DAN MEDIKOLEGAL
INTOKSIKASI KODEIN
0961050175
Ressy Hastopraja
0961050185
Enis Rahmanik
0961050187
0961050190
1061050180
Penguji:
Saebani, SKM, M.Kes
Pembimbing:
dr. Donald Rinaldi K.
KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN
ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
RSUP DOKTER KARIADI SEMARANG
PERIODE 6 OKTOBER 1 NOVEMBER 2014
1
LEMBAR PENGESAHAN
Nama
NIM
1.
0961050175
2.
Ressy Hastopraja
0961050185
3.
Enis Rahmanik
0961050187
4.
0961050190
5.
1061050180
Fakultas
: Kedokteran Umum
Universitas
: UKI
Bagian
Penguji
Pembimbing
: dr.Donald Rinaldi K.
Penguji,
Pembimbing,
dr.Donald Rinaldi K.
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala
rahmat-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan referat dengan judul Intoksikasi
Kodein tepat pada waktunya.
Referat ini disusun untuk memenuhi syarat menempuh Kepaniteraan di bagian
Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Kriten
Indonesia Jakarta.
Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Saebani,SKM, M.Kes selaku penguji dalam referat ini.
2. dr.Donald Rinaldi K. selaku pembimbing yang telah memberikan saran dan
koreksi dalam penyusunan referat ini.
3. Teman-teman coas dan semua pihak yang telah membantu dalam
penyusunan referat ini.
Semoga referat ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Penyusun
DAFTAR ISI
Halaman Judul....................................................1
Lembar Pengesahan........................2
Kata Pengantar........3
Daftar Isi.........................4
Daftar Tabel................6
Daftar Gambar............7
BAB I PENDAHULUAN..8
1.1 Latar belakang..........8
1.2 Rumusan masalah.............9
1.3 Tujuan penelitian....10
1.4 Manfaat penelitian. ....10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..11
2.1 Intoksikasi. .....11
2.1.1 Definisi Intoksikasi. ....11
2.1.2 Etiologi Intoksikasi... .....11
2.1.3 Klasifikasi Intoksikasi. ...................................12
2.1.4. Mekanisme Kerja Racun........................................14
2.1.5. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kerja Racun.............15
2.1.6. Kriteria Diagnosa Kasus Keracunan......18
2.1.7. Pemeriksaan Peristiwa Keracunan.............19
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
BAB I
PENDAHULUAN
obat yang harus diberikan perhatian lebih adalah obat golongan opioid, di antaranya
kodein. Kodein merupakan salah satu jenis NAPZA golongan depresan (downer).
Depresan adalah senyawa yang dapat mendepres atau menekan system tubuh. Depresan
Sistem Syaraf Pusat (SSP) adalah senyawa yang dapat mendepres atau menurunkan
aktivitas fungsional dari sistem syaraf pusat (SSP). Akibat dari penurunan aktivitas
fungsional sistem syaraf pusat adalah menurunnya fungsi beberapa organ tubuh.
Depresan sistem syaraf pusat (SSP) ini bekerja dengan menekan pusat kesadaran, rasa
nyeri, denyut jantung dan pernafasan.Kodein merupakan obat yang biasanya digunakan
untuk meredakan batuk (antitusif), diare, dan irritable bowel syndrome. Telah
dilaporkan kasus keracunan obat bahkan kematian yang ditimbulkan oleh kodein. Oleh
karena itu, dalam refertat ini akan dijelaskan mengenai salah satu bahaya penggunaan
obat yang salah yaitu intoksikasi kodein atau keracunan kodein. 2,3
Kodein, atau O-methylmorphine, adalah alkaloid ditemukan dalam opium
poppy , Papaver somniferum var. album. Opium poppy telah dibudidayakan dan
dimanfaatkan sepanjang sejarah manusia untuk berbagai obat analgesik, anti-tussive
dan anti-diare) dan hipnosis properti (terkait dengan keragaman dari komponen aktif,
termasuk morfin, kodein dan papaverin.4
Kodein merupakan prodrug, karena di saluran pencernaan kodein diubah
menjadi bentuk aktifnya, yakni morfin dan kodeina-6-glukoronida . Sekitar 5-10%
kodein akan diubah menjadi morfin, sedangkan sisanya akan menjadi bentuk yang
bebas, atau terkonjugasi dan membentuk kodeina-6-glukoronida (70%), norkodeina
(10%), hidromorfona (1%). Seperti halnya obat golongan opiat lainnya, kodein dapat
menyebabkan ketergantungan fisik, namun efek ini relatif sedang bila dibandingkan
dengan senyawa golongan opiat lainnya. 5
1.2. Rumusan Masalah
1.2.1. Apakah yang dimaksud dengan intoksikasi kodein?
1.2.2. Bagaimana kodein dapat menyebabkan intoksikasi?
1.2.3. Apakah akibat intoksikasi kodein?
1.3. Tujuan
9
Tujuan dari penyusunan referat ini adalah menjelaskan pengertian dari intoksikasi
kodein, bagaimana kodein dapat menyebabkan intoksikasi, dan akibat intoksikasi
kodein.
1.4. Manfaat
1.4.1. Mahasiswa
Penyusun referat ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan wawasan kepada
mahasiswa/mahasiswi yang sedang menjalani Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran
Forensik dan Medikolegal mengenai intoksikasi kodein yang meliputi pengertian dari
intoksikasi kodein, bagaimana kodein dapat menyebabkan intoksikasi, dan akibat
intoksikasi kodein.
1.4.2. Masyarakat
Referat ini diharapkan mampu memberikan manfaat dan pengetahuan kepada
masyarakat luas, khususnya masyarakat Semarang mengenai segala sesuatu yang
berhubungan dengan kodein, termasuk bahaya-bahay yang dapat ditimbulkan sehingga
masyarakat dapat lebih berhati-hati dalam menggunakan obat-obatan, khususnya
kodein.
