Anda di halaman 1dari 28

I.

PENDAHULUAN

A. Definisi
Sindroma Stevens-Johnson (SSJ) adalah reaksi mukokutaneus akut yang
berat dan sering diperburuk oleh obat-obatan dan terkadang diperburuk oleh
adanya infeksi. Mereka sangat berhubungan dengan atau identik dengan,
hanya berbeda dengan luasnya permukaan tubuh yang terlibat. Keduanya
dicirikan oleh adanya perluasan yang cepat, berupa makula yang ireguler
(lesi-lesi target atipikal) dan melibatkan lebih dari satu bagian mukosa (oral,
konjungtiva dan anogenital).1 Gejala konstitusional dan keterlibatan organ
bagian dalam dapat terjadi dan bisa menjadi berat. Prinsipnya, SJS bisa
sembuh sendirinya; dan sisa gejala bisa terjadi, karena skar dari mukosa.
B. Epidemiologi
Sindroma Stevens-Johnson adalah suatu kondisi yang jarang terjadi, di
Amerika Serikat, terdapat 300 kejadian melaporkan sekitar 2,6 menjadi 6,1
kasus per juta orang per tahun. Kondisi ini sering terjadi pada orang dewasa
dibandingkan pada anak-anak. Kasus ini telah dilaporkan terjadi pada anakanak berumur 3 bulan. Perempuan lebih sering terkena daripada pria dengan
rasio 2:3.4 SSJ juga telah dilaporkan lebih sering terjadi pada ras Kaukasia.
Di Indonesia kasus SSJ jarang terjadi, hanya sekitar 1-6 per juta orang.
Dengan kata lain, rata-rata jumlah kasus ini sekitar 0,03%.6 Penelitian
menunjukkan bahwa SSJ adalah kasus yang langka. Hanya 1 dari 2000 orang
yang mengonsumsi antibiotik penisilin yang terkena SSJ.
C. Latar Belakang
Sindroma Stevens-Johnson merupakan kelainan pada kulit yang serius, di
mana kulit dan selaput lendir bereaksi keras terhadap obat atau infeksi. SSJ
sering diawali dengan gejala mirip flu, diikuti dengan ruam merah atau
keunguan yang menyakitkan yang menyebar dan lecet, yang akhirnya
menyebabkan lapisan atas kulit mati.7
Penyebab pasti dari SSJ saat ini belum diketahui namun ditemukan
beberapa hal yang memicu timbulnya SSJ seperti obat-obatan atau infeksi
1

virus.7 Mekanisme terjadinya sindrom pada SSJ adalah reaksi hipersensitif


terhadap zat yang memicunya.
Sindrom Stevens-Johnson adalah suatu kondisi medis darurat yang
biasanya membutuhkan perawatan di rumah sakit.7 Perawatan berfokus pada
menghilangkan penyebab yang mendasari, mengontrol gejala dan mengurangi
komplikasi.7
D. Tujuan
Tujuan penulisan ini adalah untuk memahami mengenai definisi, etiologi,
patogenesis, manifestasi SSJ, tatalaksananya serta prognosisnya.

II.

LAPORAN KASUS

Masuk Ruang Perawatan Kenanga RSUD dr. H. Abdul Moeloek:


Tanggal 2 Juli 2015
No. RM : 00.41.92.95
A. Anamnesis
Identitas
Nama

: Ny. E

Usia

: 22 tahun

Jenis Kelamin

: Perempuan

Alamat

: Kagungan Dalem, Menggala, Kota Tulang Bawang

Agama

: Islam

Pekerjaan

: Swasta

Status

: Menikah

Suku Bangsa

: Lampung

B. Riwayat Penyakit
Keluhan Utama:
Timbul lepuh di seluruh bagian tubuh
Riwayat Penyakit sekarang :
Pasien datang mengeluh terdapat lepuh tidak beraturan dan dengan ukuran
yang bervariasi yang timbul di bagian bibir, punggung, leher, tangan dan
kedua tungkai sejak 14 hari SMRS. Pasien merupakan rujukan dari RS
Menggala.
Pada awalnya pasien mengeluh demam menggigil, kemudian pasien
dibawa ke bidan di desanya, pasien diberikan empat macam obat yaitu
paracetamol, dexamethason, ondansentron, ketopron, sesampainya di rumah,
pasien meminum obat-obatan tersebut dan timbul bintik-bintik merah pada
sekujur tubuh pasien. Pasien dibawa ke Rumah Sakit unit 2 dan dirawat
3

selama tiga hari. Bintik-bintik merah berubah menjadi hitam, kemudian


pasien dirujuk ke RS Menggala, bintik-bintik yang menghitam itu makin
lama makin parah dan timbul lepuhan-lepuhan di seluruh tubuh pada hari ke
6. Setelah itu pasien dirujuk ke RSAM untuk mendapat pertolongan lebih
lanjut. Selain perih dan nyeri, pasien juga mengeluhkan demam, kesulitan
menelan, sakit tenggorokan, sesak, dan sulit saat membuka mata.
Riwayat penyakit dahulu:

riwayat penyakit kulit seperti ini sebelumnya disangkal


riwayat alergi makanan disangkal
riwayat sering bersin pagi hari dan gatal disangkal
riwayat penyakit asma disangkal

Riwayat penyakit keluarga:

riwayat penyakit kulit yang sama disangkal


riwayat penyakit asma disangkal
riwayat alergi makanan dalam keluarga disangkal
riwayat sering bersin pagi hari dan gatal di kulit disangkal

