Anda di halaman 1dari 45

REFERAT ILMU KEDOKTERAN FORENSIK

DAN MEDIKOLEGAL
INTOKSIKASI KODEIN

Diajukan untuk memenuhi syarat menempuh Kepaniteraan di bagian Ilmu Kedokteran


Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran
Universitas Kristen Indonesia
Disusun oleh:
Rotua Indah Melina

0961050175

Ressy Hastopraja

0961050185

Enis Rahmanik

0961050187

Glen Jacobs Sumadihardja

0961050190

Natasha Cinta Vinski

1061050180

Penguji:
Saebani, SKM, M.Kes
Pembimbing:
dr. Donald Rinaldi K.
KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN
ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
RSUP DOKTER KARIADI SEMARANG
PERIODE 6 OKTOBER 1 NOVEMBER 2014
1

LEMBAR PENGESAHAN

Telah disetujui oleh pembimbing, referat dari:


No

Nama

NIM

1.

Rotua Indah Melina

0961050175

2.

Ressy Hastopraja

0961050185

3.

Enis Rahmanik

0961050187

4.

Glen Jacobs Sumadihardja

0961050190

5.

Natasha Cinta Vinski

1061050180

Fakultas

: Kedokteran Umum

Universitas

: UKI

Bagian

: Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal

Penguji

: Saebani, SKM, M.Kes

Pembimbing

: dr.Donald Rinaldi K.

Diajukan untuk memenuhi syarat menempuh Kepaniteraan di bagian Ilmu Kedokteran


Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang

Semarang, Oktober 2014

Penguji,

Pembimbing,

Saebani, SKM, M.Kes

dr.Donald Rinaldi K.

KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala
rahmat-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan referat dengan judul Intoksikasi
Kodein tepat pada waktunya.
Referat ini disusun untuk memenuhi syarat menempuh Kepaniteraan di bagian
Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Kriten
Indonesia Jakarta.
Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Saebani,SKM, M.Kes selaku penguji dalam referat ini.
2. dr.Donald Rinaldi K. selaku pembimbing yang telah memberikan saran dan
koreksi dalam penyusunan referat ini.
3. Teman-teman coas dan semua pihak yang telah membantu dalam
penyusunan referat ini.
Semoga referat ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Semarang, Oktober 2014

Penyusun

DAFTAR ISI

Halaman Judul....................................................1
Lembar Pengesahan........................2
Kata Pengantar........3
Daftar Isi.........................4
Daftar Tabel................6
Daftar Gambar............7
BAB I PENDAHULUAN..8
1.1 Latar belakang..........8
1.2 Rumusan masalah.............9
1.3 Tujuan penelitian....10
1.4 Manfaat penelitian. ....10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..11
2.1 Intoksikasi. .....11
2.1.1 Definisi Intoksikasi. ....11
2.1.2 Etiologi Intoksikasi... .....11
2.1.3 Klasifikasi Intoksikasi. ...................................12
2.1.4. Mekanisme Kerja Racun........................................14
2.1.5. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kerja Racun.............15
2.1.6. Kriteria Diagnosa Kasus Keracunan......18
2.1.7. Pemeriksaan Peristiwa Keracunan.............19

2.1.8. Laboratorium Prosedur Pemeriksaan Toksikologi...23


2.1.9. Analitikal Toksikologi.................26
2.1.10. Tanda-Tanda Post Mortem Pada Keracunan.28
2.1.11. Gejala Umum Keracunan......28
2.1.12. Aspek Medikolegal....29
2.2 Kodein....29
2.2.1 Definisi Kodein....29
2.2.2 Struktur Kimia dan Sifat Umum..30
2.2.3 Farmakodinamik Kodein.....30
2.2.4 Farmakokinetik Kodein.......34
2.3 Intoksikasi Kodein..............35
2.3.1. Definisi Intoksikasi Kodein................35
2.3.2.Gejala dan Tanda Intoksikasi Kodein.....36
2.3.2.1. Gejala Klinis.......36
2.3.3. Penatalaksanaan Intoksikasi Kodein.....37
2.3.4..Prinsip Penatalaksanaan Terhadap Racun yang Tertelan......39
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan.. ....41
3.2 Saran.... ....................42
DAFTAR PUSTAKA.............43

DAFTAR TABEL

Table 1. Dosis arang aktif

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Struktur Kimia Kodein

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Toksikologi adalah ilmu yang menelaah tentang kerja dan efek berbahaya zat
kimia atau racun terhadap mekanisme biologis suatu organisme. Sedangkan toksikologi
forensik merupakan suatu ilmu toksikologi yang dapat dimanfaatkan dalam
kepentingan peradilan. Kerja utama dari toksikologi forensik yaitu melakukan analisis
kualitatif dan kuantitatif dari racun dengan bukti fisik dan menerjemahkan temuan
analisisnya. Toksikologi forensik mencakup tiga hal, yaitu terapan ilmu alam dalam
analisis racun sebagai bukti dalam tindak kriminal, mendeteksi dan mengidentifikasi
konsentrasi dari racun dan metabolitnya dalam materi biologi, serta menginterpretasi
temuan analisis ke dalam suatu argumentasi tentang penyebab keracunan.1
Keracunan adalah keadaan sakit yang ditimbulkan oleh racun. Bahan racun
yang masuk ke dalam tubuh dapat langsung mengganggu organ tubuh tertentu, seperti
paru paru, hati, ginjal dan lainnya. Tetapi zat tersebut dapat pula terakumulasi dalam
organ tubuh, tergantung sifatnya pada tulang, hati, darah atau organ lainnya sehingga
akan menghasilkan efek yang tidak diinginkan dalam jangka panjang. Keracunan
adalah salah satu masalah kesehatan yang semakin meningkat baik di negara maju
maupun negara berkembang. Angka yang pasti dari kejadian keracunan di Indonesia
belum diketahui secara pasti, meskipun banyak dilaporkan kejadian keracunan di
beberapa rumah sakit, tetapi angka tersebut tidak menggambarkan kejadian yang
sebenarnya di masyarakat.2
Kasus-kasus yang memerlukan pemeriksaan forensik dalam kasus keracunan
dapat dibagi dalam dua kelompok, yang pertama bertujuan untuk mencari penyebab
kematian, misalnya kematian akibat keracunan morfin, sianida, CO, dan insektisida,
akan tetapi belum banyak disadari adalah untuk mengetahui mengapa suatu peristiwa
misalnya peristiwa pembunuhan, kecelakaan lalu lintas, perkosaan terjadi. Dengan
demikian tujuan kedua adalah untuk membuat suatu rekaan rekonstruksi atas peristiwa
yang terjadi.3
Dalam menggunakan suatu obat, tidak hanya manfaat terapi dari obat itu yang
dipertimbangkan tetapi juga efek samping yang ditimbulkannya. Salah satu golongan
8

obat yang harus diberikan perhatian lebih adalah obat golongan opioid, di antaranya
kodein. Kodein merupakan salah satu jenis NAPZA golongan depresan (downer).
Depresan adalah senyawa yang dapat mendepres atau menekan system tubuh. Depresan
Sistem Syaraf Pusat (SSP) adalah senyawa yang dapat mendepres atau menurunkan
aktivitas fungsional dari sistem syaraf pusat (SSP). Akibat dari penurunan aktivitas
fungsional sistem syaraf pusat adalah menurunnya fungsi beberapa organ tubuh.
Depresan sistem syaraf pusat (SSP) ini bekerja dengan menekan pusat kesadaran, rasa
nyeri, denyut jantung dan pernafasan.Kodein merupakan obat yang biasanya digunakan
untuk meredakan batuk (antitusif), diare, dan irritable bowel syndrome. Telah
dilaporkan kasus keracunan obat bahkan kematian yang ditimbulkan oleh kodein. Oleh
karena itu, dalam refertat ini akan dijelaskan mengenai salah satu bahaya penggunaan
obat yang salah yaitu intoksikasi kodein atau keracunan kodein. 2,3
Kodein, atau O-methylmorphine, adalah alkaloid ditemukan dalam opium
poppy , Papaver somniferum var. album. Opium poppy telah dibudidayakan dan
dimanfaatkan sepanjang sejarah manusia untuk berbagai obat analgesik, anti-tussive
dan anti-diare) dan hipnosis properti (terkait dengan keragaman dari komponen aktif,
termasuk morfin, kodein dan papaverin.4
Kodein merupakan prodrug, karena di saluran pencernaan kodein diubah
menjadi bentuk aktifnya, yakni morfin dan kodeina-6-glukoronida . Sekitar 5-10%
kodein akan diubah menjadi morfin, sedangkan sisanya akan menjadi bentuk yang
bebas, atau terkonjugasi dan membentuk kodeina-6-glukoronida (70%), norkodeina
(10%), hidromorfona (1%). Seperti halnya obat golongan opiat lainnya, kodein dapat
menyebabkan ketergantungan fisik, namun efek ini relatif sedang bila dibandingkan
dengan senyawa golongan opiat lainnya. 5
1.2. Rumusan Masalah
1.2.1. Apakah yang dimaksud dengan intoksikasi kodein?
1.2.2. Bagaimana kodein dapat menyebabkan intoksikasi?
1.2.3. Apakah akibat intoksikasi kodein?

1.3. Tujuan
9

Tujuan dari penyusunan referat ini adalah menjelaskan pengertian dari intoksikasi
kodein, bagaimana kodein dapat menyebabkan intoksikasi, dan akibat intoksikasi
kodein.
1.4. Manfaat
1.4.1. Mahasiswa
Penyusun referat ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan wawasan kepada
mahasiswa/mahasiswi yang sedang menjalani Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran
Forensik dan Medikolegal mengenai intoksikasi kodein yang meliputi pengertian dari
intoksikasi kodein, bagaimana kodein dapat menyebabkan intoksikasi, dan akibat
intoksikasi kodein.
1.4.2. Masyarakat
Referat ini diharapkan mampu memberikan manfaat dan pengetahuan kepada
masyarakat luas, khususnya masyarakat Semarang mengenai segala sesuatu yang
berhubungan dengan kodein, termasuk bahaya-bahay yang dapat ditimbulkan sehingga
masyarakat dapat lebih berhati-hati dalam menggunakan obat-obatan, khususnya
kodein.
1.4.3. Pemerintah
Dengan penyusunan referat ini diharapkan pemerintah dapat meningkatkan pelayanan
kesehatan msyarakat, khususnya tentang peredaran obat-obatan yang ada di dalam
masyarakat. Pemerintah perlu membuat kebijakan agar masyarakat tidak dapat
membeli obat yang seharusnya dengan resep dokter sesuai dengan kemauannya sendiri.

BAB II
10

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Intoksikasi
2.1.1. Definisi intoksikasi
Intoksikasi atau keracunan adalah masuknya zat ke dalam tubuh yang dapat
mengakibatkan gangguan kesehatan bahkan dapat menyebabkan kematian. Semua zat
dapat menjadi racun bila diberikan dalam dosis yang tidak seharusnya. Berbeda dengan
alergi, keracunan memiliki gejala yang bervariasi dan harus ditindaki dengan cepat dan
tepat karena penanganan yang kurang tepat tidak menutup kemungkinan hanya akan
memperparah keracunan yang dialami penderita.6
Menurut Taylor, racun adalah suatu zat yang dalam jumlah relatif kecil (bukan
minimal), yang jika masuk atau mengenai tubuh seseorang akan menyebabkan
timbulnya reaksi kimiawi (efek kimia) yang besar yang dapat menyebabkan sakit,
bahkan kematian.5
Menurut Gradwohl racun adalah substansi yang tanpa kekuatan mekanis, yang
bila mengenai tubuh seorang (atau masuk), akan menyebabkan gangguan fungsi tubuh,
kerugian, bahkan kematian.5
Sehingga jika definisi di atas digabungkan, racun adalah substansi kimia, yang
dalam jumlah relatif kecil, tetapi dengan dosis toksis, bila masuk atau mengenai tubuh,
tanpa kekuatan mekanis, tetapi hanya dengan kekuatan daya kimianya, akan
menimbulkan efek yang besar, yang dapat menyebabkan sakit, bahkan kematian.5
2.1.2 Etiologi Intoksikasi
Penyebab intoksikasi ada beberapa macam yaitu :7
1. Bunuh diri
2. Pembunuhan
3. Kecelakaan
Agen intoksikasi terjadi pada semua umur remaja : obat-obat psikotropik,
sedatif, antidepresan, dan obat-obat narkotik, dewasa umumnya karena kecelakaan
kerja (pestisida,keracunan makanan).7

11

Keracunan dapat disebabkan oleh beberapa hal, berdasarkan wujudnya, zat yang
dapat menyebabkan keracunan antara lain : zat padat (obat-obatan, makanan), zat gas
(CO2), dan zat cair (alkohol, bensin, minyak tanah, zat kimia, pestisida, bisa/ racun
hewan).5
Racun racun tersebut masuk ke dalam tubuh manusia melalui beberapa cara,
diantaranya:5
1.

Melalui kulit

2.

Melalui jalan napas (inhalasi)

3.

Melalui saluran pencernaan (mulut)

4.

Melalui suntikan

5.

Melalui mata (kontaminasi mata)

6.

Melalui dubur atau vagina (perektal atau pervaginal)

2.1.3. Klasifikasi Intoksikasi


Racun dapat digolongkan sebagai berikut:5
I. Pestisida
A. Insektisida
1. Organoklorin
a. Derivat Chlorinethane: DDT
b. Derivat Cyclodiene: Thiodane, Endrim, Dieldrine, Chlordan, Aldrin,
Heptachlor, toxapene.
c. Derivat Hexachlorcyclohexan : Lindan, myrex.
2. Organofosfat: DFP, TEPP, Parathion, Diazinon, Fenthoin, Malathion.
3. Carbamat: Carbaryl, Aldicarb, Propaxur, Mobam.
B. Herbisida
1. Chloropheoxy
2. Ikatan Dinitrophenal
3. Ikatan Karbonat: Prepham, Barbave
4. Ikatan Urea
5. Ikatan Triasine: Atrazine
6. Amide: Propanil
7. Bipyridye
C. Fungisida

12

1. Caplan
2. Felpet
3. Pentachlorphenal
4. Hexachlorphenal
D. Rodentisida
1. Warfarin
2. Red Squill
3. Norbomide
4. Sodium Fluoroacetate dan Fluoroacetamide
5. Aepha Naphthyl Thiourea
6. Strychnine
7. Pyriminil
8. Anorganik:
- Zinc Phosfat
- Thallium Sulfat
- Phosfor
- Barium Carbamat
- Phosfat
- Arsen Trioxyde
II. Bahan Industri
III. Bahan untuk rumah tangga
IV. Bahan obat-obatan
V. Racun (tanaman dan hewan)
Berdasarkan sumber dan tempat dimana racun-racun tersebut mudah didapat,
maka racun dapat dibagi menjadi lima golongan, yaitu:5
1. Racun-racun yang banyak terdapat dalam rumah tangga.
Misalnya: desinfektan, deterjen, insektisida, dan sebagainya.
2. Racun-racun yang banyak digunakan dalam lapangan pertanian, perkebunan.
Misalnya: pestisida, herbisida.
3. Racun-racun yang banyak dipakai dalam dunia kedokteran / pengobatan.
Misalnya: sedatif hipnotis, analgetika, obat penenang, anti depresan, dsb.
4. Racun-racun yang banyak dipakai dalam industri / laboratorium.

13

Misalnya: asam dan basa kuat, logam berat, dsb.


5. Racun-racun yang terdapat di alam bebas.
Misalnya: opium ganja, racun singkong, racun jamur serta binatang.
2.1.4. Mekanisme kerja racun5
1. Racun yang bekerja secara setempat (lokal)
Misalnya:

Racun bersifat korosif: lisol, asam dan basa kuat.

Racun bersifat iritan: arsen, HgCl2.

Racun bersifat anastetik: kokain, asam karbol.

Racun-racun yang bekerja secara setempat ini, biasanya akan menimbulkan


sensasi nyeri yang hebat, disertai dengan peradangan, bahkan kematian yang dapat
disebabkan oleh syok akibat nyerinya tersebut atau karena peradangan sebagai
kelanjutan dari perforasi yang terjadi pada saluran pencernaan.
2. Racun yang bekerja secara umum (sistemik)
Walaupun kerjanya secara sistemik, racun-racun dalam golongan ini biasanya
memiliki akibat / afinitas pada salah satu sistem atau organ tubuh yang lebih besar bila
dibandingkan dengan sistem atau organ tubuh lainnya.
Misalnya:

Narkotik, barbiturate, dan alkohol terutama berpengaruh pada susunan syaraf


pusat.

Digitalis, asam oksalat terutama berpengaruh terhadap jantung.

Strychine terutama berpengaruh terhadap sumsum tulang belakang.

CO, dan HCN terutama berpengaruh terhadap darah dan enzim pernafasan.

Cantharides dan HgCl2 terutama berpengaruh terhadap ginjal.

Insektisida golongan hidrokarbon yang di-chlor-kan dan phosphorus terutama


berpengaruh terhadap hati.

3.

Racun yang bekerja secara setempat dan secara umum

Misalnya:
o Asam oksalat
o Asam karbol
14

Selain menimbulkan rasa nyeri (efek lokal) juga akan menimbulkan depresi pada
susunan syaraf pusat (efek sistemik). Hal ini dimungkinkan karena sebagian dari
asam karbol tersebut akan diserap dan berpengaruh terhadap otak (Nawawi,
1989).

o Arsen
o Garam Pb
2.1.5 Faktor-faktor yang mempengaruhi kerja racun5
1.

Cara pemberian
Setiap racun baru akan menimbulkan efek yang maksimal pada tubuh jika cara

pemberiannya tepat. Misalnya jika racun-racun yang berbentuk gas tentu akan
memberikan efek maksimal bila masuknya ke dalam tubuh secara inhalasi. Jika racun
tersebut masuk ke dalam tubuh secara ingesti tentu tidak akan menimbulkan akibat
yang sama hebatnya walaupun dosis yang masuk ke dalam tubuh sama besarnya.
Berdasarkan cara pemberian, maka umumnya racun akan paling cepat bekerja
pada tubuh jika masuk secara inhalasi, kemudian secara injeksi (i.v, i.m, dan s.c),
ingesti, absorbsi melalui mukosa, dan yang paling lambat jika racun tersebut masuk ke
dalam tubuh melalui kulit yang sehat.
2.

Keadaan tubuh
a. Umur
Pada umumnya anak-anak dan orang tua lebih sensitif terhadap racun bila

dibandingkan dengan orang dewasa. Tetapi pada beberapa jenis racun seperti
barbiturate dan belladonna, justru anak-anak akan lebih tahan.
b. Kesehatan
Pada orang-orang yang menderita penyakit hati atau penyakit ginjal, biasanya
akan lebih mudah keracunan bila dibandingkan dengan orang sehat, walaupun racun
yang masuk ke dalam tubuhnya belum mencapai dosis toksis. Hal ini dapat dimengerti
karena pada orang-orang tersebut, proses detoksikasi tidak berjalan dengan baik,
demikian pula halnya dengan ekskresinya. Pada mereka yang menderita penyakit yang
disertai dengan peningkatan suhu atau penyakit pada saluran pencernaan, maka
penyerapan racun pada umumnya jelek, sehingga jika pada penderita tersebut terjadi
kematian, kita tidak boleh terburu-buru mengambil kesimpulan bahwa kematian
penderita disebabkan oleh racun. Dan sebaliknya pula kita tidak boleh tergesa-gesa
15

menentukan sebab kematian seseorang karena penyakit tanpa melakukan penelitian


yang teliti, misalnya pada kasus keracunan arsen (tipe gastrointestinal) dimana disini
gejala keracunannya mirip dengan gejala gastroenteritis yang lumrah dijumpai.
c. Kebiasaan
Faktor ini berpengaruh dalam hal besarnya dosis racun yang dapat
menimbulkan gejala-gejala keracunan atau kematian, yaitu karena terjadinya toleransi.
Tetapi perlu diingat bahwa toleransi itu tidak selamanya menetap. Menurunnya
toleransi sering terjadi misalnya pada pencandu narkotik, yang dalam beberapa waktu
tidak menggunakan narkotik lagi. Menurunnya toleransi inilah yang dapat
menerangkan mengapa pada para pencandu tersebut bisa terjadi kematian, walaupun
dosis yang digunakan sama besarnya.
d. Hipersensitif (alergi idiosinkrasi)
Banyak preparat seperti vitamin B1, penisilin, streptomisin dan preparatpreparat yang mengandung yodium menyebabkan kematian, karena sikorban sangat
rentan terhadap preparat-preparat tersebut. Dari segi ilmu kehakiman, keadaan tersebut
tidak boleh dilupakan, kita harus menentukan apakah kematian korban memang benar
disebabkan oleh karena hipersensitif dan harus ditentukan pula apakah pemberian
preparat-preparat mempunyai indikasi. Ada tidaknya indikasi pemberi preparat tersebut
dapat mempengaruhi berat-ringannya hukuman yang akan dikenakan pada pemberi
preparat tersebut.
e. Jenis kelamin
Jenis kelamin sangat mempengaruhi aktifitas kolinesterase dalam darah. Jenis
kelamin laki-laki memiliki aktifitas kolinesterase lebih rendah dari perempuan karena
kandungan kolinesterase dalam darah lebih banyak pada perempuan.22
3. Racunnya sendiri
a. Dosis
Besar-kecilnya dosis racun akan menentukan berat-ringannya akibat yang
ditimbulkan. Dalam hal ini tidak boleh dilupakan akan adanya faktor toleransi, dan
intoleransi individual. Pada intoleransi, gejala keracunan akan tampak walaupun racun
yang masuk ke dalam tubuh belum mencapai level toksik. Keadaan intoleransi tersebut
dapat bersifat bawaan / kongenital atau intoleransi yang didapat setelah seseorang
menderita penyakit yang mengakibatkan gangguan pada organ yang berfungsi
melakukan detoksifikasi dan ekskresi.

16

b. Konsentrasi
Untuk racun-racun yang kerjanya dalam tubuh secara lokal misalnya zat-zat
korosif, konsentrasi lebih penting bila dibandingkan dengan dosis total. Keadaan
tersebut berbeda dengan racun yang bekerja secara sistemik, dimana dalam hal ini
dosislah yang berperan dalam menentukan berat-ringannya akibat yang ditimbulkan
oleh racun tersebut.
c. Bentuk dan kombinasi fisik
Racun yang berbentuk cair tentunya akan lebih cepat menimbulkan efek bila
dibandingkan dengan yang berbentuk padat. Seseorang yang menelan racun dalam
keadaan lambung kosong, tentu akan lebih cepat keracunan bila dibandingkan dengan
orang yang menelan racun dalam keadaan lambungnya berisi makanan.
d. Adiksi dan sinergisme
Barbiturate, misalnya jika diberikan bersama-sama dengan alkohol, morfin, atau
CO, dapat menyebabkan kematian, walaupun dosis barbiturate yang diberikan jauh di
bawah dosis letal. Dari segi hukum kedokteran kehakiman, kemungkinan-kemungkinan
terjadinya hal seperti itu tidak boleh dilupakan, terutama jika menghadapi kasus dimana
kadar racun yang ditemukan rendah sekali, dan dalam hal demikian harus dicari
kemungkinan adanya racun lain yang mempunyai sifat aditif (sinergitik dengan racun
yang ditemukan), sebelum kita tiba pada kesimpulan bahwa kematian korban
disebabkan karena reaksi anafilaksi yang fatal atau karena adanya intoleransi.
e. Susunan kimia
Ada beberapa zat yang jika diberikan dalam susunan kimia tertentu tidak akan
menimbulkan gejala keracunan, tetapi bila diberikan secara tersendiri terjadi hal yang
sebaliknya.
f. Antagonisme
`

Kadang-kadang dijumpai kasus dimana seseorang memakan lebih dari satu

macam racun, tetapi tidak mengakibatkan apa-apa, oleh karena reaksi-reaksi tersebut
saling menetralisir satu sama lain. Dalam klinik adanya sifat antagonis ini
dimanfaatkan untuk pengobatan, misalnya nalorfin dan kaloxone yang dipakai untuk
mengatasi depresi pernafasan dan oedema paru-paru yang terjadi pada keracunan akut
obat-obatan golongan narkotik.

17

2.1.6. Kriteria diagnosis kasus keracunan


Penegakan diagnosis pasti penyebab keracunan cukupn sulit dilakukan karena
dibutuhkan sarana laboratorium toksikologi yang cukup handal, dan belum ada sarana
laboratorium swasata yang ikut berperan sedangkan sarana laboratorium rumah sakit
untuk pemeriksaan ini juga belum memadai dan sarana instansi resmi pemerintah juga
sangat minim jumlahnya. Untuk membantu penegakan diagnosis maka diperlukan
autoanamnesis dan aloanamnesis yang cukup cermat serta diperlukan bukti bukti yang
diperoleh ditempat kejadian. Selanjutnya pada pemeriksaan fisik harus ditemukan
dugaan tempat masuknya racun yang dapat melalui berbagai cara yaitu inhalasi, oral,
absorpsi kulit, dan mukosa atau parental. Hal ini penting diketahui karena berpengaruh
pada efek kecepatan dan lamanya durasi (reaksi) keracunan.6
Racun yang melalui rute oral biasanya bisa diketaghui melalui bau mulut atau
muntahan kecuali racun yanf sifat dasarnya tidak berbau dan berwarna sepreti
arsinikum

yang

sulit

ditemukan

hanya

berdasar

inspeksi

saja. Luka bakar

warna keputihan pada mukosa mulut atau keabuan pad bibir dan dagu menunjukkan
akibat bahan kausatif dan korosif baik yang bersifat asam kuat maupun basa kuat.
Perbedaan pada dampak luka bakarnya yaitu nekrosis koagulatif akibat paparan asam
kuat sedangkan basa kuat menyebabkan nekrosis likuitatif.6
1.

Anamnesa yang menyatakan bahwa korban benar-benar kontak dengan racun

(secara injeksi, inhalasi, ingesti, absorbsi, melalui kulit atau mukosa).


Pada umumnya anamnesa tidak dapat dijadikan pegangan sepenuhnya sebagai
kriteria diagnostik, misalnya pada kasus bunuh diri keluarga korban tentunya tidak
akan memberikan keterangan yang benar, bahkan malah cenderung untuk
menyembunyikannya, karena kejadian tersebut merupakan aib bagi pihak keluarga
korban.
2.

Tanda dan gejala-gejala yang sesuai dengan tanda / gejala keracunan zat yang

diduga.
Adanya tanda / gejala klinis biasanya hanya terdapat pada kasus yang bersifat
darurat dan pada prakteknya lebih sering kita terima kasus-kasus tanpa disertai
dengan data-data klinis tentang kemungkinan kematian karena kematian sehingga
harus dipikirkan terutama pada kasus yang mati mendadak, non traumatik yang
sebelumnya dalam keadaan sehat.

18

3.

Secara analisa kimia dapat dibuktikan adanya racun di dalam sisa makanan /

obat / zat yang masuk ke dalam tubuh korban.


Kita selamanya tidak boleh percaya bahwa sisa sewaktu zat yang digunakan korban
itu adalah racun (walaupun ada etiketnya) sebelum dapat dibuktikan secara analisa
kimia, kemungkinan-kemungkinan seperti tertukar atau disembunyikannya barang
bukti, atau si korban menelan semua racun kriteria ini tentunya tidak dapat
dipakai.
4.

Ditemukannya kelainan-kelainan pada tubuh korban, baik secara makroskopik


atau mikroskopik yang sesuai dengan kelainan yang diakibatkan oleh racun
yang bersangkutan.

Bedah mayat (otopsi) mutlak harus dilakukan pada setiap kasus keracunan, selain
untuk menentukan jenis-jenis racun penyebab kematian, juga penting untuk
menyingkirkan kemungkinan lain sebagai penyebab kematian. Otopsi menjadi lebih
penting pada kasus yang telah mendapat perawatan sebelumnya, dimana pada kasuskasus seperti ini kita tidak akan menemukan racun atau metabolitnya, tetapi yang
dapat ditemukan adalah kelainan-kelainan pada organ yang bersangkutan.
5.

Secara analisa kimia dapat ditemukan adanya racun atau metabolitnya di dalam
tubuh / jaringan / cairan tubuh korban secara sistemik.

Pemeriksaan toksikologi (analisa kimia) mutlak harus dilakukan. Tanpa pemeriksaan


tersebut, visum et repertum yang dibuat dapat dikatakan tidak memiliki arti dalam
hal penentuan sebab kematian. Sehubungan dengan pemeriksaan toksikologis ini,
kita tidak boleh terpaku pada dosis letal sesuatu zat, mengingat faktor-faktor yang
dapat mempengaruhi kerja racun. Penentuan ada tidaknya racun harus dibuktikan
secara sistematik, diagnosa kematian karena racun tidak dapat ditegakkan misalnya
hanya berdasar pada ditemukannya racun dalam lambung korban.
Dari kelima kriteria diagnostik dalam menentukan sebab kematian pada kasus-kasus
keracunan seperti tersebut di atas, maka kriteria keempat dan kelima merupakan
kriteria yang terpenting dan tidak boleh dilupakan.5
2.1.7. Pemeriksaan peristiwa keracunan :14
1. Pemeriksaan TKP
Pemeriksaan ini sangat membantu proses penyidikan selanjutnya, tujuannya
adalah :
a) Menentukan korban hidup atau mati
19

b) Mengumpulkan barang bukti (pemeriksaan toxikologi)


c) Menentukan cara kematian
d) Memperkirakan saat kematian
2. Pemeriksaan Jenazah
Informasi tentang perkiraan racun dari polisi, keluarga, saksi. Kelainan yang
didapat pada korban tergantung interval waktu saat kontak racun saat terjadinya
kematian.
a) Pemeriksaan luar

Pakaian : Adanya bercak, distribusinya, baunya (suspek cara kematian)

Lebam mayat :
- CO : LM Cherry red (COHb)
- Sianida : LM Bright Red (HbO2)
- Nitrit : LM coklat kebiruan (MetHb)

Warna, distribusi bercak sekitar mulut : pada racun korosif (khas)

Bau dari mulut/ hidung : Alkohol, minyak tanah, karbol.

Kelainan lain : Tatto, bekas suntik (narcotic addict)

b) Pemeriksaan dalam

Perhatikan bau pada : rongga dada, rongga perutm rongga kepala (bau racun
khas)

Perhatikan warna organ


- R. Korosif : Lambung (hiperemi, perlunakan, ulcerasi, perforasi)
- R. Gas : saluran pernafasan
- Urine : dapat terjadi perubahan warna, misal : salisilat urine warna
hijau.

3. Pemeriksaan Toksikologi14
Tujuannya untuk menegakkan diagnosa keracunan. Pada korban hidup terapi
cepat dan tepat, sedangkan pada orang mati didapatkan kesimpulan pasti sebab
kematian. Ada 3 langkah dalam pemeriksaan toksikologi, yaitu :
a) Pengambilan dan pengumpulan bahan
Harus dijaga syarat medicolegal dan Chain of evidence. Bahan-bahan tersebut
adalah :
Stat I : lambung dan isinya, usus dan isinya.

20

Stat II : hati 500gr, otak 500gr, dan paru 250gr.


Stat III : ginjal sebagian kanan/kiri, kantung urin.
Bahan-bahan lain : Darah (50-100ml) dan urine (100ml)
Pada korban hidup :
- Sisa makanan/ minuman
- Obat-obatan, bahan penyebab keracunan
- Bahan muntahan/ hasil bilas lambung
- Urine, darah dan feses.
Pada kasus-kasus tertentu :
- Keracunan alkohol : darah vena femoralis dan urine
- Bila darah (-) : sumsum tulang dan jaringan otot
- Keracunan kronis arsen : rambut, kuku dan tulang
Syarat tempat (wadah) :
Gelas /plastik (inert)
Mulut lebar
Dapat ditutup rapat
Bersih dari zat kimia ( baru)
Jumlahnya minimal ada 3 buah :
Wadah I : organ traktus gastrointestinalis
Wadah II : organ hati, empedu, otak, ginjal dll
Wadah III : organ traktus urogenitalis
Pengawet : Alkohol 96%, bisa juga menggunakan es batu, dry ice, Na Fluorida,
merkuri nitrat.
Bahan pemeriksaan terendam dalam pengawet, seal dengan parafin, ikat tali
tidak bersambung, beri label, segel ( lak + segel dinas)
Pengiriman :
- Sertakan contoh bahan pengawet (100ml) dalam botol bersih, dilabel, dan
segel.
- Dikirim segera setelah bahan diambil
- Diantar (via kurir)
- Via paket
- Jaga keutuhan supaya layak diperiksa sebagai barang bukti.
21

Syarat- syarat surat :


Surat permohonan pemeriksaan toksikologi
Surat tentang laporan peristiwa atau kejadian (secara singkat)
Surat tentang laporan otopsi
Berita acara pembungkusan dan penyegelan (ada cap segel dinas)
Isi label :
- Identitas korban
- Jenis dan jumlah bahan pemeriksaan
- Bahan pengawet yang dipakai
- Tempat dan saat pengambilan bahan, pembungkusan dan penyegelan
- Tanda tangan dan nama terang penyegel dokter yang otopsi
- Cap stempel dinas dan segel dinas
Pada penggalian jenazah :
Bila mungkin bahan seperti tersebut diatas
Contoh tanah : bagian atas/ bawah, kiri/kanan jenazah (peti)
Pembanding : contoh tanah radius 5m dengan kedalaman yang sama dengan
jenazah
Masing-masing dimasukkan dalam wadah sendiri
Kesalahan yang mungkin terjadi :
- Tempat barang bukti tidak bersih (unclean container)
- Barang bukti terkontaminasi (contamination of specimen)
- Barang bukti rusak/ busuk (permitting specimen to putrefy)
- Barang bukti terlalu sedikit (unadequate specimen)
- Pengambilan barang bukti tidak pada tempatnya (poorly selected specimen)
- Barang bukti tidak berlabel/ segel (unlabeled specimen)
- Chain of evidence kurang baik
b) Pelaksanaan analisa
1) Tahap isolasi (ekstraksi)
Penting dalam keberhasilan analisa. Pilih metode ekstraksi yang paling tepat
yaitu metoda umum dan metode khusus.
2) Tahap identifikasi/ deteksi
c) Interpretasi hasil analisa

22

Hasil ekstraksi purifikasi konsentrasi


Identifikasi / deteksi : kualitatif dan kuantitatif
Terdiri dari :
- Spot test /color test
- Khromatografi (paper, thin layer, gas)
- Spektrofotometri (UV, IR)
- Immunoassay dll
Memberikan arti (interpretasi) terhadap hasil analisa dalam hal : Hubungan
konsentrasi racun hasil analisis dengan efek fisiologis sangat dipengaruhi faktor
tertentu. Misal untuk racun bekerja sistemik, distribusi dan metabolisme efek
fisiologis.
Interpretasi hasil dipengaruhi oleh :14
Normal konsentrasi
Dosis terapi
Dosis toksis
Dosis letalis
Misalnya kadar arsen lambung 200mg Ld Arsenikum 200mg, interpretasi: Apakah
korban meninggal karena Arsen intiksikasi ?
2.1.8. Laboratorium prosedur pemeriksaan toksikologi15, 16
1. Reinsch Test
Merupakan suatu cara untuk memancing logam-logam dari campuran dengan
mempergunakan :
-

Logam Cu untuk memancing logam As dan Hg

Logam Fe untuk memancing logam Cu

Cara kerja :

Mempersiapkan logam Cu yang akan dipakai


Logam Cu sebelum dipakai dibersihkan terlebih dahulu dengan jalan
membakar logam Cu tersebut dengan api benzene sampai membara, kemudian
dimasukan dalam HNO3 pekat lebih kurang 10 menit, lalu dimasukkan
kedalam Hcl 10% lebih kurang 10 menit, kemudian dicuci dengan air
mengalir lalu dikeringkan dengan kertas saring, masukkan kedalam alcohol

23

selama 10 menit kemudian dimasukkan kedalam eter untuk membebaskan


dari lemak-lemak dan logam Cu siap dipakai.

Memancing logam dari sampel


Dengan mempergunakan logam cu yang telah kita persiapkan. Sampel
sebanyak 10 gram dikeringkan dengan waterbath, lalu dihaluskan. Masukkan
bubuk sampel tadi kedalam tabung Erlenmeyer 125 cc, kemudian tambahkan
5cc Hcl pekat lalu ditambah aquadest sebanyak 10cc. langkah selanjutnya
masukkan logam Cu (ikat dulu dengan benang supaya nanti mengambilnya
mudah, tapi benangnya jangan ikut tercelup) lalu dipanaskan selama 1jam.
Sesudah itu logam diambil dan dicuci dengan air mengalir kemudian
keringkan.

Periksa pada logam Cu tersebut apakah terdapat noda-noda atau perubahan warna yang
menunjukkan adanya logam yang berhasil dipancing yaitu As atau Hg.
2. Marsh Test
Sifat : spesifik untuk arsen. Harus dilakukan dialmari asam.
Cara kerja :

Alat Marsh disiapkan lengkap dengan butir-butir Zn dan H 2SO4 yang bebas
dari As. Ujung tabung pemanas yang bebas disambung dengan pipa karet,
sedangkan ujung yang lain dimasukkan ke dalam larutan AgNO 3 3%.
Gunanya untuk menghilangkan udara dalam labu Erlenmeyer agar tidak
terjadi letusan dan untuk mengetahui bahwa alat marsh itu termasuk
reagennya bebas As, bila ada As akan terjadi endapan hitam pada larutan
AgNO3.

Biarkan alat ini selama jam kalaupun terjadi endapan pada larutan AgNO3
harus di ulangi lagi dengan alat-alat yang lebih bersih.

Jika larutan AgNO3 tetap jernih setelah jam pipa karet dilepas, zat yang
akan diperiksa dimasukkan dalam alat Marsh lewat corong pengisi dan pada
bagian pipa yang menjepit dari pipa Marsh dibalut dengan kasa tembaga, dan
dipanasi dengan Bunsen brander sanpai memijar

Jika zat yang diperiksa mengandung As akan terjadi cermin pada bagian pipa
setelah pemanasan.

3. Metoda Gutzeit

24

Indikator : AgNO3 kristal dan larutan AgNO3 1%


4. Sanger Black Test
Cara kerja :

Gunakan alat Sanger Black atau alat Gutzei yang dimodifikasi

Sampel yang akan diperiksa mula-mula harus ditimbang dan diukur volumenya.

Untuk mengetes kemurnian reagens dan kebersihan alatnya dilakukan testing


dahulu, jadi dilakukan percobaan tanpa sampel.

Dalam labu Erlenmeyer masukkan butiran Zn yang telah direndam dalam


larutan CuSO4 5% selama 5 menit, lalu tambahkan H2SO4 sebanyak 20cc.

Pasanglah gabus penutup yang terbuat dari karet yang sudah dipasangi
cerobongnya yang berisi kertas saring/ kapas yang telah di infiltrir dengan Pb
asetat, yang gunanya untuk menangkap H2S yang dapay menggangu jalanya
pemeriksaan.

Pada ujung cerobong dipasangi pipa kaca yang diisi dengan kertas saring
ukuran lebar 1mm dan telah di infiltrir dengan sublimate

Biarkan alat ini demikian selama 30 menit

Jika kertas sublimate tetap putih berarti reagensia dan alatnya bebas As, maka
sediaan sampel tadi dapat dimasukkan.

Ditunggu sampai terjadi perubahan warna tadi konstan

Bila warna yang sudah terjadi tidak bertambah panjang lagi, berarti As dalam
labu sudah habis.

Hasil pemeriksaan :15, 16


Pada keracunan akut
- Air seni : terdapat darah dan protein
- Darah : terutama pada kasus yang fatal konsentrasi asam 0,1-1,5mg/100gr
Pada keracunan kronis
- Rambut, kuku, air seni, dan feses : terdapat zat arsen
- Darah : anemia, dengan neutrophilik leukophenia
Untuk jenazah yang akan diotopsi yaitu :17

Darah diambil dari vena femoralis

25

Jika darah tidak dapat diambil dari vena femoralis, dapat diambil dari :
-

Vena subklavia

Aorta

Arteri pulmonalis

Vena cava superior

Jantung

Darah seharusnya diberi label sesuai dengan tempat pengambilan

Pada kejadian yang jarang terjadi yang biasanya berhubungan dengan trauma
masive darah tidak dapat diambil dari pembuluh darah tetapi terdapat darah
bebas pada rongga badan.
-

Darah diambil dan diberi label sesuai dengan tempat pengambilan.

Jika dilakukan tes untuk obat dan hasilnya negatif, maka dapat
diasumsikan bahwa orang tersebut tidak dibawah efek obat pada saat
kematian.

Jika hasil tes positif, harus diperhitungkan kemungkinan kontaminasi


pada beberapa kasus bahan lain seperti vitreus/ otot dapat dianalisa
untuk mengevaluasi.

2.1.9. Analitikal Toksikologi5


Analitikal toksikologi merupakan pemeriksaan laboratorium yang berfungsi untuk:
1.

Analisa tentang adanya racun.

2.

Analisa tentang adanya logam berat yang berbahaya.

3.

Analisa tentang adanya asam sianida, fosfor dan arsen.

4.

Analisa tentang adanya pestisida baik golongan organochlorin maupun


organophospat.

5.

Analisa tentang adanya obat-obatan misalnya: transquilizer, barbiturate,


narkotika, ganja, dan lain sebagainya.
Analitikal toksikologi meliputi isolasi, deteksi, dan penentuan jumlah zat yang

bukan merupakan komponen normal dalam material biologis yang didapatkan dalam
otopsi. Guna toksikologi adalah menolong menentukan sebab kematian. Kadangkadang material didapatkan dari pasien yang masih hidup, misalnya darah, rambut,
potongan kuku atau jaringan hasil biopsi. Hasil toksikologi disini membantu dalam
menentukan kasus-kasus yang diduga keracunan.5
26

Pada pengiriman material untuk analitikal toksikologi, diharapkan dokter


mengirimkan material sebanyak mungkin, dengan demikian akan memudahkan
pemeriksaan dan hasilnya akan lebih sempurna.
Jaringan tubuh masing-masing memiliki afinitas yang berbeda terhadap racunracun tertentu, misalnya:5

Jaringan otak adalah material yang paling baik untuk pemeriksaan racun-racun
organis, baik yang mudah menguap maupun yang tidak mudah menguap.

Hepar dan ginjal adalah material yang paling baik untuk menentukan keracunan
logam berat yang akut.

Darah dan urin adalah material yang paling baik untuk analisa zat organik non
volatile, misalnya obat sulfa, barbiturate, salisilat dan morfin.

Darah, tulang, kuku, dan rambut merupakan material yang baik untuk
pemeriksaan keracunan logam yang bersifat kronis.
Untuk racun yang efeknya sistemik, harus dapat ditemukan dalam darah atau
organ parenkim ataupun urin. Bila hanya ditemukan dalam lambung saja maka belum
cukup untuk menentukan keracunan zat tersebut. Penemuan racun-racun yang efeknya
sistemik dalam lambung hanyalah merupakan penuntun bagi seorang analis toksikologi
untuk memeriksa darah, organ, dan urin ke arah racun yang dijumpai dalam lambung
tadi. Untuk racun-racun yang efeknya lokal, maka penentuan dalam lambung sudah
cukup untuk dapat dibuat diagnosa.6
Adapun penyebab keracunan dapat dikenali melaui bau racun tersebut atau
warna urin setelah terkontamiasi denga racun tersebut antara lain :6

Karakteristik bau racun


Bau
Aseton
Almond
Bawang putih
Telur busuk
Karakteristik warna urin
Warna urine
Hijau/ biru
Kuning-merah
Coklat tua
Butiran keputihan
Coklat

Penyebab
Isopropil alkohol, aseton
Sinida
Arsenik, selenium, talium
Hidrogen sulfida, merkaptan
Penyebab
Metilin biru
Rifampisin, besi (Fe)
Fenol, kresol
Primidon
Mio/ haemoglobinuria

27

Pemeriksaa korban tewas keracunan


Berdasarkan interval waktu antara kontak korban-korban dengan kematian dibedakan
atas :

Kematian yang berlangsung cepat : kongesti alat dalam, edema paru-otak,


ginjal, tanda-tanda korosif, bau khas dari hidung mulut, lebam mayat yang khas.

Kematian yang berlangsung lambat menimbulkan kelainan khas sesuai jenis


racun seperti :
- Arsen akan menunjukkan pigmentasi, hyperkeratosis, dan rontoknya rambut
- CO akan terjadi perlunakan atau gambaran honey comb appearance pada
globus palidus, perdarahan berbintik,dan adanya ring haemorrhages pada otak
- Alkohol akan mmenimbulkan sirosis hati, perdarahan saluran cerna.

2.1.10. Tanda- tanda post mortem pada keracunan20


Pemeriksaan luar
-

Tanda-tanda dehidrasi misalnya mata cekung, penonjolan tulang-tulang wajah

Sianosis pada wajah dan bibir, busa pada mulut, lebam mayat berwarna merah
terang.

Pemeriksaan dalam
-

Dapat tercium bau khas amandel ketika membuka rongga dada, perut, otak serta
lambung (bila racun per-oral)

Terdapat inflamasi pada mukosa

Darah, otot-otot dan penampang organ-organ tubuh dapat berwarna merah


terang

Ditemukan tanda-tanda asfiksia

2.1.11. Gejala Umum Keracunan8


1. Hipersalivasi (air ludah berlebihan)
2. Gangguan gastrointestinal : mual-muntah
3. Mata : miosis

28

2.2 Kodein
2.2.1. Aspek Medikolegal
Pemeriksaan forensik dalam kasus keracunan dapat dibagi dalam dua
kelompok, yaitu atas dasar dari tujuan pemeriksaan itu sendiri. Yang pertama bertujuan
untuk mencari penyebab kematian, yang kedua untuk mengetahui suatu peristiwa.18
Biasanya racun bisa digunakan untuk membunuh tapi keracunan bisa terjadi secara
tidak sengaja. 20
Pasal 133 (1) KUHP : Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani
seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang
merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli
kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya.18
2.2.2. Definisi kodein
Kodeina atau kodein (bahasa Inggris: codeine, methylmorphine) ialah asam
opiat alkaloid yang dijumpai di dalam candu dalam konsentrasi antara 0,7% dan 2,5%.
Kebanyakan kodein yang digunakan di Amerika Serikat diproses dari morfin melalui
proses metilasi.19
Kodein yang terkonsumsi akan teraktivasi oleh enzim CYP2D6 di dalam hati
menjadi morfin, sebelum mengalami proses glusuronidasi, sebuah mekanisme
detoksifikasi bagi xenobiotik.19
Walau bagaimanapun, morfin tersebut tidak dapat digunakan, mengingat 90%
kodein yang diambil akan dimusnahkan dalam usus halus (rembesan dari hati) sebelum
berhasil memasuki peredaran darah. Oleh itu, kodein seolah-olah tidak berpengaruh
atas penggunanya, namun efek samping seperti analgesia, sedasi, dan kemurungan
pernapasan masih terasa.19
Kodein adalah sejenis obat batuk yang digunakan oleh dokter, namun dapat
menyebabkan ketergantungan/efek adiksi sehingga peredarannya dibatasi dan diawasi
secara ketat. Kodein adalah alkaloid alamiah yang ditemukan dalam opium, sekitar 0,33,0%. Kodein merupakan opioida alamiah yang paling banyak digunakan dalam
pengobatan. Kodein bisa diekstrak dari opium tetapi kadar kodein dalam opium sangat
kecil sehingga kodein tidak langsung diperoleh dari opium dengan cara ekstraksi.

29

Sebagian besar kodein yang ada disintesa dari morfin melalui proses O-methylation
karena kadar morfin dalam opium jauh lebih besar daripada kadar kodein dalam
opium.8,9
Kodein memiliki efek analgesik yang lemah, sekitar dari keuatan analgesik morfin.
Oleh karena itu, kodein tidak dipakai untuk menghilangakan rasa nyeri. Kodein adalah
antitusif (antibatuk) yang kuat. Kodein dijumpai dalam air seni sampai dua hari sesudah
penggunaan terakhir.9
2.2.3. Struktur kimia dan sifat kodein

Gambar 1. Struktur Kimia Kodein10


Struktur kimia kodein identik dengan struktur kimia morfin, hanya atom
hidrogen pada radikal hidroksil fenolik diganti dengan radikal metil. Oleh karena itu,
kodein disebut metil morfin atau morfin monometiler atau 7,8 Didehidro- 4,5-epoksi3metoksi-17-metilmorfinan 6 -ol monohidrat. Kristal kodein berbentuk monohidrat,
rasanya pahit dan mencair pada 154-155C. Kodein hampir tidak larut dalam larutan
alkali, sedikit larut salam air, tetapi mudah larut dalam amil alkohol, metanol, dan
beberapa asam encer. Obat ini dipasarkan sebagai garam codein sulfate dan codein
phosphate.11
2.2.4. Farmakodinamik kodein12
A. Susunan Saraf Pusat
Efek codein atau morfin terhadap SSP berupa analgesia dan narcosis. Analgesia
oleh morfin dan oploid lain sudah timbul sejak sebelum penderita tidur dan seringkali
analgesia terjadi tanpa disertai tidur. Dosis kecil (5-10 mg) menimbulkan eforia pada
pasien yang sedang menderita nyeri, sedih dan gelisah. Sebaliknya, dosis yang sama

30

pada orang normal seringkali menimbulkan disforia berupa perasaan kuatir atau takut
disertai mual dan muntah.12
B. Analgesik
Efek analgetik yang ditimbulkan oleh opioid terutama terjadi sebagai akibat
kerja opioid pada reseptor, reseptor dan dapat juga ikut berperan dalam menimbulkan
analgesia terutama pada tingkat spinal. Sangat selektif dan tidak disertai oleh hilangnya
fungsi sensorik lain seperti rasa raba, rasa getar, (vibrasi), penglihatan, dan
pendengaran. Pengaruh morfin dan opioid terhadap modalitas nyeri yang tidak tajam
(dull pain) dan berkesinambungan lebih nyata dibandingkan dengan pengaruh morfin
terhadap nyeri tajam dan intermiten. Efek analgesik morfin timbul berdasarkan 3 faktor
: morfin meninggikan ambang rangsang nyeri, morfin dapat mempengaruhi emosi
artinya morfin dapat mengubah reaksi yang timbul dikorteks serebri dari talamus,
morfin memudahkan tidur dan pada waktu tidur ambang rangsang nyeri meningkat.12
Antara nyeri dan efek analgesic morfin dan opioid lain terdapat antagonism
artinya nyeri merupakan antagonis faalan bagi efek analgesic dan efek depresi napas
morfin. Bila nyeri sudah dialami beberapa waktu sebelum pemberian morfin,maka efek
analgesiknya tidak begitu besar. Tetapi bila stimulus nyeri ditimbulkan setelah efek
analgesic morfin mencapai maksimum.12
C. Eksitasi
Morfin dan opoid lain sering menimbulkan mual dan muntah, sedangkan
delirium dan konvulsi lebih jarang timbul. Faktor yang dapat mengubah efek eksitasi
morfin ialah idiosinkrasi dan tingkat eksitasi reflex (reflex excitatory level) SSP. Pada
beberapa spesies efek eksitasi morfin jauh lebih jelas. Misalnya pada kucing morfin
menimbulkan mania dan hipertermia, konvulsi tonik dan klonik yang dapat berakhir
dengan kematian. Kodein tidak menyebabkan depresi progresif bila dosisnya
dibesarkan, tetapi justru menyebabkan eksitasi.12

D. Miosis

31

Penetesan larutan morfin langsung pada mata tidak menimbulkan miosis, tetapi
pemberian secara sistemik menimbulkan miosis dengan mekanisme yang belum jelas.
Miosis ini dapat dilawan oleh atropin dan skopolamin. Morfin dalam dosis terapi
mempertinggi daya akomodasi dan menurunkan tekanan intraokuler, baik pada orang
normal maupun pada penderita glaucoma.12
E. Depresi napas
Morfin menimbulkan depresi napas secara primer dam bersinambung
berdasarkan efek langsung terhadap pusat napas. Pada dosis kecil morfin sudah
menimbulkan depresi napas tanpa menyebabkan tidur atau kehilangan kesadaran.
Morfin dan analgesic opioid lain berguna untuk menghambat refleks batuk. Depresi
refleks batuk ini ternyata tidak berjalan sejajar dengan depresi napas.12
F. Mual dan muntah
Efek emetic morfin terjadi berdasarkan stimulasi langsung pada emetic
chemoreceptor trigger zone, bukan oleh stimulasi pusat emetic sendiri. Apomorfin
menstimulasi CTZ paling kuat. Beberapa derivate fenotiazin yang merupakan penyekat
dopamine yang kuat dapat mengadakan antagonisme terhadap efek mual dan muntah
morfin. Dengan dosis terapi (15mg morfin subkutan) pada penderita yang berbaring,
jarang terjadi mual dan muntah, tetapi pada penderita berobat jalan mual dan muntah
terjadi masing-masing 40% dan 15% penderita. Efek mual dan muntah akibat morfin
diperkuat oleh stimulasi vestibuler, sebaliknya analgesik opoid sintetik meningkatkan
sensitivitas vestibuler.12
G. Saluran cerna
Penyelidikan manusia telah membuktikan bahwa morfin berefek langsung pada
saluran cerna, bukan melalui efeknya pada SSP.12

H. Lambung

32

Morfin menghambat sekresi HCl, tetapi efek ini lemah dan dapat ditiadakan
oleh rangsang kimia atau psikik. Selanjutnya morfin menyebabkan pergerakan lambung
berkurang, tonus bagian antrum meninggi dan motilitasnya berkurang sedangkan
sfingter pilorus berkontraksi.12
I. Usus kecil
Morfin mengurangi sekresi empedu dan pankreas, dan memperlambat
pencernaan makanan di usus kecil. Pada manusia, morfin mengurangi kontraksi
propulsive, meninggikan tonus dan spasme periodic usus kecil.12
J. Usus besar
Morfin mengurangi atau menghilangkan gerakan propulsi usus besar,
meninggikan tonus dan menyebabkan spasme usus besar; akibatnya penerusan isi kolon
diperlambat dan tinja menjadi lebih kering. Daya persepsi korteks telah dipengaruhi
morfin sehingga penderita tidak merasakan kebutuhan untuk defekasi.12
K. Duktus koledokus
Dosis terapi morfin, kodein, dihidromorfinon dan metidihidromorfinon
menimbulkan peninggian tekanan dalan duktus koledokus. Keadaan ini sering disertai
perasaan tidak enak di epigastrium sampai gejala kolik berat.12
L. Sistem Cardiovaskular
Pemberian morfin dosis terapi tidak mempengaruhi tekanan darah, frekuensi
maupun irama denyut jantung. Perubahan yang terjadi akibat efek depresi pada pusat
vagus dan pusat vasomotor yang baru terjadi pada dosis toksik. Morfin dan opioid lain
menurunkan kemampuan sistem kardiovaskular untuk bereaksi terhadap perubahan
sikap. Penderita mungkin mengalami hipotensi ortostatik dan dapat jatuh pingsan,
terutama akibat vasodilatasi perifer yang terjadi berdasarkan efek langsung terhadap
pembuluh darah kecil.12
Efek morfin terhadap miokard manusia tidak berarti; frekuensi jantung tidak
dipengaruhi atau hanya menurun sedikit, sedangkan efek terhadap curah jantung tidak

33

konstan. Gambaran elektrokardiogram tidak berubah. Morfin dan opioid lain harus
digunakan dengan hati-hati pada keadaab hipovolemia karena mudah timbul hipotensi.
Pengunaan opioid bersama derivate fenotiazin menyebabkan depresi napas dan
hipotensi yang lebih besar. Morfin menimbulkan peninggian tonus, amplitude serta
kontraksi ureter dan kandung kemih. Efek ini dapat dihilangkan dengan pemberian 0,6
mg atropine subkutan. Morfin dosis terapi menyebabkan pelebaran pembuluh darah
kulit, sehingga kulit tampak merah dan terasa panas terutama di flush area. Seringkali
kulit berkeringat, mungkin karena bertambahnya peredaran darah di kulit. Morfin
menyebabkan suhu badan turun akibat akitivitas oto yang menurun, vasodilatasi perifer
dan penghambatan mekanisme neural di SSP. Kecepatan metabolisme dikurangi oleh
morfin.12
2.2.5. Farmakokinetik Kodein
Morfin tidak dapat menembus kulit utuh, tetapi dapat diabsorpsi melalui kulit
luka. Morfin juga dapat menembus mukosa. Dengan kedua cara pemberian ini absorpsi
morfin kecil sekali. Morfin dapat diabsorpsi usus, tetapi efek analgesic setelah
pemberian oral jauh lebih rendah daripada efek analgesic yang timbul setelah
pemberian parenteral dengan dosis yang sama. Mula kerja semua alkaloid opioid
setelah suntikan IV sama cepat, sedangkan setelah suntikan subkutan, absorpsi berbagai
alkaloid opioid berbeda-beda. Setelah pemberian dosis tunggal, sebagian jenis morfin
mengalami konyugasi dengan asam glukuronat di hepar, sebagian dikeluarkan dalam
bentuk bebas dan 10% tidak diketahui nasibnya. Sebagian kecil morfin bebas
ditemukan dalam tinja dan keringat. Ekskresi morfin terutama melalui ginjal. morfin
yang terkonjugasi ditemukan di empedu. Sebagian yang kecil dikeluarkan bersama
cairan lambung.12
Pada proses resorpsinya dari usus jauh lebih baik dari pada morfin, begitu pula
FPE-nya lebih ringan hingga lebih kurang 70 % , mencapai sirkulasi besar PP-nya
hanya 7%, plasma t -nya 3-4 jam. Dalam hati zat diuraikan menjadi norkodein dan
10% menjadi morfin yang mungkin memegang peranan atas efek analgesiknya.
Metabolitnya dieksresikan sebagai glukuronida melalui kemih, bersama 5-15% dalam
keadaan utuh.12

34

Kodein mengalami demetilasi menjadi morfin dan CO2. CO2 ini dikeluarkan
oleh paru-paru. Sebagian kodein mengalami N-demetilasi. Urin mengandung bentuk
bebas dan bentuk konjugasi dari kodein, norkodein, dan morfin.12
2.3. Intoksikasi Kodein
2.3.1. Definisi intoksikasi kodein
Intoksikasi atau keracunanan adalah masuknya substansi kimia, yang dalam
jumlah relatif kecil, tetapi dengan dosis toksis, bila masuk atau mengenai tubuh, tanpa
kekuatan mekanis, tetapi hanya dengan kekuatan daya kimianya, akan menimbulkan
efek yang besar, yang dapat menyebabkan sakit, bahkan kematian, sedangkan kodein
sendiri adalah alkaloid alamiah yang ditemukan dalam opium, sekitar 0,3-3,0%. Kodein
merupakan opioida alamiah yang paling banyak digunakan dalam pengobatan. Kodein
bisa diekstrak dari opium tetapi kadar kodein dalam opium sangat kecil sehingga
kodein tidak langsung diperoleh dari opium dengan cara ekstraksi. Sebagian besar
kodein yang ada disintesa dari morfin melalui proses O-methylation karena kadar
morfin dalam opium jauh lebih besar daripada kadar kodein dalam opium. Kodein
memiliki efek analgesik yang lemah, sekitar dari keuatan analgesik morfin. Oleh
karena itu, kodein tidak dipakai untuk menghilangakan rasa nyeri. Kodein adalah
antitusif (antibatuk) yang kuat. Kodein dijumpai dalam air seni sampai dua hari sesudah
penggunaan terakhir.
Intoksikasi akut morfin atau opioid lain biasanya terjadi akuibat percobaan
bunuh diri atau kelebihan dosis. Pasien akan tidur, sopor atau koma jika intoksikasi
cukup berat. Frekuensi napas lambat, 2-4 kali permenit, dan pernapasan mungkin
berupa Cheyne Stokes. Pasien sianotik, kulit muka merah tidak merata dan agak
kebiruan. Tekanan darah yang mula-mula baik akan menurun sampai terjadi syok bila
napas memburuk, dan ini dapat diperbaiki dengan memberikan oksigen. Pupil sangat
kecil (pin point pupils), kemudian midriasis jika telah terjadi anoksia. Pembentukan
urin sangat kurang karena terjadi penglepasan ADH dan turunnya tekanan darah. Suhu
badan rendah, kulit terasa dingin, tonus otot rangka rendah, mandibular dalam keadaan
relaksasi dan lidah dapat menyumbat jalan napas. Pada bayi mungkin timbul konvulsi.
Kematian biasanya disebabkan oleh depresi napas.
2.3.2. Gejala dan tanda intoksikasi kodein

35

2.3.2.1. Gejala Klinis


Penilaian keadaan klinis yang paling awal adalah status kesadaran. Alat ukur
yang paling sering digunakan adalah GCS (Glasgow Coma Scale). Apabila pasien tidak
sadar dan tidak ada keterangan apapun, maka diagnosis keracunan dapat dilakukan
pereksklusionam dan semua penyebab penurunan kesadaran seperti meningoensefalitis,
trauma, perdarahan subaraknoid / intrakranial, subdural / ekstradural haematom,
hipoglikemia, diabetik ketoasidosis, uremia, ensefalopati.6
Penemuan klinis seperti ukuran pupil mata, frekuensi napas dan denyut nadi
mungkin dapat membantu penegakan diagnosis pada pasien dengan penurunan
kesadaran.

36

Gambaran klinis yang menunjukkan penyebab keracunan6


Gambaran klinis
Pupil pin point, frekuensi napas turun

Kemungkinan penyebab
Opoioid, inhibitor kolinesterase
(organofosfat, carbamate insektidida),

Dilatasi pupil, laju napas turun


Dilatasi pupil, takikardia

klonidin, fenotiazin
Benzodiazepin
Antidepresan trisiklik, amfetamin,
ekstasi,kokain, antikolonergik (benzeksol,

Sianosis

benztropin), antihistamin
Obat depresan SSP, bahan penyebab

Hipersalivasi
Nistagmus, ataksia, tanda serebral

methaemoglobinemia
Organofosfat/ karbamat, insektisida
Antikonvulsan (frenitoin, karbamazepin),

Gejala ekstrapiramidal
Seizures

alcohol
Fenotiazin, haloperidol, metoklopramid
Antidepresan trisiklik, antikonvulsan,
teofilin, antihistamin, OAINS, fenothiazin,

Hipertemia
Hipertemia dan hipertensi, takikardi,

isoniazid
Litium, antidepresan trisiklik, antihistamin
Amfetamin, ekstasi, kokain

agitasi
Hipertemia dan takikardi, asidosis

Salsilat

metabolic
Bradikardia

Penghambat beta, digoksin, opioid,


klonidin, antagonis kalsium (kecuali

Abdominal cramp, diare,

dihidropiridin), organofosfat insektisida


Withdrawal alkohol, opiat, benzodiazepine

takikardi, halusinasi.

2.3.3. Penatalaksanaan intoksikasi kodein8


1. Mencegah / menghentikan penyerapan racun
a. Racun melalui mulut (ditelan / tertelan)
1. Encerkan racun yang ada di lambung dengan : air, susu, telor mentah atau norit).
2. Kosongkan lambung (efektif bila racun tertelan sebelum 4 jam) dengan cara :

37

- Dimuntahkan :
Bisa dilakukan dengan cara mekanik (menekan reflek muntah di tenggorokan), atau
pemberian air garam atau sirup ipekak.
Kontraindikasi : cara ini tidak boleh dilakukan pada keracunan zat korosif
(asam/basa kuat, minyak tanah, bensin), kesadaran menurun dan penderita kejang.
- Bilas lambung :
Pasien telungkup, kepala dan bahu lebih rendah.
Pasang NGT dan bilas dengan : air, larutan norit, Natrium bicarbonat 5 %,
atau asam asetat 5 %.
Pembilasan sampai 20 X, rata-rata volume 250 cc.
Kontraindikasi : keracunan zat korosif & kejang.
- Bilas Usus Besar : bilas dengan pencahar, klisma (air sabun atau gliserin).
b. Racun melalui melalui kulit atau mata
o Pakaian yang terkena racun dilepas
o Cuci / bilas bagian yang terkena dengan air dan sabun atau zat penetralisir (asam
cuka / bicnat encer).
o Hati-hati : penolong jangan sampai terkontaminasi.
c. Racun melalui inhalasi
o Pindahkan penderita ke tempat aman dengan udara yang segar.
o Pernafasan buatan penting untuk mengeluarkan udara beracun yang terhisap,
jangan menggunakan metode mouth to mouth.
d. Racun melalui suntikan
o Pasang torniquet proximal tempat suntikan, jaga agar denyut arteri bagian distal
masih teraba dan lepas tiap 15 menit selama 1 menit
o Beri epinefrin 1/1000 dosis : 0,3-0,4 mg subkutan/im.
o Beri kompres dingin di tempat suntikan
2. Mengeluarkan racun yang telah diserap, Dapat dilakukan dengan cara :
Diuretic : lasix, manitol
Dialisa
Transfusi exchange
3. Pengobatan simptomatis / mengatasi gejala

Gangguan sistem pernafasan dan sirkulasi : RJP

38

Gangguan sistem susunan saraf pusat :

Kejang : beri diazepam atau fenobarbital

Odem otak : beri manitol atau dexametason.

e. Keracunan Narkotika (Heroin, Morfin, Kodein)


o Gejala : mual, muntah, pusing, klulit dingin, pupil miosis, pernafasan dangkal
sampai koma.
o Tindakan :

Jangan lakukan emesis

Beri Nalokson 0,4 mg iv tiap 5 menit (atau Nalorpin 0,1 mg/Kg BB.

Obat terpilih Nalokson (dosis maximal 10 mg), karena tidak mendepresi pernafasan,
memperbaiki kesadaran, hanya punya efek samping emetik. Karenanya pada penderita
koma tindakan preventif untuk aspirasi harus disiapkan.

2.3.4. Prinsip Penatalaksanaan Terhadap Racun Yang Tertelan


Dekontaminasi lambung (menghilangkan racun dari lambung) efektif bila
dilakukan sebelum masa pengosongan lambung terlewati (1-2 jam, termasuk penuh
atau tidaknya lambung). 13
Keputusan untuk melakukan tindakan ini harus mempertimbangkan keuntungan
dan kerugian (risiko) yang mungkin terjadi akibat tindakan dekontaminasi dan jenis
racun. Dekontaminasi lambung tidak menjamin semua bahan racun yang
masuk bisa dikeluarkan, oleh karena itu tindakan dekontaminasi lambung tidak rutin
dilakukan pada kasus keracunan. 13
Kontra indikasi untuk dekontaminasi lambung adalah: 13
1. Keracunan bahan korosif atau senyawa hidrokarbon (minyak tanah, dll) karena
mempunyai risiko terjadi gejala keracunan yang lebih serius
2. Penurunan kesadaran (bila jalan napas tidak terlindungi).

Periksa anak apakah ada tanda kegawatan dan periksa gula darah (hipoglikemia)

39

Identifikasi bahan racun dan keluarkan bahan tersebut sesegera mungkin. Ini akan
sangat efektif jika dilakukan sesegera mungkin setelah terjadinya keracunan,
idealnya dalam waktu 1 jam pertama pajanan.
Jika anak tertelan minyak tanah, premium atau bahan lain yang

mengandung premium/minyak tanah/solar (pestisida pertanian berbahan pelarut


minyak tanah) atau jika mulut dan tenggorokan mengalami luka bakar (misalnya
karena bahan pemutih, pembersih toilet atau asam kuat dari aki), jangan rangsang
muntah tetapi beri minum air.

Jangan gunakan garam sebagai emetik karena bisa berakibat fatal.

Jika anak tertelan racun lainnya:


Berikan arang aktif (activated charcoal) jika tersedia, jangan rangsang

muntah. Arang aktif diberikan peroral dengan atau tanpa pipa nasogastrik dengan
dosis seperti pada
Tabel 1. Jika menggunakan pipa nasogastrik, pastikan dengan seksama pipa nasogastrik
berada di lambung.

Tabel 1: Dosis arang aktif 13


Anak sampai umur 1 tahun

1 g/kg

Anak umur 1 hingga 12 tahun

25-50 g

Remaja dan dewasa

25-100 g

Larutkan arang aktif dengan 8-10 kali air, misalnya 5 g ke dalam 40 ml air

Jika mungkin, berikan sekaligus, jika sulit (anak tidak suka), dapat diberikan
secara bertahap

Efektifitas arang aktif bergantung pada isi lambung (lambung kosong lebih
efektif)

Jika arang aktif tidak tersedia, rangsang muntah (hanya pada anak sadar) yaitu
dengan merangsang dinding belakang tenggorokan dengan menggunakan spatula
atau gagang sendok.

