A. Persyaratan Penangkapan
Jangka waktu penangkapan hanya berlaku paling lama untuk jangka waktu 1 hari
(24 jam). Sebelum dilakukan suatu penangkapan oleh pihak kepolisian maka terdapat
syarat materiil dan syarat formil yang harus dipenuhi terlebih dahulu. Yang dimaksud
dengan syarat materiil adalah adanya suatu bukti permulaan yang cukup bahwa
terdapat suatu tindak pidana. Sedangkan syarat formil adalah adanya surat tugas, surat
perintah penangkapan serta tembusannya. Apabila dalam waktu lebih dari 1 x 24 jam,
tersangka tetap diperiksa dan tidak ada surat perintah untuk melakukan penahanan,
maka tersangka berhak untuk segera dilepaskan.
Perintah penangkapan menurut ketentuan pasal 17 KUHAP dilakukan terhadap
seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang
cukup. Berdasarkan penjelasan pasal 17 KUHAP, definsi dari bukti permulaan yang
cukupialah bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana sesuai dengan
ketentuan pasal 1 butir .Pasal ini menunjukan bahwa perintah penagkapan tidak dapat
dilakukan dengan sewenang-wenang, tetapi ditujukan kepada mereka yang betul-betul
melakukan tindak pidana.
Disamping itu ada pendapat lain mengenai "bukti permulaan yang cukup" , yaitu
menurut Darwan Prints, SH, dalam bukunya Hukum Acara Pidana dalam praktek,
Penerbit Djambatan dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, cetakan revisi
tahun 2002, halaman 50-51, bukti permulaan yang cukup adalah :
Menurut Surat Keputusan Kapolri SK No. Pol. SKEEP/04/I/1982.
Kapolri dalam surat keputusannya No. Pol.SKEEP/04/I1982,tanggal 18
Februari menentukan bahwa, bukti permulaan yang cukup itu adalah bukti yang
merupakan keterangan dan data yang terkandung di dalam dua di antara:
1.
Laporan Polisi;
2.
3.
4.
5.
Barang Bukti.
23
ia
telah
dipanggil
secara
sah
dua
kali
berturut-turut
dan
tidak
mengindahkannya, tanpa alasan yang sah ( Pasal 9 KUHAP ). Sedangkan untuk Tindak
Pidana Khusus seperti Tindak Pidana Narkotika, Tindak Pidana Korupsi Tindak Pidana
Ekonomi, dan lain-lain, penangkapan dapat dilakukan oleh jaksa selaku penyidik untuk
paling lama satu tahun.
melakukannya, atau apabila sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga
keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana itu yang menunjukkan bahwa
ia adalah pelakunya atau turut melakukan atau membantu melakukan tindak pidana itu
(pasal 1 butir 9 KUHAP).
pelaku/pembantu/turut
serta
melakukan tindak pidana itu. Dalam hal ini yang ditemukan padanya adalah alat
yang dipergunakan untuk melakukan tindak pidana tersebut, seperti : Bong alat
yang dipakai untuk menggunakan sabu-sabu atau parang yang digunakan untuk
membunuh orang atau dan lain-lainnya sesuai dengan pasal 184 KUHAP.
Dalam hal tertangkap tangan, khalayak atau orang yang menangkap tersangka tidak
boleh main hakim sendiri, tetapi segera setelah segera berhasil menangkap tersangka,
mereka harus secepatnya menyerahkannya kepada penyidik atau polisi terdekat, guna
pengusutan lebih lanjut.
HIR menyebutkan tertangkap tangan ini dengan nama kedapatan tengah berbuat,
yaitu bila kejahatan/tindak pidana kedapatan sedang dilakukan, atau bila dengan segera
kedapatan sesudah dilakukan, atau bila dengan segera sesudah itu ada orang diserukan
oleh suara ramai sebagai orang yang melakukannya, atau bila padanya kedapatan
barang-barang, senjata-senjata, alat perkakas atau surat-surat yang menunjukkan bahwa
kejahatan
atau
pelanggaran
itu
ia
yang
melaksanakannya
atau
membantu
melakukannya.
