanya
terhadap tersangka/terdakwa tindak pidana kejahatan, sebab dalam Pasal 19 Ayat (1)
KUHAP ditentukan, penangkapan tidak dapat dilakukan terhadap palaku pelanggaran,
misalnya pelanggaran lalulintas jalan raya. Sedangkan untuk Penahanan menurut Pasal
21 Ayat (4) KUHAP hanya dapat dilakukan terhadap tersangka/terdakwa tindak pidana
yang ancamannya pidananya lebih dari 5 (lima) tahun atau kecuali ditentukan lain
dalam Undang-Undang.
Syarat materiil lainnya untuk perintah penangkapan dan/atau penahanan adalah
dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan
bukti permulaan yang cukup (Pasal 17 Pasal 21 (1) KUHAP). Dalam Pedoman

Universitas Sumatera Utara

Pelaksanaan KUHAP yang dikeluarkan Menteri Kehakiman berdasarkan Surat


Keputusan Nomor: M-01.PW.07.03 TH. 1982, dasar bagi diperkenankannya suatu
penahanan terhadap seseorang harus adanya dasar menurut hukum dan dasar menurut
keperluan.

Dasar menurut hukum ialah adanya dugaan keras berdasarkan bukti yang cukup
bahwa orang itu melakukan tindak pidana, dan ancaman pidana terhadap tindak pidana
itu adalah lima tahun ke atas, atau tindak pidana tertentu yang ditentukan oleh UU,
meskipun ancaman pidananya kurang dari lima tahun.
Dasar menurut keperluan, yaitu adanya kekhawatiran bahwa tersangka atau
terdakwa akan melarikan diri, atau merusak / menghilangkan bukti, atau akan
mengulangi tindak pidana.
Dalam praktek yang sering terjadi silang pendapat dan diperdebatkan antara
Advokat dan Penyidik serta Hakim Praperadilan ada dua pokok persoalan yaitu yang
pertama adalah syarat materiil yaitu apa yang dimaksud dengan berdasarkan bukti
permulaan yang cukup ?
Bukti permulaan dapat diperbandingkan dengan alat bukti yang sah
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 184 KUHAP yaitu meliputi, Keterangan saksi;
Keterangan Ahli; Surat; Petunjuk; (hanya dapat diperoleh dari Keterangan Saksi; Surat;
Keterangan Terdakwa); Keterangan Terdakwa, namun dalam Pasal 185 s.d. Pasal 189
KUHAP ditentukan, keterangan saksi atau ahli diterangkan di persidangan dan dibawah
sumpah, sedangkan alat bukti
jabatannya,

surat harus ditunjukkan dan dibuat atas sumpah

Dengan demikian karena alat bukti yang diperoleh penyidik tidak di

persidangan dan/atau tidak berdasarkan sumpah maka alat bukti itu adalah baru
merupakan bukti permulaan.

Universitas Sumatera Utara

Sedangkan pengertian cukup dalam perkataan bukti permulaan yang cukup


dapat dikonotasikan dengan isi Pasal 183 KUHAP yang menentukan, untuk menjadi
tegaknya kebenaran, keadilan dan kepastian hukum bagi seorang, Hakim tidak boleh
menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua
alat bukti yang sah. Dengan demikian penangkapan dan/atau penahanan harus
berdasarkan sekurang-kurangnya dua bukti permulaan.
Permasalahan pokok yang kedua adalah apakah lembaga praperadilan
berwenang menilai syarat materiil tersebut (sudah berdasarkan bukti permulaan yang
cukup atau tidak) ? Dalam praktek baik penyidik polisi/jaksa selalu berpendapat bahwa
hakim praperadilan hanya berwenang untuk menilai syarat formil yaitu apakah proses
penahanan itu sudah sesuai dengan prosedur atau tidak, sedangkan penilaian terhadap
apakah penahanan itu sudah berdasarkan bukti yang cukup atau tidak sudah merupakan
materi pokok perkara, sehingga praperadilkan tidak mempunyai kewenangan untuk
menilai, yang mana alasan yang demikian itu justru sering dikabulkan atau diikuti
hakim praperadilan.
Dalam Pedoman Pelaksanaan KUHAP yang dikeluarkan Menteri Kehakiman
dijelaskan, untuk menjamin supaya ketentuan dasar penahanan menurut hukum maupun
dasar penahanan menurut kepentingan dalam Pasal 21 Ayat (1) KUHAP diindahkan
telah dilakukan pengawasan baik yang dilaksanakan oleh atasan di instansi masing
masing (built in control), maupun pengawasan antar penegak hukum (checking), yaitu
dengan meminta pemeriksaan dan putusan oleh hakim tentang sah atau tidaknya
penangkapan/penahanan atau apa yang disebut pemeriksaan Praperadilan.
Bahwa menurut Prof. Loebby Loqman, bahwa walaupun penahanan itu dapat
dilihat dari syarat formil namun syarat formil itu ada karena terlebih dulu ada syarat

Universitas Sumatera Utara

materiil, sehingga praperadilan harus terlebih dulu menguji syarat materiil, yaitu ada
atau tidak adanya bukti permulaan yang cukup dalam hal penangkapan/penahanan.

Harus Terpenuhi Syarat Formil.


Bahwa walaupun telah dipenuhinya syarat materiil untuk perintah penangkapan
dan/atau penahanan terhadap tersangka, namun melaksanakan penangkapan dan/atau
penahanan tersebut tidak dapat dilakukan sewenang-wenang, tetapi harus dengan
prosedure atau tata-cara yang telah ditentukan dalam KUHAP.
Dalam praktek sehari-hari baik oleh penyidik, advokat, jaksa maupun hakim
tidak banyak memperhatikan perbedaan syarat formil antara penangkapan dan
penahanan, misalnya orang yang ditangkap pada umumnya selalu dimasukkan ke
dalam Sel atau Rutan Polisi. Dalam Surat Perintah Penangkapan (Pasal 18 Ayat (2)
KUHAP) harus dicantumkan tempat

tersangka diperiksa, sedangkan dalam Srt

Perintah Penahanan harus mencantumkan tempat dimana penahanan dilakukan (Pasal


21 Ayat (2) KUHAP). Dengan mencantumakan tempat pemeriksaan dalam Srt Print.
Penangkapan dihubungkan dengan waktu penahanan paling lama untuk 1(satu) hari
(Pasal 19 Ayat (1) KUHAP), maka segera setelah diadakan penangkapan terhadap
tersangka, penyidik harus melakukan pemeriksaan dan dalam satu hari telah dapat
diperoleh hasilnya untuk ditentukan apakah penangkapan tersebut dapat dilanjutkan
dengan penahanan atau tidak.
Sebagaimana diuraikan di atas dan yang sering terlupakan adalah Pasal 18 Ayat
(1) KUHAP, bahwa dalam hal apapun bentuk dan tujuan/fungsinya Pelaksana Tugas
Penangkapan adalah hanya dapat dilakukan oleh Petugas Kepolisian Negara RI dengan