1.4.3. Pemerintah
Dengan penyusunan referat ini diharapkan pemerintah dapat meningkatkan pelayanan
kesehatan msyarakat, khususnya tentang peredaran obat-obatan yang ada di dalam
masyarakat. Pemerintah perlu membuat kebijakan agar masyarakat tidak dapat
membeli obat yang seharusnya dengan resep dokter sesuai dengan kemauannya sendiri.
BAB II
10
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Intoksikasi
2.1.1. Definisi intoksikasi
Intoksikasi atau keracunan adalah masuknya zat ke dalam tubuh yang dapat
mengakibatkan gangguan kesehatan bahkan dapat menyebabkan kematian. Semua zat
dapat menjadi racun bila diberikan dalam dosis yang tidak seharusnya. Berbeda dengan
alergi, keracunan memiliki gejala yang bervariasi dan harus ditindaki dengan cepat dan
tepat karena penanganan yang kurang tepat tidak menutup kemungkinan hanya akan
memperparah keracunan yang dialami penderita.6
Menurut Taylor, racun adalah suatu zat yang dalam jumlah relatif kecil (bukan
minimal), yang jika masuk atau mengenai tubuh seseorang akan menyebabkan
timbulnya reaksi kimiawi (efek kimia) yang besar yang dapat menyebabkan sakit,
bahkan kematian.5
Menurut Gradwohl racun adalah substansi yang tanpa kekuatan mekanis, yang
bila mengenai tubuh seorang (atau masuk), akan menyebabkan gangguan fungsi tubuh,
kerugian, bahkan kematian.5
Sehingga jika definisi di atas digabungkan, racun adalah substansi kimia, yang
dalam jumlah relatif kecil, tetapi dengan dosis toksis, bila masuk atau mengenai tubuh,
tanpa kekuatan mekanis, tetapi hanya dengan kekuatan daya kimianya, akan
menimbulkan efek yang besar, yang dapat menyebabkan sakit, bahkan kematian.5
2.1.2 Etiologi Intoksikasi
Penyebab intoksikasi ada beberapa macam yaitu :7
1. Bunuh diri
2. Pembunuhan
3. Kecelakaan
Agen intoksikasi terjadi pada semua umur remaja : obat-obat psikotropik,
sedatif, antidepresan, dan obat-obat narkotik, dewasa umumnya karena kecelakaan
kerja (pestisida,keracunan makanan).7
11
Keracunan dapat disebabkan oleh beberapa hal, berdasarkan wujudnya, zat yang
dapat menyebabkan keracunan antara lain : zat padat (obat-obatan, makanan), zat gas
(CO2), dan zat cair (alkohol, bensin, minyak tanah, zat kimia, pestisida, bisa/ racun
hewan).5
Racun racun tersebut masuk ke dalam tubuh manusia melalui beberapa cara,
diantaranya:5
1.
Melalui kulit
2.
3.
4.
Melalui suntikan
5.
6.
12
1. Caplan
2. Felpet
3. Pentachlorphenal
4. Hexachlorphenal
D. Rodentisida
1. Warfarin
2. Red Squill
3. Norbomide
4. Sodium Fluoroacetate dan Fluoroacetamide
5. Aepha Naphthyl Thiourea
6. Strychnine
7. Pyriminil
8. Anorganik:
- Zinc Phosfat
- Thallium Sulfat
- Phosfor
- Barium Carbamat
- Phosfat
- Arsen Trioxyde
II. Bahan Industri
III. Bahan untuk rumah tangga
IV. Bahan obat-obatan
V. Racun (tanaman dan hewan)
Berdasarkan sumber dan tempat dimana racun-racun tersebut mudah didapat,
maka racun dapat dibagi menjadi lima golongan, yaitu:5
1. Racun-racun yang banyak terdapat dalam rumah tangga.
Misalnya: desinfektan, deterjen, insektisida, dan sebagainya.
2. Racun-racun yang banyak digunakan dalam lapangan pertanian, perkebunan.
Misalnya: pestisida, herbisida.
3. Racun-racun yang banyak dipakai dalam dunia kedokteran / pengobatan.
Misalnya: sedatif hipnotis, analgetika, obat penenang, anti depresan, dsb.
4. Racun-racun yang banyak dipakai dalam industri / laboratorium.
13
CO, dan HCN terutama berpengaruh terhadap darah dan enzim pernafasan.
3.
Misalnya:
o Asam oksalat
o Asam karbol
14
Selain menimbulkan rasa nyeri (efek lokal) juga akan menimbulkan depresi pada
susunan syaraf pusat (efek sistemik). Hal ini dimungkinkan karena sebagian dari
asam karbol tersebut akan diserap dan berpengaruh terhadap otak (Nawawi,
1989).
o Arsen
o Garam Pb
2.1.5 Faktor-faktor yang mempengaruhi kerja racun5
1.
Cara pemberian
Setiap racun baru akan menimbulkan efek yang maksimal pada tubuh jika cara
pemberiannya tepat. Misalnya jika racun-racun yang berbentuk gas tentu akan
memberikan efek maksimal bila masuknya ke dalam tubuh secara inhalasi. Jika racun
tersebut masuk ke dalam tubuh secara ingesti tentu tidak akan menimbulkan akibat
yang sama hebatnya walaupun dosis yang masuk ke dalam tubuh sama besarnya.
Berdasarkan cara pemberian, maka umumnya racun akan paling cepat bekerja
pada tubuh jika masuk secara inhalasi, kemudian secara injeksi (i.v, i.m, dan s.c),
ingesti, absorbsi melalui mukosa, dan yang paling lambat jika racun tersebut masuk ke
dalam tubuh melalui kulit yang sehat.
2.