Dalam hal kedapatan tengah melakukan suatu kejahatan /tindak pidana, maka
tiap-tiap pegawai kekuasaan umum wajib, dan tiap-tiap orang berhak menahan si
tertuduh dan akan membawanya kepada salah seorang pegawai penuntut umum atau
kepada seorang jaksa pembantu (HIR Pasal 60 ayat 1).
Sementara menurut KUHAP Tersangka dalam tindak pidana Umum harus
diserahkan kepada polisi, selaku penyidik tunggal dalam hal tindak pidana Umum.
Dalam hal penahanan tersangka yang tertangkap tangan ini, setelah tersangka
tertangkap tengah berbuat atau setelah berbuat atau memiliki barang bukti maka ia
harus diserahkan dan ditahan selama 3x24 jam untuk kepentingan penyidikan lebih
lanjut. Hal tertangkap tangan dapat disesuaikan dengan Peraturan :
Pasal 65 ayat 7 UU No. 22 Tahun 1997 menangkap dan menahan orang yang
disangka melakukan tindak pidana narkotika dan,
serta
permohonan ijin, sehingga Pengadilan tidak jarang menandatangani ijin tersebut dalam
keadaan kosong, yang pengisian diserahkan sepenuhnya kapada juru ketik.
Ketidak tahuan fungsi pemberian ijin dalam hal penyitaan, penggeledahan,
pembukaan surat dan perpanjangan penahanan tersebut sebagai lembaga kontrol atas
kesewenang-wenangan atau pelanggaran hak-hak dasar dari tersangka/terdakwa
merupakan kemunduran besar dari kommitmen penegakan HAM. Kurangnya
pemahaman dari maksud dan tujuan pemberian ijin-ijin di atas oleh pemberi ijin
tersebut merupakan andil besar dalam kemunduran dan kemerosotan dari kemampuan
penyidik dan jaksa penuntut umum menghormati serta melindungi hak asasi
terdakwa/terdakwa dalam melaksanakan tugas penyidikan dan penuntutan.
Pemberian Ijin penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaaan surat semakin tidak
diperhatikan dan tidak dianggap penting karena Ijin tersebut dapat diganti dengan
persetujuan
dari
Ketua
Pengadilan
Negeri
setelah
dilakukannya
penyitaan,
penggeledahan serta pemeriksaaan surat tersebut dengan alasan keadaan yang sangat
perlu dan mendesak dan tertangkap tangan. Dalam praktek permohonan yang
biasanya hanya dilampiri dengan berita acara penyitaan diajukan oleh penyidik untuk
mendapatkan
Persetujuan
Pengadilan
atas
penyitaan,
penggeledahan
serta
pemeriksaaan surat yang telah dilakukan penyidik sebelumnya hampir tidak pernah
ditolak oleh Pengadilan.
Tidak seperti halnya masalah penangkapan, penahanan serta penghentian
penyidikan/penuntutan yang keabsahannya dapat diuji melalui praperadilan, sedangkan
penyitaan, penggeledahan dan pemeriksaan surat tidak dapat diuji dan tidak
dimasukkan dalam materi praperadilan. Yang mana menurut penulis karena penyitaan,
penggeledahan maupun pemeriksaan surat tersebut sudah atas dasar
Ijin atau
pesetujuan Pengadilan.
Pembuat UU Tentang KUHAP pada saat itu nampaknya sangat percaya kepada
pengadilan/ketua pengadilan akan mempunyai kemampuan untuk memahami serta
dapat mengemban sebagai benteng supaya tidak terjadinya pelanggaran hak asasi
tersangka/terdakwa oleh jaksa dan penyidik melalui alat control ijin/persetujuan
tersebut, sehingga tidak ada aturan untuk mengajukan keberatan jika ternyata
penyitaan, penggeledahan atau pemeriksaan surat itu dilakukan sewenang-wenang oleh
penyidik.