Universitas Sumatera Utara

memperlihatkan Surat Tugas. Namun hal ini sering di abaikan dengan dalil tidak ada
larangan bagi jaksa melakukan penangkapan, sehingga menjadi tontonan menggelikan
ketika polisi menonton jaksa kalah bergulat pada waktu melakukan penangkapan
melalui siaran tv.
Untuk lebih lengkapnya syarat formil penangkapan dan penahanan adalah
sebagai berikut, bahwa Penangkapan dilakukan oleh Petugas Kepolisian Negara RI
dalam melakukan penangkapan harus memperlihatkan Surat Tugas serta memberikan
kepada tersangka Surat Perintah Penangkapan (SPP) yang dikeluarkan oleh pejabat
kepolisian Negara RI yang berwenang melakukan penyidikan di daerah hukumnya.
sebelum penangkapan dilakukan. dikeluarkan yang mencantumkan : identitas
tersangka; menyebutkan alasan penangkapan; uraian singkat perkara kejahatan yang
dipersangkakan dan tempat ia diperiksa (Pasal 18 Ayat (1) KUHAP) serta dilakukan
hanya untuk satu hari (Pasal 19 Ayat (1) KUHAP). memberikan Tembusan surat
perintah penangkapan kepada keluarganya segera setelah penangkapan dilakukan.
Sedangkan untuk Penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan oleh penyidik
atau penuntut umum terhadap tersangka atau terdakwa dengan memberikan surat
perintah penahanan atau penetapan hakim yang mencantumkan: identitas tersangka
atau terdakwa dan menyebutkan alasan

penahanan serta uraian singkat perkara

kejahatan yang dipersangkakan atau didakwakan serta tempat ia ditahan; jangka waktu
penahanan; memberikan Tembusan surat perintah penangkapan kepada keluarganya
segera setelah penangkapan dilakukan (Pasal 21 Ayat (2) KUHAP).
Proses Pembuktian
Jika dalam pembuktian perkara perdata hakim bertindak passif artinya,
pembuktiannya diserahkan sepenuhnya kepada para pihak yang bersengketa.
Sebaliknya hakim dalam perkara pidana lebih aktif untuk menemukan keyakinannya

Universitas Sumatera Utara

dalam memutuskan suatu perkara, walaupun beban pembuktian pada dasarnya


sepenuhnya dibebankan kepada Jaksa untuk membuktikan dakwaannya.
Dalam permohonan praperadilan tidak diatur sama sekali apakah mengikuti
acara perdata atau acara pidana, hanya saja dalam Pasal 82 KUHAP ditentukan, dalam
memeriksa dan memutus permohonan praperadilan hakim mendengar keterangan baik
dari tersangka atau pemohon maupun dari pejabat yang berwenang. Dalam praktek
hakim praperadilan kebanyakan menerapkan sistim pembuktian acara perdata, hal ini
dikarenakan ketidak tahuannya atas fungsi praperadilan itu sendiri dan selanjutnya
dengan memakai pembuktian acara perdata, maka hakim tidak memiliki beban.
Sehingga banyak permohonan praperadilan ditolak atau tidak dikabulkan, sebab
kedudukan tersangka yang mengajukan permohonan praperadilan jauh lebih lemah dan
rendah jika dibandingkan dengan Termohon yang melakukan penahanan terhadap
pemohon.
Untuk dapat menentukan sistim pembuktian pada persidangan praperadilan
kiranya perlu dilihat di negara lain yang memiliki lembaga yang mirip dengan
praperadilan yaitu di Negara Belanda disebut Rechter Commissaris,

yang bertugas

sebagai pengawas pada pemeriksaan pendahuluan/penyidikan serta menetapkan siapa


yang berhak melakukan penyidikan suatu perkara pidana. dalam hal adanya sengketa
antar penyidik. Pada Negara-Negara, baik yang menganut sistem hukum Sivil Law
maupun di Negara yang memiliki sistem hukum Common Law dengan Undang-undang
khusus telah memberlakukan lembaga Habeas Corpus.
Di Amerika Serikat selain mengenal lembaga Habeas Corpus juga mengenal
adanya tiga proses acara pengadilan khusus yang disebut Pre-trial Process (seperti
halnya praperadilan di Indonesia) sebelum suatu sidang pengadilan biasa/pokok perkara
(sidang dengan Jury) yaitu Arraignment, Preliminary Hearing serta Pretrial Conference.

