Anda di halaman 1dari 15

3.

SYEKH ABDUR RAUF AS-SINKILI (1024-1105)


a. Riwayat Hidup Syekh Abdur Rauf As-Sinkili
Syekh Abdur Rauf As-Sinkili adalah seorang ulama dan mufti
besar Kerajaan Aceh pada abad ke-17 (1606-1637 M). Nama lengkapnya
adalah Syekh Abdur Rauf bin Ali Fansuri. Pendidikannya dimulai dari
ayahnya di Simpang Kanan (Sinkili). Ilmu yang dipelajari adalah sejarah,
bahasa arab, mantiq, filsafat, sastra arab/melayu dan bahasa Persia serta
pendidikannya dilanjutkan ke Smudera Pasai pada Syekh Syamsudin AsSumaterani.
Diantara karya-karya Syekh Abdur Rauf As-Sinkili adalah:
a. Mirat Ath-Thullab (fiqih Syafii bidang muamalat)
b. Hidayat Al-Balighah (fiqih tentang sumpah, kesaksian, peradilan,
pembuktian, dan lain-lain)
c. Umdat Al-Muhtajin (tasawuf)
d. Syamss Al-Marifah (tasawuf tentang makrifat)
e. Kifayat Al-Muhtajin (tasawuf)
f. Daqaiq Al-Huruf (tasawuf)
g. Turjuman Al-Mustafidh (tafsir)

b.

Ajaran Tasawuf Syekh Abdur Rauf As-Sinkili


a. Kesesatan ajaran tasawuf wujudiyah, sebelum As-Sinkili membawa
ajaran tasawufnya, di Aceh telah berkembang ajaran tasawuf falsafi,
yaitu tasawuf wujudiyah yang kemudian dikenal dengan nama Wahdat
Al-Wujud. Ajaran tasawuf ini dianggap Ar-Raniri sebagai ajaran sesat

dan penganutnya dianggap murtad. As-Sinkili menanggapi persoalan


aliran wujudiyah dengan penuh kebijaksanaan.
b. Rekonsiliasi antara tasawuf dan syariat. As-Sinkili

berusaha

merekonsiliasi antara tasawuf dan syariat. Ajaran tasawufnya sama


dengan Syamsudin dan Nuruddin, yaitu menganut paham satunsatunya wujud hakiki, yakni Allah, sedangkan alam ciptaan-Nya
bukanlah merupakan wujud hakiki tetapi bayangan dari yang hakiki.
c. Dzikir. Merupakan suatu usaha untuk melepaskan diri dari sifat lalai
dan lupa. Dengannya hati selalu mengingat Allah. Tujuan Dzikir
adalah mencapai fana (tidak ada wujud selain wujud Allah).
d. Martabat

Pewujudan

Tuhan.

Menurutnya,

ada

tiga

martabat

pewujudan Tuhan. Pertama, martabat ahadiyyah atau lataayun, yaitu


alam pada waktu itu masih ,merupakan hakikat ghaib yang masih
berada di dalam ilmu Tuhan. Kedua, martabat wahdah atau atayyun
awwal, yaitu sudah tercipta haqiqah Muhammadiyyah yang potensial
bagi terciptanya alam. Ketiga, martabat wahdiyyah atau taayyun tsani,
yang disebut juga dengan ayan tsabitah, dan dari sinilah alam tercipta.
Menurutnya, ucapan Aku Engkau, kami Engkau dan Engkau Ia
hanya benar pada tingkat wahdah atau taayun awwal karena unsure
Tuhan dan unsur Manusia pada tingkat itu belum dapat dibedakan.

