PENDAHULUAN
A. Definisi
Sindroma Stevens-Johnson (SSJ) adalah reaksi mukokutaneus akut yang
berat dan sering diperburuk oleh obat-obatan dan terkadang diperburuk oleh
adanya infeksi. Mereka sangat berhubungan dengan atau identik dengan,
hanya berbeda dengan luasnya permukaan tubuh yang terlibat. Keduanya
dicirikan oleh adanya perluasan yang cepat, berupa makula yang ireguler
(lesi-lesi target atipikal) dan melibatkan lebih dari satu bagian mukosa (oral,
konjungtiva dan anogenital).1 Gejala konstitusional dan keterlibatan organ
bagian dalam dapat terjadi dan bisa menjadi berat. Prinsipnya, SJS bisa
sembuh sendirinya; dan sisa gejala bisa terjadi, karena skar dari mukosa.
B. Epidemiologi
Sindroma Stevens-Johnson adalah suatu kondisi yang jarang terjadi, di
Amerika Serikat, terdapat 300 kejadian melaporkan sekitar 2,6 menjadi 6,1
kasus per juta orang per tahun. Kondisi ini sering terjadi pada orang dewasa
dibandingkan pada anak-anak. Kasus ini telah dilaporkan terjadi pada anakanak berumur 3 bulan. Perempuan lebih sering terkena daripada pria dengan
rasio 2:3.4 SSJ juga telah dilaporkan lebih sering terjadi pada ras Kaukasia.
Di Indonesia kasus SSJ jarang terjadi, hanya sekitar 1-6 per juta orang.
Dengan kata lain, rata-rata jumlah kasus ini sekitar 0,03%.6 Penelitian
menunjukkan bahwa SSJ adalah kasus yang langka. Hanya 1 dari 2000 orang
yang mengonsumsi antibiotik penisilin yang terkena SSJ.
C. Latar Belakang
Sindroma Stevens-Johnson merupakan kelainan pada kulit yang serius, di
mana kulit dan selaput lendir bereaksi keras terhadap obat atau infeksi. SSJ
sering diawali dengan gejala mirip flu, diikuti dengan ruam merah atau
keunguan yang menyakitkan yang menyebar dan lecet, yang akhirnya
menyebabkan lapisan atas kulit mati.7
Penyebab pasti dari SSJ saat ini belum diketahui namun ditemukan
beberapa hal yang memicu timbulnya SSJ seperti obat-obatan atau infeksi
1
II.
LAPORAN KASUS
: Ny. E
Usia
: 22 tahun
Jenis Kelamin
: Perempuan
Alamat
Agama
: Islam
Pekerjaan
: Swasta
Status
: Menikah
Suku Bangsa
: Lampung
B. Riwayat Penyakit
Keluhan Utama:
Timbul lepuh di seluruh bagian tubuh
Riwayat Penyakit sekarang :
Pasien datang mengeluh terdapat lepuh tidak beraturan dan dengan ukuran
yang bervariasi yang timbul di bagian bibir, punggung, leher, tangan dan
kedua tungkai sejak 14 hari SMRS. Pasien merupakan rujukan dari RS
Menggala.
Pada awalnya pasien mengeluh demam menggigil, kemudian pasien
dibawa ke bidan di desanya, pasien diberikan empat macam obat yaitu
paracetamol, dexamethason, ondansentron, ketopron, sesampainya di rumah,
pasien meminum obat-obatan tersebut dan timbul bintik-bintik merah pada
sekujur tubuh pasien. Pasien dibawa ke Rumah Sakit unit 2 dan dirawat
3
C. Pemeriksaan Fisik
Status Generalis
Keadaan Umum : Tampak sakit berat
Kesadaran
: Compos mentis
Tanda Vital
Tekanan Darah
: 120/80 mmHg
Nadi
: 84 kali per menit
Pernapasan
: 20 kali per menit
Suhu
: 37,2OC
BB
: 50 kg
TB
: 155 cm
Thoraks
: dalam batas normal
Abdomen
: dalam batas normal
KGB
: dalam batas normal
Status Dermatologis
Lokasi
: Pada regio coli, regio thorakolumbal, regio brachii dan ante
brachii sinistra & dekstra, sebagian regio genita dan regio cruris.