Universitas Sumatera Utara

Pre-trial Process ini telah melibatkan polisce, prosecutor, jury serta coroner atau
magistrate, dimana pada tahap pertama setelah penyidik melakukan penahanan dapat
meminta jury agar menanyakan tersangka apakah mengakui kesalahannya atau tidak,
dan jika ternyata tersangka mengakui kesalahannya (plea of quilty) langsung
dilanjutkan ke Trial By Jury (sidang jury), jika tersangka plea of not quilty maka akan
dimatangkan dengan meminta saran dari hakim dengan mengadakan dengar pendapat
antara polisi, jaksa dan hakim (Preminary hearing) dan yang terakhir dilanjutkan
dengan gelar perkara (pretrial conference) untuk apakah seorang tersangka akan
dilanjutkan perkaranya ke sidang Jury atau tidak. Karena yang melibatkan hakim pada
Pre-Trial adalah polisi dan jaksa dengan demikian fungsi Pre Trial Process dalam hal
ini lebih cenderung untuk lebih menjamin kelancaran, keadilan dan efektifitas
persidangan jury.
Jika dibandingkan fungsi Pre-Trial Process di Amerika dan dengan Rechter
Commissaris di Belanda maka Praperadilan di Indonesia lebih cenderung/mirip dengan
Rechter Commissaris, namun perbedaannya adalah bahwa Rechter Commissaris dalam
mengawasi sah atau tidaknya suatu penangkapan/penahanan memiliki kewenangan
untuk memanggil saksi dan tersangka.
Dalam Pedoman Pelaksanaan KUHAP yang dikeluarkan Menteri Kehakiman
berdasarkan Surat Keputusan Nomor:M.01.PW.07.03.Tahun 1982 Tentang Pedoman
Pelaksanaan Kitab Undang undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana,
Praperadilan ini dipersamakan dengan sistim semacam yang disebut Habeas Corpus
di beberapa negara lain.
Habeas Corpus artinya menguasai diri orang, lembaga ini di negara anglo saxon
sebagai control/pengawas terhadap tindakan yang membatasi hak kebebasan seseorang,
misalnya pengawasan penangkapan, penahanan, pendeportasian, penempatan di rumah

Universitas Sumatera Utara

sakit jiwa, penempatan seseorang di pantai asuhan, penempatan di rumah pembinaan


korban narkoba dll.
Lembaga ini memberikan upaya hukum yang cepat dan tepat serta tanpa biaya
dalam hal adanya laporan/pengaduan/permohonan yang mengajukan keberatan atas
hilangnya kemerdekaan seseorang yang diajukan oleh yang bersangkutan atau
kuasanya meleui Pengadilan setempat, dan selanjutnya hakim Pengadilan setempat
mengeluarkan Habeas Corpus yang isinya, Si tertahan (X) berada dalam penguasaan
saudara, Saudara wajib membawa orang itu di depan pengadilan serta wajib
menunjukkan

alasan

yang

menyebabkan

penahanannya,

selanjutnya

hakim

meneliti/memeriksa bukti-bukti yang disesuaikan dengan keterangan orang yang


mengajukan pengaduan itu untuk selanjutnya memutuskan apakah penahanan itu dasar
hukumnya kuat serta dilakukan sesuai dengan prosedur (due process of law). Hakim
proaktif untuk memanggil termohon dan memeriksa bukti sebagai penyebab
dilakukannya penahanan dan tidak terikat atau menjadi gugur dengan telah diajukannya
pokok perkara ke pengadilan
Dalam Penjelasan Pasal 80 KUHAP disebutkan, bahwa praperadilan merupakan
pengawasan horizontal untuk ditegakkannya hukum, kebenaran dan keadilan.
Sedangkan dalam Pedoman Pelaksanaan KUHAP yang keluarkan Menteri Kehakiman
menyebutkan praperadilan merupakan pengawasan dengan sistem cheeking antara
penegak hukum. Dengan demikian lembaga praperadilan sama halnya dengan Rechter
Commissaris dan Habeas Corpus yang berfungsi sebagai pengawas atas pelanggaran
hak asasi tersangka/terddakwa yang dilakukan oleh penyidik/jaksa penuntut umum.
Fungsi hakim sebagai pengawas melalui proses praperadilan sangat berbeda
dengan dengan fungsi hakim sebagai Jury dalam mengadili perkara. Sebagai pengawas
hakim praperadilan

memiliki kewenangan untuk memanggil terlapor pelaku

Universitas Sumatera Utara

pelanggaran hak tersangka serta secara proaktif meneliti/memeriksa dasar menurut


hukum dan dasar menurut kepentingan dilakukannya penahanan serta menilai dan
memutuskan apakah penangkapan atau penahanan sudah berdasarkan bukti yang cukup
atau belum seperti yang dimohonkan oleh tersangka/kuasanya,

atau tidak menilai

kekuatan pembuktian yang diajukan antara Pemohon dengan Termohon seperti halnya
dalam sistem pidana maupun perdata.
Jaminan hakhak asasi terdakwa/tersangka dapat kita rasakan bersama dengan
adanya asas hukum yang merupakan hukum positif di Negara kita ini yang termasuk
didalam dunia peradilan yaitu pada Pasal 8 UndangUndang Nomor 4 Tahun 2004
Tentang Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 18 UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak
Asasi Manusia ditentukan, setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut
dan/atau dihadapkan di depan pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sebelum
adanya putusan pengadilan yang mengatakan kesalahannya memperoleh

kekuatan

hukum yang tetap atau yang biasa dikenal dengan asas The Presumtion Of Innocense.
Oleh karenanya khusus mengenai penahanan terhadap tersangka/terdakwa tidak
cukup dilakukan hanya berdasarkan bukti yang cukup (dasar menurut hukum) tapi
harus juga terpenuhinya salah satu
kekhawatiran

bahwa

tersangka

syarat dasar menurut kepentingan yaitu adanya


atau

terdakwa

akan

melarikan

diri,

atau

merusak/menghilangkan bukti, atau akan mengulangi tindak pidana.


Semoga dengan pemahaman fungsi pengawasan melalui pemberian Ijin Ketua
Pengadilan atau melalui lembaga/sistem praperadilan dalam pelaksanaan dan
penyelenggaraannya oleh segenap anggota dari pada penegak hukum dapat merubah
wajah masyarakat Indonesia memberi jaminan dan perlindungan hak azasi atau menjadi
lebih berperi-kemanusiaan seperti yang diagungkan dalam KUHAP.

Universitas Sumatera Utara

D. Hambatan yang dihadapi Penyidik Polisi Sektor Kota Medan baru dalam
melakukan penangkapan.
Dalam melakukan penangkapan tindak pidana narkoba banyak hambatan-hambatan
yang ditemui Polsekta Medan Baru selaku penyidik untuk mengungkapkan kasus-kasus
tindak pidana narkoba. Hambatan-hambatan yang dihadapi biasanya meliputi :
1. Kurangnya informasi dari masyarakat tentang wilayah mana yang menjadi
sarang peredaran Narkoba, dalam hal ini banyak sebagian warga masyarakat
yang terlihat melindungi atau menutup-nutupi hal peredaran narkoba di
wilayahnya sehingga Para Penyidik atau Polisi mengalami kesulitan untuk
melakukan penangkapan.
2. Tersangka yang melarikan diri ketika tertangkap tangan atau tersangka yang
membuang barang bukti di saat dan sebelum ia tertangkap tangan sehingga
Penyidik Polri tidak bisa sembarangan menangkap dan menahan si tersangka
tanpa ada barang bukti.
3. Adanya Aparat Militer atau Pihak Polisi itu sendiri yang melindungi peredaran
Narkoba tersebut sehingga pihak penyidik lainnya juga mengalami kesulitan
untuk menangkap tersangka pengedar dan pemakai Narkoba.
4. Lemahnya mental dan jiwa para penyidik untuk menangkap peredaran narkoba
karena mereka sendiri sering menerima uang suap dari para mafia pengedar dan
pemakai narkoba.