4. ABD SHAMAD AL-PALIMBANI (W. 1203 H/1788 M)


a. Riwayat Hidup Abd Shamad Al-Palimbani
Abd Shamad Al-Palimbani adalah seorang ulama sufi kelahiran
Palembang pada permulaan abad ke-18, kira-kira tiga atau empat tahun
setelah tahun 1700 M dan meninggal kira-kira tidak lama setelah tahun
1203 H/1788 M. Ia adalah putera Abd Jalil bin syekh Abd Wahab bin
Syekh Ahmad Al-Mahdani dari Yaman, seorang ulama sufi dan juga
pernah diangkat menjadi Mufti besar di Negara Kedah.
Abd Shamad Al-Palimbani pernah bermukim bertahun tahun di
Mekah untuk mempelajari agama islam. Pada akhir abad ke-18 Masehi, ia
kembali ke tanah kelahirannya dengan membawa mutiara baru dalam
agama islam. Mutiara baru yang dimaksudkan adalah suatu pendekatan
(metode) untuk mendekatkan diri kepada tuhan Yang Mahakuasa.
Tassawuf tampaknya merupakan bidang spesialisasi Al Palimbani,
sehingga dalam kitab Sair As-Salikin, ia menyebut lebih dari seratus buah
kitab tasawuf, serta mengklasifikasikannya. Ada yang dianggap boleh
dibaca oleh orang yang masih berada di tingkat permulaan (Mubtadi), ada
yang merupakan bacaan orang yang sudah mencapai tingkat pertengahan
(Mutawasith), dan ada yang boleh dibaca oleh odrang yang sudah
mencapai tingkat Pengahbisan (Muntahi).
b. Ajaran Tasawuf Abd Shamad Al-Palimbani
a. Tentang Nafsu
Abd Shamad Al-Palimbani tidak puas dengan ajaran Al Ghazali
yang memandang bahwa tentang tiga tingkatan jiwa (nafs) manusia

(amarah, lawwamah, dan muthmainnah) yang berakhir dengan


ketentraman dan kemantapan menerima segala keadaan yang dihadapi
dalam hidup di dunia ini. Ia memilih ajaran tujuh tingkatan jiwa
(ammarah, lawwamah, mulhammah, muthmainnah, mardhiyah dan
kamilah).
b. Tentang Martabat Tujuh
Menurut Abd Shamad Al-Palimbani Wujud Allah Taala dapat
dikenal dengan tujuh martabat sebagai berikut:
1. Martabat

Ahadiyatul

Ahadiyah

(An

La

taayyun),

yaitu

Memandang dengan hatinya akan semata mata Wujud Zat


(esensi) Allah Taala dengan tiada Iktibar sifat-Nya dan Asma-Nya
dan Afal.
2. Martabat Al Wahidah (At Taayyun Al Awwal), yaitu ibarat ilmu
Allah Taala dengan wujud Zat-Nya dan segala sifa-Nya dan segala
maujud atas jalan perhimpunan, dengan tiada beda setengahnya
dengan setengah-Nya.
3. Martabat Al Wahidah (Haqiqat Al Insaniyah), yaitu ibarat ilmu
Allah Taala mengenai Zat-Nya dan segala sifat-Nya dan segala
makhluk atas jalan perceraiannya setengahnya dari setengahnya.
4. Martabat Alam Arwah, yaitu ibarat keadaan suatu yang halus yang
semata-mata, yang belum menerima susun dan belum berbeda
setengahnya (dari setengahnya).
5. Martabat Alam Mitsal, yaitu ibarat keadaan suatu yang halus, yang
tiada menerima susun, yang tiada dapat diceraikan setengahnya

dari setengahnya, dan tidak menerima pesuk dan tiada menerima


bertmapal.
6. Martabat Alam Al Ajsam, yaitu ibarat keadaan suatu yang disusun
dari empat perkara, yakni api, angin, tanah, da air, sekalian yang
kasar yang menerima bersusun dan bercerai-cerai setengahnya.
7. Marabat Alam Al Jamiah, yaitu martabat yang menghimpun
sekalian martabat yang enam, yaitu martabat al insan, dinamakan
pula martabat At Taayyun Al Akhir, yakni kenyataan zhahir Allah
Taala yang kemudian sekali.
c. Tentang Syariat
Abd Shamad Al-Palimbani percaya bahwa Tuhan hanya dapat
didekati melalui keyakinan yang benar pada keEsaan Tuhan yang
mutlak dan kepatuhan pada ajaran ajaran syariat.
d. Tentang Makrifat
Abd Shamad Al-Palimbani mengakui ajaran Al Ghazali yang
memandang bahwa tingkat marifat tertinggi yang harus dicapai
seorang sufi adalah memandang Allah secara langsung, dengan mata
hati yang telah bebas dan bersih dari segala noda dan godaan
keduaniaan.

10

5. SYEKH YUSUF AL-MAKASARI (1037-1111/1627-1699)


a. Riwayat Hidup Syekh Yusuf Al-Makasari
Syekh Yusuf Al-Makasari adalah seorang tokoh sufi agung yang
berasal dari Sulawesi. Ia dilahirkan pada tanggal 8 Syawal 1036 H./3 Juli
1629, tidak lama setelah kedatangan tiga orang penyebar islam ke
Sulawesi yaitu Datuk RI dan kawan kawannya dari Minangkabau.
Dalam salahsatu karangannya Ia menulis ujung namanya dengan bahasa
arab Al Makasari, yaitu nama kota di Sulawesi Selatan (Ujung
Pandang). Syekh Yusuf sejak kecil telah nampak kecintaannya terhadap
pengetahuan keislaman, dalam tempo yang relatif singkat beliau sudah
tamat mempelajari Al Quran 30 Juz.
Pada masa Syekh Yusuf hampir setiap orang menggemari ilmu
tasawuf. Syekh Yusuf pernah melakukan perjalanan ke Yaman. Di Yaman,
ia menerima tarekat dari Syekhnya, yaitu Syekh Abi Abdullah Muhammad
Baqi Billah. Tarekat tarekat yang telah dipelajarinya ialah:
a. Tarekat Qadiriyah diterima dari Syekh Nuruddin Ar Raniri di Aceh.
b. Tarekat Naqsabandiyah diterima dari Syekh Abi Abdillah Abdul Baqi
Billah.
c. Tarekat As Saadah Al Baalawiyah diterima dari Sayyid Ali di
Zubeid/Yaman.
d. Tarekat Syathariyah diterima dari Ibrahim Al Kurani Madinah
e. Tarekat Khalwatiyah diterima dari Abdul Barakat Ayub bin Ahmad bin
Al Quraisyi di Damsiq.

11

Semua tarekat yang telah dipelajari oleh Syekh Yusuf


mempunyai silsilah yang bersambung hingga Nabi Muhammad SAW.
Namun yang sudah ditemukan silsilahnya ialah silsilah Naqsabandiyah
dan Syathariyah, sedangkan yang lainnya belum ditemukan silsilahnya.
b. Ajaran Tasawuf Syekh Yusuf Al-Makasari
a. Syariat dan Hakikat Syekh Yusuf mengungkapkan pardigma
sufistiknya bertolak dari asumsi dasar bahwa ajaran islam meliputi dua
aspek, yaitu Aspek Lahir (Syariat) dan Aspek Batin (Hakikat).
Syariat dan Hakikat harus dipandang dan diamalkan sebagai suatu
kesatuan.
b. Transendensi Tuhan. Meskipun berpegang teguh pada transendensi
Tuhan, ia meyakini bahwa tuhan melingkupi segala sesuatu dan selalu
dekat dengan sesuatu itu.
c. Insan Kamil dan Proses Penyucian Jiwa. Syekh Yusuf mengatakan
bahwa seorang hamba akan tetap hamba walaupun telah naik
derajatnya, dan Tuhan akan tetap Tuhan Walaupun turun pada diri
hamba. Dalam proses penyucian jiwa Syekh Yusuf menempuh cara
yang moderat. Menurutnya, kehidupan dunia bukanlah untuk
ditinggalkan dan hawa nafsu harus dimatikan. Sebaliknya, hidup
diarahkan untuk menuju Tuhan.

12

F. NAWAWI AL-BANTANI (1813-1897 M.)


a. Riwayat Hidup Nawawi Al-Bantani
Abu Abd Al-Muthi Muhammad bin Umar bin An-Nawawi AlJawi dilahirkan pada tahun 1230H/1813 M. di desa Tanara, sekarang
masuk wilayah kecamatan Tirtayasa, Kabupaten Serang Provinsi Banten
Indonesia. Kyai H. Umar adalah ayah sekaligus gurunya sebagai orang
yang mendermakan ilmunya, dan pergi ke Mekah untuk menimba ilmu,
sehingga bermukim disana sampai akhir hayatnya, tahun 1314 H/1897 M,
setelah ia sempat kembali ke tanah air. Menurut Snouck, kepergiannya
kembali untuk bermukim di Mekah memang sudah direncanakan.
Sejak tahun 1830-1860, An Nawawi belajar di bawah bimbingan
para ulama terkenal, seperti Syekh Khatib Sambas, Syekh Abd Al Ghani
Bima dan lain sebagainya. Diantara karya-kayanya adalah sebagai
berikut :
a. Tafsir Marah Labib (1298 H/1880M);
b. Fath Al-Mujib (1299 H/1881 M);
c. Lubab A;-Bayan (1302 H/1884 M).
Produktifitasnya sebagai oengarang membuat Syekh An-Nawawi
Al-Bantani menjadi terkenal, khusunya Negara-negara yang kebanyakan
pendukungnya menganut Mazhab SyafiI, dan mendapatkan gelar
Syyahid Ulama Al-Hijaz.

b. Pemikiran Nawawi tentang Tasawuf

13

Karya-karyanya dalam bidang tasawuf seperti Tanqih Al-Qaul,


Mirqah Shuud At-Tashiq, dan Syarh Al-Ubudiyyah, berikut ini akan
dikemukakan pikirannya sebagai berikut :
a. Tarekat
Orang-orang yang mengambil tarekat, jika perkataan dan
perbuatannya

sesuai sesuai dengan syariat

Nabi Muhammad

sebagaimana ahli-ahli tarekat yang benar, tarekat yang diambilnya


maqbul. Tidak seperti murid-murid Syekh Ismail Minangkabau,
mereka mencela dzikir Allah, mencela orang yang tidak masuk dalam
tarekat.
b.

Ghibah
Nawawi melarang perbuatan ghibah, baik melalui lisannya
bahkan

harus melarang dengan tangannya dan kalau tidak

memungkinkan maka meninggalkan tempat ghibah berlangsung serta


haram mendengarkannya.
c.

Sifat Manusia
Pada diri manusia berkumpul empat macam sifat, yaitu Kebinatangbuasan (sabuiyyah), kebinatang-jinakan (bahimiyah), kesetanan
(syitha-niyyah), dan ketuhanan (rabbaniyyah). Semua berkumpul
dalam hati.

14

G. HAMKA (1908-1981 M.)


a. Riwayat Hidup Hamka
Hamka (Haji Abdul Malik Karim Amrullah) dilahirkan di Tanah
Sirah, Sungai Batang di tepi Danau Maninjau, pada tanggal 13 Muharam
1362 H/16 Februari 1908 M. Ayahnya bernama Abdul KarimAmrullah, ia
adalah salah seorang ulama besar Minangkabau, keturunan Abdul Arief,
gelar Tuanku Pauh Pariaman atau Tuanku nan Tuo salah seorang pahlawan
Paderi.
Sampai usia enam tahun Hamka berlajar membaca Al-Quran di
rumah orang tuanya. Setahun kemudian ia dimasukan ke sekolah desa, ia
sekolah selama tiga tahun.
Pada tahun 1930, Hamka bukan hanya pergi ke jawa, melainkan
juga ke Mekah, Sulawesi Selatan, dan Sumatera Utara. Sekitar empat
tahun ia tinggal di Sulawesi Selatan sebagai Mubhalig Muhammadiyyah,
dan pengalaman ini benar-benar mempertingi rasa solidaritasnya terhadap
orang dari bagian lain di Indonesia.
Karya-karya yang pernah ditulis oleh Hamka, diantaranya sebagai
berikut :
a. Tasawuf Modern (1939),;
b. Falsafah Hidup (1939);
c. Lembaga Hidup (1940);
d. Lembaga Budi (1940);
e. Di Bawah Lindungan Kabah;
f. Renungan Tasawuf;

15

g. Pelajaran Agama Islam;


h. Pandangan Hidup Muslim;
i. Tenggelamnya Kapal Van der Wijk;
j. Kedudukan Perempuan dalam Islam; dan
k. Tafsir Al-Azhar.

b. Pemikiran HAMKA terhadap Tasawuf


Pikiran-pikaran Hamka lebih banyak tercurah kepada soal-soal
iman, akhlaq dan aspek-aspek social, di luar lingkup pengertian tradisional
tentang muamalah. Hamka tidak membatasi dirinya dengan dalam ilmu
kalam dan ilmu akhlaq yang tradisional demi menjjaga doktrin islam.
Hamka berani memasuki wilayah-wilayah tasawuf dan filsafat yang penuh
dengan ranjau keimanan yang pada akhirnya dapat menjinakan tasawuf
dan filsafat dengan caranaya sendiri. Bahwa wilayah wilayah filsafat dan
tasawuf sangat erat kaitannya. Perbedaannya hanya dalam alat mencari
Tuhan. Kalau filsafat memakai daya berpikir yang disebut akal, tasawuf
memakai daya rasa yang disebut Qalbu. Akan tetapi, tidaklah kemudian
dengan tasawuf orang benar-benar meninggalkan dunia karena tasawuf
yang demikian tidaklah dianjurkan dalam islam.
a. Hakikat Tasawuf
Kaum tasawuf atau kamu sufi adalah kaum yang telah
menyusun perkumpulan untuk menyisihkan diri dari orang banyak,
dengan maksud membersihkan hati, laksana kilat-kaca terhadap Tuhan.

16

Tasawuf adalah salah satu filsafat islam yang bertujuan zuhud


dari dunia yang fana, tetapi lantaran banyak bercampur dengan negeri
dan bangsa lain, banyak-sedikitnya masuk jugalah pengajian agama
dari bangsa lain ke dalamnya. Tasawuf bukanlah agama, melainkan
suatu ikhtiar yang setengahnya diizinkan oleh agama dan setengahnya
pula dengan tidak sadar telah tergelincir dari agama.
Menurut Hamka, tasawuf pada hakikatnya adlah usaha yang
bertujuan untik memperbaiki budi dan membersihkan batin. Artinya,
tasawuf

adalah

alat

untuk

membentengi

dari

kemungkinan-

kemungkinan seseorang terpe;eset ke dalam Lumpur keburukan budi


dan kekotoran batin yang intinya, antara lain dengan berzuhud seperti
teladan hidup yang dicontohkan langsuing oleh Rasulullah SAW lewat
As-Sunnah yang shahih.
Hamka mencoboa merionci beberapa hal sebagai berikut:
tasawuf menjadi negative, bahkan sangat negative kalau tasawuf :
a. Dilaksanakan dengan berbentuk kegiatan yang digariskan oleh
ajaran agama islam yang terumus dalam Al-Quran dan As-Sunnah,
seperti mengharamkan pada diri sendiri terhadap hal-hal yang oleh
Allah SWT. Dihalalkan.
b. Dilaksanakan dalam wujud kegiatan yang dipangkalkan terhadap
pandangan bahwa dunia ini harus dibenci.
Tasawuf akan menjadi positif, bahkan sangat positif kalau tasawuf :
a. Dilaksanakan dalam bentuk keagamaan yang searah dengan
muatan-muatan perpindahan yang telah dirumuskan sendiri oleh

17

Al-Quran dan As-Sunnah; mana yang diwajibkan dan dihalalkan


dikerjakan dan mana yang diharamkan ditinggalkan.
b. Dilaksanakan dalam bentuk kegiatan yang berpangkal pada
kepekaan social yang tinggi dalam arti kegiatan yang dapat
mendukung

pemberdayaan

umat

islam

agar

kemiskinan

ekonomi, ilmu pengetahuan, kebudayaan, politik dan mentalitas.


b.

Fungsi Tasawuf
Tasawuf yang bermuatan zuhud yang benar, yang juga dilaksanakan
lewat peribadahan agama yang didasari itiqad yang benar, mampu
berfungsi sebagai media pendidikan moral keagamaan (moral religius)
yang efektif.

c.

Tasawuf Modern
Dari segi struktur, tasawuf yang ditawarkan Hamka berbeda dengan
tasawuf

pada

umumnya

(tasawuf

tradisional).

Tasawuf

yang

ditawarkan Hamka (disebut tasawuf modern atau tasawuf positif)


berdasar pada prinsip tauhud, bukan pencarian pengalaman
mukhasyafah.
Konsep dasar sufistik yang ditawarkan Hamka adalah sufisme yang
berorientasi ke depan yang ditandai dengan mekanisme dari sebuh
system ketasawufan yang unsure-unsurnya meliputi prinsip tauhid,
dalam arti menjaga transendensi Tuhan dan sekaligus merasa dekat
dengan Tuhan memanfaatkan peribadahan sebagai media bertasawuf,
di samping melaksanakan perintah agama, juga mencari hikmah di
balik semua perintah ibadah itu, dan menghasilkan refleksi hikmah

18

yang berupa sikap positif terhadap hidup dalam wujud neniliki etos
social yang tinggi.
d.

Qanaah
Qonaah memailiki makna yang luas, menyuruh benar-benar percaya
akan adanya kekuasaan yang melebihi kekuasaan kita, sabar menerima
ketentuan Illahi jika ketentuan itu tidak menyenangkan diri, dan
bersyukur jika dipinjami-Nya nikmat. Kita disuruh bekerja, berusaha,
bergiat menguras tenaga, sebab semasa nyawa dikandung badan,
kewajiban belum berakhir.

e.

Tawakal
Tawakal yaitu menyerahkan keputusan segala perkara, ikhtiar, dan
usaha kepada Tuhan semesta alam. Kalau bahaya yang mengancam itu
akan dating dari sesame manusia, sekiranya ada jalan sabar, atau jalan
untuk mengelakkkkan diri atau menangkis, pilihlah lebih dahulu yang
pertama, yaitu sabar. Kalau tidak dapat juga, pilihlah yang kedua, yaitu
mengelakkan diri. Kalau tidak dapat juga, barulah mengkis. Kalau
hanya tinggal jalan semata-mata menangkis, tidak ditangkis, tidaklah
bernama tawakal lagi, tetapi sia-sia.

19

BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Dari hasil pemaparan di atas, maka penyusun dapat mengambil
simpulan sebagai berikut :
Tasawuf merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kajian islam di
Indonesia. Hawash Abdullah menyebutkan beberapa bukti tentang besarnya
peranan para sufi dalam penyebaran islam di Nusantara, beliau menyebutkan
tokoh sufi Syekh Abdullah Arif yang pertama kali menyebarkan Islam di Aceh
sekitar abad ke-12 M.
Tokoh tokoh Tasawuf di Indonesia adalah sebagai berikut:
1. Hamzah Fansuri (W. 1016 H/1607 M)
2. Nuruddin Ar Raniri (W. 1068/1658)
3. Syekh Abdur Rauf As-Sinkili (1024-1105)
4. Abd Shamad Al-Palimbani (W. 1203 H/1788 M)
5. Syekh Yusuf Al-Makasari (1037-1111/1627-1699)
6. Nawawi Al-Bantani (1813-1897 M.)
7. HAMKA (1908-1981 M.)
B. Kata Penutup
Manusia adalah tempatnnya salah dan dosa dan tidak ada manusia
yang mencapai kesempurnaan. Pribahasa mengatakan Tak ada gading yang
tak retak. Begitu juga dengan penyusunan makalah ini banyak kekurangan
dan kesalahannya, penyusun mohon maaf yang sebesar-besarnya kepada
segenap pembaca dari kekhilafan penyusun dalam penyusunan makalah ini.
Dan tak lupa ucapan puji dan syukur Allahamdulillah atas Hidayah dan
Innayah Allah SWT, akhirnya penulis dapat menyelesaikan makalah ini
walaupun masih banyak kekurangannya.

20

Anda mungkin juga menyukai