C. Pemeriksaan Fisik
Status Generalis
Keadaan Umum : Tampak sakit berat
Kesadaran
: Compos mentis
Tanda Vital
Tekanan Darah
: 120/80 mmHg
Nadi
: 84 kali per menit
Pernapasan
: 20 kali per menit
Suhu
: 37,2OC
BB
: 50 kg
TB
: 155 cm
Thoraks
: dalam batas normal
Abdomen
: dalam batas normal
KGB
: dalam batas normal
Status Dermatologis
Lokasi
: Pada regio coli, regio thorakolumbal, regio brachii dan ante
brachii sinistra & dekstra, sebagian regio genita dan regio cruris.
Efloresensi : Terdapat bula yang telah pecah serta meninggalkan daerah erosif
ukuran lentikuler s/d plakat, diskret beberapa konfluen dan tidak
teratur.
4

Gambar 1. Lesi pada pasien

Gambar 2. Lesi pada lengan kanan dan kiri

Gambar 3. Lesi pada paha


D. Resume
6

Pasien seorang perempuan berusia 22 tahun mengeluh terdapat lepuhlepuh di beberapa bagian tubuh dengan bentuk tidak beraturan dan dengan
ukuran yang bervariasi disertai rasa perih yang timbul di timbul di seluruh
tubuh SMRS. Keluhan tersebut timbul setelah pasien meminum obat yang
diberikan bidan, paracetamol, dexamethason, ondansentron, ketopron.
Awalnya timbul bintik-bintik merah, kemudian bintik tersebut menghitam,
semakin lama semakin parah, timbul lepuhan-lepuhan di sekujur tubuh.
Pasien juga mengeluh nyeri saat menelan, sakit tenggorokan, sesak dan sulit
saat membuka mata. Pada regio coli, regio thorakolumbal, regio brachii dan
ante brachii sinistra & dekstra, sebagian regio genita dan regio cruris, terdapat
bula yang telah pecah serta meninggalkan daerah erosif ukuran lentikuler s/d
plakat, diskret beberapa konfluen dan tidak teratur.
E. Diagnosis Banding

F.

SSJ Overlap NET


SSJ
NET
SSSS (Staphylococcus Scalded Skin Syndrome)

Diagnosis Kerja
Stevens Johnson Syndrome Overlap Nekrolisis Epidermal Toksik

G. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan manual dermatologis: Nikolskys Sign tidak dilakukan karena
tak tampak adanya bula hanya daerah erosi yang merupakan sisa dari bula
yang telah pecah.

H. Penatalaksanaan
Umum :
Non medikamentosa
Menghentikan penggunaan obat penyebab
Perawatan di tempat khusus untuk mencegah infeksi
7

Perbaikan terhadap keseimbangan cairan, elektrolot dan protein


Pemberian makanan TKTP
Hindari menggaruk lesi
Khusus :
Medikamentosa
Topikal : Burnazin 2 x sehari di seluruh badan
Glyserin 10% 2 x sehari di oles di bibir
Sistemik: IVFD NaCl : D5 : RL = 1 : 1 : 1 20 tts/m
Ranitidin 2 x 50 mg IV/ hari
Metil Prednisolon inj. 125 mg/ hari dengan tapering off
Cetirizin 1x 10 mg p.o
Rencana: konsul ahli THT, Mata, Penyakit Dalam, Cek Lab DL, SGOT,
SGPT, UC, elektrolit.
I.

Prognosis
Quo ad vitam
Quo ad functionam
Quo ad sanationam

: Dubia ad bonam
: Dubia ad bonam
: Dubia ad bonam

Follow Up
Jumat, 3 Juli 2015 (Perawatan hari ke 2)
S
Timbul lepuh di beberapa bagian tubuh yang muncul 14 hari yang
lalu.
Lepuhan pertama kali timbul di tangan.
Lepuhan terasa gatal
Lepuhan timbul 1 hari setelah mengkonsumsi obat dari bidan berupa
paracetamol, dexamethason, ondansentron, ketopron.
Sulit menelan, sulit bernafas,
O

Keadaan Umum = Tampak sakit Berat


Kesadaran = Compos Mentis
Suhu tubuh = 36,30C
Laju napas = 28x/menit menggunakan nasal kanul 1LPM
Laju nadi = 84x/menit, teratur, isi cukup
TD= 120/80
Keadaan Spesifik =

Pada regio coli, regio thorakolumbal, regio


brachii dan ante brachii sinistra & dekstra, sebagian regio
genita dan regio cruris terdapat bula yang telah pecah serta
meninggalkan daerah erosif ukuran lentikuler s/d plakat, diskret
beberapa konfluen dan tidak teratur.
Nikolsky Sign (-)

Hasil laboratorium A

SSJ Overlap NET


SSJ
NET

SSS
Umum :
Non medikamentosa

Menghentikan penggunaan obat penyebab


Perawatan di tempat khusus untuk mencegah infeksi
9

Perbaikan terhadap keseimbangan cairan, elektrolot dan

protein
Pemberian makanan TKTP
Hindari menggaruk lesi

Khusus :
Medikamentosa
Topikal : Glyserin 10% 2x/hari pada bibir
-

Burnazin 2x/hari seluruh badan

Sistemik:

Cetirizin 1x 10 mg p.o
IVFD NaCl : D5 : RL = 1 : 1 : 1 20 tts/m
Ranitidin 2 x 50 mg IV/ hr

Metil Prednisolon inj. 125 mg/ hari dengan tapp off


Sabtu, 4 Juli 2015 (Perawatan hari ke 3)
S
Lepuh pada bibir sudah pecah. Beberapa lepuh di bagian tubuh lain
sudah pecah dan meninggalkan bekas berwarna merah. Lepuhan yang
O

belum pecah terasa gatal.