Universitas Sumatera Utara

5. Adanya pihak keluarga dari para penyidik yang menjadi pengedar narkoba
sehingga penyidik atau polisi masih merasa kasihan dan melindungi
keluarganya yang menjadi pengedar dan pemakai narkoba.
6. Bocornya informasi jadwal Razia, penggerebekan atau penangkapan yang akan
dilakukan oleh para Penyidik atau Polisi kepada para pengedar dan pemakai
narkoba.
7. Para penyidik masih merasa takut jika menangkap para pengedar dan pemakai
narkoba yang merupakan keluarga dari atasannya ataupun Pejabat negara yang
berpangkat tinggi.
8. Ada sebagian dari para penyidik yang menjual barang bukti sitaan kepada para
pengedar narkoba.
Dari hal di atas dapat dilihat beberapa kelemahan para penyidik atau polisi itu
sendiri untuk melakukan penangkapan terhadap kasus narkoba yang kemudian menjadi
hambatan bagi mereka sendiri. Seharusnya para penyidik dan polisi memiliki sikap
yang super tegas untuk melakukan penangkapan dan tidak ikut-ikutan menjadi pemakai
narkoba serta tidak melindungi atau meng-cover para pengedar narkoba untuk
melakukan peredaran Narkoba.

Universitas Sumatera Utara

BAB IV
TATA CARA DAN HAMBATAN PERIHAL PENAHANAN YANG
DILAKUKAN PENYIDIK ( PADA SUATU PERKARA PIDANA) KHUSUSNYA
DI WILAYAH HUKUM POLISI SEKTOR KOTA MEDAN BARU

A. Persyaratan Penahanan
Syarat Penahanan diatur dalam Pasal 21 ayat 1 KUHAP :
Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka
atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidaa berdasarkan bukti yang
cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka
atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau
mengulangi tindak pidana.
Berikut ini dua syarat penahanan :
1. Syarat Obyektif, yaitu syarat tersebut dapat diuji ada atau tidaknya oleh orang
lain;
2. Syarat

Subyektif,

yaitu

karena

hanya

tergantung

pada

orang

yang

memerintahkan penahanan tadi apakah syarat itu ada atau tidak 24


Perintah penahanan terhadap tersangka/terdakwa yang diduga keras melakukan tindak
pidana,selain didasarkan pada BUKTI (alat bukti yang sah) YANG CUKUP, harus
didasarkan pula pada persyaratan lain sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam
KUHAP, yaitu :
24

Moeljanto (1978:25)

Universitas Sumatera Utara

1. Dasar Hukum (Dasar Obyektif)


Mengacuh pada Dasar Obyektif ,maka Proses penahanan dapat dikenakan
terhadap tersangka atau terdakwa yang diduga melakukan tindak pidana dan atau
percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana yang diancam dengan
pidana penjara lima tahun atau lebih,atau tindak pidana sebagaimana dimaksudkan
dalam pasal 21 ayat(4) huruf b KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana).
Berdasarkan ketentuan tersebut maka tidak setiap orang yang diduga melakukan tindak
pidana dapat ditahan dengan alasan demi kepentingan penyidikan,penuntutan atau
pemeriksaan di Pengadilan. Pada sisi yang lain maka dapat diharapkan setiap orang
atau pelaku tindak pidana yang telah memenuhi persyaratan sebagaimana pasal 21 UU
No 8 Tahun 1981 harus ditahan.
Dasar Hukum tersebut juga menghendaki supaya perlakuan adil dengan tentunya
berdasarkan pada pertimbangan Hukum lebih ditonjolkan. Orang yang diduga
melakukan suatu tindak pidana dan memenuhi Dasar Obyektif sebagaimana tersurat
dalam pasal 21 ayat 1 KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) harus
ditahan dan jika tidak maka proses pemberdayaan hukum tidak terjadi melalui suatu
tindakan aparat Penegak Hukum.Tatkala masyarakat terus melihat adanya Kesenjangan
hukum yang mungkin diciptakan oleh seorang Penegak Hukum maka keresahan akan
terus dirasakan dan pada tingkatan krusialnya kepercayaan publik tidak akan ada
terutama kepada Penegak Hukum yang tidak mempunyai tanggung jawab Moral.
Terlebih lagi upaya berbagai pihak baik LSM maupun Lembaga lainnya dalam
mendorong proses Penegakan Hukum di Tanah Papua Khususnya tidak menjadi nyata
karena adanya Pelayan Hukum dari Penegak Hukum yang miskin akan Moralitas.

