memerahkan mukaku. Aku kemudian menjadi orang aneh. Pergaulanku dengan teman-teman
Salafi semakin luas, karena aku adalah santri yang unik bagi mereka, menjadi Salafi tapi
kuliah di filsafat.
Suatu hari di tahun awal 2006, aku memutuskan untuk masuk Muhammadiyah lewat Ikatan
Mahasiswa Muhammadiyah UGM. Aku mulai intens mengikuti kajian tafsir Ustadz Dr.
Yunahar Ilyas, Lc di kantor pusat Muhammadiyah Yogyakarta. Ada hal lain yang kutemui.
Ustadz Yunahar lulusan Saudi Arabia, sama dengan Ustadz-Ustadz kenamaan Salafi yang
juga menempuh studi di negeri yang didirikan Keluarga Saud itu, yakni gaya ceramah Ustadz
Yunahar yang lebih soft dan lebih mengedepankan analogi. Tidak pernah beliau menyerang
filsafat, malahan mengatakan filsafat dibutuhkan untuk menghadang musuh-musuh Islam.
Aku terheran-heran. Kok bisa beda ya? Kuperhatikan face ustadz Yuhanar, kumis menghiasi
wajahnya. Jenggot hanya sedikit. Tak pernah kulihat Ustadz Yunahar memakai kopiah haji
meskipun beliau sudah naik haji berkali-kali. Hanya kopiah hitam nasional yang menurut
beberapa teman Salafi, tidak Islami. Kuperhatikan celana beliau, berjuntai melewati mata
kaki. Aku bertanya, kenapa Ustadz satu ini berbeda dengan Ustadz-Ustadz Salafi-ku?
Keherananku semakin kentara ketika Ustadz Faturahman Kamal mengantikan beberapa kali
kajian Ustadz Yunahar. Ustadz Faturahman adalah alumni Universitas Islam Madinah yang
diklaim sebagai salah satu pusat keilmuan Salafi. Gaya ceramah beliau berbeda. Bahkan
sesekali beliau membicarakan geliat dakwah kampus yang menguraikan ketidakwajaran
halaqoh dakwah, yang secara eksplisit mengarah kepada Salafi.
Aku kembali bertanya-tanya, apakah klaim Salafi sebagai firqoh yang paling benar
sebagaimana yang berbuih-buih disampaikan oleh para Ustadznya BENAR? Sementara itu,
senior satu kamarku yang melepasku dalam kebimbangan sendirian, meninggalkan Jogja. Dia
sudah lulus kuliah dan hendak pulang kampung untuk mencari pekerjaan demi
mempersiapkan lamarannya kepada salah satu teman dari asrama putri.
Kuliahku berjalan lancar. IPK-ku semakin hari semakin naik. Aku semakin menikmati
perkuliahan dan uraian-uraian filosofis yang disampaikan dosen. Kajian Salafi mulai jarang
kuikuti, kecuali kajian Ustadz Ridwan Hamidi yang tak bisa kutinggalkan sama sekali. Aku
teramat suka dengan Ustadz Ridwan, yang seringkali mendapat ejekan dari kelompok Salafi
yang lain, karena ceramah beliau yang lembut dan sering membuat jiwaku tentram.
Singkat cerita, bulan Februari ini aku akan diwisuda. Menjadi lulusan terbaik fakultas Filsafat
UGM untuk wisuda periode pertama di tahun 2010 dengan IPK 3,61. Penampilanku sudah
biasa. Tak ada lagi celana jingkrang di atas mata kaki dan jenggot panjang yang awut-awutan.
Aku menjadi orang biasa. Aku tetap normal tidak menjadi gila dengan filsafat yang
kupelajari. Aku masih sholat, baca Al Quran dan mempercayai Tuhan. Filsafat telah
membuka wawasan dan perspektifku lebih luas dalam memandang dunia. Tidak seperti saat di
Salafi dengan pola hitam-putih yang dibangun. Hidup dikurung dan dihiasi kebencian kepada
orang lain dengan sekat Kafir, Ahlul Bidah dan Kaum Sesat yang didasarkan bingkai
agama.
Bulan ini, aku bisa mengobati airmata Ibu dan kekecewaan Bapak beberapa tahun lalu. Hari
ini aku bahagia tanpa harus kehilangan keIslamanku. Malahan aku menemukan Islam yang
damai lewat uraian Ustadz Yunahar Ilyas dan Ustadz Faturrahman Kamal.
Aku tak peduli dengan sindiran keputusanku keluar dari Salafi. Terserah dibilang orang yang
futur, tersesar dari jalan dakwah, atau sebutan menyakitkan lainnya. Aku tak peduli sama
sekali. Yang penting aku masih menyembah Tuhan, masih mendengarkan Al Quran dan
Hadist, masih sholat, puasa, mendengarkan ceramah, dan bisa berbakti kepada orangtuaku.
Aku punya jalan hidup sendiri dan punya kekuatan pikiran untuk mengarahkannya kemana.
Aku sudah tak peduli dengan omongan-omongan negatif tentang keadaanku sekarang.
Terserah mereka mau bilang apa
NB: Kutuliskan cerita ini setelah membaca berita penerimaan mahasiswa baru Universitas
Islam Madinah diadakan di Pesantren Gontor yang notabene bukan pesantren Salafi. Kenapa
pemerintah Saudi lebih percaya kepada Gontor daripada Pesantren-Pesantren Salafi yang saat
ini sudah berdiri di berbagai kota di Indonesia??? EntahlahSumber kisah nyata ini bisa anda
klik di judul diatas.
Semoga postingan ini bermanfaat