Diakui pembentuk UU untuk pertama sekali diundangkan bahwa KUHAP pada
hakekatnya baru merupakan bentuk formal, namun yang dapat merubah wajah
masyarakat Indonesia memberi jaminan dan perlindungan hak azasi atau menjadi lebih
berperi-kemanusiaan melalui KUHAP akan ditentukan dalam pelaksanaan dan
penyelenggaraannya oleh segenap anggota dari pada penegak hukum. Loebby Logman
mengatakan penerapan hukum hanya mencapai sasaran jika pelaksananya memahami
apa maksud dan tujuan dari pembentuk Undang-undang itu sendiri.
Pemberlakuan KUHAP untuk menggantikan HIR sebagai hukum acara pidana
dalam penjelasannya ditegaskan, karena HIR disamping tidak sesuai dengan Negara
Kesatuan (membedakan warga pribumi dan keturunan) juga tidak sesuai dengan asas
Negara Hukum yang menjamin hak asasi manusia dan hak-hak tersangka/terdakwa.
Hal ini dipertegas lagi dalam Penjelasan Pasal 33 KUHAP yang menyatakan, fungsi
pengawasan melalui pemberian Ijin Ketua Pengadilan Negeri kepada penyidik dalam
melakukan penggeledahan rumah guna untuk menjamin hak asasi seseorang atas rumah
kediamannya.
Pembuatan KUHAP yang melibatkan semua komponen seperti diuraiakan di
muka dan melalui perdebatan panjang akhirnya memberikan kepercayaan penuh
kepada ketua/wakil ketua pengadilan negeri sebagai pejuang hak asasi tersangka dan
atau terdakwa melalui pemberian ijin atau persetujuan sita dll supaya terhindar dari
perbuatan kesewenang-wenagan oleh penyidik polisi dan jaksa untuk pada saat
sekarang ini seolah-oleh disepakati untuk dilupakan para pendekar hukum kita,
misalnya Jaksa, Polisi dan Hakim kecuali para Advokat yang selalu dianggap opposan
dan tidak masuk dalam struktur namun selalu berjuang untuk kebenaran.
Ketua/Wakil Ketua Pengadilan Negeri sebagai pemegang mandat dan benteng
atas kesewenagan polisi dan jaksa dalam penyitaan dan lainnya hendak terlebih dulu
memeriksa berkas perkara secara teliti apakah sudah memenuhi persyaratan yang
ditetapkan oleh KUHAP atau belum, terutama ijin penyitaan terhadap benda yang
menjadi sumber mata pencarian tersangka/terdakwa seperti Angkot dll.
Praperadilan
Praperadilan adalah lembaga baru untuk melaksanakan wewenang Pengadilan
Negeri dalam hal memeriksa dan memutus (Pasal 1 Angka 10 Jo Pasal 77 KUHAP)
tentang:
sah
atau
tidaknya
penangkapan,
penahanan,
penghentian
penyidikan/penuntutan dan ganti kerugian dan atau rehabilitasi oleh yang perkara
pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan atau tidak diajukan ke
Pengadilan. Namun jika dilihat dari kewenangan praperadilan melalui putusannya
maka materi praperadilan selain yang disebutkan di atas juga dapat memutuskan
apakah benda yang disita masuk atau tidak masuk alat bukti (Pasal 82 KUHAP).
Untuk menentukan sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan, pertama
sekali dilihat atau dipertanyakan, apakah penahanan itu dilakukan oleh pejabat yang
berwenang untuk itu, selanjutnya apakah dilakukan sesuai dengan syarat matriil serta
harus dilakukan menurut cara/prosedur yang ditentukan dalam KUHAP.
Harus Dilakukan Oleh Pejabat Yang Berwenang
Sat. Pol.
penjelasan pasal tersebut diuraikan, Yang dimaksud dengan ketentuan khusus acara
pidana sebagaimana tersebut pada UU tertentu ialah ketentuan khusus acara pidana
sebagaimana tersebut pada, antara lain: UU Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika
dan UU Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika.
Dasar menurut hukum ialah adanya dugaan keras berdasarkan bukti yang cukup
bahwa orang itu melakukan tindak pidana, dan ancaman pidana terhadap tindak pidana
itu adalah lima tahun ke atas, atau tindak pidana tertentu yang ditentukan oleh UU,
meskipun ancaman pidananya kurang dari lima tahun.
Dasar menurut keperluan, yaitu adanya kekhawatiran bahwa tersangka atau
terdakwa akan melarikan diri, atau merusak / menghilangkan bukti, atau akan
mengulangi tindak pidana.
Dalam praktek yang sering terjadi silang pendapat dan diperdebatkan antara
Advokat dan Penyidik serta Hakim Praperadilan ada dua pokok persoalan yaitu yang
pertama adalah syarat materiil yaitu apa yang dimaksud dengan berdasarkan bukti
permulaan yang cukup ?
Bukti permulaan dapat diperbandingkan dengan alat bukti yang sah
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 184 KUHAP yaitu meliputi, Keterangan saksi;
Keterangan Ahli; Surat; Petunjuk; (hanya dapat diperoleh dari Keterangan Saksi; Surat;
Keterangan Terdakwa); Keterangan Terdakwa, namun dalam Pasal 185 s.d. Pasal 189
KUHAP ditentukan, keterangan saksi atau ahli diterangkan di persidangan dan dibawah
sumpah, sedangkan alat bukti
jabatannya,
persidangan dan/atau tidak berdasarkan sumpah maka alat bukti itu adalah baru
merupakan bukti permulaan.
materiil, sehingga praperadilan harus terlebih dulu menguji syarat materiil, yaitu ada
atau tidak adanya bukti permulaan yang cukup dalam hal penangkapan/penahanan.
memperlihatkan Surat Tugas. Namun hal ini sering di abaikan dengan dalil tidak ada
larangan bagi jaksa melakukan penangkapan, sehingga menjadi tontonan menggelikan
ketika polisi menonton jaksa kalah bergulat pada waktu melakukan penangkapan
melalui siaran tv.
Untuk lebih lengkapnya syarat formil penangkapan dan penahanan adalah
sebagai berikut, bahwa Penangkapan dilakukan oleh Petugas Kepolisian Negara RI
dalam melakukan penangkapan harus memperlihatkan Surat Tugas serta memberikan
kepada tersangka Surat Perintah Penangkapan (SPP) yang dikeluarkan oleh pejabat
kepolisian Negara RI yang berwenang melakukan penyidikan di daerah hukumnya.
sebelum penangkapan dilakukan. dikeluarkan yang mencantumkan : identitas
tersangka; menyebutkan alasan penangkapan; uraian singkat perkara kejahatan yang
dipersangkakan dan tempat ia diperiksa (Pasal 18 Ayat (1) KUHAP) serta dilakukan
hanya untuk satu hari (Pasal 19 Ayat (1) KUHAP). memberikan Tembusan surat
perintah penangkapan kepada keluarganya segera setelah penangkapan dilakukan.
Sedangkan untuk Penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan oleh penyidik
atau penuntut umum terhadap tersangka atau terdakwa dengan memberikan surat
perintah penahanan atau penetapan hakim yang mencantumkan: identitas tersangka
atau terdakwa dan menyebutkan alasan
kejahatan yang dipersangkakan atau didakwakan serta tempat ia ditahan; jangka waktu
penahanan; memberikan Tembusan surat perintah penangkapan kepada keluarganya
segera setelah penangkapan dilakukan (Pasal 21 Ayat (2) KUHAP).
Proses Pembuktian
Jika dalam pembuktian perkara perdata hakim bertindak passif artinya,
pembuktiannya diserahkan sepenuhnya kepada para pihak yang bersengketa.