Universitas Sumatera Utara

2. Dasar Kepentingan (Dasar Subyektif).


Selain didasarkan pada ketentuan Hukum sebagai dasar Obyektif,maka tindakan
penahanan terhadap tersangka/terdakwa juga didasarkan pada Kepentingan (Keperluan)
yaitu : Penyidikan,Penuntutan dan untuk kepentingan Pemeriksaan di Pengadilan
(sebagaimana diatur dalam pasal 20 ayat 1,2 dan 3 KUHAP). Disamping itu, selain
pasal 20 ayat 1,2 dan 3 terdapat juga satu dasar Subyektif yaitu adanya Kekhawatiran
(bagi penyidik, penuntut umum dan Hakim) bahwa Tersangka/Terdakwa akan
melarikan diri,merusak atau menghilangkan alat bukti dan atau mengulangi tindak
pidana (Pasal 21 ayat 1 KUHAP).
Penjabaran pasal demi pasal tidak boleh terputus karena ada keterkaitan.
Sebagai contoh : Proses penahanan yang dilakukan dengan pertimbangan karena
kepentingkan penyidikan, penuntutan atau pemeriksaan di Pengadilan (pasal 20 ayat
1,2 dan 3) harus terkait dengan adanya kekhawatiran bahwa pelaku melarikan diri,
merusak atau menghilangkan alat bukti dan mengulangi tindak pidana (pasal 21 ayat 1)
Pertanyaannya bahwa apakah seorang tersangka/terdakwa dari dasar Subyektif dapat
titahan hanya karena kepentingan? (Pasal 20 ayat 1, 2 dan 3) dan tanpa
mempertimbangkan kekhawatiran akan 3 hal sebagaimana diatur dalam pasal 21 ayat 1
?
Jawabannya harus kedua-duanya terpenuhi. Dengan demikian konsekuensinya
apabila demi kepentingan pemeriksaan akan tetapi tidak terdapat kekhawatiran akan 3
alasan hukum sebagaimana dalam pasal 21 ayat 1, maka seorang tersangka atau
terdakwa tidak perlu ditahan. Karena penahanan yang demikian menciptakan

Universitas Sumatera Utara

kesenjangan hukum bagi pencari keadilan. Apalagi tersangka/terdakwa ditahan tanpa


adanya suatu proses pemeriksaan yang cepat tanpa alasan yang mendasar.
Penyatuan antara kedua dasar diatas, baik Dasar Obyektif maupun Dasar
Subyektif perlu diimplementasikan melalui proses penyidikan,penuntutan dan
pemeriksaan di Pengadilan secara baik dan benar oleh Setiap Pelayan Penegak Hukum
di Tanah Papua. Hal ini perlu dilakukan secara hati-hati sebelum melakukan suatu
tindakan Hukum ,sehingga prosesnya secara Kualitatif akan digiring ke satu MUARA
MORAL

yaitu

TEGAKNYA

HUKUM

DAN

TERCIPTANYA

KEADILAN

BERDASARKAN KEBENARAN YANG HAKIKI.


Harapannya bahwa sebelum tindakan diambil,maka perlu dilakukan Analisa
yang baik terhadap Materi Pelanggaran melalui Proses Penyelidikan sebelum
penyidikan suatu dugaan tindak pidana. Tanpa Analisa dengan perimbangan akan
Moralitas,maka penetapan status hukum bagi seorang saksi menjadi tersangkapun
hanya mempunyai bobot kuantitas dan bukan kualitas. Kondisi ini perlu diciptakan
sehingga kematangan dalam penyelidikan akan menjawab bobot kualitas menuju muara
Moral yang didambakan setiap masyarakat (pencari Keadilan).
B. Pejabat yang berwenang melakukan Penahanan
Dalam hal penahanan, maka menurut Pasal 20 KUHAP kewenangan untuk melakukan
penahanan ada pada:
1. Penyidik, yaitu polisi atau pejabat lain yang diberi wewenang untuk melakukan
serangkaian tindakan pengumpulan bukti
2. Penuntut Umum, yaitu jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk
melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.

Universitas Sumatera Utara

3. Hakim, baik hakim Pengadilan Negeri maupun hakim Pengadilan Tinggi dan
Mahkamah Agung, yaitu pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh
undang-undang untuk mengadili.
Penahanan hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang
melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun pemberian bantuan tindak pidana
(lihat Pasal 21 ayat (4) KUHAP) dengan ancaman:
a. pidana penjara lima tahun atau lebih;
b. tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 282 ayat (3), Pasal 296, Pasal 335
ayat (1), Pasal 351 ayat (1), Pasal 353 ayat (1), Pasal 372, Pasal 378, Pasal 379 a, Pasal
453, Pasal 454, Pasal 455, Pasal 459, Pasal 480 dan Pasal 506 Kitab Undang-undang
Hukum Pidana, Pasal 25 dan Pasal 26 Rechtenordonnantie (pelanggaran terhadap
Ordonansi Bea dan Cukai, terakhir diubah dengan Staatsblad Tahun 1931 Nomor 471),
Pasal 1, Pasal 2 dan Pasal 4 Undang-undang Tindak Pidana Imigrasi (Undang-undang
Nomor 8 Drt. Tahun 1955, Lembaran Negara Tahun 1955 Nomor 8), Pasal 36 ayat (7),
Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 47 dan Pasal 48 Undang-undang Nomor 9 Tahun
1976 tentang Narkotika (Lembaran Negara Tahun 1976 Nomor 37, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3086).
Apabila perbuatan seorang tersangka memenuhi ketentuan tersebut di atas,
maka penahanan terhadap seorang tersangka menurut Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus
didasarkan pada pertimbangan:

tersangka atau terdakwa diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan


bukti yang cukup;

adanya kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri;

merusak atau menghilangkan barang bukti;

dan atau mengulangi tindak pidana.

Universitas Sumatera Utara

C. Macam-macam Bentuk Penahanan


Penahanan terdiri atas beberapa jenis, yang dapat dibedakan dari persyaratan
atau penempatan tersangka ditahan. Adapaun jenis-jenis penahanan itu adalah sebagai
berikut :
1. Penahanan Rumah Tahanan Negara
Tersangka/Terdakwa ditempatkan di Rumah Tahanan Negara (Rutan) atau di
Lembaga Pemasyarakatan yang ditetapkan sebagai Rumah Tahanan Negara.
2. Penahanan Rumah
Penahanan

dilaksanakan

di

tempat

tinggal

atau

tempat

kediaman

Tersangka/Terdakwa, dengan tetap dibawah pengawasan pihak yang berwenang untuk


menghindari segala sesuatu yang akan menimbulkan kesulitan dalam penyidikan,
penuntutan atau pemeriksaan di sidang pengadilan (Pasal 22 KUHAP ayat 2).
3. Penahanan Kota
Penahanan

dilaksanakan

di

kota

tempat

tinggal

tersangka/terdakwa.