Efloresensi : Terdapat bula yang telah pecah serta meninggalkan daerah erosif
ukuran lentikuler s/d plakat, diskret beberapa konfluen dan tidak
teratur.
4
Pasien seorang perempuan berusia 22 tahun mengeluh terdapat lepuhlepuh di beberapa bagian tubuh dengan bentuk tidak beraturan dan dengan
ukuran yang bervariasi disertai rasa perih yang timbul di timbul di seluruh
tubuh SMRS. Keluhan tersebut timbul setelah pasien meminum obat yang
diberikan bidan, paracetamol, dexamethason, ondansentron, ketopron.
Awalnya timbul bintik-bintik merah, kemudian bintik tersebut menghitam,
semakin lama semakin parah, timbul lepuhan-lepuhan di sekujur tubuh.
Pasien juga mengeluh nyeri saat menelan, sakit tenggorokan, sesak dan sulit
saat membuka mata. Pada regio coli, regio thorakolumbal, regio brachii dan
ante brachii sinistra & dekstra, sebagian regio genita dan regio cruris, terdapat
bula yang telah pecah serta meninggalkan daerah erosif ukuran lentikuler s/d
plakat, diskret beberapa konfluen dan tidak teratur.
E. Diagnosis Banding
F.
Diagnosis Kerja
Stevens Johnson Syndrome Overlap Nekrolisis Epidermal Toksik
G. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan manual dermatologis: Nikolskys Sign tidak dilakukan karena
tak tampak adanya bula hanya daerah erosi yang merupakan sisa dari bula
yang telah pecah.
H. Penatalaksanaan
Umum :
Non medikamentosa
Menghentikan penggunaan obat penyebab
Perawatan di tempat khusus untuk mencegah infeksi
7
Prognosis
Quo ad vitam
Quo ad functionam
Quo ad sanationam
: Dubia ad bonam
: Dubia ad bonam
: Dubia ad bonam
Follow Up
Jumat, 3 Juli 2015 (Perawatan hari ke 2)
S
Timbul lepuh di beberapa bagian tubuh yang muncul 14 hari yang
lalu.
Lepuhan pertama kali timbul di tangan.
Lepuhan terasa gatal
Lepuhan timbul 1 hari setelah mengkonsumsi obat dari bidan berupa
paracetamol, dexamethason, ondansentron, ketopron.
Sulit menelan, sulit bernafas,
O
Hasil laboratorium A
SSS
Umum :
Non medikamentosa
protein
Pemberian makanan TKTP
Hindari menggaruk lesi
Khusus :
Medikamentosa
Topikal : Glyserin 10% 2x/hari pada bibir
-
Sistemik:
Cetirizin 1x 10 mg p.o
IVFD NaCl : D5 : RL = 1 : 1 : 1 20 tts/m
Ranitidin 2 x 50 mg IV/ hr
SJS
TEN
P
SSS
Umum :
Non medikamentosa
protein
Pemberian makanan TKTP
Hindari menggaruk lesi
Khusus :
Medikamentosa
Topikal : Glyserin 10% 2x/hari pada bibir
-
Sistemik:
Cetirizin 1x 10 mg p.o
IVFD NaCl : D5 : RL = 1 : 1 : 1 20 tts/m
Ranitidin 2 x 50 mg IV/ hr
Metil Prednisolon inj. 125 mg/ hari dengan tapp off
Rencana:
11
12
dermatofitosis,
dan
histoplasmosis
adalah
Phenylbutazone
Isoxicam
Piroxicam
Chlormezanone
Allopurinol
Amithiazone
Aminopenicillins
Tiaprofenic acid
Diclofenac
Sulindac
Ibuprofen
Ketoprofen
Naproxen
Thiabendazole
C. Patogenesis
Penyebab SSJ sesungguhnya cukup banyak, namun disebutkan bahwa obat
merupakan penyebab utama. Disamping obat, infeksi, vaksinasi, graft-versus13
obat
dapat
menyebabkan
terjadinya
SSJ,
meskipun
14
Pada SSJ ini terlihat trias kelainan berupa: kelainan kulit, kelainan selaput
lendir di orifisium, dan kelainan mata.6
a. Kelainan kulit
Lesi dimulai sebagai makula yang berkembang menjadi papula,
vesikula, bullae, dan plak urtikaria. Pusat lesi ini mungkin vesikel,
purpura, atau nekrotik. Lesi memiliki gambaran yang khas, dianggap
patognomonik. Namun, berbeda dengan erythema multiforme, lesi ini
hanya memiliki dua zona warna. Inti lesi dapat berupa vesikel, purpura,
atau nekrotik, dikelilingi oleh eritema macular. Lesi ini di sebut lesi
targetoid.
Lesi
mungkin
menjadi
bulosa
dan
kemudian
pecah
traktus
respiratorius
bagian
atas,
Kelainan pada lubang alat genital akan menyebabkan sulit buang air kecil
disertai rasa sakit. Kadang-kadang selaput lendir saluran pencernaan dan
pernapasan juga terlibat, menyebabkan diare dan sesak napas.10
c. Kelainan mata
Kelainan mata, merupakan 80% diantara semua kasus, yang tersering
ialah konjungtivitis kataralis. Selain itu juga dapat berupa konjungtivitis
purulen, blefarokonjungtivitis, perdarahan, simblefaron, ulkus kornea,
iritis, iridosiklitis, kelopak mata edema, penuh dengan nanah sehingga sulit
dibuka, dan disertai rasa sakit.11 Pada kasus berat terjadi erosi dan perforasi
kornea yang dapat menyebabkan kebutaan.11 Cedera mukosa okuler
merupakan faktor pencetus yang menyebabkan terjadinya ocular cicatricial
pemphigoid, merupakan inflamasi kronik dari mukosa okuler yang
menyebabkan kebutaan. Waktu yang diperlukan mulai onset sampai
terjadinya ocular cicatricial pemphigoid bervariasi mulai dari beberapa
bulan sampai 31 tahun.11
E. Diagnosis
Diagnosis ditujukan terhadap manifestasi yang sesuai dengan trias
kelainan kulit, mukosa, mata, serta hubungannya dengan faktor penyebab
yang secara klinis terdapat lesi berbentuk target, iris atau mata sapi disertai
gejala prodormal. Selain itu didukung pemeriksaan laboratorium antara lain
pemeriksaan darah tepi, pemeriksaan imunologik, biakan kuman serta uji
resistensi dari darah dan tempat lesi, serta pemeriksaan histopatologik biopsi
kulit. Anemia dapat dijumpai pada kasus berat dengan perdarahan, leukosit
biasanya normal atau sedikit meninggi bila meninggi penyebabnya adalah
infeksi sekunder, terdapat peningkatan eosinofil jika penyebabnya alergi.
Kadar IgG dan IgM dapat meninggi, C3 dan C4 normal atau sedikit menurun
dan dapat dideteksi adanya kompleks imun yang beredar. Biopsi kulit
direncanakan bila lesi klasik tak ada.11 Gambaran histopatologinya sesuai
dengan eritema multiforme, bervariasi dari perubahan dermal yang ringan
sampai nekrolisis epidermal yang menyeluruh. Kelainan berupa :
16
NET
SSJ
17
Etiologi
Staphylococcus aureus,
infeksi mata, infeksi
THT
Obat
Reaksi graft vs host
Obat, infeksi,
keganasan, post
vaksinasi, radiasi,
makanan.
Pasien
Dewasa
Gejala
klinis
Gejala prodormal
Trias :
Kulit: eritem, vesikel,
bula dan purpura,
Mukosa:orifisium
mulut, faring,
traktus
respiratorius,
esophagus
(pseudomembran)
Mata
Epidermolisis
Nikolsky sign
PA : kelainan
dermis sedikit
sampai nekrolisis
epidermal
Selulitis, pneumonia,
septikemia
Komplikasi
Akut
Gejala prodormal
KU buruk
Eritem generalisata,
vesikel, bula,
purpura
Kulit, mukosa bibirmulut, orifisium
genital
Epidermolisis +
Nikolsky sign +
PA : celah pada
subepidermal
Bronkopneumonia
G. Komplikasi
Komplikasi tersering ialah bronkopneumonia, sekitar 16%. Komplikasi
lain ialah kehilangan cairan/ darah, gangguan keseimbangan elektrolit dan
syok, pada mata dapat terjadi ulserasi kornea, uveitis anterior, kebutaan
karena gangguan lakrimasi. Pada gastroenterologi teriadi esofageal striktur,
pada genitourinari dapat terjadi nekrosis tubular ginjal, gagal ginjal, jaringan
parut pada penis, vagina stenosis, dan pada kutaneus terdapat jaringan parut
dan deformitas kosmetik. Infeksi dapat kambuh
karena penyembuhan
mungkin, pasien NET dirawat dalam unit rawat luka bakar, dan kewaspadaan
dilakukan secara ketat untuk menghindari infeksi. Pasien SSJ biasanya
dirawat di ICU. Perawatan membutuhkan pendekatan tim, yang melibatkan
spesialis luka bakar, penyakit dalam, mata, dan kulit. Cairan elektrolit dan
makanan dengan kalori tinggi harus diberi melalui infus untuk membantu
pemulihan. Antibiotik diberikan bila dibutuhkan untuk mencegah infeksi
sekunder seperti sepsis.7
Ada keraguan mengenai penggunaan kortikosteroid untuk mengobati
SSJ/NET. Beberapa dokter berpendapat bahwa kortikosteroid dosis tinggi
dalam beberapa hari pertama memberi manfaat; yang lain beranggap bahwa
obat ini sebaiknya tidak dipakai.12 Obat ini menekankan sistem kekebalan
tubuh, yang meningkatkan risiko terjadinya infeksi yang gawat, apalagi pada
orang dengan HIV AIDS (ODHA) dengan sistem kekebalan yang sudah
lemah.6
Pada umumnya penderita SSJ datang dengan keadaan umum berat
sehingga terapi yang diberikan biasanya adalah: 6
Segera menghentikan penggunaan obat penyebab yang dicurigai.
Kortikosteroid parenteral: deksamentason dosis awal 1mg/kg BB bolus,
kemudian selama 3 hari 0,2-0,5 mg/kg BB tiap 6 jam. Penggunaan steroid
sistemik masih kontroversi, ada yang mengganggap bahwa penggunaan
steroid sistemik pada anak bisa menyebabkan penyembuhan yang lambat
dan efek samping yang signifikan, namun ada juga yang menganggap
steroid menguntungkan dan menyelamatkan nyawa.
Antibiotik spektrum luas, selanjutnya berdasarkan hasil biakan dan uji
resistensi
Bila telah diobati dengan dosis adekuat setelah 2 hari belum ada
perbaikan.
Setelah sembuh dari SSJ tidak boleh menggunakan kembali agen atau
senyawa yang penyebab. Obat dari kelas farmakologis yang sama dapat
digunakan asalkan obat tersebut secara struktural berbeda dengan obat
penyebabnya.13 Karena faktor genetik diduga berperan dalam kerusakan kulit
dan timbulnya lepuh akibat obat, sehingga obat yang dicurigai tidak boleh
digunakan dalam darah pasien. Tidak ada statistik khusus tentang risiko
penggunaan ulang obat yang salah atau kemungkinan desensitisasi pada
pasien dengan SSJ.13
I.