Bilas lambung

40

Lakukan hanya di fasilitas kesehatan dengan petugas kesehatan terlatih yang


mempunyai pengalaman melakukan prosedur tersebut dan keracunan terjadi kurang
dari 1 jam (waktu pengosongan lambung) dan mengancam nyawa. Bilas lambung tidak
boleh dilakukan pada keracunan bahan korosif atau hidrokarbon. Bilas lambung bukan
prosedur rutin pada setiap kasus keracunan. Pastikan tersedia mesin pengisap untuk
membersihkan muntahan di rongga mulut. Tempatkan anak dengan posisi miring ke
kiri dengan kepala lebih rendah. Ukur panjang pipa nasogastrik yang akan dimasukkan.
Masukkan pipa nasogastrik ukuran 24-28 F melalui mulut ke dalam lambung
(menggunakan ukuran pipa nasogastrik lebih kecil dari 24 tidak dapat mengalirkan
partikel besar seperti tablet). Pastikan pipa berada dalam lambung. Lakukan bilasan
dengan 10 ml/kgBB garam normal hangat. Jumlah cairan yang diberikan harus sama
dengan yang dikeluarkan, tindakan bilas lambung dilakukan sampai cairan bilasan yang
keluar jernih.13
Catatan: Intubasi endotrakeal dengan pipa endotrakeal (cupped ET) diperlukan untuk
mengurangi risiko aspirasi.13

BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Intoksikasi atau keracunanan adalah masuknya substansi kimia, yang dalam
jumlah relatif kecil, tetapi dengan dosis toksis, bila masuk atau mengenai tubuh, tanpa
kekuatan mekanis, tetapi hanya dengan kekuatan daya kimianya, akan menimbulkan
efek yang besar, yang dapat menyebabkan sakit, bahkan kematian, sedangkan kodein
sendiri adalah alkaloid alamiah yang ditemukan dalam opium, sekitar 0,3-3,0%. Kodein
merupakan opioida alamiah yang paling banyak digunakan dalam pengobatan. Kodein
bisa diekstrak dari opium tetapi kadar kodein dalam opium sangat kecil sehingga
kodein tidak langsung diperoleh dari opium dengan cara ekstraksi. Sebagian besar
kodein yang ada disintesa dari morfin melalui proses O-methylation karena kadar
morfin dalam opium jauh lebih besar daripada kadar kodein dalam opium. Kodein
memiliki efek analgesik yang lemah, sekitar dari keuatan analgesik morfin. Oleh

41

karena itu, kodein tidak dipakai untuk menghilangakan rasa nyeri. Kodein adalah
antitusif (antibatuk) yang kuat. Kodein dijumpai dalam air seni sampai dua hari sesudah
penggunaan terakhir.
Intoksikasi akut morfin atau opioid lain biasanya terjadi akuibat percobaan
bunuh diri atau kelebihan dosis. Pasien akan tidur, sopor atau koma jika intoksikasi
cukup berat. Frekuensi napas lambat, 2-4 kali permenit, dan pernapasan mungkin
berupa Cheyne Stokes. Pasien sianotik, kulit muka merah tidak merata dan agak
kebiruan. Tekanan darah yang mula-mula baik akan menurun sampai terjadi syok bila
napas memburuk, dan ini dapat diperbaiki dengan memberikan oksigen. Pupil sangat
kecil (pin point pupils), kemudian midriasis jika telah terjadi anoksia. Pembentukan
urin sangat kurang karena terjadi penglepasan ADH dan turunnya tekanan darah. Suhu
badan rendah, kulit terasa dingin, tonus otot rangka rendah, mandibular dalam keadaan
relaksasi dan lidah dapat menyumbat jalan napas. Pada bayi mungkin timbul konvulsi.
Kematian biasanya disebabkan oleh depresi napas.
Kelainan khas pada racun tidak selalu didapatkan. Diagnose keracunan sering
sukar dalam menentukan sebab kematian. Harus dibutuhkan pemeriksaan toksikologi.

3.2. Saran
Kodein adalah sejenis obat batuk yang digunakan oleh dokter, namun dapat
menyebabkan ketergantungan efek adiksi dan keracunan jika pemakaiannya tidak
sesuai dosis atau disalahgunakan. Keracunan ini dapat menimbulkan berbagai gejala
dari mulai yang ringan sampai kematian, sehingga peredarannya dibatasi, diawasi
secara ketat dan sesuai resep dokter.

42

DAFTAR PUSTAKA

1. Buku Farmakologi Dan Therapi UI


2. http://www2.pom.go.id/public/siker/desc/produk/CegahRacunUmum.pdf
3. http://www.jpnn.com/read/2013/06/25/178556/Kodein-Picu-Kematian-pada
Anak4. http://www.informasiobat.com/kodein%20fosfat
5. Dongoes. E. Marikya, 2000, Rencana Asuhan Keperawatan, EGC, Penerbit
Buku Kedokteran, Edisi 2, Jakarta.
6. Intoksikasi [database on the Internet]. Artikel Kedokteran. 2013 [cited 11
Oktober

2014].

Available

from:

http://www.artikelkedokteran.com/360/intoksikasi.html.
7. Asuhan Keperawatan Intoksikasi [database on the Internet]. [cited 11 Oktober
2014]. Available from: http://www.scribd.com/doc/102145142/intoksikasi.
43

8. http://medlinux.blogspot.com/2008/07/penatalaksanaan-keracunan.html
9. http://books.google.co.id/books?
id=7Lauz8HpOVAC&pg=PA440&lpg=PA440&dq=struktur+kimia+kodein&so
urce=bl&ots=iEVvSNWS8E&sig=bw6iIZBjKuMV2aySDan_Tbqiv2A&hl=id
&sa=X&ei=1lGZUrujL4blrAemhoCADw&redir_esc=y#v=onepage&q=struktu
r%20kimia%20kodein&f=false
10. http://books.google.co.id/books?
id=Ea0wBVWiG_oC&pg=PA99&lpg=PA99&dq=kodein+di+pasaran&source=
bl&ots=KQztggscoR&sig=1TaRatLBYmQsyAfzYUceKMkUfm0&hl=id&sa=
X&ei=-leZUqGXFcumrQfrnICYDw&redir_esc=y#v=onepage&q=kodein
%20di%20pasaran&f=false
11. Gambar dari http://id.wikipedia.org/wiki/Berkas:Codein_-_Codeine.svg
12. http://annandra.blogspot.com/2010/12/codein-oh-obat.html
13. Buku Farmakologi Dan Therapi UI
14. http://www.ichrc.org/151-prinsip-penatalaksanaan-terhadap-racun-yangtertelan.
15. Sudjana. P. Toksikologi Bagian Ilmu Kedokteran Forensik, Jakarta.
16. Kamdari, Siti HSG Gen83, Analitical Toxicology.
17. Nawawi, R. HSG Gen83, Peranan Pemeriksaan Kimia/ Toksikologi dalam
Pengadaan Visum et Repertum.
18. Nita, Michael, Irma, Mulyati, Ridwan. Toksikologi Forensik. (online). 2005
[cited 14 Oktober 2014]
19. Kodeina [database on the Internet]. Wikipedia. 2013 [cited 11 Oktober 2014].
Available from: http://id.wikipedia.org/wiki/Kodeina.
20. Abdul MI. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta: Binarupa Aksara.
1997.p. 330-31

44

21. Vijay C. Ilmu forensik dan Toksikologi. Edisi lima. Jakarta: Widya Medika.
1995.p. 330-31
22. Ilmu Kedokteran Forensik, Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
23. I, Darmansjah, Metta Sinta SW, Toksikologi : Farmakologi dan Terapi, edisi
lima, Gaya baru, Jakarta, hal 820-842
24. Achmadi, U.F. Aspek Kesehatan Kerja Sektor Informal. Upaya Kesehatan kerja
sector informal di Indonesia. Depkes RI. Jakarta, 1991.

45

Anda mungkin juga menyukai

  • Cover Proposal KP
    Cover Proposal KP
    Dokumen2 halaman
    Cover Proposal KP
    Dewaayu Tetha E S
    Belum ada peringkat
  • Daftar Pustaka
    Daftar Pustaka
    Dokumen1 halaman
    Daftar Pustaka
    Dewaayu Tetha E S
    Belum ada peringkat
  • Yuliapc Kolorimetri
    Yuliapc Kolorimetri
    Dokumen7 halaman
    Yuliapc Kolorimetri
    Dewaayu Tetha E S
    Belum ada peringkat
  • Bab III SKK Biodiesel
    Bab III SKK Biodiesel
    Dokumen2 halaman
    Bab III SKK Biodiesel
    Dewaayu Tetha E S
    Belum ada peringkat
  • Kodein
    Kodein
    Dokumen45 halaman
    Kodein
    Dewaayu Tetha E S
    Belum ada peringkat
  • Kodein
    Kodein
    Dokumen45 halaman
    Kodein
    Dewaayu Tetha E S
    Belum ada peringkat
  • Kwitansi Fitrie
    Kwitansi Fitrie
    Dokumen4 halaman
    Kwitansi Fitrie
    Dewaayu Tetha E S
    Belum ada peringkat
  • Cover
    Cover
    Dokumen1 halaman
    Cover
    Dewaayu Tetha E S
    Belum ada peringkat
  • Format Isi PKMP 2015
    Format Isi PKMP 2015
    Dokumen27 halaman
    Format Isi PKMP 2015
    Dewaayu Tetha E S
    Belum ada peringkat
  • Form Ekivalensi Contoh
    Form Ekivalensi Contoh
    Dokumen9 halaman
    Form Ekivalensi Contoh
    Aris Fahmi Arsyad
    Belum ada peringkat
  • Cover PLC Erlangga
    Cover PLC Erlangga
    Dokumen8 halaman
    Cover PLC Erlangga
    Dewaayu Tetha E S
    Belum ada peringkat
  • Kontrakbvbvan
    Kontrakbvbvan
    Dokumen8 halaman
    Kontrakbvbvan
    Dewaayu Tetha E S
    Belum ada peringkat
  • Mbti Dan Ahp
    Mbti Dan Ahp
    Dokumen9 halaman
    Mbti Dan Ahp
    Dewaayu Tetha E S
    Belum ada peringkat
  • Cover PLC Erlangga
    Cover PLC Erlangga
    Dokumen8 halaman
    Cover PLC Erlangga
    Dewaayu Tetha E S
    Belum ada peringkat
  • Nip & Nidn Dosen Its
    Nip & Nidn Dosen Its
    Dokumen28 halaman
    Nip & Nidn Dosen Its
    Fahmi Adha Nurdin
    0% (1)
  • Praktikum Pengmas
    Praktikum Pengmas
    Dokumen1 halaman
    Praktikum Pengmas
    Dewaayu Tetha E S
    Belum ada peringkat
  • Firework
    Firework
    Dokumen15 halaman
    Firework
    Dewaayu Tetha E S
    Belum ada peringkat
  • Resume SIA Pert 1
    Resume SIA Pert 1
    Dokumen4 halaman
    Resume SIA Pert 1
    Dewaayu Tetha E S
    Belum ada peringkat
  • Bajb 2
    Bajb 2
    Dokumen14 halaman
    Bajb 2
    Dewaayu Tetha E S
    Belum ada peringkat
  • Kel 1
    Kel 1
    Dokumen2 halaman
    Kel 1
    Dewaayu Tetha E S
    Belum ada peringkat
  • Arti Pemandu Bagi Saya
    Arti Pemandu Bagi Saya
    Dokumen2 halaman
    Arti Pemandu Bagi Saya
    Dewaayu Tetha E S
    Belum ada peringkat