Keadaan tubuh
a. Umur
Pada umumnya anak-anak dan orang tua lebih sensitif terhadap racun bila
dibandingkan dengan orang dewasa. Tetapi pada beberapa jenis racun seperti
barbiturate dan belladonna, justru anak-anak akan lebih tahan.
b. Kesehatan
Pada orang-orang yang menderita penyakit hati atau penyakit ginjal, biasanya
akan lebih mudah keracunan bila dibandingkan dengan orang sehat, walaupun racun
yang masuk ke dalam tubuhnya belum mencapai dosis toksis. Hal ini dapat dimengerti
karena pada orang-orang tersebut, proses detoksikasi tidak berjalan dengan baik,
demikian pula halnya dengan ekskresinya. Pada mereka yang menderita penyakit yang
disertai dengan peningkatan suhu atau penyakit pada saluran pencernaan, maka
penyerapan racun pada umumnya jelek, sehingga jika pada penderita tersebut terjadi
kematian, kita tidak boleh terburu-buru mengambil kesimpulan bahwa kematian
penderita disebabkan oleh racun. Dan sebaliknya pula kita tidak boleh tergesa-gesa
15
16
b. Konsentrasi
Untuk racun-racun yang kerjanya dalam tubuh secara lokal misalnya zat-zat
korosif, konsentrasi lebih penting bila dibandingkan dengan dosis total. Keadaan
tersebut berbeda dengan racun yang bekerja secara sistemik, dimana dalam hal ini
dosislah yang berperan dalam menentukan berat-ringannya akibat yang ditimbulkan
oleh racun tersebut.
c. Bentuk dan kombinasi fisik
Racun yang berbentuk cair tentunya akan lebih cepat menimbulkan efek bila
dibandingkan dengan yang berbentuk padat. Seseorang yang menelan racun dalam
keadaan lambung kosong, tentu akan lebih cepat keracunan bila dibandingkan dengan
orang yang menelan racun dalam keadaan lambungnya berisi makanan.
d. Adiksi dan sinergisme
Barbiturate, misalnya jika diberikan bersama-sama dengan alkohol, morfin, atau
CO, dapat menyebabkan kematian, walaupun dosis barbiturate yang diberikan jauh di
bawah dosis letal. Dari segi hukum kedokteran kehakiman, kemungkinan-kemungkinan
terjadinya hal seperti itu tidak boleh dilupakan, terutama jika menghadapi kasus dimana
kadar racun yang ditemukan rendah sekali, dan dalam hal demikian harus dicari
kemungkinan adanya racun lain yang mempunyai sifat aditif (sinergitik dengan racun
yang ditemukan), sebelum kita tiba pada kesimpulan bahwa kematian korban
disebabkan karena reaksi anafilaksi yang fatal atau karena adanya intoleransi.
e. Susunan kimia
Ada beberapa zat yang jika diberikan dalam susunan kimia tertentu tidak akan
menimbulkan gejala keracunan, tetapi bila diberikan secara tersendiri terjadi hal yang
sebaliknya.
f. Antagonisme
`
macam racun, tetapi tidak mengakibatkan apa-apa, oleh karena reaksi-reaksi tersebut
saling menetralisir satu sama lain. Dalam klinik adanya sifat antagonis ini
dimanfaatkan untuk pengobatan, misalnya nalorfin dan kaloxone yang dipakai untuk
mengatasi depresi pernafasan dan oedema paru-paru yang terjadi pada keracunan akut
obat-obatan golongan narkotik.
17
yang
sulit
ditemukan
hanya
berdasar
inspeksi
warna keputihan pada mukosa mulut atau keabuan pad bibir dan dagu menunjukkan
akibat bahan kausatif dan korosif baik yang bersifat asam kuat maupun basa kuat.
Perbedaan pada dampak luka bakarnya yaitu nekrosis koagulatif akibat paparan asam
kuat sedangkan basa kuat menyebabkan nekrosis likuitatif.6
1.
Tanda dan gejala-gejala yang sesuai dengan tanda / gejala keracunan zat yang
diduga.
Adanya tanda / gejala klinis biasanya hanya terdapat pada kasus yang bersifat
darurat dan pada prakteknya lebih sering kita terima kasus-kasus tanpa disertai
dengan data-data klinis tentang kemungkinan kematian karena kematian sehingga
harus dipikirkan terutama pada kasus yang mati mendadak, non traumatik yang
sebelumnya dalam keadaan sehat.
18
3.
Secara analisa kimia dapat dibuktikan adanya racun di dalam sisa makanan /
Bedah mayat (otopsi) mutlak harus dilakukan pada setiap kasus keracunan, selain
untuk menentukan jenis-jenis racun penyebab kematian, juga penting untuk
menyingkirkan kemungkinan lain sebagai penyebab kematian. Otopsi menjadi lebih
penting pada kasus yang telah mendapat perawatan sebelumnya, dimana pada kasuskasus seperti ini kita tidak akan menemukan racun atau metabolitnya, tetapi yang
dapat ditemukan adalah kelainan-kelainan pada organ yang bersangkutan.
5.
Secara analisa kimia dapat ditemukan adanya racun atau metabolitnya di dalam
tubuh / jaringan / cairan tubuh korban secara sistemik.
Lebam mayat :
- CO : LM Cherry red (COHb)
- Sianida : LM Bright Red (HbO2)
- Nitrit : LM coklat kebiruan (MetHb)
b) Pemeriksaan dalam
Perhatikan bau pada : rongga dada, rongga perutm rongga kepala (bau racun
khas)
3. Pemeriksaan Toksikologi14
Tujuannya untuk menegakkan diagnosa keracunan. Pada korban hidup terapi
cepat dan tepat, sedangkan pada orang mati didapatkan kesimpulan pasti sebab
kematian. Ada 3 langkah dalam pemeriksaan toksikologi, yaitu :
a) Pengambilan dan pengumpulan bahan
Harus dijaga syarat medicolegal dan Chain of evidence. Bahan-bahan tersebut
adalah :
Stat I : lambung dan isinya, usus dan isinya.
20
22
Cara kerja :
23
Periksa pada logam Cu tersebut apakah terdapat noda-noda atau perubahan warna yang
menunjukkan adanya logam yang berhasil dipancing yaitu As atau Hg.
2. Marsh Test
Sifat : spesifik untuk arsen. Harus dilakukan dialmari asam.