Keadaan Umum = Tampak sakit Berat
Kesadaran = Compos Mentis
Suhu tubuh = 37,00C
Laju napas = 21x/menit dengan nasal kanul 1 lpm
Laju nadi = 88x/menit, teratur, isi cukup
TD= 110/80
Keadaan Spesifik =

Pada regio coli, regio thorakolumbal, regio


brachii dan ante brachii sinistra & dekstra, sebagian regio
genita dan regio cruris terdapat bula yang telah pecah serta
meninggalkan daerah erosif ukuran lentikuler s/d plakat, diskret

beberapa konfluen dan tidak teratur


Nikolsky Sign (-)

Hasil laboratorium : SJS Overlap TEN


10

SJS
TEN
P

SSS
Umum :
Non medikamentosa

Menghentikan penggunaan obat penyebab


Perawatan di tempat khusus untuk mencegah infeksi
Perbaikan terhadap keseimbangan cairan, elektrolot dan

protein
Pemberian makanan TKTP
Hindari menggaruk lesi

Khusus :
Medikamentosa
Topikal : Glyserin 10% 2x/hari pada bibir
-

Burnazin 2x/hari seluruh badan

Sistemik:

Cetirizin 1x 10 mg p.o
IVFD NaCl : D5 : RL = 1 : 1 : 1 20 tts/m
Ranitidin 2 x 50 mg IV/ hr
Metil Prednisolon inj. 125 mg/ hari dengan tapp off

Rencana:

konsul ahli THT, Mata, Penyakit Dalam, Cek

Lab DL, SGOT, SGPT, UC, elektrolit

11

III. TINJAUAN PUSTAKA


A. Definisi
Sindroma Stevens-Johnson (SSJ) merupakan penyakit kulit dan mukosa
yang akut dan berat, yang diakibatkan oleh reaksi intolerans terhadap obat
dan beberapa infeksi. Sindroma Stevens-Johnson ditandai dengan cepatnya
perluasan ruam makula, sering disertai dengan lesi target atipikal (datar,
irreguler), dan keterlibatan lebih dari satu mukosa (rongga mulut,
konjungtiva, dan genital).1 Keterlibatan yang signifikan pada mulut, hidung,
mata, vagina, uretra, saluran pencernaan, dan membran mukosa pada saluran
pernapasan bawah dapat berkembang seiiring perjalanan penyakit. Kerusakan
yang terjadi pada saluran pencernaan dan pernafasan dapat berlanjut menjadi
nekrosis. Sindroma Stevens-Johnson merupakan suatu gangguan sistemik
serius dengan potensi morbiditas yang parah dan bahkan kematian.8
B. Etiologi
Banyak reaksi etiologi yang diduga berperan, namun obat-obatan yang
diduga menjadi penyebab utama sindrom ini. 80% kasus TEN memiliki
hubungan yang kuat dengan pengobatan yang spesifik, kurang dari 5% yang
dilaporkan tanpa penggunaan obat sebelumnya. Selain itu juga bahan-bahan
kimia, Mycoplasma pneumonia, infeksi virus dan immunisasi juga diaporkan
berperan. 50% kasus SJS berhubungan dengan paparan obat; penyebab belum
sepenuhnya jelas.
Terdapat empat kategori etiologi yaitu infeksi, drug-induced, keganasan,
dan idiopatik.5
Pada anak-anak lebih sering disebabkan karena infeksi daripada keganasan
atau reaksi terhadap suatu obat.
Oxicam NSAID dan sulfonamides yang paling sering terlibat di negaranegara barat. Di Asia Tenggara, allopurinol adalah yang paling sering.
Obat seperti sulfa, fenitoin, atau penisilin telah ditentukan sebelumnya,
ditemukan lebih dari dua pertiga dari semua pasien dengan SSJ.

12

Antikonvulsi karbamazepin, asam valproat, lamotrigin, dan barbiturat juga


telah terlibat.
Infeksi virus yang telah dilaporkan menyebabkan SSJ adalah herpes
simplex virus (HSV), AIDS, infeksi virus coxsackie, influenza, hepatitis,
gondok, venereum lymphogranuloma (LGV), infeksi rickettsia, dan
variola.
Penyebab bakteri adalah grup A beta streptokokus, difteri, brucellosis,
mikobakteri, Mycoplasma pneumoniae, tularemia, dan tifus. Sebuah kasus
baru-baru ini dilaporkan SSJ timbul setelah infeksi Mycoplasma
pneumoniae.
Coccidioidomycosis,

dermatofitosis,

dan

histoplasmosis

adalah

kemungkinan yang disebabkan oleh jamur.


Malaria dan trikomoniasis telah dilaporkan sebagai penyebab protozoa.
Pada anak-anak, Epstein-Barr virus dan enterovirus telah diidentifikasi.
Berbagai karsinoma dan limfoma telah dikaitkan.
Sindroma Stevens-Johnson adalah idiopatik pada 25-50% kasus.

Tabel 1. Obat-obat yang terkait dengan Sindroma Stevens-Johnson dan


Nekrolisis Epidermal Toksik10
Obat-obat yang paling sering terkait
Sulfadoxine
Sulfadiazine
Sulfasalazine
Co-trimoxazole
Hydantoins
Carbamazepine
Barbiturates
Benoxaprofen

Phenylbutazone
Isoxicam
Piroxicam
Chlormezanone
Allopurinol
Amithiazone
Aminopenicillins