Sebaliknya hakim dalam perkara pidana lebih aktif untuk menemukan keyakinannya
yang bertugas
Pre-trial Process ini telah melibatkan polisce, prosecutor, jury serta coroner atau
magistrate, dimana pada tahap pertama setelah penyidik melakukan penahanan dapat
meminta jury agar menanyakan tersangka apakah mengakui kesalahannya atau tidak,
dan jika ternyata tersangka mengakui kesalahannya (plea of quilty) langsung
dilanjutkan ke Trial By Jury (sidang jury), jika tersangka plea of not quilty maka akan
dimatangkan dengan meminta saran dari hakim dengan mengadakan dengar pendapat
antara polisi, jaksa dan hakim (Preminary hearing) dan yang terakhir dilanjutkan
dengan gelar perkara (pretrial conference) untuk apakah seorang tersangka akan
dilanjutkan perkaranya ke sidang Jury atau tidak. Karena yang melibatkan hakim pada
Pre-Trial adalah polisi dan jaksa dengan demikian fungsi Pre Trial Process dalam hal
ini lebih cenderung untuk lebih menjamin kelancaran, keadilan dan efektifitas
persidangan jury.
Jika dibandingkan fungsi Pre-Trial Process di Amerika dan dengan Rechter
Commissaris di Belanda maka Praperadilan di Indonesia lebih cenderung/mirip dengan
Rechter Commissaris, namun perbedaannya adalah bahwa Rechter Commissaris dalam
mengawasi sah atau tidaknya suatu penangkapan/penahanan memiliki kewenangan
untuk memanggil saksi dan tersangka.
Dalam Pedoman Pelaksanaan KUHAP yang dikeluarkan Menteri Kehakiman
berdasarkan Surat Keputusan Nomor:M.01.PW.07.03.Tahun 1982 Tentang Pedoman
Pelaksanaan Kitab Undang undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana,
Praperadilan ini dipersamakan dengan sistim semacam yang disebut Habeas Corpus
di beberapa negara lain.
Habeas Corpus artinya menguasai diri orang, lembaga ini di negara anglo saxon
sebagai control/pengawas terhadap tindakan yang membatasi hak kebebasan seseorang,
misalnya pengawasan penangkapan, penahanan, pendeportasian, penempatan di rumah
alasan
yang
menyebabkan
penahanannya,
selanjutnya
hakim
kekuatan pembuktian yang diajukan antara Pemohon dengan Termohon seperti halnya
dalam sistem pidana maupun perdata.
Jaminan hakhak asasi terdakwa/tersangka dapat kita rasakan bersama dengan
adanya asas hukum yang merupakan hukum positif di Negara kita ini yang termasuk
didalam dunia peradilan yaitu pada Pasal 8 UndangUndang Nomor 4 Tahun 2004
Tentang Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 18 UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak
Asasi Manusia ditentukan, setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut
dan/atau dihadapkan di depan pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sebelum
adanya putusan pengadilan yang mengatakan kesalahannya memperoleh
kekuatan
hukum yang tetap atau yang biasa dikenal dengan asas The Presumtion Of Innocense.
Oleh karenanya khusus mengenai penahanan terhadap tersangka/terdakwa tidak
cukup dilakukan hanya berdasarkan bukti yang cukup (dasar menurut hukum) tapi
harus juga terpenuhinya salah satu
kekhawatiran
bahwa
tersangka
terdakwa
akan
melarikan
diri,
atau
D. Hambatan yang dihadapi Penyidik Polisi Sektor Kota Medan baru dalam
melakukan penangkapan.
Dalam melakukan penangkapan tindak pidana narkoba banyak hambatan-hambatan
yang ditemui Polsekta Medan Baru selaku penyidik untuk mengungkapkan kasus-kasus
tindak pidana narkoba. Hambatan-hambatan yang dihadapi biasanya meliputi :
1. Kurangnya informasi dari masyarakat tentang wilayah mana yang menjadi
sarang peredaran Narkoba, dalam hal ini banyak sebagian warga masyarakat
yang terlihat melindungi atau menutup-nutupi hal peredaran narkoba di
wilayahnya sehingga Para Penyidik atau Polisi mengalami kesulitan untuk
melakukan penangkapan.