Cara kerja :
Alat Marsh disiapkan lengkap dengan butir-butir Zn dan H 2SO4 yang bebas
dari As. Ujung tabung pemanas yang bebas disambung dengan pipa karet,
sedangkan ujung yang lain dimasukkan ke dalam larutan AgNO 3 3%.
Gunanya untuk menghilangkan udara dalam labu Erlenmeyer agar tidak
terjadi letusan dan untuk mengetahui bahwa alat marsh itu termasuk
reagennya bebas As, bila ada As akan terjadi endapan hitam pada larutan
AgNO3.
Biarkan alat ini selama jam kalaupun terjadi endapan pada larutan AgNO3
harus di ulangi lagi dengan alat-alat yang lebih bersih.
Jika larutan AgNO3 tetap jernih setelah jam pipa karet dilepas, zat yang
akan diperiksa dimasukkan dalam alat Marsh lewat corong pengisi dan pada
bagian pipa yang menjepit dari pipa Marsh dibalut dengan kasa tembaga, dan
dipanasi dengan Bunsen brander sanpai memijar
Jika zat yang diperiksa mengandung As akan terjadi cermin pada bagian pipa
setelah pemanasan.
3. Metoda Gutzeit
24
Sampel yang akan diperiksa mula-mula harus ditimbang dan diukur volumenya.
Pasanglah gabus penutup yang terbuat dari karet yang sudah dipasangi
cerobongnya yang berisi kertas saring/ kapas yang telah di infiltrir dengan Pb
asetat, yang gunanya untuk menangkap H2S yang dapay menggangu jalanya
pemeriksaan.
Pada ujung cerobong dipasangi pipa kaca yang diisi dengan kertas saring
ukuran lebar 1mm dan telah di infiltrir dengan sublimate
Jika kertas sublimate tetap putih berarti reagensia dan alatnya bebas As, maka
sediaan sampel tadi dapat dimasukkan.
Bila warna yang sudah terjadi tidak bertambah panjang lagi, berarti As dalam
labu sudah habis.
25
Jika darah tidak dapat diambil dari vena femoralis, dapat diambil dari :
-
Vena subklavia
Aorta
Arteri pulmonalis
Jantung
Pada kejadian yang jarang terjadi yang biasanya berhubungan dengan trauma
masive darah tidak dapat diambil dari pembuluh darah tetapi terdapat darah
bebas pada rongga badan.
-
Jika dilakukan tes untuk obat dan hasilnya negatif, maka dapat
diasumsikan bahwa orang tersebut tidak dibawah efek obat pada saat
kematian.
2.
3.
4.
5.
bukan merupakan komponen normal dalam material biologis yang didapatkan dalam
otopsi. Guna toksikologi adalah menolong menentukan sebab kematian. Kadangkadang material didapatkan dari pasien yang masih hidup, misalnya darah, rambut,
potongan kuku atau jaringan hasil biopsi. Hasil toksikologi disini membantu dalam
menentukan kasus-kasus yang diduga keracunan.5
26
Jaringan otak adalah material yang paling baik untuk pemeriksaan racun-racun
organis, baik yang mudah menguap maupun yang tidak mudah menguap.
Hepar dan ginjal adalah material yang paling baik untuk menentukan keracunan
logam berat yang akut.
Darah dan urin adalah material yang paling baik untuk analisa zat organik non
volatile, misalnya obat sulfa, barbiturate, salisilat dan morfin.
Darah, tulang, kuku, dan rambut merupakan material yang baik untuk
pemeriksaan keracunan logam yang bersifat kronis.
Untuk racun yang efeknya sistemik, harus dapat ditemukan dalam darah atau
organ parenkim ataupun urin. Bila hanya ditemukan dalam lambung saja maka belum
cukup untuk menentukan keracunan zat tersebut. Penemuan racun-racun yang efeknya
sistemik dalam lambung hanyalah merupakan penuntun bagi seorang analis toksikologi
untuk memeriksa darah, organ, dan urin ke arah racun yang dijumpai dalam lambung
tadi. Untuk racun-racun yang efeknya lokal, maka penentuan dalam lambung sudah
cukup untuk dapat dibuat diagnosa.6
Adapun penyebab keracunan dapat dikenali melaui bau racun tersebut atau
warna urin setelah terkontamiasi denga racun tersebut antara lain :6
Penyebab
Isopropil alkohol, aseton
Sinida
Arsenik, selenium, talium
Hidrogen sulfida, merkaptan
Penyebab
Metilin biru
Rifampisin, besi (Fe)
Fenol, kresol
Primidon
Mio/ haemoglobinuria
27
Sianosis pada wajah dan bibir, busa pada mulut, lebam mayat berwarna merah
terang.
Pemeriksaan dalam
-
Dapat tercium bau khas amandel ketika membuka rongga dada, perut, otak serta
lambung (bila racun per-oral)
28
2.2 Kodein
2.2.1. Aspek Medikolegal
Pemeriksaan forensik dalam kasus keracunan dapat dibagi dalam dua
kelompok, yaitu atas dasar dari tujuan pemeriksaan itu sendiri. Yang pertama bertujuan
untuk mencari penyebab kematian, yang kedua untuk mengetahui suatu peristiwa.18
Biasanya racun bisa digunakan untuk membunuh tapi keracunan bisa terjadi secara
tidak sengaja. 20
Pasal 133 (1) KUHP : Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani
seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang
merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli
kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya.18
2.2.2. Definisi kodein
Kodeina atau kodein (bahasa Inggris: codeine, methylmorphine) ialah asam
opiat alkaloid yang dijumpai di dalam candu dalam konsentrasi antara 0,7% dan 2,5%.
Kebanyakan kodein yang digunakan di Amerika Serikat diproses dari morfin melalui
proses metilasi.19
Kodein yang terkonsumsi akan teraktivasi oleh enzim CYP2D6 di dalam hati
menjadi morfin, sebelum mengalami proses glusuronidasi, sebuah mekanisme
detoksifikasi bagi xenobiotik.19
Walau bagaimanapun, morfin tersebut tidak dapat digunakan, mengingat 90%
kodein yang diambil akan dimusnahkan dalam usus halus (rembesan dari hati) sebelum
berhasil memasuki peredaran darah. Oleh itu, kodein seolah-olah tidak berpengaruh
atas penggunanya, namun efek samping seperti analgesia, sedasi, dan kemurungan
pernapasan masih terasa.19
Kodein adalah sejenis obat batuk yang digunakan oleh dokter, namun dapat
menyebabkan ketergantungan/efek adiksi sehingga peredarannya dibatasi dan diawasi
secara ketat. Kodein adalah alkaloid alamiah yang ditemukan dalam opium, sekitar 0,33,0%. Kodein merupakan opioida alamiah yang paling banyak digunakan dalam
pengobatan. Kodein bisa diekstrak dari opium tetapi kadar kodein dalam opium sangat
kecil sehingga kodein tidak langsung diperoleh dari opium dengan cara ekstraksi.
29
Sebagian besar kodein yang ada disintesa dari morfin melalui proses O-methylation
karena kadar morfin dalam opium jauh lebih besar daripada kadar kodein dalam
opium.8,9
Kodein memiliki efek analgesik yang lemah, sekitar dari keuatan analgesik morfin.
Oleh karena itu, kodein tidak dipakai untuk menghilangakan rasa nyeri. Kodein adalah
antitusif (antibatuk) yang kuat. Kodein dijumpai dalam air seni sampai dua hari sesudah
penggunaan terakhir.9
2.2.3. Struktur kimia dan sifat kodein
30
pada orang normal seringkali menimbulkan disforia berupa perasaan kuatir atau takut
disertai mual dan muntah.12
B. Analgesik
Efek analgetik yang ditimbulkan oleh opioid terutama terjadi sebagai akibat
kerja opioid pada reseptor, reseptor dan dapat juga ikut berperan dalam menimbulkan
analgesia terutama pada tingkat spinal. Sangat selektif dan tidak disertai oleh hilangnya
fungsi sensorik lain seperti rasa raba, rasa getar, (vibrasi), penglihatan, dan
pendengaran. Pengaruh morfin dan opioid terhadap modalitas nyeri yang tidak tajam
(dull pain) dan berkesinambungan lebih nyata dibandingkan dengan pengaruh morfin
terhadap nyeri tajam dan intermiten. Efek analgesik morfin timbul berdasarkan 3 faktor
: morfin meninggikan ambang rangsang nyeri, morfin dapat mempengaruhi emosi
artinya morfin dapat mengubah reaksi yang timbul dikorteks serebri dari talamus,
morfin memudahkan tidur dan pada waktu tidur ambang rangsang nyeri meningkat.12
Antara nyeri dan efek analgesic morfin dan opioid lain terdapat antagonism
artinya nyeri merupakan antagonis faalan bagi efek analgesic dan efek depresi napas
morfin. Bila nyeri sudah dialami beberapa waktu sebelum pemberian morfin,maka efek
analgesiknya tidak begitu besar. Tetapi bila stimulus nyeri ditimbulkan setelah efek
analgesic morfin mencapai maksimum.12
C. Eksitasi
Morfin dan opoid lain sering menimbulkan mual dan muntah, sedangkan
delirium dan konvulsi lebih jarang timbul. Faktor yang dapat mengubah efek eksitasi
morfin ialah idiosinkrasi dan tingkat eksitasi reflex (reflex excitatory level) SSP. Pada
beberapa spesies efek eksitasi morfin jauh lebih jelas. Misalnya pada kucing morfin
menimbulkan mania dan hipertermia, konvulsi tonik dan klonik yang dapat berakhir
dengan kematian. Kodein tidak menyebabkan depresi progresif bila dosisnya
dibesarkan, tetapi justru menyebabkan eksitasi.12
D. Miosis
31
Penetesan larutan morfin langsung pada mata tidak menimbulkan miosis, tetapi
pemberian secara sistemik menimbulkan miosis dengan mekanisme yang belum jelas.
Miosis ini dapat dilawan oleh atropin dan skopolamin. Morfin dalam dosis terapi
mempertinggi daya akomodasi dan menurunkan tekanan intraokuler, baik pada orang
normal maupun pada penderita glaucoma.12
E. Depresi napas
Morfin menimbulkan depresi napas secara primer dam bersinambung
berdasarkan efek langsung terhadap pusat napas. Pada dosis kecil morfin sudah
menimbulkan depresi napas tanpa menyebabkan tidur atau kehilangan kesadaran.
Morfin dan analgesic opioid lain berguna untuk menghambat refleks batuk. Depresi
refleks batuk ini ternyata tidak berjalan sejajar dengan depresi napas.12
F. Mual dan muntah
Efek emetic morfin terjadi berdasarkan stimulasi langsung pada emetic
chemoreceptor trigger zone, bukan oleh stimulasi pusat emetic sendiri. Apomorfin
menstimulasi CTZ paling kuat. Beberapa derivate fenotiazin yang merupakan penyekat
dopamine yang kuat dapat mengadakan antagonisme terhadap efek mual dan muntah
morfin. Dengan dosis terapi (15mg morfin subkutan) pada penderita yang berbaring,
jarang terjadi mual dan muntah, tetapi pada penderita berobat jalan mual dan muntah
terjadi masing-masing 40% dan 15% penderita. Efek mual dan muntah akibat morfin
diperkuat oleh stimulasi vestibuler, sebaliknya analgesik opoid sintetik meningkatkan
sensitivitas vestibuler.12
G. Saluran cerna
Penyelidikan manusia telah membuktikan bahwa morfin berefek langsung pada
saluran cerna, bukan melalui efeknya pada SSP.12
H. Lambung
32
Morfin menghambat sekresi HCl, tetapi efek ini lemah dan dapat ditiadakan
oleh rangsang kimia atau psikik. Selanjutnya morfin menyebabkan pergerakan lambung
berkurang, tonus bagian antrum meninggi dan motilitasnya berkurang sedangkan
sfingter pilorus berkontraksi.12
I. Usus kecil
Morfin mengurangi sekresi empedu dan pankreas, dan memperlambat
pencernaan makanan di usus kecil. Pada manusia, morfin mengurangi kontraksi
propulsive, meninggikan tonus dan spasme periodic usus kecil.12
J. Usus besar
Morfin mengurangi atau menghilangkan gerakan propulsi usus besar,
meninggikan tonus dan menyebabkan spasme usus besar; akibatnya penerusan isi kolon
diperlambat dan tinja menjadi lebih kering. Daya persepsi korteks telah dipengaruhi
morfin sehingga penderita tidak merasakan kebutuhan untuk defekasi.12
K. Duktus koledokus
Dosis terapi morfin, kodein, dihidromorfinon dan metidihidromorfinon
menimbulkan peninggian tekanan dalan duktus koledokus. Keadaan ini sering disertai
perasaan tidak enak di epigastrium sampai gejala kolik berat.12
L. Sistem Cardiovaskular
Pemberian morfin dosis terapi tidak mempengaruhi tekanan darah, frekuensi
maupun irama denyut jantung. Perubahan yang terjadi akibat efek depresi pada pusat
vagus dan pusat vasomotor yang baru terjadi pada dosis toksik. Morfin dan opioid lain
menurunkan kemampuan sistem kardiovaskular untuk bereaksi terhadap perubahan
sikap. Penderita mungkin mengalami hipotensi ortostatik dan dapat jatuh pingsan,
terutama akibat vasodilatasi perifer yang terjadi berdasarkan efek langsung terhadap
pembuluh darah kecil.12
Efek morfin terhadap miokard manusia tidak berarti; frekuensi jantung tidak
dipengaruhi atau hanya menurun sedikit, sedangkan efek terhadap curah jantung tidak
33
konstan. Gambaran elektrokardiogram tidak berubah. Morfin dan opioid lain harus
digunakan dengan hati-hati pada keadaab hipovolemia karena mudah timbul hipotensi.
Pengunaan opioid bersama derivate fenotiazin menyebabkan depresi napas dan
hipotensi yang lebih besar. Morfin menimbulkan peninggian tonus, amplitude serta
kontraksi ureter dan kandung kemih. Efek ini dapat dihilangkan dengan pemberian 0,6
mg atropine subkutan. Morfin dosis terapi menyebabkan pelebaran pembuluh darah
kulit, sehingga kulit tampak merah dan terasa panas terutama di flush area. Seringkali
kulit berkeringat, mungkin karena bertambahnya peredaran darah di kulit. Morfin
menyebabkan suhu badan turun akibat akitivitas oto yang menurun, vasodilatasi perifer
dan penghambatan mekanisme neural di SSP. Kecepatan metabolisme dikurangi oleh
morfin.12
2.2.5. Farmakokinetik Kodein
Morfin tidak dapat menembus kulit utuh, tetapi dapat diabsorpsi melalui kulit
luka. Morfin juga dapat menembus mukosa. Dengan kedua cara pemberian ini absorpsi
morfin kecil sekali. Morfin dapat diabsorpsi usus, tetapi efek analgesic setelah
pemberian oral jauh lebih rendah daripada efek analgesic yang timbul setelah
pemberian parenteral dengan dosis yang sama. Mula kerja semua alkaloid opioid
setelah suntikan IV sama cepat, sedangkan setelah suntikan subkutan, absorpsi berbagai
alkaloid opioid berbeda-beda. Setelah pemberian dosis tunggal, sebagian jenis morfin
mengalami konyugasi dengan asam glukuronat di hepar, sebagian dikeluarkan dalam
bentuk bebas dan 10% tidak diketahui nasibnya. Sebagian kecil morfin bebas
ditemukan dalam tinja dan keringat. Ekskresi morfin terutama melalui ginjal. morfin
yang terkonjugasi ditemukan di empedu. Sebagian yang kecil dikeluarkan bersama
cairan lambung.12
Pada proses resorpsinya dari usus jauh lebih baik dari pada morfin, begitu pula
FPE-nya lebih ringan hingga lebih kurang 70 % , mencapai sirkulasi besar PP-nya
hanya 7%, plasma t -nya 3-4 jam. Dalam hati zat diuraikan menjadi norkodein dan
10% menjadi morfin yang mungkin memegang peranan atas efek analgesiknya.
Metabolitnya dieksresikan sebagai glukuronida melalui kemih, bersama 5-15% dalam
keadaan utuh.12
34
Kodein mengalami demetilasi menjadi morfin dan CO2. CO2 ini dikeluarkan
oleh paru-paru. Sebagian kodein mengalami N-demetilasi. Urin mengandung bentuk
bebas dan bentuk konjugasi dari kodein, norkodein, dan morfin.12
2.3. Intoksikasi Kodein
2.3.1. Definisi intoksikasi kodein
Intoksikasi atau keracunanan adalah masuknya substansi kimia, yang dalam
jumlah relatif kecil, tetapi dengan dosis toksis, bila masuk atau mengenai tubuh, tanpa
kekuatan mekanis, tetapi hanya dengan kekuatan daya kimianya, akan menimbulkan
efek yang besar, yang dapat menyebabkan sakit, bahkan kematian, sedangkan kodein
sendiri adalah alkaloid alamiah yang ditemukan dalam opium, sekitar 0,3-3,0%. Kodein
merupakan opioida alamiah yang paling banyak digunakan dalam pengobatan. Kodein
bisa diekstrak dari opium tetapi kadar kodein dalam opium sangat kecil sehingga
kodein tidak langsung diperoleh dari opium dengan cara ekstraksi. Sebagian besar
kodein yang ada disintesa dari morfin melalui proses O-methylation karena kadar
morfin dalam opium jauh lebih besar daripada kadar kodein dalam opium. Kodein
memiliki efek analgesik yang lemah, sekitar dari keuatan analgesik morfin. Oleh
karena itu, kodein tidak dipakai untuk menghilangakan rasa nyeri. Kodein adalah
antitusif (antibatuk) yang kuat. Kodein dijumpai dalam air seni sampai dua hari sesudah
penggunaan terakhir.
Intoksikasi akut morfin atau opioid lain biasanya terjadi akuibat percobaan
bunuh diri atau kelebihan dosis. Pasien akan tidur, sopor atau koma jika intoksikasi
cukup berat. Frekuensi napas lambat, 2-4 kali permenit, dan pernapasan mungkin
berupa Cheyne Stokes. Pasien sianotik, kulit muka merah tidak merata dan agak
kebiruan. Tekanan darah yang mula-mula baik akan menurun sampai terjadi syok bila
napas memburuk, dan ini dapat diperbaiki dengan memberikan oksigen. Pupil sangat
kecil (pin point pupils), kemudian midriasis jika telah terjadi anoksia. Pembentukan
urin sangat kurang karena terjadi penglepasan ADH dan turunnya tekanan darah. Suhu
badan rendah, kulit terasa dingin, tonus otot rangka rendah, mandibular dalam keadaan
relaksasi dan lidah dapat menyumbat jalan napas. Pada bayi mungkin timbul konvulsi.
Kematian biasanya disebabkan oleh depresi napas.
2.3.2. Gejala dan tanda intoksikasi kodein
35
36
Kemungkinan penyebab
Opoioid, inhibitor kolinesterase
(organofosfat, carbamate insektidida),
klonidin, fenotiazin
Benzodiazepin
Antidepresan trisiklik, amfetamin,
ekstasi,kokain, antikolonergik (benzeksol,
Sianosis
benztropin), antihistamin
Obat depresan SSP, bahan penyebab
Hipersalivasi
Nistagmus, ataksia, tanda serebral
methaemoglobinemia
Organofosfat/ karbamat, insektisida
Antikonvulsan (frenitoin, karbamazepin),
Gejala ekstrapiramidal
Seizures
alcohol
Fenotiazin, haloperidol, metoklopramid
Antidepresan trisiklik, antikonvulsan,
teofilin, antihistamin, OAINS, fenothiazin,
Hipertemia
Hipertemia dan hipertensi, takikardi,
isoniazid
Litium, antidepresan trisiklik, antihistamin
Amfetamin, ekstasi, kokain
agitasi
Hipertemia dan takikardi, asidosis
Salsilat
metabolic
Bradikardia
takikardi, halusinasi.
37
- Dimuntahkan :
Bisa dilakukan dengan cara mekanik (menekan reflek muntah di tenggorokan), atau
pemberian air garam atau sirup ipekak.
Kontraindikasi : cara ini tidak boleh dilakukan pada keracunan zat korosif
(asam/basa kuat, minyak tanah, bensin), kesadaran menurun dan penderita kejang.
- Bilas lambung :
Pasien telungkup, kepala dan bahu lebih rendah.
Pasang NGT dan bilas dengan : air, larutan norit, Natrium bicarbonat 5 %,
atau asam asetat 5 %.
Pembilasan sampai 20 X, rata-rata volume 250 cc.
Kontraindikasi : keracunan zat korosif & kejang.
- Bilas Usus Besar : bilas dengan pencahar, klisma (air sabun atau gliserin).
b. Racun melalui melalui kulit atau mata
o Pakaian yang terkena racun dilepas
o Cuci / bilas bagian yang terkena dengan air dan sabun atau zat penetralisir (asam
cuka / bicnat encer).
o Hati-hati : penolong jangan sampai terkontaminasi.
c. Racun melalui inhalasi
o Pindahkan penderita ke tempat aman dengan udara yang segar.
o Pernafasan buatan penting untuk mengeluarkan udara beracun yang terhisap,
jangan menggunakan metode mouth to mouth.
d. Racun melalui suntikan
o Pasang torniquet proximal tempat suntikan, jaga agar denyut arteri bagian distal
masih teraba dan lepas tiap 15 menit selama 1 menit
o Beri epinefrin 1/1000 dosis : 0,3-0,4 mg subkutan/im.
o Beri kompres dingin di tempat suntikan
2. Mengeluarkan racun yang telah diserap, Dapat dilakukan dengan cara :
Diuretic : lasix, manitol
Dialisa
Transfusi exchange
3. Pengobatan simptomatis / mengatasi gejala
38
Beri Nalokson 0,4 mg iv tiap 5 menit (atau Nalorpin 0,1 mg/Kg BB.
Obat terpilih Nalokson (dosis maximal 10 mg), karena tidak mendepresi pernafasan,
memperbaiki kesadaran, hanya punya efek samping emetik. Karenanya pada penderita
koma tindakan preventif untuk aspirasi harus disiapkan.
Periksa anak apakah ada tanda kegawatan dan periksa gula darah (hipoglikemia)
39
Identifikasi bahan racun dan keluarkan bahan tersebut sesegera mungkin. Ini akan
sangat efektif jika dilakukan sesegera mungkin setelah terjadinya keracunan,
idealnya dalam waktu 1 jam pertama pajanan.
Jika anak tertelan minyak tanah, premium atau bahan lain yang
muntah. Arang aktif diberikan peroral dengan atau tanpa pipa nasogastrik dengan
dosis seperti pada
Tabel 1. Jika menggunakan pipa nasogastrik, pastikan dengan seksama pipa nasogastrik
berada di lambung.
1 g/kg
25-50 g
25-100 g
Larutkan arang aktif dengan 8-10 kali air, misalnya 5 g ke dalam 40 ml air
Jika mungkin, berikan sekaligus, jika sulit (anak tidak suka), dapat diberikan
secara bertahap
Efektifitas arang aktif bergantung pada isi lambung (lambung kosong lebih
efektif)
Jika arang aktif tidak tersedia, rangsang muntah (hanya pada anak sadar) yaitu
dengan merangsang dinding belakang tenggorokan dengan menggunakan spatula
atau gagang sendok.