Tersangka/Terdakwa wajib melapor diri pada waktu yang ditentukan (Pasal 22 KUHAP
ayat 3)
Selama Rumah Tahanan Negara (RUTAN) belum ada, maka penahanan dapat
dilaksanakan di Kepolisian, Kejaksaan atau Lembaga Permasyarakatan, Setelah
tersangka kelak dijatuhi hukum pidana, maka masa penahanan itu dikurangkan
seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan. Untuk tahanan kota pengurangan tersebut
seperlima dari jumlah lamanya tahanan kota itu, sedangkan untuk penahanan rumah,

Universitas Sumatera Utara

pengurangan tersebut sepertiga dari jumlah lamanya penahanan Rumah (Pasal 22


KUHAP)

Pengalihan Penahanan
Pengalihan penahanan adalah wewenang instansi yang menahan dan
mempnuyai kaitan dengan jenis-jenis penahanan yaitu :
1. Penahanan pada Rumah Tahanan Negara
Dilaksanakan di tempat-tempat yang telah ditunjuk oleh SK Menteri Hukum dan
HAM sebagai Rumah Tahanan Negara (RUTAN)
2. Penahanan rumah
Dilaksanakan di rumah anda dengan diawasi kepolisian
3. Penahanan kota
Dilaksanakan di kota tempat tinggal anda dengan kewajiban melapor setiap minggu
ke kantor polisi
Karena itu tersangka/terdakwa atau kuasa hukumnya atas keluarganya berhak untuk
meminta agara status tahanannya dialihkan ke salah satu jenis penahanan tersebut
Tata cara meminta pengalihan penahanan

tersangka/terdakwa atau kuasa hukumnya atau keluarganya mengirimkan surat


permohonan untuk mengalihkan jenis penahanannya ke instansi yang menahan

instansi yang menahan mengeluarkan surat perintah atau surat penetapan untuk
mengalihkan jenis penahanan

tembusan surat perintah atau surat penetapan tersebut diberikan kepada


tersangka/terdakwa serta kepada instansi lain yang berkepentingan

Universitas Sumatera Utara

Untuk pengalihan penahanan kita bisa menghitung jumlah hukuman pidana yang
dijatuhkan oleh Hakim :

tahanan RUTAN 1 hari = pengurangan 1 hari vonis Hakim

tahanan tumah 3 hari = pengurangan 1 hari vonis Hakim

tahanan kota 5 hari = pengurangan 1 hari vonis Hakim

D. Jangka Waktu Penahanan dan Penangguhan Penahanan


Jangka Waktu Penahanan
1. Penahanan oleh Polisi dan pejabat lain (pasal 24 KUHAP)
Batas waktu penahanan paling lama 20 (dua puluh) hari. Bila masih diperlukan
--dengan seijin Penuntut Umum--, waktu penahanan dapat diperpanjang paling lama 40
(empat puluh) hari. Jika sebelum 60 hari pemeriksaan telah selesai, Tahanan dapat
dikeluarkan dan jika sampai 60 hari perkara belum juga putus maka demi hukum,
Penyidik (Polisi) harus mengeluarkan Tersangka/Terdakwa dari tahanan.
2. Penahanan atas perintah Penuntut Umum (pasal 25 KUHAP)
Batas waktunya paling lama 20 (dua puluh) hari. Dengan seijin Ketua
Pengadilan Negeri, waktu dapat diperpanjang paling lama 30 (tiga puluh) hari. Jika
pemeriksaan telah selesai, sebelum batas waktu 50 hari, Tersangka/Terdakwa dapat
dikeluarkan. Lepas 50 hari, meski perkara belum diputus, tapi demi hukum
PenuntutUumum harus mengeluarkan Tersangka/Terdakwa dari tahanan.
3. Penahanan atas surat perintah penahanan Hakim Pengadilan Negeri (pasal 26
KUHAP)
Batas waktu penahanan paling lama 30 (tiga puluh) hari. Bila belum selesai,
penahanan dapat diperpanjang paling lama 60 (enam puluh) hari dengan seijin Ketua
Pengadilan Negeri. Jika pemeriksaan telah selesai, sebelum batas waktu maksimal,
Tersangka/Terdakwa dapat dikeluarkan dari tahanan. Jika batas waktu maksimal (90

Universitas Sumatera Utara

hari) telah habis, meski perkara belum diputus, demi hukum Tersangka/Terdakwa harus
dikeluarkan.

4. Penahanan atas surat perintah penahanan hakim Pengadilan Tinggi (pasal 27


KUHAP)
Batas waktu penahanan paling lama 30 (tiga puluh) hari. Dengan seijin Ketua
Pengadilan Tinggi, waktu penahanan dapat diperpanjang paling lama 60 (enam puluh)
hari. Tersangka/Terdakwa dapat dikeluarkan dari tahanan sebelum batas waktu
maksimal (90 hari), jika pemeriksaan telah selesai. Jika telah 90 (sembilan puluh) hari
perkara belum diputus, maka demi hukum Tersangka/Terdakwa harus dikeluarkan.
5. Penahanan atas perintah penahanan Mahkamah Agung (pasal 28 KUHAP)
Untuk kepentingan pemeriksaan kasasi, batas waktu penahanan paling lama 50
(lima puluh) hari. Jangka waktu penahanan tersebut dapat diperpanjang dengan batas
waktu paling lama 60 (enam puluh) hari, untuk kepentingan pemeriksaan. Jika
pemeriksaan telah selesai sebelum jangka waktu 110 hari, Terdakwa/Tersangka dapat
dikeluarkan. Meski perkara belum diputus, tetapi jika Terdakwa/Tersangka telah
menjalani tahanan selama seratus sepuluh (110) hari, maka demi hukum ia harus
dikeluarkan.
6. Perpanjangan Penahanan (pasal 29 KUHAP)
Ketentuan perpanjangan waktu penahanan (30 sampai 60 hari) berlaku bagi
setiap Tahanan. Kecuali bila ada alasan yang patut dan tidak dapat dihindarkan,
misalnya: karena Tersangka/Terdakwa menderita gangguan fisik atau mental yang
berat (dengan surat keterangan dokter), atau perkara yang sedang diperiksa diancam
dengan pidana penjara sembilan tahun atau lebih. Untuk kondisi-kondisi tersebut, setiap