2. Tersangka yang melarikan diri ketika tertangkap tangan atau tersangka yang
membuang barang bukti di saat dan sebelum ia tertangkap tangan sehingga
Penyidik Polri tidak bisa sembarangan menangkap dan menahan si tersangka
tanpa ada barang bukti.
3. Adanya Aparat Militer atau Pihak Polisi itu sendiri yang melindungi peredaran
Narkoba tersebut sehingga pihak penyidik lainnya juga mengalami kesulitan
untuk menangkap tersangka pengedar dan pemakai Narkoba.
4. Lemahnya mental dan jiwa para penyidik untuk menangkap peredaran narkoba
karena mereka sendiri sering menerima uang suap dari para mafia pengedar dan
pemakai narkoba.
5. Adanya pihak keluarga dari para penyidik yang menjadi pengedar narkoba
sehingga penyidik atau polisi masih merasa kasihan dan melindungi
keluarganya yang menjadi pengedar dan pemakai narkoba.
6. Bocornya informasi jadwal Razia, penggerebekan atau penangkapan yang akan
dilakukan oleh para Penyidik atau Polisi kepada para pengedar dan pemakai
narkoba.
7. Para penyidik masih merasa takut jika menangkap para pengedar dan pemakai
narkoba yang merupakan keluarga dari atasannya ataupun Pejabat negara yang
berpangkat tinggi.
8. Ada sebagian dari para penyidik yang menjual barang bukti sitaan kepada para
pengedar narkoba.
Dari hal di atas dapat dilihat beberapa kelemahan para penyidik atau polisi itu
sendiri untuk melakukan penangkapan terhadap kasus narkoba yang kemudian menjadi
hambatan bagi mereka sendiri. Seharusnya para penyidik dan polisi memiliki sikap
yang super tegas untuk melakukan penangkapan dan tidak ikut-ikutan menjadi pemakai
narkoba serta tidak melindungi atau meng-cover para pengedar narkoba untuk
melakukan peredaran Narkoba.
BAB IV
TATA CARA DAN HAMBATAN PERIHAL PENAHANAN YANG
DILAKUKAN PENYIDIK ( PADA SUATU PERKARA PIDANA) KHUSUSNYA
DI WILAYAH HUKUM POLISI SEKTOR KOTA MEDAN BARU
A. Persyaratan Penahanan
Syarat Penahanan diatur dalam Pasal 21 ayat 1 KUHAP :
Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka
atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidaa berdasarkan bukti yang
cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka
atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau
mengulangi tindak pidana.
Berikut ini dua syarat penahanan :
1. Syarat Obyektif, yaitu syarat tersebut dapat diuji ada atau tidaknya oleh orang
lain;
2. Syarat
Subyektif,
yaitu
karena
hanya
tergantung
pada
orang
yang
Moeljanto (1978:25)
yaitu
TEGAKNYA
HUKUM
DAN
TERCIPTANYA
KEADILAN
3. Hakim, baik hakim Pengadilan Negeri maupun hakim Pengadilan Tinggi dan
Mahkamah Agung, yaitu pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh
undang-undang untuk mengadili.
Penahanan hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang
melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun pemberian bantuan tindak pidana
(lihat Pasal 21 ayat (4) KUHAP) dengan ancaman:
a. pidana penjara lima tahun atau lebih;
b. tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 282 ayat (3), Pasal 296, Pasal 335
ayat (1), Pasal 351 ayat (1), Pasal 353 ayat (1), Pasal 372, Pasal 378, Pasal 379 a, Pasal
453, Pasal 454, Pasal 455, Pasal 459, Pasal 480 dan Pasal 506 Kitab Undang-undang
Hukum Pidana, Pasal 25 dan Pasal 26 Rechtenordonnantie (pelanggaran terhadap
Ordonansi Bea dan Cukai, terakhir diubah dengan Staatsblad Tahun 1931 Nomor 471),
Pasal 1, Pasal 2 dan Pasal 4 Undang-undang Tindak Pidana Imigrasi (Undang-undang
Nomor 8 Drt. Tahun 1955, Lembaran Negara Tahun 1955 Nomor 8), Pasal 36 ayat (7),
Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 47 dan Pasal 48 Undang-undang Nomor 9 Tahun
1976 tentang Narkotika (Lembaran Negara Tahun 1976 Nomor 37, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3086).
Apabila perbuatan seorang tersangka memenuhi ketentuan tersebut di atas,
maka penahanan terhadap seorang tersangka menurut Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus
didasarkan pada pertimbangan:
dilaksanakan
di
tempat
tinggal
atau
tempat
kediaman
dilaksanakan
di
kota
tempat
tinggal
tersangka/terdakwa.
Tersangka/Terdakwa wajib melapor diri pada waktu yang ditentukan (Pasal 22 KUHAP
ayat 3)
Selama Rumah Tahanan Negara (RUTAN) belum ada, maka penahanan dapat
dilaksanakan di Kepolisian, Kejaksaan atau Lembaga Permasyarakatan, Setelah
tersangka kelak dijatuhi hukum pidana, maka masa penahanan itu dikurangkan
seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan. Untuk tahanan kota pengurangan tersebut
seperlima dari jumlah lamanya tahanan kota itu, sedangkan untuk penahanan rumah,
Pengalihan Penahanan
Pengalihan penahanan adalah wewenang instansi yang menahan dan
mempnuyai kaitan dengan jenis-jenis penahanan yaitu :
1. Penahanan pada Rumah Tahanan Negara
Dilaksanakan di tempat-tempat yang telah ditunjuk oleh SK Menteri Hukum dan
HAM sebagai Rumah Tahanan Negara (RUTAN)
2. Penahanan rumah
Dilaksanakan di rumah anda dengan diawasi kepolisian
3. Penahanan kota
Dilaksanakan di kota tempat tinggal anda dengan kewajiban melapor setiap minggu
ke kantor polisi
Karena itu tersangka/terdakwa atau kuasa hukumnya atas keluarganya berhak untuk
meminta agara status tahanannya dialihkan ke salah satu jenis penahanan tersebut
Tata cara meminta pengalihan penahanan
instansi yang menahan mengeluarkan surat perintah atau surat penetapan untuk
mengalihkan jenis penahanan
Untuk pengalihan penahanan kita bisa menghitung jumlah hukuman pidana yang
dijatuhkan oleh Hakim :
hari) telah habis, meski perkara belum diputus, demi hukum Tersangka/Terdakwa harus
dikeluarkan.
wajib lapor
permintaan disetujui oleh instansi yang menahan dengan syarat dan jaminan
yang ditetapkan
Jaminan Uang yang ditetapkan secara jelas dan disebutkan dalam surat
perjanjian penangguhan penahanan. Uang jaminan tersebut disimpan di
kepaniteraan
Pengadilan
Negeri
yang
penyetorannya
dilakukan
oleh
E.
Hambatan yang dihadapi Penyidik Polisi Sektor Kota Medan baru dalam
melakukan penahanan.
Dalam melakukan penahanan tindak pidana narkoba banyak hambatan-hambatan
yang ditemui Polsekta Medan Baru selaku penyidik untuk mengungkapkan kasus-kasus
tindak pidana narkoba. Hambatan-hambatan yang dihadapi biasanya meliputi :
1. Kurangnya alat bukti yang ada pada tersangka dan hanya berdasarkan alat bukti
laboratorium seperti tes urine. Yang dalam hal ini para penyidik tidak bisa
semena-mena melakukan penahanan terhadap tersangka yang tertangkap tanpa
ada barang bukti.
2. Adanya penjaminan terhadap tersangka yang ditahan sebelum masa tahanan
3x24 berakhir sehingga tersangka dapat dilepasakan sebelum masa penahanan
dilanjutkan.
3. Adanya Penyuapan yang dilakukan pihak tersangka kepada Polisi sehingga
tersangka dapat dibebaskan.
4. Kurangnya kedisiplinan pihak penyidik dalam melakukan penahanan sehingga
penahanan yang dilakukan terkadang tidak sesuai dengan Undang-undang yang
berlaku.