Bilas lambung
40
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Intoksikasi atau keracunanan adalah masuknya substansi kimia, yang dalam
jumlah relatif kecil, tetapi dengan dosis toksis, bila masuk atau mengenai tubuh, tanpa
kekuatan mekanis, tetapi hanya dengan kekuatan daya kimianya, akan menimbulkan
efek yang besar, yang dapat menyebabkan sakit, bahkan kematian, sedangkan kodein
sendiri adalah alkaloid alamiah yang ditemukan dalam opium, sekitar 0,3-3,0%. Kodein
merupakan opioida alamiah yang paling banyak digunakan dalam pengobatan. Kodein
bisa diekstrak dari opium tetapi kadar kodein dalam opium sangat kecil sehingga
kodein tidak langsung diperoleh dari opium dengan cara ekstraksi. Sebagian besar
kodein yang ada disintesa dari morfin melalui proses O-methylation karena kadar
morfin dalam opium jauh lebih besar daripada kadar kodein dalam opium. Kodein
memiliki efek analgesik yang lemah, sekitar dari keuatan analgesik morfin. Oleh
41
karena itu, kodein tidak dipakai untuk menghilangakan rasa nyeri. Kodein adalah
antitusif (antibatuk) yang kuat. Kodein dijumpai dalam air seni sampai dua hari sesudah
penggunaan terakhir.
Intoksikasi akut morfin atau opioid lain biasanya terjadi akuibat percobaan
bunuh diri atau kelebihan dosis. Pasien akan tidur, sopor atau koma jika intoksikasi
cukup berat. Frekuensi napas lambat, 2-4 kali permenit, dan pernapasan mungkin
berupa Cheyne Stokes. Pasien sianotik, kulit muka merah tidak merata dan agak
kebiruan. Tekanan darah yang mula-mula baik akan menurun sampai terjadi syok bila
napas memburuk, dan ini dapat diperbaiki dengan memberikan oksigen. Pupil sangat
kecil (pin point pupils), kemudian midriasis jika telah terjadi anoksia. Pembentukan
urin sangat kurang karena terjadi penglepasan ADH dan turunnya tekanan darah. Suhu
badan rendah, kulit terasa dingin, tonus otot rangka rendah, mandibular dalam keadaan
relaksasi dan lidah dapat menyumbat jalan napas. Pada bayi mungkin timbul konvulsi.
Kematian biasanya disebabkan oleh depresi napas.
Kelainan khas pada racun tidak selalu didapatkan. Diagnose keracunan sering
sukar dalam menentukan sebab kematian. Harus dibutuhkan pemeriksaan toksikologi.
3.2. Saran
Kodein adalah sejenis obat batuk yang digunakan oleh dokter, namun dapat
menyebabkan ketergantungan efek adiksi dan keracunan jika pemakaiannya tidak
sesuai dosis atau disalahgunakan. Keracunan ini dapat menimbulkan berbagai gejala
dari mulai yang ringan sampai kematian, sehingga peredarannya dibatasi, diawasi
secara ketat dan sesuai resep dokter.
42
DAFTAR PUSTAKA
2014].
Available
from:
http://www.artikelkedokteran.com/360/intoksikasi.html.
7. Asuhan Keperawatan Intoksikasi [database on the Internet]. [cited 11 Oktober
2014]. Available from: http://www.scribd.com/doc/102145142/intoksikasi.
43
8. http://medlinux.blogspot.com/2008/07/penatalaksanaan-keracunan.html
9. http://books.google.co.id/books?
id=7Lauz8HpOVAC&pg=PA440&lpg=PA440&dq=struktur+kimia+kodein&so
urce=bl&ots=iEVvSNWS8E&sig=bw6iIZBjKuMV2aySDan_Tbqiv2A&hl=id
&sa=X&ei=1lGZUrujL4blrAemhoCADw&redir_esc=y#v=onepage&q=struktu
r%20kimia%20kodein&f=false
10. http://books.google.co.id/books?
id=Ea0wBVWiG_oC&pg=PA99&lpg=PA99&dq=kodein+di+pasaran&source=
bl&ots=KQztggscoR&sig=1TaRatLBYmQsyAfzYUceKMkUfm0&hl=id&sa=
X&ei=-leZUqGXFcumrQfrnICYDw&redir_esc=y#v=onepage&q=kodein
%20di%20pasaran&f=false
11. Gambar dari http://id.wikipedia.org/wiki/Berkas:Codein_-_Codeine.svg
12. http://annandra.blogspot.com/2010/12/codein-oh-obat.html
13. Buku Farmakologi Dan Therapi UI
14. http://www.ichrc.org/151-prinsip-penatalaksanaan-terhadap-racun-yangtertelan.
15. Sudjana. P. Toksikologi Bagian Ilmu Kedokteran Forensik, Jakarta.
16. Kamdari, Siti HSG Gen83, Analitical Toxicology.
17. Nawawi, R. HSG Gen83, Peranan Pemeriksaan Kimia/ Toksikologi dalam
Pengadaan Visum et Repertum.
18. Nita, Michael, Irma, Mulyati, Ridwan. Toksikologi Forensik. (online). 2005
[cited 14 Oktober 2014]
19. Kodeina [database on the Internet]. Wikipedia. 2013 [cited 11 Oktober 2014].
Available from: http://id.wikipedia.org/wiki/Kodeina.
20. Abdul MI. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta: Binarupa Aksara.
1997.p. 330-31
44
21. Vijay C. Ilmu forensik dan Toksikologi. Edisi lima. Jakarta: Widya Medika.
1995.p. 330-31
22. Ilmu Kedokteran Forensik, Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
23. I, Darmansjah, Metta Sinta SW, Toksikologi : Farmakologi dan Terapi, edisi
lima, Gaya baru, Jakarta, hal 820-842
24. Achmadi, U.F. Aspek Kesehatan Kerja Sektor Informal. Upaya Kesehatan kerja
sector informal di Indonesia. Depkes RI. Jakarta, 1991.
45