Universitas Sumatera Utara

Tersangka/Terdakwa berhak mengajukan keberatan terhadap perpanjangan batas waktu


penahanan ini melalui Ketua Pengadilan Tinggi (untuk tingkat penyidikan dan
penuntutan). Sedang untuk tingkat Pengadilan Negeri dan pemeriksaan banding,
pengajuan itu ditujukan kepada Ketua Mahkamah Agung.
7. Pengurangan Masa Tahananan (Pasal 22 ayat 4 dan 5)
Jika hukum pidana telah dijatuhkan, maka masa penahanan dikurangkan
seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan. Untuk penahanan kota, pengurangan tersebut
seperlima dari jumlah lamanya waktu penahanan. Sedang untuk penahanan rumah,
pengurangannya sepertiga dari jumlah lamanya waktu penahanan.
Penangguhan Penahanan
Penangguhan penahanan adalah penangguhan tahanan tersangka/terdakwa dari
penahanan, tetapi penahanan masih sah dan resmi berlaku. Namun pelaksanaan
penahanan dihentikan dengan jalan mengeluarkan tersangka/terdakwa dari tahanan
setelah instansi yang menahan menetapkan syarat-syarat penangguhan yang harus
dipenuhi oleh tersangka/terdakwa yang ditahan atau orang lain yang bertindak untuk
menjamin penangguhan. Masa penangguhan penahanan tidak termasuk status masa
penahanan
Syarat yang ditentukan oleh undang-undang adalah :

wajib lapor

tidak keluar rumah

tidak keluar kota

Penangguhan penahanan dapat terjadi apabila ada :

permintaan dari tersangka/terdakwa

permintaan disetujui oleh instansi yang menahan dengan syarat dan jaminan
yang ditetapkan

Universitas Sumatera Utara

ada persetujuan dari tersangka/terdakwa yang ditahan untuk mematuhi syarat


dan jaminan yang ditetapkan

Jaminan penangguhan penahanan bisa berupa :

Jaminan Uang yang ditetapkan secara jelas dan disebutkan dalam surat
perjanjian penangguhan penahanan. Uang jaminan tersebut disimpan di
kepaniteraan

Pengadilan

Negeri

yang

penyetorannya

dilakukan

oleh

tersangka/terdakwa atau keluarganya atau kuasa hukumnya berdasarkan


formulir penyetoran yang dikeluarkan oleh instansi yang menahan. Bukti
setoran tersebut dibuat dalam rangkap tiga dan berdasarkan bukti setoran
tersebut maka instansi yang menahan mengeluarkan surat perintah atau surat
penetapan penangguhan penahanan

Jaminan orang, maka si penjamin harus membuat pernyataan dan kepastian


kepada instansi yang menahan bahwa penjamin bersedia bertanggung jawab
apabila tersangka/terdakwa yang ditahan melarikan diri. Untuk itu harus ada
surat perjanjian penangguhan penahanan pada jaminan yang berupa orang yang
berisikan identitas orang yang menjamin dan instansi yang menahan
menetapkan besarnya jumlah uang yang harus ditanggung oleh penjamin (uang
tanggungan)

Penyetoran uang tanggungan baru bisa dilaksanakan apabila :

tersangka/terdakwa melarikan diri

setelah tiga bulan tidak diketemukan

penyetoran uang tanggungan ke kasn negara dilakukan oleh orang yang


menjamin melalui kepaniteraan Pengadilan Negeri

pengeluaran surat perintah penangguhan didasarkan atas jaminan dari si


penjamin

Universitas Sumatera Utara

E.

Hambatan yang dihadapi Penyidik Polisi Sektor Kota Medan baru dalam
melakukan penahanan.
Dalam melakukan penahanan tindak pidana narkoba banyak hambatan-hambatan

yang ditemui Polsekta Medan Baru selaku penyidik untuk mengungkapkan kasus-kasus
tindak pidana narkoba. Hambatan-hambatan yang dihadapi biasanya meliputi :
1. Kurangnya alat bukti yang ada pada tersangka dan hanya berdasarkan alat bukti
laboratorium seperti tes urine. Yang dalam hal ini para penyidik tidak bisa
semena-mena melakukan penahanan terhadap tersangka yang tertangkap tanpa
ada barang bukti.
2. Adanya penjaminan terhadap tersangka yang ditahan sebelum masa tahanan
3x24 berakhir sehingga tersangka dapat dilepasakan sebelum masa penahanan
dilanjutkan.
3. Adanya Penyuapan yang dilakukan pihak tersangka kepada Polisi sehingga
tersangka dapat dibebaskan.
4. Kurangnya kedisiplinan pihak penyidik dalam melakukan penahanan sehingga
penahanan yang dilakukan terkadang tidak sesuai dengan Undang-undang yang
berlaku.
5. Adanya tersangka yang melarikan diri di saat penangkapan dilakukan sehingga
membuat para penyidik kesulitan melakukan penahanan.
6. Adanya tersangka yang mencoba melarikan diri di saat berada dalam tahanan.
Begitu juga dalam melakukan penyidikan tindak pidana narkoba banyak hambatanhambatan yang ditemui POLRI selaku penyidik untuk mengungkapkan kasus-kasus
tindak pidana narkoba. Hambatan-hambatan itu meliputi:

Universitas Sumatera Utara

1.

Personil.
Dalam melakukan penyidikan tindak pidana narkoba hambatan
dari segi personil yang ada di Polsekta Medan Baru merupakan
hambatan

dari

kurangnya

pendidikan

khusus

yang

diperoleh.

Diungkapkan oleh Sariono mengenai kurangnya pendidikan khusus


narkoba yang diterima oleh penyidik dalam hal ini unit narkoba di
Polsekta Medan Baru:
Dalam penyidikan kasus narkoba haruslah penyidik minimal
pernah mendapatkan pendidikan mengenai penyidikan kasus
narkoba. 25
Pendidikan khusus ini diadakan oleh Mabes Polri bekerjasama
dengan Departemen Pertahanan Dan Keamanan maupun dari pihak luar
negeri. Kedua lembaga inilah yang sering bekerjasama dengan Polri
dalam menyelenggarakan pendidikan khusus, tetapi penyelenggaraan
pendidikan khusus ini sangat terbatas dengan jenjang waktu yang cukup
lama. Dengan demikian kesempatan-kesempatan untuk mengikuti
pendidikan khusus ini sangat terbatas. Dengan adanya pendidikan
khusus diharapkan penyidik tindak pidana narkoba dapat meningkatkan
kemampuan mengenai kasus-kasus narkoba.
2.