Obat-obat yang juga terkait


Cephalosporins
Fluorquinolones
Vancomycin
Rifampin
Ethambutol
Fenbufen
Tenoxicam

Tiaprofenic acid
Diclofenac
Sulindac
Ibuprofen
Ketoprofen
Naproxen
Thiabendazole

C. Patogenesis
Penyebab SSJ sesungguhnya cukup banyak, namun disebutkan bahwa obat
merupakan penyebab utama. Disamping obat, infeksi, vaksinasi, graft-versus13

host-disease, terkadang juga dapat menyebabkan SSJ. Adanya kelainan


metabolism

obat

dapat

menyebabkan

terjadinya

SSJ,

meskipun

patogenesisnya belum jelas, diduga reaksi imun sitotoksik yang merusak


keratinosit yang permukaanya mengandung antigen (obat) berperan pada
patogenesis SSJ. Reaksi imun sitotoksik ini akhirnya merusak epidermis.
Diduga deposit kompleks imun juga berperan pada pathogenesis SSJ. Hal ini
dibuktikan dengan adanya peningkatan circulating immune complex, dan juga
didapatkan adanya vaskulitis kompleks imun.10
Hanya sebagian kecil diketahui tentang pathogenesis SSJ dan NET.
Patogenesis tersebut digambarkan sebagai reaksi imun sitotoksik yang
menyebabkan kerusakan keratinosit oleh antigen asing (drug-related).
Kerusakan epidermal didasari oleh proses apoptosis. Aktivasi obat-obatan
spesifik dari sel T telah dijelaskan secara invitro pada sekitar sel mononuclear
darah dari pasien dengan ledakan obat. Obat-obatan atau metabolitnya
bekerja sebagai hapten (molekul organik kecil yang bersifat antigen) dan
membuat antigenik keratinosit dengan mengikat permukaanya. Erupsi
kutaneus obat telah dihubungkan dengan penurunan system detoksifikasi dari
hepar dan kulit, berakibat pada toksisitas langsung atau perubahan dari
komponen keratinosit. Sitokin diproduksi oleh mononuclear sel yang
teraktivasi dan keratinosit mungkin berperan pada kerusakan sel setempat,
demam, dan malaise.11
D. Gejala Klinis
Sindrom ini jarang dijumpai pada usia 3 tahun ke bawah karena imunitas
belum begitu berkembang. Keadaan umumnya bervariasi dari ringan sampai
berat. Pada yang berat kesadarannya menurun, pasien dapat soporous sampai
koma. Mulainya penyakit akut dapat disertai gejala prodormal berkisar antara
1-14 hari berupa demam tinggi, malese, nyeri kepala, batuk, pilek, nyeri
tenggorokan, sakit menelan, nyeri dada, muntah, pegal otot, dan atralgia yang
sangat bervariasi.10

14

Pada SSJ ini terlihat trias kelainan berupa: kelainan kulit, kelainan selaput
lendir di orifisium, dan kelainan mata.6
a. Kelainan kulit
Lesi dimulai sebagai makula yang berkembang menjadi papula,
vesikula, bullae, dan plak urtikaria. Pusat lesi ini mungkin vesikel,
purpura, atau nekrotik. Lesi memiliki gambaran yang khas, dianggap
patognomonik. Namun, berbeda dengan erythema multiforme, lesi ini
hanya memiliki dua zona warna. Inti lesi dapat berupa vesikel, purpura,
atau nekrotik, dikelilingi oleh eritema macular. Lesi ini di sebut lesi
targetoid.

Lesi

mungkin

menjadi

bulosa

dan

kemudian

pecah

menyebabkan erosi yang luas, meninggalkan kulit yang gundul sehingga


terjadi peluruhan yang ekstensif. Sehingga kulit menjadi rentan terhadap
infeksi sekunder.
Pada bentuk yang berat kelainannya generalisata. Kulit lepuh sangat
longgar dan mudah lepas bila digosok. Pada sindrom Stevens-Johnson,
kurang dari 10% dari permukaan tubuh yang mengelupas. Sedangkan pada
necrolysis epidermis toksik, 30% atau lebih dari permukaan tubuh yang
mengelupas. Daerah kulit yang terkena akan terasa sakit. Pada beberapa
orang, rambut dan kuku rontok.6
b. Kelainan selaput lendir di orifisium
Kelainan selaput lendir yang tersering adalah mukosa mulut (100%),
kemudian disusul oleh kelainan di lubang alat genital (50%), sedangkan di
lubang hidung (8%), dan anus (4%).6 Kelainannya berupa vesikel dan bula
yang cepat memecah hingga menjadi erosi dan ekskoriasi dan krusta
kehitaman.11 Di mukosa mulut dapat terbentuk pseudomembran. Di bibir
kelainan yang sering tampak ialah krusta hitam yang tebal. Stomatitis
ulseratif dan krusta hemoragis merupakan gambaran utama. Kerusakan
pada lapisan mulut biasanya sangat menyakitkan dan mengurangi
kemampuan pasien untuk makan atau minum dan sulit menutup mulut
sehingga air liurnya menetes. Lesi di mukosa mulut dapat juga terdapat di
faring,

traktus

respiratorius

bagian

atas,

dan esofagus. Adanya

pseudomembran di faring dapat menyebabkan keluhan sukar bernafas.


15

Kelainan pada lubang alat genital akan menyebabkan sulit buang air kecil
disertai rasa sakit. Kadang-kadang selaput lendir saluran pencernaan dan
pernapasan juga terlibat, menyebabkan diare dan sesak napas.10
c. Kelainan mata
Kelainan mata, merupakan 80% diantara semua kasus, yang tersering
ialah konjungtivitis kataralis. Selain itu juga dapat berupa konjungtivitis
purulen, blefarokonjungtivitis, perdarahan, simblefaron, ulkus kornea,
iritis, iridosiklitis, kelopak mata edema, penuh dengan nanah sehingga sulit
dibuka, dan disertai rasa sakit.11 Pada kasus berat terjadi erosi dan perforasi
kornea yang dapat menyebabkan kebutaan.11 Cedera mukosa okuler
merupakan faktor pencetus yang menyebabkan terjadinya ocular cicatricial
pemphigoid, merupakan inflamasi kronik dari mukosa okuler yang
menyebabkan kebutaan. Waktu yang diperlukan mulai onset sampai
terjadinya ocular cicatricial pemphigoid bervariasi mulai dari beberapa
bulan sampai 31 tahun.11
E. Diagnosis
Diagnosis ditujukan terhadap manifestasi yang sesuai dengan trias
kelainan kulit, mukosa, mata, serta hubungannya dengan faktor penyebab
yang secara klinis terdapat lesi berbentuk target, iris atau mata sapi disertai
gejala prodormal. Selain itu didukung pemeriksaan laboratorium antara lain
pemeriksaan darah tepi, pemeriksaan imunologik, biakan kuman serta uji
resistensi dari darah dan tempat lesi, serta pemeriksaan histopatologik biopsi
kulit. Anemia dapat dijumpai pada kasus berat dengan perdarahan, leukosit
biasanya normal atau sedikit meninggi bila meninggi penyebabnya adalah
infeksi sekunder, terdapat peningkatan eosinofil jika penyebabnya alergi.
Kadar IgG dan IgM dapat meninggi, C3 dan C4 normal atau sedikit menurun
dan dapat dideteksi adanya kompleks imun yang beredar. Biopsi kulit
direncanakan bila lesi klasik tak ada.11 Gambaran histopatologinya sesuai
dengan eritema multiforme, bervariasi dari perubahan dermal yang ringan
sampai nekrolisis epidermal yang menyeluruh. Kelainan berupa :
16

infiltrat sel mononuklear di sekitar pembuluh darah dermis superfisial


edema dan ekstravasasi sel darah merah di dermis papilar
degenerasi hidropik lapisan basalis sampai terbentuk vesikel subepidermal
nekrosis sel epidermal di adneksa
spongiosis dan edema intrasel di epidermis
Selain itu dapat dilakukan pemeriksaan imunofluoresensi untuk membantu
membedakan SSJ dengan penyakit kulit dengan lepuh subepidermal lainnya.
Menentukan fungsi ginjal dan mengevaluasi adanya darah dalam urin.
Pemeriksaan elektrolit di lakukan untuk mengetahui apakah terjadi gangguan
keseimbangan asam basa. Pemeriksaan bronchoscopy, esophagogastro
duodenoscopy (EGD), dan kolonoskopi dapat dilakukan. Dan fototoraks untuk
mengetahui adanya komplikasi pneumonitis.10
F. Diagnosis Banding
Terdapat beberapa diagnosis banding dari SSJ, diantaranya:
1. Nekrolisis Epidermal Toksik (NET)
Manifestasi klinis hampir serupa tetapi keadaan umum NET terlihat
lebih buruk daripada SSJ.6 Pada penyakit ini terdapat epidermolisis yang
menyeluruh yaitu lebih dari 30% epidermis yang terkelupas (Nikolskys
sign positif).11
2. Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (SSSS/Ritter disease)
Pada penyakit ini lesi kulit ditandai dengan krusta yang mengelupas
pada kulit.6 Biasanya mukosa jarang terkena.

Tabel 2. Perbedaan Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (SSSS),


Nekrolisis Epidermal Toksik (NET) dan Sindroma Stevens-Johnson (SSJ)
SSSS

NET

SSJ

17

Etiologi

Staphylococcus aureus,
infeksi mata, infeksi
THT

Obat
Reaksi graft vs host

Obat, infeksi,
keganasan, post
vaksinasi, radiasi,
makanan.

Pasien

Anak-anak, bayi < 5


tahun

Dewasa

Dewasa, anak > 3


tahun

Gejala
klinis

Eritem muka, leher,


inguinal, axila (24
jam) generalis
(24-48 jam) bula
dinding kendur.
Epidermolisis
Nikolsky sign +
Mukosa jarang
PA : celah pada
sratum granulosum

Gejala prodormal
Trias :
Kulit: eritem, vesikel,
bula dan purpura,
Mukosa:orifisium
mulut, faring,
traktus
respiratorius,
esophagus
(pseudomembran)
Mata
Epidermolisis
Nikolsky sign
PA : kelainan
dermis sedikit
sampai nekrolisis
epidermal

Selulitis, pneumonia,
septikemia

Akut Tubular Nekrosis

Komplikasi

Akut
Gejala prodormal
KU buruk
Eritem generalisata,
vesikel, bula,
purpura
Kulit, mukosa bibirmulut, orifisium
genital
Epidermolisis +
Nikolsky sign +
PA : celah pada
subepidermal

Bronkopneumonia

G. Komplikasi
Komplikasi tersering ialah bronkopneumonia, sekitar 16%. Komplikasi
lain ialah kehilangan cairan/ darah, gangguan keseimbangan elektrolit dan
syok, pada mata dapat terjadi ulserasi kornea, uveitis anterior, kebutaan
karena gangguan lakrimasi. Pada gastroenterologi teriadi esofageal striktur,
pada genitourinari dapat terjadi nekrosis tubular ginjal, gagal ginjal, jaringan
parut pada penis, vagina stenosis, dan pada kutaneus terdapat jaringan parut
dan deformitas kosmetik. Infeksi dapat kambuh

karena penyembuhan

ulserasi yang lambat.5


H. Pengobatan
Pertama, dan paling penting adalah harus segera menghentikan
penggunaan obat penyebab yang dicurigai. Dengan tindakan ini, kita dapat
mencegah keburukan. Orang dengan SSJ biasanya dirawat inap.8 Bila
18

mungkin, pasien NET dirawat dalam unit rawat luka bakar, dan kewaspadaan
dilakukan secara ketat untuk menghindari infeksi. Pasien SSJ biasanya
dirawat di ICU. Perawatan membutuhkan pendekatan tim, yang melibatkan
spesialis luka bakar, penyakit dalam, mata, dan kulit. Cairan elektrolit dan
makanan dengan kalori tinggi harus diberi melalui infus untuk membantu
pemulihan. Antibiotik diberikan bila dibutuhkan untuk mencegah infeksi
sekunder seperti sepsis.7
Ada keraguan mengenai penggunaan kortikosteroid untuk mengobati
SSJ/NET. Beberapa dokter berpendapat bahwa kortikosteroid dosis tinggi
dalam beberapa hari pertama memberi manfaat; yang lain beranggap bahwa
obat ini sebaiknya tidak dipakai.12 Obat ini menekankan sistem kekebalan
tubuh, yang meningkatkan risiko terjadinya infeksi yang gawat, apalagi pada
orang dengan HIV AIDS (ODHA) dengan sistem kekebalan yang sudah
lemah.6
Pada umumnya penderita SSJ datang dengan keadaan umum berat
sehingga terapi yang diberikan biasanya adalah: 6
Segera menghentikan penggunaan obat penyebab yang dicurigai.
Kortikosteroid parenteral: deksamentason dosis awal 1mg/kg BB bolus,
kemudian selama 3 hari 0,2-0,5 mg/kg BB tiap 6 jam. Penggunaan steroid
sistemik masih kontroversi, ada yang mengganggap bahwa penggunaan
steroid sistemik pada anak bisa menyebabkan penyembuhan yang lambat
dan efek samping yang signifikan, namun ada juga yang menganggap
steroid menguntungkan dan menyelamatkan nyawa.
Antibiotik spektrum luas, selanjutnya berdasarkan hasil biakan dan uji
resistensi

kuman dari sediaan lesi kulit dan darah. Antibiotika yang

diberikan jarang menimbulkan alergi, berspektrum luas, bersifat


bakterisidal dan tidak bersifat nefrotoksik, misalnya klindamisin intravena
8-16 mg/kg/hari intravena, diberikan 2 kali/hari. Selain itu obat lain juga
dapat digunakan misalnya siprofloksasin 2 x 400 mg iv dan seftriakson 2 g
iv sehari.
Antihistamin bila perlu. Terutama bila ada rasa gatal. Feniramin hidrogen
maleat (Avil) dapat diberikan dengan dosis untuk usia 1-3 tahun 7,5
19

mg/dosis, untuk usia 3-12 tahun 15 mg/dosis, diberikan 3 kali/hari.


Sedangkan untuk cetirizin dapat diberikan dosis untuk usia anak 2-5 tahun:
2.5 mg/dosis,1 kali/hari, > 6 tahun : 5-10 mg/dosis, 1 kali/hari.
Pada SSJ yang berat diiberikan terapi cairan dan elektrolit, serta diet tinggi
kalori dan protein secara parenteral. Dapat diberikan infus, misalnya
dekstrose 5%, Nacl 9%, dan Ringer laktat berbanding 1:1:1 setiap 8 jam.
Bula di kulit dirawat dengan kompres basah larutan Burowi.
Pada daerah erosi dan ekskoriasi dapat diberikan krim sulfodiazin perak.
Pada kasus purpura yang luas dapat pula ditambahkan vitamin C 500 mg
atau 1000 mg iv sehari.
Lesi mulut diberi kenalog in orabase, betadine gargle, dan untuk bibir yang
kelainannya berupa krusta tebal kehitaman dapat diberikan emolien
misalnya krim urea 10%.
Pemberian obat tetes mata baik antibiotik maupun yang bersifat garam
fisiologis setiap 2 jam, untuk mencegah timbulnya infeksi sekunder dan
terjadinya kekeringan pada bola mata.
Pemberian obat salep dapat diberikan pada malam hari untuk mencegah
terjadinya perlekatan konjungtiva.
Intravena Imunoglobulin (IVIG). Dengan dosis 0,2-0,75 g / kg berat badan
per hari selama empat hari berturut-turut. Pemberian IVIG akan
menghambat reseptor FAS dalam proses kematian keratinosit yang
dimediasi FAS.
Transfusi darah 300 cc selama 2 hari jika tidak ada perbaikan dalam 2
hari. Efek transfusi darah (whole blood) ialah imunorestorasi. Bila terdapat
leukopenia prognosisnya menjadi buruk, setelah pemberian transfusi
leukosit cepat menjadi normal. Selain itu darah juga mengandung banyak
sitokin dan leukosit, jadi meningkatkan daya tahan tubuh.
Indikasi pemberian transfusi darah pada SSJ dan NET ialah
-

Bila telah diobati dengan dosis adekuat setelah 2 hari belum ada
perbaikan.

Bila terdapat purpura generalisata


20

Jika terdapat leukopenia

Setelah sembuh dari SSJ tidak boleh menggunakan kembali agen atau
senyawa yang penyebab. Obat dari kelas farmakologis yang sama dapat
digunakan asalkan obat tersebut secara struktural berbeda dengan obat
penyebabnya.13 Karena faktor genetik diduga berperan dalam kerusakan kulit
dan timbulnya lepuh akibat obat, sehingga obat yang dicurigai tidak boleh
digunakan dalam darah pasien. Tidak ada statistik khusus tentang risiko
penggunaan ulang obat yang salah atau kemungkinan desensitisasi pada
pasien dengan SSJ.13
I.

Prognosis
SSJ adalah penyakit dengan morbiditas yang tinggi, yang berpotensi
mengancam nyawa. Tingkat mortalitas adalah 5%, jika ditangani dengan
cepat dan tepat, maka prognosis cukup memuaskan. 10 Lesi biasanya akan
sembuh dalam 1-2 minggu, kecuali bila terjadi infeksi sekunder. Sebagian
besar pasien sembuh tanpa gejala sisa.13
Bila terdapat purpura yang luas dan leukopenia prognosisnya lebih buruk.
Pada keadaan umum yang buruk dan terdapat bronkopneumonia, dapat
menyebabkan kematian.6 Pengembangan gejala sisa yang serius, seperti
kegagalan pernafasan, gagal ginjal, dan kebutaan, menentukan prognosis.10
Sampai dengan 15% dari semua pasien dengan SSJ meninggal akibat kondisi
ini. Bakteremia dan sepsis meningkatkan resiko kematian.5

21

IV.
1.

PEMBAHASAN

Apakah diagnosis pada kasus ini sudah tepat?


Pada kasus ini, diagnosa kerja Sindrom Stevens-Johnson (SSJ) overlap
Nekrolisis Epidermal Toksik (NET) ditegakkan berdasarkan:
Anamnesa dari pasien
Pada anamnesa didapatkan keluhan timbul lepuh pada beberapa bagian
tubuh dengan ukuran yang bervariasi yang muncul mulai dari bibir,
kemudian di kedua tungkai kaki, lalu meluas ke leher, dada dan punggung
yang disertai gatal. Jika ditekan, cairan di dalam lepuhan/gelembung dapat
bergeser. Lepuhan-lepuhan tersebut kemudian pecah dan meninggalkan
bekas seperti luka bakar. Pasien juga mengeluhkan nyeri pada kedua mata
dan sulit menelan. Dua minggu sebelum masuk rumah sakit pasien
mengalami

demam

tinggi,

kemudian

pasien

mengonsumsi

obat

paracetamol, dexamethasone, ondansentron, dan ketoprol.


Gambaran Klinis
Pada regio coli, regio thorakolumbal, regio brachii dan ante brachii sinistra
& dekstra, sebagian regio genita dan regio cruris, terdapat bula yang telah
pecah serta meninggalkan daerah erosif yang tertutup pseudomembran
ukuran lentikuler s/d plakat, diskret beberapa konfluen dan tidak teratur.
Pada pemeriksaan dermatologi manual tidak dilakukan pemeriksaan
Nikolskys sign karena tidak terdapat lagi bula, efloresensi yang ditemukan
berupa erosi dari sisa bula yang telah pecah. SSJ dapat ditegakkan jika
trias SSJ terpenuhi yaitu adanya manifestasi pada kulit, mukosa, dan mata.
Pada kasus ini ditemukan ketiga trias tersebut dengan luas lesi antara 10
sampai 30% tubuh.

2.

Bagaimana menyingkirkan diagnosis banding pada kasus ini?


Diagnosis banding pada kasus ini yaitu SSJ, SSJ overlap NET, NET dan
SSSS. Menurut Clinical Dermatology Fitzpatricks, perbedaan dari SSJ, SSJ
22

overlap NET, dan NET hanya berdasarkan luas lesi dimana SSJ berkisar 10%
dari luas tubuh, SSJ overlap NET 10 sampai 30% tubuh, NET lebih dari 30%
luas tubuh. Pada pasien ini luas lesi berkisar antara 10-30%, sehingga
diagnosis SSJ dan NET dapat disingkirkan.
Diagnosis

Staphylococcal

Scalded

Skin

Syndrome

(SSSS)

dapat

disingkirkan dilihat secara epidemiologi SSSS lebih sering mengenai bayi


yang berusia kurang dari 5 tahun atau anak-anak. Untuk anamnesis dan gejala
klinisnya pada SSSS jarang terdapat keluhan serta manifestasi ke mukosa,
sedangkan pada pasien ini terdapat gangguan menelan yang kemungkinan
disebabkan adanya manifestasi ke mukosa mulut dan orofaring sehingga
diagnosis SSSS dapat disingkirkan.
3.

Apakah tata laksana pada kasus ini sudah tepat?


Pada pelayanan primer, kompetensi dokter pelayanan primer hanya sampai
3B yaitu mampu mendiagnosis dan memberikan tata laksana awal, serta
merujuk pada pelayanan sekunder.
Tata laksana yang dapat diberikan dalam pelayanan primer yaitu:

Terapi cairan
Terapi cairan bertujuan untuk mencegah pasien jatuh dalam keadaan
dehidrasi karena terdapat diskontinuitas kulit, sehingga cairan tubuh lebih
mudah hilang melalui proses evaporasi. Cairan yang diberikan berupa:
o NaCl fisiologis dan RL dosis maintanance untuk mencegah hilangnya
elektrolit tubuh.
o D5 dosis maintanance untuk memenuhi kebutuhan kalori pasien, karena
pada SSJ terdapat manifestasi pada mukosa termasuk mukosa sistem

gastrointestinal yang menyebabkan pasien sulit untuk makan.


Antihistamin
Antihistamin diberikan untuk mengurangi reaksi hipersensitivitas yang
berlangsung. Antihistamin yang digunakan adalah Cetirizine (Antihistamin
I generasi II) yang merupakan antagonis selektif reseptor H-1 yang dapat
menghambat pelepasan histamin pada fase awal reaksi alergi, mengurangi
migrasi sel inflamasi, dan melepaskan mediator yang berhubungan dengan
late allergic response.
Rujuk ke pelayanan kesehatan sekunder
23

Terapi Steroid pada SSJ


Tata laksana utama SSJ adalah pemberian steroid. Steroid diberikan
melalui intravena dengan dosis 0,8-1,6 mg/kgBB/hari untuk metil
prednisolon, atau 1-2 mg/kgBB/hari jika menggunakan prednison oral.
Berat badan pasien kurang lebih 50 kg, sehingga dapat diberikan metil
prednisolon injeksi 40 sampai 80 mg/hari. Sedangkan pada pasien diberikan
metil prednisolon injeksi dengan dosis 125 mg/hari. Pemberian ini kurang
tepat karena pasien diberikan dosis yang lebih tinggi dari seharusnya.
Tappering off dilakukan apabila lesi lama telah involusi serta tidak
terbentuk lesi baru. Penurunan dosis berkisar antara 20-40% atau dari dosis
awal, sehingga jika ingin diturunkan dosisnya, maka pasien dapat diberikan
metil prednisolon injeksi 30-60 mg/hari.

24

V.

KESIMPULAN

Sindroma Stevens-Johnson (SSJ) merupakan suatu kumpulan gejala klinis


erupsi mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit, mukosa
orifisium serta mata disertai gejala umum yang bervariasi dari ringan sampai
berat. Etiologi SSJ sukar ditentukan dengan pasti, pada umumnya sering berkaitan
dengan respon imun terhadap obat yang paling sering adalah oxicam NSAID,
sulfonamide, fenitoin, dan penisilin. Patogenesis SSJ sampai saat ini belum jelas
walaupun sering dihubungkan dengan reaksi hipersensitivitas tipe III dan reaksi
hipersensitivitas tipe IV.
Sindroma Stevens-Johnson menyebabkan pengelupasan kulit kurang dari 10%
permukaan tubuh, pada selaput lendir dapat menimbulkan krusta kehitaman, dan
pada mata menyebabkan konjungtivitis purulenta. Tidak ada pemeriksaan
laboratorium yang khas untuk mendiagnosis

SSJ kecuali pemeriksaan

histopatologis. Diagnosis banding dari SSJ yaitu Nekrolisis Epidermal Toksik


(NET), Staphylococcal Scalded Skin Syndrom (SSSS), dan Eritema Multiforme.
Komplikasi tersering pada pasien dengan SSJ adalah bronkopneumonia.
Penanganan SSJ dilakukan dengan menghentikan obat penyebab, memberi
terapi cairan dan elektrolit, serta kalori dan protein secara parenteral pada
penderita dengan keadaan umum berat. Penggunaan steroid sistemik masih
kontroversi. IVIG dapat diberikan untuk mencegah kerusakan kulit yang lebih
lanjut dan antibiotik spektrum luas untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder.
Sindroma Stevens-Johnson adalah penyakit dengan morbiditas yang tinggi,
yang berpotensi mengancam nyawa. Jika ditangani dengan cepat dan tepat, maka
prognosis cukup memuaskan.

25

DAFTAR PUSTAKA
1.

L. Valeyrie-Allanore, Jean-Claude Roujeau. Epidermal necrolysis (StevenJohnson Syndrome and toxic epidermal necrolysis. In: Fitzpatricks

2.

Dermatology In General Medicine, 7th Ed, Vol.1, 2008;p.349-355.


S. M. Breathnach. Erythema multiforme, Steven-Johnson Syndrome and toxic
epidermal necrolysis. In: Rooks Textbook of dermatology, 8th Ed,2010;

3.

Chapter 76.1-22
Maja Mockenhaupt. Steven-Johnson Syndrome and toxic epidermal
necrolysis. In: Life threatening dermatoses and emergencies in dermatology,

4.

2008; p.87-96.
Steven J. P. Parrillo, Catherine V. Parrillo.. In: Steven-Johnson Syndrome,
available at: http://www.emedicine.com

5.

Djuanda, A. Hamzah, M. Sindrom Stevens Johnson. Ilmu Penyakit Kulit dan


Kelamin. Edisi 5. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

6.

Jakarta 2007 : 163-166.


Mansjoer, A. Suprohaita. Wardhani, WI. Setiowulan, W. Erupsi Alergi Obat.

7.

Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jilid 2. Media Aesculapius. Jakarta 2002


Pierre-Dominique Ghislain MD, Jean-Claude Roujeau MD : Pengobatan
reaksi obat yang parah: Stevens-Johnson Syndrome, Toxic epidermal dan
sindrom hipersensitif Necrolysis. Dermatology Online Journal 8(1): 5. 2002.

8.
9.

Siregar, R.S. 2004. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Jakarta. EGC.
Steven J. P. Parrillo, Catherine V. Parrillo.. In: Steven-Johnson Syndrome,
available at: http://www.emedicine.com

10. Wolff, K., Johnson R.A Suurmond, D. Stevens Johnson Syndrom. Fitzpatrick
Dermatology Atlas. 5th Edition. 2007. The McGraw-Hill.
11. Sindrom steven johnson.
http://emedicine.medscape.com/article/1197450.overview#a0101 (diakses 5
Juli 2015)
12. S. M. Breathnach. Erythema multiforme, Steven-Johnson Syndrome and toxic
epidermal necrolysis. In: Rooks Textbook of dermatology, 8th Ed,2010;
Chapter 76.1-22.
13. Pohan, S.S. dkk. 2005. Sindroma Steven Johnson dalam Pedoman Diagnosis
26

dan Terapi Ilmu Penyakit Kulit. Surabaya: FK UNAIR.

LAPORAN KASUS
(CASE REPORT)
STEVEN JOHNSON SYNDROME

Oleh:
Hapsoro Wibhisono

1018011028

Ni Made Agusuriyani D.P 1018011019

27

M. Akip Riyan. S

1018011072

Anityo Nugroho

1018011041

Ahmad Arbi Anindito

1018011036

Ellysabet Dian Y.S

1018011056

Fani Nur Fajri Fauzi

1018011059

Pembimbing
dr.Yulisna, Sp.KK

SMF ILMU PENYAKIT KULIT & KELAMIN


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH Dr. Hi. ABDUL MOELOEK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2015

28

Anda mungkin juga menyukai