Prognosis
SSJ adalah penyakit dengan morbiditas yang tinggi, yang berpotensi
mengancam nyawa. Tingkat mortalitas adalah 5%, jika ditangani dengan
cepat dan tepat, maka prognosis cukup memuaskan. 10 Lesi biasanya akan
sembuh dalam 1-2 minggu, kecuali bila terjadi infeksi sekunder. Sebagian
besar pasien sembuh tanpa gejala sisa.13
Bila terdapat purpura yang luas dan leukopenia prognosisnya lebih buruk.
Pada keadaan umum yang buruk dan terdapat bronkopneumonia, dapat
menyebabkan kematian.6 Pengembangan gejala sisa yang serius, seperti
kegagalan pernafasan, gagal ginjal, dan kebutaan, menentukan prognosis.10
Sampai dengan 15% dari semua pasien dengan SSJ meninggal akibat kondisi
ini. Bakteremia dan sepsis meningkatkan resiko kematian.5
21
IV.
1.
PEMBAHASAN
demam
tinggi,
kemudian
pasien
mengonsumsi
obat
2.
overlap NET, dan NET hanya berdasarkan luas lesi dimana SSJ berkisar 10%
dari luas tubuh, SSJ overlap NET 10 sampai 30% tubuh, NET lebih dari 30%
luas tubuh. Pada pasien ini luas lesi berkisar antara 10-30%, sehingga
diagnosis SSJ dan NET dapat disingkirkan.
Diagnosis
Staphylococcal
Scalded
Skin
Syndrome
(SSSS)
dapat
Terapi cairan
Terapi cairan bertujuan untuk mencegah pasien jatuh dalam keadaan
dehidrasi karena terdapat diskontinuitas kulit, sehingga cairan tubuh lebih
mudah hilang melalui proses evaporasi. Cairan yang diberikan berupa:
o NaCl fisiologis dan RL dosis maintanance untuk mencegah hilangnya
elektrolit tubuh.
o D5 dosis maintanance untuk memenuhi kebutuhan kalori pasien, karena
pada SSJ terdapat manifestasi pada mukosa termasuk mukosa sistem
24
V.
KESIMPULAN
25
DAFTAR PUSTAKA
1.
L. Valeyrie-Allanore, Jean-Claude Roujeau. Epidermal necrolysis (StevenJohnson Syndrome and toxic epidermal necrolysis. In: Fitzpatricks
2.
3.
Chapter 76.1-22
Maja Mockenhaupt. Steven-Johnson Syndrome and toxic epidermal
necrolysis. In: Life threatening dermatoses and emergencies in dermatology,
4.
2008; p.87-96.
Steven J. P. Parrillo, Catherine V. Parrillo.. In: Steven-Johnson Syndrome,
available at: http://www.emedicine.com
5.
6.
7.
8.
9.
Siregar, R.S. 2004. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Jakarta. EGC.
Steven J. P. Parrillo, Catherine V. Parrillo.. In: Steven-Johnson Syndrome,
available at: http://www.emedicine.com
10. Wolff, K., Johnson R.A Suurmond, D. Stevens Johnson Syndrom. Fitzpatrick
Dermatology Atlas. 5th Edition. 2007. The McGraw-Hill.
11. Sindrom steven johnson.
http://emedicine.medscape.com/article/1197450.overview#a0101 (diakses 5
Juli 2015)
12. S. M. Breathnach. Erythema multiforme, Steven-Johnson Syndrome and toxic
epidermal necrolysis. In: Rooks Textbook of dermatology, 8th Ed,2010;
Chapter 76.1-22.
13. Pohan, S.S. dkk. 2005. Sindroma Steven Johnson dalam Pedoman Diagnosis
26
LAPORAN KASUS
(CASE REPORT)
STEVEN JOHNSON SYNDROME
Oleh:
Hapsoro Wibhisono
1018011028
27
M. Akip Riyan. S
1018011072
Anityo Nugroho
1018011041
1018011036
1018011056
1018011059
Pembimbing
dr.Yulisna, Sp.KK
28