5. Adanya tersangka yang melarikan diri di saat penangkapan dilakukan sehingga
membuat para penyidik kesulitan melakukan penahanan.
6. Adanya tersangka yang mencoba melarikan diri di saat berada dalam tahanan.
Begitu juga dalam melakukan penyidikan tindak pidana narkoba banyak hambatanhambatan yang ditemui POLRI selaku penyidik untuk mengungkapkan kasus-kasus
tindak pidana narkoba. Hambatan-hambatan itu meliputi:
1.
Personil.
Dalam melakukan penyidikan tindak pidana narkoba hambatan
dari segi personil yang ada di Polsekta Medan Baru merupakan
hambatan
dari
kurangnya
pendidikan
khusus
yang
diperoleh.
25
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian dalam bab-bab terdahulu dapat disimpulkan
beberapa hal sebagai berikut :
1. Dengan adanya Penyidik POLRI upaya penyidikan terhadap pelaku tindak
pidana Narkoba dapat dilaksanakan dengan baik, bahkan dengan hasil
memuaskan. Hal ini karena instrumen yang ada di dalam Polsekta Medan
Baru bekerjasama dalam menuntaskan kasus-kasus tindak pidana narkoba
yang terjadi.
2. Dengan keberadaan UU/10 : 22 tahun 1997 tentang narkoba dan UU No : 5
Tahun 1997 tentang psikotropika diharapkan agar para pelaku tindak pidana
narkoba semakin jera, karena sanksi yang diatur di dalamnya mengatur
tegas tentang kejahatan-kejahatan narkotika dan psikotropika.
3. Perjalanannya proses penyidikan perkara tindak pidana narkoba serta
keberhasilan
penyidik
dapat
membersihkan
seseorang
benar-benar
melakukan tindak pidana narkoba, dapat kita lihat dari tabel-1, ini karena
ditunjang oleh kebersamaan para anggota penyidik POLRI serta fasilitasfasilitas penunjang terlaksananya penyidikan suatu kasus.
4. Diharapkan berlanjutnya Berita Acara Pemeriksaan yang diserahkan
penyidik POLRI kepada ke Kejaksaan dapat segera diselesaikan sesuai
prosedur dan bisa diserahkan ke Pengadilan.
B. SARAN
Bertitik tolak dari kesimpulan di atas, berikut ini dikemukakan beberapa
saran yang mungkin dapat bermanfaat bagi semua pihak yang terlibat
penyelesaian perkara tindak pidana/ narkoba antara lain :
1. Perlu dipikirkan peningkatan secara terus menerus tentang cara-cara yang
diperlukan dalam membantu proses penyidikan guna memberikan titik
terang suatu kejahatan narkoba melalui barang bukti seperti dibuatkan suatu
buku tentang jenis-jenis obat Psikotropika dan buku ini disebarkan kepada
masyarakat luas dan diharapkan masyarakat dapat menginformasikan
kepada pihak yang berwenang tentang adanya peredaran obat-obatan
tertentu setelah mengetahui jenis obat itu dilarang untuk diedarkan.
2. Harus diusahakan penambahan personil dari kantor Polekta Medan Baru
karena untuk proses penanganan kasus narkoba membutuhkan waktu yang
lama ,untuk itu dibutuhkan personil yang banyak dalam arti pembagian
tugas dari pada penyidik baik lapangan maupun kantor telah dibagi tugasnya
masing-masing.
3. Pengadaan suatu pendidikan atau penataran terhadap para penyidik yang
terlibat dalam penanganan tindak pidana narkoba karena dilihat dari
informasi
apabila
adanya
peredaran
obat-obat
terlarang
dilingkungan masing-masing.
5. Dan diharapkan kepada Masyarakat, agar menyadari bahwa mengkonsumsi
obat-obat yang identitasnya tidak jelas dan dilarang oleh pemerintah dapat
merusak kesehatan dan mempunyai sanksi hukum yang tegas.