Masyarakat kurang mengetahui ciri-ciri narkoba.


Narkoba sebagai bahan yang harus selalu mendapat pengawasan
karena sifat berbahaya , narkoba harus dapat diketahui ciri-cirinya oleh

25

Wawancara dengan Aiptu Sariono

Universitas Sumatera Utara

masyarakat. Masyarakat perlu mengetahui adanya ciri-ciri dari tanaman


narkotika guna mencegah dilakukannya tindak pidana narkoba "Hingga
saat ini dapat dikatakan masyarakat kurang mengetahui ciri-ciri narkoba,
untuk perlu diadakan usaha penyebaran informasi mengenai ciri-ciri
narkoba."
Pasal 31 Undang-Undang No. 9 tahun 1976 memberikan suatu premi bagi
penyidik yang berhasil mengungkapkan atau membongkar tindak pidana narkoba yang
diatur dalam Peraturan Pemerintah. Pasal ini dimaksudkan untuk memberikan gairah
bagi berhasilnya penyidikan tindak pidana narkoba yang sangat tertutup dan pelik
masalahnya. Tetapi pemberian premi ini belum terlaksana dikarenakan Peraturan
Pemerintah yang mengatur hal tersebut belum ada.
Upaya-upaya yang dilakukan POLRI dalam memecahkan hambatan-hambatan
dalam penyidikan tindak pidana narkoba. Tindak pidana Narkoba sebagai tindak pidana
yang tidak hanya membahayakan pelakunya tetapi juga bangsa dan negara haruslah
dapat dilakukan pencegahan . POLRI sebagai aparat penegak hukum tidak terlepas dari
hambatan-hambatan dalam penyelidikan tindak pidana narkoba . Untuk itu diperlukan
upaya untuk memecahkan hambatan-hambatan penyidikan tindak pidana narkoba
seperti dalam uraian sebelumnya :
1. Latihan rutin sebagai alternatif untuk mengatasi kekurangan pendidikan khusus
mengenai penyidikan narkoba.
2. Penyuluhan yang dilakukan POLRI sebagai upaya penaggulangan preventif
tindak pidana narkoba

Universitas Sumatera Utara

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian dalam bab-bab terdahulu dapat disimpulkan
beberapa hal sebagai berikut :
1. Dengan adanya Penyidik POLRI upaya penyidikan terhadap pelaku tindak
pidana Narkoba dapat dilaksanakan dengan baik, bahkan dengan hasil
memuaskan. Hal ini karena instrumen yang ada di dalam Polsekta Medan
Baru bekerjasama dalam menuntaskan kasus-kasus tindak pidana narkoba
yang terjadi.
2. Dengan keberadaan UU/10 : 22 tahun 1997 tentang narkoba dan UU No : 5
Tahun 1997 tentang psikotropika diharapkan agar para pelaku tindak pidana
narkoba semakin jera, karena sanksi yang diatur di dalamnya mengatur
tegas tentang kejahatan-kejahatan narkotika dan psikotropika.
3. Perjalanannya proses penyidikan perkara tindak pidana narkoba serta
keberhasilan

penyidik

dapat

membersihkan

seseorang

benar-benar

melakukan tindak pidana narkoba, dapat kita lihat dari tabel-1, ini karena
ditunjang oleh kebersamaan para anggota penyidik POLRI serta fasilitasfasilitas penunjang terlaksananya penyidikan suatu kasus.
4. Diharapkan berlanjutnya Berita Acara Pemeriksaan yang diserahkan
penyidik POLRI kepada ke Kejaksaan dapat segera diselesaikan sesuai
prosedur dan bisa diserahkan ke Pengadilan.

Universitas Sumatera Utara

5. Kekuatan pembuktian dari alat bukti

serta adanya pemeriksaan

laboratorium kriminal ( tes urine) , maupun barang bukti , cukup


menguatkan keyakinan Hakim.
6. Berdasarkan sanksi-sanksi yang telah diatur oleh UU No. 22 Tahun 1997
usaha-usaha dari Penyidik POLRI benar-benar diperhatikan oleh Hakim
dalam menjatuhkan putusannya.

B. SARAN
Bertitik tolak dari kesimpulan di atas, berikut ini dikemukakan beberapa
saran yang mungkin dapat bermanfaat bagi semua pihak yang terlibat
penyelesaian perkara tindak pidana/ narkoba antara lain :
1. Perlu dipikirkan peningkatan secara terus menerus tentang cara-cara yang
diperlukan dalam membantu proses penyidikan guna memberikan titik
terang suatu kejahatan narkoba melalui barang bukti seperti dibuatkan suatu
buku tentang jenis-jenis obat Psikotropika dan buku ini disebarkan kepada
masyarakat luas dan diharapkan masyarakat dapat menginformasikan
kepada pihak yang berwenang tentang adanya peredaran obat-obatan
tertentu setelah mengetahui jenis obat itu dilarang untuk diedarkan.
2. Harus diusahakan penambahan personil dari kantor Polekta Medan Baru
karena untuk proses penanganan kasus narkoba membutuhkan waktu yang
lama ,untuk itu dibutuhkan personil yang banyak dalam arti pembagian
tugas dari pada penyidik baik lapangan maupun kantor telah dibagi tugasnya
masing-masing.
3. Pengadaan suatu pendidikan atau penataran terhadap para penyidik yang
terlibat dalam penanganan tindak pidana narkoba karena dilihat dari

Universitas Sumatera Utara

berbagai macam jenis-jenis Psikotropika yang disalahgunakan dan beredar


di masyarakat, diharapkan penyidik telah mengetahui jenis-jenis obat
psikotropika yang beredar di masyarakat.
4. Diharapkan masyarakat Medan Khususnya membantu tugas POLRI dalam
memberi

informasi

apabila

adanya

peredaran

obat-obat

terlarang

dilingkungan masing-masing.
5. Dan diharapkan kepada Masyarakat, agar menyadari bahwa mengkonsumsi
obat-obat yang identitasnya tidak jelas dan dilarang oleh pemerintah dapat
merusak kesehatan dan mempunyai sanksi hukum yang tegas.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai